Part 1
Pagi itu rintik hujan tidak mau berhenti menetes dari langit. Bahkan sudah semalaman
jatuh tanpa kompromi. Banyak orang berharap reda, karena hujan pagi hari selalu
menyiratkan suasana hati orang yang sendu, tidak bersemangat, bahkan layu.
Termasuk sosok laki-laki yang sedari tadi murung di pojok ruangan. Berharap tak
ingin meneteskan air mata, tetapi ternyata ia tak bisa membendungnya karena suasana
hatinya yang sedang tak karuan.
“Matahari kamu kenapa? Sedari tadi dirimu murung dan sekarang matamu sembab.”
Tanyaku
“Aku sedih, karena tak ada orang yang memilihku. Bahkan seseorang yang
kudambakan lebih memilih orang lain daripada aku. Dia selalu mengabaikanku,
menjauhiku, dan tidak pernah memperhatikanku. Padahal kita pernah dekat tetapi
semakin lama dia meninggalkan ku.”
“Baik Matahari. Tak apa. Sedih boleh, jangan terlalu lama ya (?)” Bujukku
“Kamu percaya kan setiap orang bakal bertemu dengan orang yang tepat?”
“Iya percaya.”
“Aku yakin kamu akan bertemu dengan orang yang tepat nantinya.”
Lalu, ketika pagi sendu berubah menjadi terang, hujan berhenti untuk jatuh ke bumi.
Kemudian dari belakang Matahari, datang sosok perempuan yang sangat menawan.
Setelah pagi itu, Matahari merasa adalah orang yang paling beruntung. Hari-hari
setelahnya banyak tersisipkan senyum yang mengembang, wajah yang berseri, dan
tubuh yang energik. Pelangi, wanita yang sukses membuatnya seperti itu. Mereka
bertambah dekat. Bahkan sepaket. Disitu ada Pelangi pasti ada Matahari. Berangkat
dan pulang sekolahpun selalu bersama. Sampai 2 tahun setelah itu, mereka harus
merelakan untuk berpisah. Karena mereka harus menimba ilmu di tempat yang
berbeda. Matahari di Bandung, Pelangi di Jogja. Hingga 3 tahun berpisah, kedekatan
mereka mulai memudar. Pesan suarapun tak bisa mengobati rindu keduanya. Alih-alih
ketemu, hari libur mereka selalu berbeda. Kesibukan masing-masing tampak tak ada
jeda.
“Iya. Tapi kita berada dalam keadaan ketidakpastian. Aku tidak mau hanya karena
ketidakpastian ini, semua sesuatu berantakan.”
“Aku mohon Matahari. Kita sudah sama-sama dewasa. Yang kita butuhkan hanya
memperbaiki diri masing-masing. Jika takdirnya bersatu, tak ada yang menghalangi.”
Lanjut Pelangi
“Baik. Aku mengerti dan memahami. Semoga kita dipertemukan lagi.” Jawab
Matahari dengan berat hati.
Setelah pesan sore itu, hubungan mereka putus tak ada kabar. Terjadi begitu saja.
Hilang tenggelam dalam kehidupan mereka masing-masing. Tapi, perasaan mereka
masih sama. Hanya saja mereka sepakat ingin menjaga agar tidak jatuh ke dalam
ekspresi rasa yang salah. Kemudian hari-hari setelah itu, Pelangi melanjutkan
kegiatannya yang sedari awal tertarik ikut LDK dan Matahari yang akhir-akhir ini
juga penasaran dengan kajian-kajian di sekitar kampus yang selalu mendatangkan
ketenangan, katanya.
“Baik ya Allah jika ini sesuai dengan kehendak-Mu.” Hati Matahari menenangkan.
“……. Kita tidak akan tahu, siapa yang akan menjadi teman hidup kita. Entah orang
dari masa lalu ataupun orang yang baru saja kita temui. Entah rumahnya jauh ataupun
dekat. Entah orang kaya ataupun cukup. Entah suka jalan-jalan ataupun suka berdiam
di rumah. Tapi, yang pasti orang itu sanggup menerima kita dengan bijaksana.
Sekian”
Teman satu kelas sontak memberi tepuk tangan dan sambutan meriah karena
penampilanku.
“Hehe. Terimakasih.”
“Keren bulan, salut salut. Nanti aku dibuatin puisi khusus buat aku yaaaa!
Hahahaha.” Teriak salah satu temanku
“Yap. Oiya mbak Anin. Beliau sepertinya ada kenalan. Nanti kuhubungin.”
Semakin hari komunikasi kita semakin sering. Mulai dari kabar gembira, buruk, kabar,
posisi, dan sharing apapun. Tak ada jeda waktu untuk menyudahi percakapan kita.
Meskipun aku merasa aneh dengan kehadiran Matahari. Yang diam-diam membuatku
sedikit berubah terhadap pandangan laki-laki. Ternyata mereka juga mempunyai sisi
lain dalam hal perasaan. Jahil? Karakteristik sebagian orang. Matahari? Ah sudahlah.
Semakin hari otak tak ada habisnya memikirkan acara itu. Belibet. Tapi… disisi lain
aku mulai memikirkan Matahari. Apakah dia sudah makan? Apakah dia sudah
istirahat? Kenapa aku peduli dengan hal itu? Apakah itu penting?
Tiba tiba ada surat di tasku. Dan ada coklat. What? Matahari? Sontak malam itu aku
tidak bisa tidur. Senyum mengembang menjadi hobi malam itu. Angin menjadi lawan
bicaraku yang sedari tadi aku ngobrol sendiri.
“Apakah dia menyukaiku? Ah apa sih.” Tanyaku dengan senyum tipis yang tak ada
habisnya.
Acara terlaksana. Benar-benar ajaib. Sangat lancar. Walaupun ada kendala tapi masih
bisa dikendalikan. Sukses besar. Waktu itu jam 5.30 sore. Senja mulai muncul, daun
mulai berubah warna menjadi kuning karena sinar senja, burung mulai berkejaran,
angin seperti biasa memberikan kesejukan, dan lagu dari langit sore entah dari mana
terputar sore itu,
Mataku dan Matahari bertemu, indah. Dia tersenyum begitupun juga aku. Tak ada
jeda untuk berpaling. Benar-benar mirip drama Korea yang mengalami slow motion.
Kacau. Baru pertama kali aku mengalami ini. Apakah aku mulai menyukainya? Apa
secepat itu? Atau aku jatuh cinta? Dan dari jauh senja mulai berakhir, tapi perasaan
ini tidak.
“Makasih ya bulan. Maaf kalo selama ini aku ada salah sama kamu.”
Hari itu ditutup dengan lelah dan pipi yang merah. Ahh hari yang indah.
Kedekatan kita tak hanya sampai hari itu. Tambah dekat kita, sepaket. Bahkan diskusi
berdua, belajar berdua dan lainnya. Aku menikmatinya. Bahkan membuat hariku
selalu dipenuhi rasa suka, sama sekali tanpa duka. Tapi, suatu hari…
“Doakan apa?”
“Doakan aku pengen nembak si Andrea. Aku sudah lama suka dengannya. Wish me
luck.”
Deg! Jantung tak karuan, tangan tiba-tiba dingin. Perkataan itu menjadi tonjokan yang
sangat keras di kepala. Suasana hati tak karuan. Apa benar dia ingin menyatakan ke
orang lain? Padahal ada yang punya perasaan itu dan dia tepat dihadapannya. Dan hari
itu berubah 180° parah dan pasrah. Aku ingin tetap bersedia menjadi sahabatnya. Tapi,
hari itu aku mulai menjaga jarak dengannya. Dan stigma ku ke laki-laki berubah
seperti semula. Tak berperasaan.
Keesokan harinya, langit benar-benar sedang sendu. Meneteskan air hujan sejak
semalam. Tak berhenti. Bisingnya pun sama. Tak bisa diredam. Membuat jari
menggigil dan gigi yang berulang kali bergemeletuk. Jaket dan jas hujan kupakai
untuk menerjang hujan pagi itu. Perasaan semalam masih tinggal. Masih utuh dengan
kekecewaan.
Dari jauh pojok ruangan terlihat Matahari sedang murung dan merenung. Aku merasa
ingin tau. Meskipun dia sudah membuatku kecewa tapi dia masih sahabatku.
“Matahari kamu kenapa? Sedari tadi dirimu murung dan sekarang matamu sembab.”
Tanyaku dengan hati-hati.
“Aku sedih, karena tak ada orang yang memilihku. Bahkan seseorang yang
kudambakan lebih memilih orang lain daripada aku. Dia selalu mengabaikanku,
menjauhiku, dan tidak pernah memperhatikanku. Padahal kita pernah dekat tetapi
semakin lama dia meninggalkan ku.”
“Baik Matahari. Tak apa. Sedih boleh, jangan terlalu lama ya (?)” Bujukku
“Kamu percaya kan setiap orang bakal bertemu dengan orang yang tepat?”
“Iya percaya.”
“Aku yakin kamu akan bertemu dengan orang yang tepat nantinya.”
Matahari ditolak oleh Andrea. Tapi, aku sudah terlanjur kecewa dengannya. Dan
berjanji untuk menjaga jarak. Bukankah hati yang patah tak bisa kembali seperti
semula? Awalnya utuh, lalu dipecahkan, lalu disusun kembali dengan tidak sempurna.
Hari-hari setelah itu aku jarang untuk berkomunikasi dengan Matahari. Kabarnya dia
sedang dekat dengan Pelangi. Gadis cantik yang kabarnya sudah berstatus pacaran
dengan Matahari. Sedih? Pasti. Kecewa? So exactly. Tapi bagaimana lagi? Allah
sedang menegurku lewat dia. Tak ingin Dia cemburu hanya gara-gara mementingkan
cintaku pada makhluk-Nya. Kelas 3 aku mulai memantapkan diriku untuk masuk ke
universitas favorit di Jogja. Di jurusan kedokteran. Selain itu, aku ingin mulai
memperbaiki lagi hati yang sempat berantakan dengan mengikuti apapun kegiatan
yang bersifat positif. Dan akhirnya aku masuk. Dan Matahari? Masih dengan Pelangi
dan kabarnya mereka LDR-an. Matahari di Bandung dan Pelangi di Jogja.
Selang 3 tahun kemudian. Aku resmi menyandang gelar dokter. Yang sedang
melakukan internship di salah satu rumah sakit di Jogja. Suatu hari, ada undangan
pernikahan di meja ruang tamu. Pelangi dan Angin. Pelangi? Dengan orang lain?
Bagaimana perasaan Matahari? Matahari kamu pasti sedang kecewa, tapi maaf aku
tidak disisimu. Semoga kamu kuat. Dan kamu pasti akan dipertemukan dengan yang
terbaik nantinya, seperti doaku dulu kepadamu. Maaf aku ikut sedih.