Anda di halaman 1dari 5

PATAH HATI ah GAK JAMANNYA LAGI Mungkin ketika teman-teman membaca judul ini, pastilah terlintas di benak kita

tentang perpisahan, air mata yang berlinang, cinta yang putus, hati yang teriris, tersobek-sobek, sedih, gundah, makan tak enak, pikiran yang kacau, cinta kandas di rerumputan kata seorang pujangga, dan banyak pujangga cinta lainnya, mengatakan lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Tapi kayaknya gak deh, toh begitu banyak orang yang frustasi dan bunuh diri ketika si dia sudah tidak mau lagi menjadi tempat penitipan hatinya. Ketika sms si doi sudah tidak lagi memenuhi inbox di hpnya,. Ada sebuah kisah tentang seorang anak yang lumayan berprestasi di sekolahnya. ketika itu tidak ada niat, apalagi tahu menahu tentang dunia merah jambu. Ia juga begitu aktif di organisasi bahkan pengajian-pengajian rutin di sekolah. Namun bagaikan tamu tak diundang, efek merah jambu itu merasuk kedalam dirinya, sampai perasaan tersebut tak dapat dibendung lagi. Dirinya kini telah terpikat dengan seorang wanita yang cukup berprestasi dikelasnya. Hingga setiap saat di kelas, les, dan kantin, lagi-lagi wanita itu seakan menari-nari di otak pria tersebut. Gemuruh rasa yang kini terlanjur membara. Lagi-lagi wanita itu selalu ada dipikirannya. Dan akhirnya benar! makan tak enak, tidur tak nyenyak. Fikirannya dipenuhi tentang si doi, gaya jalannya, senyumnya, dan suaranya begitu jelas terngiang-ngiang diingatan. Hingga Hari-hari tampak begitu kaku dan menggairahkan. Sampai akhirnya ia pun mencurahkan isi hatinya kepada sang wanita, dan ternyata wanita itu juga memendam perasaan yang sama. Hubungan pun berlangsung hingga 9 bulan, tapi sayang ketika pria tersebut harus bersekolah ke luar daerah demi menggapai cita-citanya. sang pria pun sudah menetapkan pilihan dan harapan dengan mantap kepada sang wanita. Hari demi hari perubahan itu terjadi sedikit demi sedikit. Namun semakin jelas ketika sang pria sudah menginjakkan kaki ditanah perantauan itu. Sms kini sudah tidak semesra yang dulu lagi, suara merdu dan manja sudah tidak selembut seperti awal bertemu. Hingga ketika malam itu tampak begitu gelap, dan angin pun terasa begitu lambat. Telepon itu bergetar, digit-digit nomor itu sudah tidak diragukan lagi. Ternyata itu panggilannya darinya. Ada sesuatu yang aku ingin bicarakan Bahwa aku ingin jujur kepada kamu, tapi berjanjilah agar kamu tidak marah Hati terguncang, apakah ini tanda-tanda. baik katakan saja, Ucapan yang bercampur gemuruh dan peluh. jujur aku ingin mengakhiri ini semua, karena aku sudah tidak sanggup lagi seperti ini, aku tidak tahu apa yang kamu lakukan disana, sedangkan aku disini sendiri sepi Malam itu seakan begitu suram. Cairan putih bening itu kini telah membasahi pipi. Setiap malam aku menunggu panggilan dari mu, panggilan sayang agak sedikit manja dengan suara merdu, namun itu sudah cukup bagiku sebagai pengobat rindu. Jikalau engkau tahu betapa sakitnya hati ini sayangku.

Enam bulan sudah kisah berlalu, sakit itu pun kini telah pergi, namun masih meninggalkan bekas yang begitu mendalam. Melihat Foto dan namanya hanya menambah duka dan keruh dihati. Dulu tak ada yang lebih indah, kecuali tatapan matanya yang jatuh tepat di mataku, tak ada yang lebih merdu dan menyejukkan hati kecuali mendengar riuh suaranya mengisi pendengaran siang dan malam. Kini suara manja itu sudah tiada lagi yang terkadang lebih indah dibandingkan suara adzan. Tiada lagi sms yang dulu dibaca berulang-ulang hanya untuk meresapi arti dibandingkan untuk membaca Al-Quran yang menentramkan jiwa, yang tiada satu pun makhluk di muka bumi yang dapat menandingi. Akhirnya itu juga yang membuat sang pria itu sadar. Disaat ia telah membeli semua waktu yang belum pasti. Tapi ya sudahlah! Toh nasi sudah jadi bubur. Tinggal sekarang bagaimana membuat bubur itu menjadi bubur yang spesial. Biarkanlah ini semua menjadi ilmu kehidupan yang paling berharga. Ilmu yang membuat jiwa ini semakin kenal, dan semakin tahu bahwa waktu itu sangatlah singkat. Ilmu yang mengajarkan kita, betapa berharganya orang-orang yang telah mengorbankan dirinya hanya untuk diri kita, yang dengan senyumannya mengantarkan kita menjadi tumbuh dan berkembang sebesar seperti ini. Karena sesungguhnya ilmu itu hanya untuk orang-orang mengambil pelajaran. Pernahkah kita menyadari seberapa banyak uang yang telah kita keluarkan hanya untuk sms si Dia, seberapa banyak waktu yang kita habiskan berjam-jam hingga larut malam hanya untuk menelepon si Doi. Tapi Pernahkah kita memikirkan siapa yang memberi uang itu kepada kita? Siapakah yang telah menjadikan kepala di kaki dan keringat diperas hanya untuk diri kita? Pernahkah kita memikirkan bahwa ia menunggu setiap saat telepon dari kita? Pernahkah kita memikirkan apa yang ia pikirkan bagi dirikita? Jelaslah kita tidak fair teman! Mereka adalah ibu dan bapak kita, orang tua kita. Setiap malam mereka menunggu telepon dari kita. Setiap waktu ia melihat jam, kapan kita akan mengucapkan Ma, pa, aku baik-baik saja dan sehat disini, padahal itu sudah cukup bagi mereka. Betapa sayangnya mereka kepada kita, lantas kita membagi kasih sayangnya dan bahkan tidak sebanding. Mereka rela bersusah payah hanya untuk diri kita, lantas pernahkah kita memikirkan apa yang dia pikirkan? Jawabannya adalah Mereka Takut. Takut tidak bisa melihat anaknya tersenyum, tertawa, dan bahkan tidak dapat lagi mengajarkan kita, karena waktunya memang begitu singkat. Tubuh yang dulu tegap dan gagah, kini mulai tampak lemah. Tangan yang lembut dan halus, kini telah gemetar, kedua tangan itulah yang penuh kasih, yang dulu pernah memandikan kita di waktu kecil, menyuapi kita, memakaikan baju, membelai, memeluk kita, dan terlebih dari semuanya kedua tangan itulah yang mendoakan kita. Itulah tangan yang paling indah di dunia ini, betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang telah mereka berikan kepada kita. Itulah tangan seorang ibu. Tapi apakah mereka pernah menampakkan kesulitan itu kepada kita. Jawabannya, tidak pernah. Karena mereka takut, takut kita akan gelisah dan memikirkannya, sedangkan mereka mengharapkan kita untuk terus maju dan menjadi kebanggan mereka. Tahukah kita ketika ibu menelepon kita, bahwa ayah lah yang menyuruh ibu saat itu. Tahukah ketika orang tua kita membayar uang kuliah dan mengantarkan kita pada hari pertama, siapakah yang paling cemas adalah ayah!. Tapi ibu yang selalu menguatkan kita, sedangkan ayah kita cemas, cemas karena anaknya kini harus mandiri, dan itu juga yang ayah ajarkan kepada kita supaya kita menjadi kuat. Ketika seorang wanita telah dewasa, kecemasan ayah pun semakain bertambah, karena ia tahu posisinya akan tergantikan oleh seorang pria yang lain (suami). sehingga ia ingin memberikan tanggung jawab ini kepada seorang yang tepat.

Ketika kita mulai mampu mengatakan ah, mereka pun sadar ternyata kita adalah bukan miliknya, tapi Allah hanya menitipkan itu kepada mereka. Sehinga mereka takut jikalau nanti menghadap sang pencipta, dan bertanya apa yang telah mereka ajarkan kepada kita, maka inilah yang menjadi tanggung jawab yang besar bagi mereka. Saya mengajak kepada teman-teman sekalian untuk merenung sedikit. Cobalah teman-teman tatap wajah kedua orang tua kita, bukankah sudah banyak goresan-goresan di wajah mereka, bukankah kantung mata itu sudah tampak begitu berat. So ternyata waktu memang begitu cepat, tapi yang jelas apakah kita masih mau menghabiskan waktu kita kepada sesuatu yang sama sekali tidak memikirkan kita. Maka tidak fair. Bukankah kedua orang tua kita menginginkan duduk manis sambil tersenyum dan bangga mendengar nama anaknya beserta nama mereka dipanggil ketika wisuda nanti? dan banyak lagi lainnya. Tapi yang jelas, kita semua tidak dapat membalas jasa kedua orang tua kita. Namun jikalaulah ini hanya membuat kita biasa-biasa saja, maka ada sesuatu yang salah pada diri kita, terutama hati di dalam dada. Maka ini yang membuat pria itu sadar, dan bersykur karena telah mendapatkan ilmu dari kisahnya, namun tidak ada lagi niat untuk menambah pengalaman yang lalu. Tapi yang jelas kalaulah kita belum siap untuk memikirkan hal itu, lebih baik lupakan saja. Kini yang harus kita lakukan adalah untuk terus memantaskan diri kita, bukankah seorang pria yang baik untuk wanita yang baik. jadi kalaulah ada seorang pria yang rajin ikut pengajian, senang berkumpul dengan majlis-majlis ilmu. Mungkin jodoh itu akan hadir disana, hehe..tapi gimana kalo sebaliknya jika seorang pria yang rajin.....dilanjutkan sendiri aj ya teman-teman. So waktu memang terasa begitu singkat, sang pria pun sadar suatu saat nanti ia akan menjadi seorang ayah juga, dengan harapan anaknya pun bangga dengan ayahnya. So marilah kita terus memantaskan diri baik segi amalan dan perbuatan. Raihlah cita-cita itu, dan semoga kita dapat membahagiakan kedua orang tua kita, keluarga kita, dan marilah sama-sama kita melakukan perubahan menjadi yang lebih baik lagi, namun perubahan akan bisa diwujudkan kalau kita memulai itu sekarang. Dan dengan segala kerendahan hati, sang pria yang saya ceritakan diatas adalah saya sendiri. Oleh karena itu Saya juga mohon doa dari teman-teman, semoga saya selalu istiqamah dan selalu berada di jalanNYA. Terima kasih telah membaca tulisan ini, dan semoga ada manfaat bagi kita semua, terutama buat saya pribadi. (So Segeralah telepon ibu dan ayah kita, atau jumpai dirinya dan peluk eratlah tubuhnya)

Bapak mu kerja di WIKA ya? Koq tau, karena telah membangun jembatan antara hati aku dan hati kamu.

Anda mungkin juga menyukai