Anda di halaman 1dari 15

Nama : Angelika Nadia Suseno

Kelas/No. : XII MIPA 1 / 04

Materi : Teks Sejarah

BAHASA INDONESIA – TEKS SEJARAH

Kasih Abadi

(Tentang Kisah Romansa Dua Manusia Pilihan Semesta)

Kalau ditilik dari bagaimana keluargaku dibangun, maka kilas baliknya akan amat
panjang. Bukan aku tidak mau ceritakan, namun kisah panjang itu lebih baik aku persingkat.
Bukan sebab apa, hanya saja aku takut aktualisasi ceritanya nanti semakin jauh dari realita.
Kisah panjang keluarga kami, yang aku ceritakan di dalam sini akan menjadi perantaraku
mengingat hal-hal yang sekiranya bisa aku sampaikan, tentu saja dengan bantuan ibunda
tercinta yang menjadi salah satu tokoh utama dalam cerita.

Keluarga kami bukan keluarga sempurna bak dalam negeri dongeng atau cerita fantasi
yang menjadi isapan jempol balita di masa itu. Seperti keluarga pada umumnya, kami berdiri
sendiri-sendiri, tumbuh dalam satu lingkup realita yang kadang memang sangat,
menjengkelkan. Tidak seperti keluarga pada umumnya, yang tersisa dari kami hanya aku dan
Bunda. Kalau ada yang bertanya, bagaimana dengan ayahku, yang bisa aku sampaikan
hanyalah beliau sudah ada bersama Tuhan. Tuhan terlalu mencintai Ayahku hingga beliau
cepat dipanggil lagi ke pangkuan-Nya. Namun itu ada di bab yang lain, akan aku ceritakan
apabila ada kesempatan. Saat ini, aku akan menceritakan tentang bagaimana keluargaku
dibangun, siapa saja yang ada di dalamnya dan siapa saja yang berkontribusi dalam cerita
yang akan aku sampaikan.

Ayahku, Gandung Suseno adalah seorang laki-laki yang sejak kecil sudah dituntut
menjadi manusia yang berhasil. Sejujurnya, tidak banyak yang aku tahu tentang beliau. Sebab
tidak banyak orang yang mau menceritakan tentang beliau kepadaku. Mereka mengatakan
bahwa aku masih terlalu kecil untuk tahu. Mereka takut aku ingin bertemu dengan Ayahku.

Putra kedua dari empat bersaudara, yang lucunya keempat saudara itu lelaki
semuanya. Apalagi Ayah yang merupakan putra kedua dan Om, putra keempat kakekku yang
wajahnya bagai pinang dibelah dua. Entah sebab Tuhan terlalu mencintai Ayah dan

1
saudaranya, tiga dari empat putra bersaudara itu dipanggil yang kuasa dalam jangka waktu
tidak terlalu lama. Meninggalkan si bungsu yang wajahnya amat mirip dengan Ayah.

Pernah suatu ketika, Bunda membuka album foto dimana ada ayah di sana. Aku
bertanya kepada Bunda sebab rasa penasaran yang amat besar, "Papa itu orang seperti apa?"
Bunda hanya menatapku dengan senyum dan mengelus rambut keritingku saat itu.

"Papamu itu, persis seperti kamu. Suka senyum dan banyak bertanya. Wajahmu
benar-benar jiplakan papamu itu, tahu?" Ucap Bunda waktu itu sembari mencubit pipiku.
Aku menatap potret Ayah yang tersenyum lebar lantas tersenyum. Benar, wajahku ini
ternyata menjiplak persis wajah milik Ayah. Pantas saja keluarga dari Ayah selalu
mengatakan hal yang sama bahwasannya wajahku jelas menjiplak wajah milik Ayah.
Membuat nostalgia, katanya.

Kisah cinta Bunda dan Ayah sudah mulai terbangun sejak Bunda bekerja sebagai
karyawan di salah satu pasar swalayan Semarang, ADA Mall. Bunda yang waktu itu harus
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dikenalkan oleh seorang teman pada laki-laki
tinggi besar yang punya wajah rupawan.

Suasana kafe saat itu tidak terlalu ramai saat Bunda datang dan duduk disebuah meja
bundar. Undangan temannya membuat Bunda mau tidak mau datang ke kafe itu dengan rasa
penasaran. Saat duduk, Bunda bisa melihat sosok laki-laki yang memiliki senyum hingga
manik matanya tenggelam. Tubuhnya mungkin setinggi seratus tujuh puluh atau delapan
puluhan, sangat tinggi dibanding Bunda yang saat itu hanya berkisat seratus limapuluh
hingga enampuluhan saja.

"Kenalkan, namanya Nurma. Perempuan independen yang aku ceritakan padamu.


Nurma, kenalkan dia Gandung. Katanya mau berkenalan denganmu," ucap teman Bunda saat
itu.

Bundaku yang lahir sebagai anak sulung perempuan dengan beban berat di punggung,
tentu saja tidak bisa menerima orang baru dengan mudah. Lahir di tanggal 27 bulan kelima
tahun 1984 sebagai anak pertama, Bunda diberi nama Nurma Prihatina, nama singkat yang
penuh pengharapan semoga kelak beliau bisa tumbuh menjadi pribadi yang prihatin atau
rendah hati. Nama yang tidak muluk-muluk sebab pada jaman itu, orang-orang Jawa
memikirkan nama yang terbaik untuk putra-putri mereka dengan doa yang dipanjatkan

2
dengan khusyuk dan keinginan yang kuat agar kelak, putra-putri mereka akan tumbuh dengan
doa harapan yang tersemat pada nama yang diberikan.

Bunda tidak lahir dari keluarga yang religius. Namun, beliau diberikan sangu atau
bekal dengan belajar membaca kitab suci Al-Qur'an sejak kecil. Nenekku pernah berkata
bahwa walau beliau tidak bisa membaca kitab suci, beliau akan berusaha sebaik mungkin
agar putra-putri hingga keturunannya dapat membaca kitab suci dengan baik. Itu sebabnya
Bunda tumbuh menjadi perempuan sederhana yang harus merantau untuk mencari uang dan
tentu saja tidak mudah terayu oleh bujuk rayu lelaki. Namun namanya juga anak gadis.
Bundaku ini sejak awal tipe perempuan yang agak suka membangkang dan keras. Mungkin,
sebab didikannya sebagai putri pertama.

Bunda menatap lelaki yang terduduk di hadapannya dengan senyum. Wajah lelaki itu
terhitung tampan dengan setelan yang rapih dan menarik. Ketika Bunda menatap matanya,
lelaki itu tersenyum. Senyumnya manis dan matanya akan membentuk lengkung ketika kurva
bibir itu membentuk lengkung indah. Bundaku saat itu mengangguk lantas tersenyum,

"Saya Nurma Prihatina. Salam kenal," ucapnya saat itu.

Mereka terlibat dalam dialog hingga matahari hampir tenggelam. Bunda saat itu harus
segera pulang untuk istirahat. Ayah tidak berani untuk mengajak Bunda pulang bersama.
Sebab, beliau tahu Bunda adalah perempuan yang dijaga dan menjaga dirinya dengan baik.
Jadi, Ayah hanya mengucap hal ini:

"Terima kasih untuk hari ini, Nurma. Rasanya menyenangkan bisa berkenalan
denganmu."

Pertemuan yang terhitung singkat tidak membuat hati Bunda goyah. Namun entah
bagaimana, takdir sepertinya memang sudah ingin mempertemukan mereka sejak awal.
Mungkin saja, benang merah sudah terikat di jari kelingking mereka berdua. Bunda menatap
lelaki yang berdiri di hadapannya saat sedang menata pakaian di Mall tempat ia bekerja.

"Boleh aku minta waktumu sebentar?" Ayah saat itu tersenyum.

Bunda tersenyum lantas mengangguk. Melihat itu, Ayah tertawa kecil. Keduanya
pergi ke sebuah tempat makan yang tidak terlalu mewah saat itu, namun atmosfer yang ada di
sana cukup membuat keduanya merasa hangat. Baik Bundaku atau Ayah saat itu, keduanya
menikmati hal-hal baru yang terjadi pada mereka.

3
"Kamu cantik," Ayah mengucap dua kata yang sanggup membuat wajah Bunda
memerah. Melihat respon positif itu, Ayah tidak bisa menahan dirinya untuk tertawa. Gemas.

Sejak awal, mungkin yang ada di pikiran Ayah adalah bagaimana ada wanita yang
amat elok rupanya. Ayah mungkin jatuh hati, ya, mungkin saja. Aku tidak tahu bagaimana
cerita dari sudut pandang ayahku sebab aku tidak akan pernah bisa mendengar cerita dari
sisinya. Aku hanya bisa menebak dan mungkin saja benar. Sebab saat ini pun, setiap aku
melihat wajah Bunda yang akan aku pikirkan adalah kecantikan yang memancar dari
wajahnya yang rupawan. Cantik sekali. Pantas aja Ayah langsung jatuh hati.

Kisah itu mulai terjalin. Satu demi satu. Bait demi bait. Setiap waktu yang Bunda
jalani ternyata sanggup melepaskan rasa beban di dalam hatinya. Mereka semakin sering
bertemu dan akhirnya jatuh hati. Bunga mekar di dada keduanya, membuat mereka saling
mencintai. Di bulan ketujuh, Ayah meminta Bunda untuk jadi kekasihnya. Mungkin sebab
tidak mau menunggu terlalu lama, di bulan yang sama Ayah mengenalkan Bunda pada
keluarganya.

“Ibuk, kenalkan. Ini Echa. Nama aslinya Nurma. Gandung memang kenal belum
terlalu lama, tapi dia perempuan baik,” Yangti yaitu nenek dari Ayah saat itu tersernyum.
Beliau mengamati seorang perempuan yang dibawa anak keduanya ke rumah.

“Cantike kamu, nok.” Bunda tertawa kecil sembari berucap terima kasih.

Tidak butuh waktu lama, sebab Mei 2003 mereka bertemu dan selanjutnya enam
bulan setelah itu mereka memilih untuk melanjutkan pada jenjang yang lebih serius.
Pernikahan. Suatu hal yang sakral dan tidak mudah dilakukan.

"Mari menikah," Bunda yang saat itu sedang duduk menegakkan tubuhnya kaku.

"Ya?" Bunda mengerjapkan matanya pelan.

"Menikah, Nurma. Mari menikah." Bunda menatap wajah lelaki yang menghiasi
harinya selama beberapa bulan ini. Pernikahan adalah suatu hal yang sakral dan Bunda tentu
saja punya banyak hal untuk dipertimbangkan.

"Minta restu sama keluargaku, ya?"

Tidak mudah, tentu saja. Bundaku lahir dan tumbuh dari keluarga yang menganut
ajaran Islam sejak kecil. Ditarik bagan ke atas adalah keluarga Bunda yang nurni Jawa asli.

4
Sedangkan Ayah lahir dan tumbuh dengan ajaran Katolik yang kental. Ditarik bagan ke atas,
akan ada pendahulu yang memiliki darah orang Cina. Dua dasar hal yang tidak mudah untuk
bersatu dan mungkin, tidak akan bisa bersatu. Tidak banyak hal yang bisa mereka lakukan.

"Kamu bilang apa? Calonmu ini dari agama yang jelas jauh berbeda dari ajaran kita.
Berbeda, nduk." Ibu kandung Bunda - Oma saat itu kaget. Bunda menunduk dalam. Tahu
betul kekasihnya datang dari agama dan kepercayaan yang berbeda.

“Kamu sayang dia? Cinta dia? Lha terus, meh piye? Salah satu dari kalian harus mau
mengalah. Gak bisa nduk nek meh menyatukan dua hal yang dasare wis bedo." Bapak
Bundaku saat itu berkata dengan tegas. Kakung menatap putri bungsunya yang menunduk
dalam dengan ditemani Uti - istri keduanya - di sampingnya mengelus punggung Bunda.

"Aku bakal bilang Mas Ndung, pak."

Keputusan besar harus dipilih Bunda saat itu. Baik beliau meninggalkan Islam dan
memilih mengikuti Ayah, atau Ayah yang harus mengalah dan masuk Islam, keduanya sama-
sama hal yang tidak bisa diputuskan begitu saja. Hal terkait religi adalah hal yang amat besar.
Hal yang amat sakral. Butuh keputusan penuh dan kesepakatan juga keikhlasan untuk
melakukannya lillahita'ala atau karena Allah semata. Ayah saat itu memiliki banyak
pertimbangan, sebelum akhirnya memiliki jawaban yang paling baik untuk pertanyaan yang
menghantuinya.

"Buk, aku mau masuk Islam," ucap Ayah kepada Yangti. Yangti hanya menatap putra
keduanya dengan sorot mata yang dalam. Elus diberikan pada pucuk kepala Ayah saat itu.

"Nang, pindah agama bukan perihal yang kecil." Ayah mengangguk, "Gandung tahu,
Buk. Makanya Gandung mengharap restu ibuk supaya Gandung bisa meminang wanita itu."

Yangti tidak punya banyak pilihan. Putra keduanya ini tidak pernah banyak meminta
sejak dulu. Meski ajaran Khatolik sudah dipilih Ayah lebih dari dua puluh tahun, kalau ia
memang sudah bertekad maka Yangti hanya bisa mengangguk perlahan. Merelakan salah
satu putranya untuk masuk Islam dan meninggalkan ajaran Khatolik yang dianutnya sejak
kecil.

"Kalau niatmu memang baik, lakukanlah. Tapi, jangan sekali-sekali melakukan itu
hanya untuk mencari cinta nang. Ibuk takut kamu menyesal nantinya." Ayah tersenyum,

5
"tidak perlu khawatir, Ibuk. Gandung memang sudah berniat dari dalam hati. Ibuk do'akan
saja."

Saat itu, resmi sudah Ayah meninggalkan agama yang sudah dianutnya sejak kecil
dan dengan ikhlas dan sadar memilih untuk masuk Islam. Selain sebagai jalan kemudahan
untuk meminang Bunda, beliau juga berkata bahwa pilihan ini memang sudah dipikirkannya
matang-matang. Sudah dipertimbangkan dengan baik dan dilakukan dengan hati ikhlas.
Bukaan semata-mata karena hawa nafsu.

Setelah mengurus banyak hal, Bunda dan Ayah bisa melaksanakan pernikahan yang
mereka impikan. 13 Desember 2003, nuansa khas Jawa jelas terlihat dan terasa di pernikahan
itu dengan euforia yang penuh. Setelah beberapa ritual khas kejawen dan syarat syarat
sebelum pernikahan sudah dilaksanakan, Ayah dan Bunda akhirnya resmi menjadi pasangan
suami-istri. Wajah Bunda dan Ayah saat itu terlihat sangat bahagia dan cemerlang,
menunjukkan bagaimana suasana hati mereka yang dipenuhi bunga-bunga. Akhirnya
penantian mereka berdua terbayarkan. Semesta menyatukan dua manusia dan menjadikan
mereka makhluk paling bahagia satu semesta.

"Selamat atas pernikahannya, semoga menjadi keluarga yang bahagia sampai maut
memisahkan kalian,"

Teman-teman Bunda dan Ayah datang untuk mendoakan mereka berdua. Raut wajah
mereka jelas ikut bahagia saat keduanya berdiri di altar pernikahan. Panggung yang sudah
dibentuk sedemikian rupa menambah corak indah dan bahagia di raut keduanya.

Ayah dan Bunda memilih untuk mengontrak salah satu rumah yang tidak terlalu jauh
dari rumah Yangti di Semarang. Keduanya hidup bahagia, dengan Bunda yang menunggu
Ayah untuk pulang dan Ayah yang selalu pulang untuk bertemu Bunda selepas bekerja.
Pernikahan mereka berdua indah. Sebelum akhirnya Bunda memberi kejutan di umur
permikahan mereka yang hampir enam bulan.

"Aku hamil," ucap Bunda sambil menunjukkan alat tes kehamilan. Ayah yang baru
saja pulang bekerja membeku sebentar sebelum tertawa sembari memeluk Bundaku saat itu.
Beliau terus membisikkan terima kasih kepada Bunda yang ada di dekapan tangannya. Dada
mereka terasa penuh. Sebab, seorang anak yang selalu mereka impikan sudah ada di dalam
rahim Bunda, menunggu untuk dibesarkan dan dirawat dengan penuh kasih sayang.

6
Setelah mengabari anggota keluarga yang lain, Ayah dan Bunda menikmati masa-
masa mereka sebagai calon orang tua dengan aku yang tumbuh di rahim Bunda saat itu.
Mereka melimpahi calon putra ataupun putri di dalam perut Bunda. Berdoa supaya aku diberi
kesehatan.

Namun, sepertinya Tuhan sangat sayang kepada Ayahku. Ketika kandungan Bunda
menginjak umur empat bulan, Bunda yang menunggu Ayah pulang saat itu tidak memiliki
perasaan apapun. Setelah pesan singkat yang dikirim Ayah pada Bunda, Bunda hanya
menunggu kepulangan suaminya seperti biasa. Sembari mengelus perutnya yang mulai
membesar, Bunda menunggu dengan sabar.

“Nduk, pulang ya. Habis ini Norman kesana."

Sebuah pesan yang dikirim Yangti tidak membuat Bunda merasakan apapun. Beliau
hanya mengikuti arahan Yangti untuk kembali ke rumah utama. Saat Bunda sampai disana
bersama adik Ayah, ia melihat orang-orang sudah ramai berkumpul di depan rumah. Tratak
sudah dipasang di depan dan Bunda saat itu masih terbingung.

"Kenapa kok ramai?" Ucap Bunda. Yangti menghampiri Bunda dan mengelus perut
Bunda dengan lembut sembari berucap, "Sing sabar, ya. Kasihan. Sing sabar, nduk. Anakmu
piye jal, Ya Tuhan."

Firasat Bunda sudah tidak terlalu enak saat itu. Beliau masih diam saat ambulan
datang. Suara itu menggema seperti surat yang berisi kabar duka. Benar saja, saat ambulan
berhenti dan menurunkan satu tandu dengan sesosok yang amat Bunda kenal, saat itu beliau
hanya bisa terdiam. Seakan semua raga dan pancaindranya lumpuh. Tidak terdengar apapun.
Tidak terasa apapun. Bahkan, setelah jasad Ayah dirapikan Bunda masih belum menunjukkan
ekspresi apapun. Dunianya seperti runtuh saat itu juga.

"MA! Jangan cuma diem! Mbak takut, lho. Suamimu ini, Nurma." Kakak ipar Bunda
menepuk punggung Bunda dengan keras untuk menyadarkan beliau. Bunda hanya
mengangguk. Mulutnya masih membisu tetapi tangan Bunda jelas bergetar dengan hebat.

Belum ada satu tahun pernikahan mereka, Ayah diambil kembali oleh Yang Maha
Kuasa. Meninggalkan Bunda sendirian dan aku yang saat itu berusia empat bulan di dalam
kandungan Bunda. Tidak memberiku kesempatan untuk merasakan hangat dekap Ayahku
atau senyumnya yang selalu diceritakan Bunda menawan. Juga tidak memberiku kesempatan

7
untuk melihat laangsung darimana wajah yang aku miliki ini berasal, sebab banyak orang
sudah berkata bahwa aku adalah duplikat Ayah.

Bunda menatap wajah pucat Ayah yang terlihat damai. Saat itu Bunda hanya
terpikirkan bagaimana cara membesarkan aku seorang diri. Kehilangan Ayah adalah
kekalahan terbesar dalam hidup Bunda. Namun, setelah berhasil menenangkan diri, Bunda
bisa mengucap satu kalimat yang melegakan hatinya sendiri. Membawa pergi beban berat
juga beban Ayah yang harus pergi terlebih dulu meninggalkan Bunda sendiri.

"Insyaallah, aku ikhlas. Insyaallah. Anak kita nanti akan aku besarkan sendiri, jangan
khawatir. Aku akan baik baik saja, anak ini juga. Istirahat dengan tenang."

Bunda mengecup dahi Ayahku yang sudah terbujur kaku. Semua orang yang
mendengar hal itu menangis. Seakan bisa merasakan apa yang Bunda rasakan di dalam
hatinya. Setelah mengelus wajah Ayah, Bunda menangis deras hingga lemas dan hampir
pingsan. Saat itulah Bunda sadar, ini pertama kalinya ia kalah dalam hidup. Ayah sudah
pergi. Bunda harus bertahan sendiri.

Beberapa bulan berlalu tidak membuat Bunda merasa lebih baik. Namun beliau tetap
harus maju dan bertahan demi bayi yang tumbuh di dalam kandungannya. Satu-satunya yang
membuat Bunda bisa melawan rasa sakitnya hanya bayi yang masih membutuhkan dirinya.
Lima bulan selanjutnya, Bunda merasakan konstraksi hebat di dalam perutnya. Menandakan
bahwa saat itu aku sudah siap untuk melihat dunia seutuhnya.

Bunda ditemani keluarganya dan keluarga Ayah pergi ke salah satu rumah sakit di
Semarang yang bernama Pantiwilasa. Di sana, Bunda mempertaruhkan nyawanya untuk
melahirkanku. Untuk membuatku dapat melihat indahnya dunia dan hangatnya kasih sayang
Bunda.

Peluh memenuhi dahi. Wajah Bunda pucat dan selalu mengernyit untuk menahan rasa
sakit dan perih dari perutnya. Demi Allah, yang Bunda pikirkan saat itu hanya bagaimana
cara melahirkanku ke dunia dengan kondisi utuh dan sehat seutuhnya. Sebab, Bunda ingin
melihat aku tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.

"Tarik nafas ya buk... Iya, ayo mulai mendorong."

8
Bunda terus berusaha. Tanpa sosok Ayahku di samping Bunda membuat beliau
tergugu. Menangis karena tahu aku akan lahir tanpa sosok ayah, juga menangis sebab Bunda
takut tak bisa lahirkan aku ke dunia.

"Darurat! Bayi terlilit pusar sang Ibu! Segera beri pertolongan,"

Bidan dan perawat di rumah sakit itu segera berusaha untuk melepaskanku dari lilitan
tali pusar yang melingkari leherku. Semua panik, tentu saja. Oma, Uti, Yangti, dan semua
keluarga yang menunggu Bunda saat itu hanya bisa berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untukku juga untuk Bunda saat itu. Untuk keselamatan kami berdua.

Rupanya, aku diberi hidup. Mereka berhasil menyelamatkanku dan akhirnya, aku
menghirup udara bebas. Tangisanku saat itu bagai melodi yang indah untuk semua orang.
Tanda bahwa aku dan Bunda sudah berhasil melalui masa yang amat menegangkan.

Aku diadzani oleh seorang dokter disana. Seharusnya, setelah seorang bayi lahir maka
ia akan dikumandangkan adzan di sebelah telinganya oleh sang ayah. Untuk memperkenalkan
juga menjadikanku sebagai muslim seutuhnya. Namun, sebab Ayahku sudah berpulang
terlebih dahulu, tidak ada yang bisa dan mau mengumandangkan adzan di telingaku. Mereka
mengatakan bahwa mereka takut dan merasa tidak pantas. Baik kakek atau saudara ayah dan
bunda, semuanya tidak ada yang mau.

Bunda saat itu pucat dan masih mengatur nafasnya menangis mendengar tangisanku
yang menggelegar. Saat aku ditumpukan pada dadanya, tangisan Bunda semakin deras.
Bahagia, bersyukur dan sedih. Semua emosinya bercampur menjadi satu. Bunda berhasil
melahirkanku, tepat di tahun baru 2005.

Bunda mengecup dahiku yang tertidur di dadanya. Air matanya luruh melihat seoranh
bayi yang ia pertahankan mati matian sendiri selama sembilan bulan lahir tanpa cacat.
Hatinya lega karena aku bisa lahir ke dunia dan Bunda masih bisa merawatku sebagai
putrinya. Bunda bertekad dalam hati, walau aku tidak memilili Ayah, Bunda akan
memberikan aku semua yang beliau miliki agar aku tidak merasa kalah dengan orang lain.
Bunda selalu mengajarkanku untuk menjadi seorang pemenang. Untuk menjadi seorang
pejuang. Sebab, sejak awal dan hingga sekarang Bunda adalah pejuang dan pemenang yang
masih mampu mempertahankan kemenangannya karena ada aku disamping beliau. Maka, aku
juga harus menjadi pemenang dalam hidupku sendiri.

9
Kisah Bunda dan Ayah, juga kisahku adalah dua cerita bersambung dengan halaman
yang berbeda. Semua yang Bunda lalui dalam membesarkanku sendiri membuatnya menjadi
sosok kuat yang selalu aku jadikan contoh dalam setiap langkahku. Semua duka yang Bunda
rasakan dulu, diharapkan agar tidak terjadi padaku. Aku tidak mengharapkan apapun, hanya
ingin Bunda hidup bahagia tanpa beban.

Sudah kubilang, bukan. Kisahku bukan seperti dongeng yang sering diceritakan
Bunda dahulu. Kisah milik kami agak rumit, tentu saja seperti kisah-kisah keluarga yang lain.
Apapun itu, kita hanya harus bisa menjalani kehidupan dengan baik. Seperti Bunda yang
terus maju walau dunianya runtuh, aku juga ingin terus maju walau aku adalah manusia
rapuh.

ANALISIS UNSUR KEBAHASAAN DALAM TEKS/NOVEL SEJARAH

No. Kaidah Bahasa Kutipan Teks


1. Kalimat bermakna lampau Kisah cinta Bunda dan Ayah sudah mulai terbangun
sejak Bunda bekerja sebagai karyawan di salah satu
pasar swalayan Semarang, ADA Mall.
(Paragraf 7 hal. 2)
Bundaku atau Ayah saat itu, keduanya menikmati hal-
hal baru yang terjadi pada mereka.
(Paragraf 15 hal. 3)

Kisah itu mulai terjalin.


(Halaman 4)

Benar saja, saat ambulan berhenti dan menurunkan


satu tandu dengan sesosok yang amat Bunda kenal,
saat itu beliau hanya bisa terdiam.
(Halaman 7)
Bunda hanya terpikirkan bagaimana cara
membesarkan aku seorang diri.
(Halaman 7)

10
Kemudian disajikanlah jamuan untuknya dari sang
tuan rumah.
2.
Suasana kafe saat itu tidak terlalu ramai saat Bunda
datang dan duduk disebuah meja bundar

Lahir di tanggal 27 bulan kelima tahun 1984 sebagai


Penggunaan konjungsi yang
anak pertama, Bunda diberi nama Nurma Prihatina,
menyatakan urutan waktu
nama singkat yang penuh pengharapan semoga kelak
beliau bisa tumbuh menjadi pribadi yang prihatin atau
rendah hati.

Pernah suatu ketika, Bunda membuka album foto


dimana ada ayah di sana

"Papamu itu, persis seperti kamu. Suka senyum dan


banyak bertanya. Wajahmu benar-benar jiplakan
papamu itu, tahu?" Ucap Bunda waktu itu sembari
Penggunaan kata kerja material mencubit pipiku. Aku menatap potret Ayah yang
3. Penggunaan kalimat tidak tersenyum lebar lantas tersenyum.
langsung Suasana kafe saat itu tidak terlalu ramai saat Bunda
datang dan duduk disebuah meja bundar. Undangan
temannya membuat Bunda mau tidak mau datang ke
kafe itu dengan rasa penasaran

Bundaku saat itu mengangguk lantas tersenyum,

11
Mereka mengatakan bahwa aku masih terlalu kecil
untuk tahu.

Pantas saja keluarga dari Ayah selalu mengatakan hal


yang sama bahwasannya wajah saya jelas menjiplak
wajah milik Ayah. Membuat nostalgia, katanya.
Nenekku pernah berkata bahwa walau beliau tidak
Penggunaan kalimat tidak bisa membaca kitab suci, beliau akan berusaha sebaik
4.
langsung mungkin agar putra-putri hingga keturunannya dapat
membaca kitab suci dengan baik.

Kisah panjang keluarga kami, yang aku ceritakan di


5. Penggunaan kata kerja mental
dalam sini akan menjadi perantaraku mengingat hal-

12
hal yang sekiranya bisa aku sampaikan, tentu saja
dengan bantuan ibunda tercinta yang menjadi salah
satu tokoh utama dalam cerita.

"Papa itu orang seperti apa?" Bunda hanya


menatapku dengan senyum dan mengelus rambut
keritingku saat itu.
"Papamu itu, persis seperti kamu. Suka senyum
dan banyak bertanya. Wajahmu benar-benar
jiplakan papamu itu, tahu?" Ucap Bunda waktu itu
sembari mencubit pipiku.
"Kenalkan, namanya Nurma. Perempuan
independen yang aku ceritakan padamu. Nurma,
kenalkan dia Gandung. Katanya mau berkenalan
6. Penggunaan dialog
denganmu," ucap teman Bunda saat itu.

"Saya Nurma Prihatina. Salam kenal," ucapnya


saat itu.

"Terima kasih untuk hari ini, Nurma. Rasanya


menyenangkan bisa berkenalan denganmu."

"Boleh aku minta waktumu sebentar?" Ayah saat


itu tersenyum.

13
Suasana kafe saat itu tidak terlalu ramai saat Bunda
datang dan duduk disebuah me.ja bundar. Undangan
temannya membuat Bunda mau tidak mau datang ke
kafe itu dengan rasa penasaran. Saat duduk, Bunda
bisa melihat sosok laki-laki yang memiliki senyum
hingga manik matanya tenggelam. Tubuhnya mungkin
setinggi seratus tujuh puluh atau delapan puluhan,
7. Penggunaan kata sifat sangat tinggi dibanding Bunda yang saat itu hanya
berkisat seratus limapuluh hingga enampuluhan saja.

ANALISIS UNSUR KEBAHASAAN DALAM TEKS/NOVEL SEJARAH

No. Nilai-Nilai dalam Teks Kutipan dan Pembuktian


1. Nilai Agama Tuhan terlalu mencintai Ayahku hingga beliau cepat
dipanggil lagi ke pangkuan-Nya
Bunda tidak lahir dari keluarga yang religius. Namun,
beliau diberikan sangu atau bekal dengan belajar
membaca kitab suci Al-Qur'an sejak kecil. Nenekku
pernah berkata bahwa walau beliau tidak bisa
membaca kitab suci, beliau akan berusaha sebaik
mungkin agar putra-putri hingga keturunannya dapat
membaca kitab suci dengan baik

14
15

Anda mungkin juga menyukai