Anda di halaman 1dari 7

Nama : Elvina Gusti Eryana

Nim : 203180162

Kelas : PGMI E

Matkul : Bahasa Indonesia (CERPEN)

"KUHARAP BAHAGIA NAMUN TAKDIRKU TERLUKA"

Malam ini rinai hujanlah yang menemani kesendirianku. Berkhayal dengan harapan yang
akhirnya pupus membasahi retakan luka yang ada di hati ini. Kunang-kunang pun seakan tak
ingin bersahabat denganku kali ini. Pijarannya yang terang seakan tak terlihat di kala pekatnya
malam.

Hening, sunyi, sedih, dan kecewalah yang saat ini sedang melanda kalbuku. Gambaran kelam
kian menari-nari dalam benakku. Aku hampa, amarahku pun merajalela. Hatiku berkecamuk
seakan meronta meminta penjelasan. Haruskah ini semua menghujamku secara kejam sperti ini
wahai Tuhan?

Ku berharap bahagia, namun takdirku terluka. Aku ingin jatuh cinta, namun semuanya sirna. Aku
ingin merasakan indahnya di cinta, namun yang ada hanya merana. Inikah nasib yang pantas
diterima oleh insan sepertiku? Yang tidak mengerti tentang hakikat cinta tapi sekali mencintai
aku harus terluka.

##

Namaku Riana, aku sangat menyukai rinai hujan yang turun dikala senja. Begitu indah, dan sejuk
terasa. Tetesannya seakan jatuh menentramkan jiwa yang sering kali terlihat gelisah. Hujan
bagaikan melodi indah yang mengiringi setiap tarianku ditengah rintik-rintik yang terus
berusaha menambahkan ritmenya menjadi deras. Ia seakan mengetahui keinginanku,
mengatakan padaku bahwa ia ingin bersenang-senang denganku dengan guyuran yang
membasahi setiap lekukan tubuh yang menjelma menjadi raga. Aku ingin tertawa karena ketika
hujan turun, kupu-kupu yang sebelumnya beterbangan seakan menepi mencari tempat
hangatnya untuk berteduh dan seakan memberiku kesempatan dengan bahasa mereka agar aku
menikmati tetesan air hujan yang memberikan bekas cidera di atas tanah.

Selain menyukai hujan, aku juga sangat menyukai dunia tulis. Apapun yang terlintas dalam
fikiranku selalu aku goreskan di atas buku kecilku. Merangkai bait-bait indah dan
melantunkannya menjadi sebuah melodi yang begitu membuatku bahagia dengan
kesederhanaan. Disisi lain aktivitasku, aku menggambarkan tentang kehidupan. Hidupku bukan
selalu tentang kebahagiaan, juga bukan selalu tentang penderitaan, ya tepatnya hidupku berada
diantara keduanya. Dan semuanya membuatku tidak bisa menduga tentang apa yang akan
terjadi padaku setiap harinya.

Pendidikan, sekilas itu terlintas dalam fikiranku untuk mengatakannya. Ya, pendidikan ku telah
selesai di bangku Aliyah yang setara dengan SMA pada Tahun 2017 dengan prestasi yang sangat
membuatku haru bahagia. Dengan modal dan keterampilan yang telah aku dapatkan di masa
SMA ku, aku sempat berharap bisa mengubah kehidupanku menjadi lebih baik dari yang telah
berlalu.

#Flash back#

Kala itu aku masih duduk di bangku Aliyah kelas XI. Aku menempuh pendidikan dengan basic
keagamaan yang saat itu jarang sekali ada anak yang mau mengambilnya. Tak hanya sekolah
formal, orang tuaku juga melarikanku kedalam sebuah lembaga pesantren atau istilah kerennya
penjara suci. Semua itu dimaksudkan karena untuk menyeimbangkan agama dan formalku.

Disini semuanya mulai berawal. Dalam dunia pesantren, hubungan putra putri sangatlah
dilarang, bahkan diharamkan. Bagi mereka, santri yang melanggar akan dikenakan takzir yang
cukup berat. Ini membuatku takut untuk mengenal lawan jenis.
Kang santri, ialah idaman bagi semua mbak-mbak santri. Kang-kang yang berbondong-bondong
untuk belajar agama dan Alqur'an. Menyiapkan bekal untuk masa depan dan masyarakat.
Kalimat kagum sering keluar dari sejumlah teman-temanku ketika berpapasan dengan kang
santri, tidak terkecuali aku.

Sangatlah indah, berangkat mengaji bersama, bersimpangan dengan calon-calon imam yang
begitu menggetarkan jiwa. Itulah yang membuat kami semakin beringas menebarkan api-api
cinta dalam kesunyian. Dalam keheningan, sebagian dari kami hanya mampu membungkam
belaka terhadap perasaan yang kita ciptakan sendiri, entah itu perasaan yang tulus atau sekedar
perasaan kagum biasa. Karena kami sangatlah takut untuk bertatap mata secara mendalam. Iya
benar, itu termasuk zina meski hanya dengan tatapan mata.

"Ri, subhanalloh Ri! Ganteng banget itu kang nya!!" celoteh temanku Ima

"Huss, bicaramu itu lo Ma! Bener banget!!? Sahut Syifa

"Siapa Ma? La wonh nggak kelihatan gitu kok di bilang ganteng" Jawabku acuh

"Makanya Ri!! Periksa dulu matanya biar bisa bedain mana yang ganteng dan yang.

enggak" timpal Ima

Sambil berjalan kami bergosip-gosip ria akan ketampanan kang-kang santri yang berada jauh di
depan kami. Aku tidak tau pasti tapi dari sinilah aku merasa bahwa ada seseorang yang diam-
diam memperhatikanku dari kejauhan ketika ngaji diniyah.

Dia terkenal sangat tampan dan selalu menjadi idaman mbak-mbak santri. Namanya kang
Ahmad. Tubuhnya tinggi semampa, dia terlihat pandai dan kritis. Yang membuatku tertarik
adalah matanya, benar sekali matanya terlapisi dengan indah oleh kacamata kecilnya yang
membuat dirinya lebih memiliki wibawa. Itu sangat membuatku tertarik dengan tajamnya
tatapan yang tergambar dalam kornea matanya.
Kala itu aku masih duduk di kelas 2 Aliyah, dan ia juga masih duduk di kelas 3 aliyah. Tepatnya ia
satu tahun lebih tua dariku. Ini yang tidak kalah menarik, setelah diniyahnya selesai, ternyata dia
melanjutkan untuk menghafal Alqur'an. Ya, itu sangat sesuai dengan dengan harapanku.

Tepat dibawah tangkai pohon kamboja itu pertama kali aku menerima surat yang tertulis
untukku tertanda dari orang yang selama ini aku tunggu. Dialah kang Ahmad. Dia menulis surat
untukku.

Assalamualaikum wahai engkau "perempuan berkerudung merah". Maafkan aku yang telah
lancang menuliskan kata-kata ini untukmu. Begitu indah dirimu sehingga membuatku tak
bisa berpaling ketika senja telah berganti malam. Melihatmu dari kejauhan membuatku
bertanya-tanya tentang siapa sebenarnya dirimu .

Wahai gadis berkerudung merah, perkenankan aku untuk mengetahui sebait indah namamu.
Aku berniat untuk lebih dalam mengenalmu dengan ketaqwaan iman. Aku mengagumimu,
mengagumi ciptaan Tuhan yang sangat menggetarkan jiwa. Mengagumi setiap lantunan
ayat-ayat yang kau bacakan dari kejauhan. Mengagumi santunmu ketika menghadapi orang.
Mengagumi matamu yang kau gunakan untuk menundukkan pandangan.

Wahai gadis berkerudung merah, belajarlah dengan giat, jadikanlah ini sebagai motivasimu
dalam belajar. Kala aku telah selesai dengan pendidikanku, aku berjanji akan menemuimu
dengan membawa kedua orang tuaku. Tetap jagalah hatimu, tanamkan dalam sanubarimu
setiap insan mampu dan pantas untuk mendapatkan kebahagiaan dengan cara yang di
Ridhoi-NYA.

Angan-angankan aku dalam setiap do'a dan penantian malammu. Aku berharap engkau
menerima pengakuanku dengan kelapangan hatimu. Tertanda dia yang mengagumimu.
Ahmad Khoeroni

Sehari setelah datangnya surat itu, tak sengaja aku bertemu dengannya di kantor madrasah
diniyah untuk mengumpulkan tugas koreksi. Itu pertama kalinya ia menyapaku dalam
keramaian, menanyakan siapa namaku dan menegaskan tentang ketakutanku. Sontak itu
berhasil membuatku tergagap malu untuk menjawab pertanyaan darinya. Tak kusangka ternyata
ia berani menyapaku setelah ia mengirim surat itu. Dan hal yang selama ini tak ku ketahui
adalah temanku yang bernama Ayu. Ternyata dia bukanlah orang lain. Dia adalah adik kandung
kang Ahmad, tentu itu sangat membuatku bahagia sekaligus tak percaya dibuatnya.

Setiap hari libur aku selalu dijemput Ayu untuk main kerumahnya, sekedar bercanda riya dan
membahas tentang "celak" yang kala itu sedang populer dikalangan santri putri. Yang
membuatku tak kalah dari senyum adalah seringnya aku dapat bertemu dengan kang Ahmad
tanpa ada rasa khawatir lagi karena itu berada di luar area pondok. Ya, tak apa meskipun hanya
sekedar memandangnya keluar masuk rumah aku sudah cukup senang. Aku rasa sejak itu aku
mulao menaruh rasa kepadanya dalam seribu diam.

Bagaikan aktor korea yang terkenal, kang Ahmad cukup berhasil membuat jantungku semakin
berdegup kencang ketika memandang dirinya yang tengah nderes qur'an di bawah bedug masjid
pondok. Sungguh bahagia ku bayangkan jika aku dan dia bisa terikat dalam kehalalan.

Tapi sepertinya takdir berkata lain, ada sesuatu hal yang membuatku harus pindah dan
meninggalkan bayangan kang Ahmad di pelupuk mataku. Aku dipanggil oleh pengasuh pondok
dan ditarik untuk pengabdian di sebuah pondok qur'an yang berbeda.

"Ragaku pergi tapi hatiku tak akan pernah pergi sebelum kau sendiri yang memintaku kang"
batinku saat akan berangkat ke pondok baru untuk pengabdian.

Satu tahun berlalu, kini aku bertemu dengan teman-teman yang baru. Alhamdulillah aku juga
bisa belajar untuk menghafal Alqur'an seperti apa yang dilakukan kang Ahmad sebelumnya. Dan
itu semakin membuatku merindu akan perasaan yang telah aku miliki untuknya. Merindu dalam
do'a di tengah keheningan malam. Hanya itulah yang bisa aku lakukan.

Malam ini adalah malam yang sangat istimewa. Aroma tahun baru semakin membuat Aliran
darah berdesir hebat. Terbayang diluar sana banyak orang yang merayakan malam tahun baru
mereka dengan menikmati suguhan keindahan kembang api di tengah-tengah kota.
Aku mendekap mushafku dan berlari ke atas gedung pondokku sembari menikmati kembang api
yang memecah kesunyian dari kejauhan di tengah kota. Sekilas aku teringat akan hadirnya
seseorang yang cukup dalam mengisi relung hatiku meski dalam penantian.

"kang Ahmad, bagaimanakah kabarmu?" gumamku dalam kesendirian.

Rindu ini semakin memuncak, entah berapa lama aku tak bisa memandang laki-laki bersorban
ungu yang suka nderes di bawah bedug masjidku dulu.

"Bagaimanakah wajahnya kini? Bagaimanakah kehidupannya kini? Apakah ia masih ingat akan
janji-janjinya saat itu padaku?" Aku hanya bisa termenung memikirkan pertanyaan-pertanyaan
yang tak mungkin kujawab sendiri.

Sampai suatu ketika, setelah pengabdianku selesai, aku diperbolehkan untuk pulang oleh
pengasuhku dengan tanda lulus dalam pendidikan pesantren. Tapi aku berfikir tak ingin begitu
cepat pulang, aku merasa ingin melanjutkan belajarku di bangku perkuliahan. Dengan
keputusanku ini, aku akan masuk di perguruan tinggi yang masih satu kota dengan pondokku
pada tahun 2018.

Aku senang karena bisa diterima di jurusan pendidikan guru MI. Ada sesuatu yang tak kalah
membuatku terkejut sekaligus lebih bahagia adalah ketika aku melihat dalam daftar mahasiswa
baru itu tertulis nama yang selama ini sangat aku rindukan yaitu kang Ahmad. Tepatnya Ahmad
Khoeroni lah namanya yang semakin indah memancar karena tergores dengan tinta hitam di
dalamnya. Ternyata kang Ahmad juga masuk dalam jurusan yang sama denganku, yaitu PGMI.
Aku sampai tak bisa membayangkan bahwa mungkin saja aku akan merasakan hal yang selama
ini telah terbayangkan yaitu kebahagiaan dengannya tanpa adanya lagi penghalang.

Aku sangat tidak sabar untuk bertemu dengannya saat itu, tapi hari dimana ospek tiba, aku
sama sekali tidak melihat bahunya sedikitpun, padahal aku sangat mengharapkan dia datang
dan mengetahui keberadaanku. Singkatnya hari hari berlalu, aku tetap bertanya dalam setiap
perjalanan kelasku dimana dia, dimana kang Ahmad berada. Di kelas apa ia, dan bagaimana
perubahannya setelah masuk bangku perkuliahan.
Indah tak selamanya bisa indah. Harapan tak selamanya bisa terwujud. Setelah beberapa tahun
aku memendam perasaan ini, menunggunya hingga sabar dan lelah yang tidak terbatasi. Saat
itu aku menemukan raganya dengan keadaan yang sangat berbeda. Kini kang Ahmad telah
berubah, yang semula sangat menjaga pandangan kepada setiap wanita kini tak lagi dia lakukan
. Kanan dan kirinya penuh dengan wanita yang cantik dan molek. Setiap pergaulannya selalu
bebas membaur dengan setiap wanita. Kenyataan ini sangat membuat aku terpukul dan sedih.

Kang Ahmad yang ku kira idaman semua mbak-mbak santri karena perilaku menjaganya,
ternyata kini ia lebih sering mendekati dan menggoda semua wanita yang melintas di depannya.
Pernah aku menegurnya, tapi jawabannya tak lain hanya mampu membuatku semakin terluka.

Ya Tuhan, perasaan yang ku simpan bertahun-tahun sekarang harus aku buang karena rasa
kecewa. Cinta suci yang ku jaga bertahun-tahun untuknya tak lain hanya di balas dengan
penghianatan di depan mata. Sakitku sudah tidak dapat tergambar dengan kata-kata. Aku hanya
mampu menangis di belakang sutradara. Orang yang aku dambakan, yang sangat aku percaya
kinintelah menghianati janji yang terucap sebelum aku pergi untuk memperdalam ilmu Agama.

Aku hanya bisa pasrah kepada sang pencipta. Semoga Tuhan menyadarkan kang Ahmad dan
menuntunnya kembali dalam keimanan. Semoga ia dapat mengingat betapa susah payahnya ia
menggali ilmu untuk mempelajari Agama, betapa sulitnya ia menggapai gelar sebagai seorang
hufad hufad Alqur'an. Semoga ia bisa tersadar akan kesalahan yang selama ini telah ia lakukan
di depanku maupun di depan Tuhan.

#end#

Anda mungkin juga menyukai