Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nastiti Dwi

Lestari Kelas : XI MIPA 1

No.Absen : 26

Judul : Mentari dan Awan

Pagi tak akan cerah tanpa kehadiran matahari yang menyinari bumi. Namun
kehadirannya tidak akan membuai jika awan tak pernah hadir mendampinginya
memancarkan keanggunan karya tuhan. Matahari dan awan adalah pasangan paling
serasi di muka bumi ini. Mengalahkan pasangan romeo dan juliet. Kisah romantis
mereka memang tak pernah diceritakan dalam buku ataupun film namun keindahan
mereka tersaji harmoni di langit siang hari.

Dan ini adalah kisah tentang Mentari dan Awan di abad ini. Kisah tentang aku Tari dan
sahabat aku, eh lebih tepatnya soulmate aku, namanya Awan. Jangan tanya gimana
caranya aku bisa kenal dan sahabatan dengan Awan, karena aku juga nggak tau gimana
caranya nih cowok aneh bin ajaib bisa hadir dengan tiba-tiba dan jrenggg… jrenggg..
jrenggg menjelma menjadi sohib aku. Tapi kalau kalian tanya apa yang
mempertemukan aku dengan Awan, itu sangat gampang untuk aku jawab. Hujan, hujan
yang mempertemukan aku dengan Awan.

“Hujannya deras juga yah? Kapan berhentinya kalau begini?” Suara itu tiba-tiba muncul

“Jangan tanya sama aku. Aku bukan pawang hujan!” Jawabku datar

“Aku juga nggak nanya kamu pawang hujan atau bukan, aku kan Cuma nanya kapan
hujan ini berhenti. Lagian ngapain sih kamu berdoa di tempat kayak gini, di bawah
hujan lagi!”

“Aku nggak berdoa!”

“Kalau nggak berdoa ngapain itu tangan menengadah ke

atas?” “Aku lagi berusaha buat ngumpulin air hujan!”

“Buat apa?”

“Buat mandi peliharaan aku!”


Setelah beberapa lama kami berdua larut dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba dia
sudah tidak lagi berada di sampingku, dia menghilang entah kemana. Pertemuan
pertama memberiku kesan kalau dia adalah manusia unik.

“Cowok yang tadi mana yah? Aneh, yang tadi manusia atau jelangkung sih. Datang tak di
jemput pulang tak diantar. Eh iya cowok tadi namanya siapa yah?

Sosoknya yang unik semakin membuatku penasaran, siang itu sepulang sekolah aku
beralih profesi menjadi detektif dadakan. Ruang tata usaha adalah tempat pertama
yang kudatangi, disini sedikit informasi tentang cowok itu aku dapatkan. Namanya
Awan, dari jurusan MIPA, yang artinya dia satu jurusan dengan aku. Untuk kali ini
penyelidikan aku berakhir memuaskan, setidaknya aku tidak lagi menyebut dia cowok
aneh atau unik atau ajaib.

Mentari dan Awan memang ditakdirkan berpasangan, itu juga yang terjadi dalam hidup
aku. Pertemuan aku dengan Awan beberapa waktu yang lalu ternyata bukan yang
pertama dan terakhir kalinya kami bertemu. Yah, aku dan Awan kembali dipertemukan
oleh takdir di sebuah kegiatan sekolah. Kami sama-sama terpilih menjadi anggota
ekstrakurikuler, tidak hanya itu kami juga mendapat tugas ekstrakurikuler yang harus
dikerjakan 1 kelompok. Mungkin tuhan telah mentakdirkan Awan menjadi seseorang
dalam hidup aku.

“Hai ketemu lagi Awan!”

“Dari mana kamu tau nama aku?”

“Kita kan satu jurusan, nggak lupa

kan?” “Aku ingat Tari.”

“Kamu juga sudah kenal nama aku juga ternyata, salam kenal Awan!”

“Salam kenal juga Tari, semoga kita bisa menjadi teman yang baik.”
Awan adalah sebuah cerita yang tak akan pernah terhapus dalam catatan hidupku,
kehadirannya membuatku kembali percaya tentang arti sang sahabat. Awan
adalah lembaran kepercayaan yang kembali aku susun dalam bingkai hatiku. Awan
adalah nasib baik dalam hidupku yang sial ini. Awan adalah senyumanku yang
hilang, dan Awan adalah kisah yang tidak akan pernah tergantikan oleh kisah
apapun.

Dulu sebelum Awan datang dan membawa ceritanya dalam hidupku, luka karena terlalu
percaya akan indahnya persahabatan lebih dulu menuliskan kisahnya dalam lembar
hatiku. Luka yang membuatku tak percaya dan tak ingin lagi percaya tentang arti setia
seorang sahabat. Aku terluka, aku kecewa, aku sakit hati. Semua telah pergi
meninggalkan percah-percah hati yang tak seorang pun bisa mengurainya. Air mata
hanya bisa mengenangnya, kata-kata hanya bisa menyesalinya, jeritan hati hanya bisa
meratapinya dan pena hanya bisa menuliskannya.

Kucoba mengikat semua cerita itu dalam simpul kerelaan, namun semakin erat ikatan
itu semakin erat pula luka dan kekecewaan itu menggenggam sanubariku. Entah kenapa
aku sendiri pun tak berniat untuk membuka ikatan itu, ikatan yang sesungguhnya
sangat menyiksa batinku.

Dibatas kuatku melawan luka, di batas senyumku menahan air mata. Awan hadir dan
merangkai kembali percah-percah hatiku yang berantakan karena kecewa. Aku
mencoba menggapai uluran tangan itu, memberi satu ruang di hatiku. Aku mencoba
berdamai dengan semua yang telah terjadi meski semuanya diawali dengan kepura-
puraan.

Di batas kuatku, Pelan tapi pasti Awan bisa membuat ku bangkit meski harus merangkak.
Semua telah berubah dan semua tak lagi sama, kata-kata Jingga berusaha aku benarkan.

“Semua orang punya masa lalu Tari, dan aku mengerti menghapus masa lalu, tidak
gampang. Tapi hidup dengan masa lalu adalah awal dari kegagalan dalam hidup kamu!”

“Andai kamu datang jauh sebelumnya Awan, mungkin aku tidak akan jatuh sedalam ini.
Dia yang selama ini aku anggap sahabat, dia yang selama ini adalah warna dalam
hidupku. Namun ternyata dia juga yang telah memperkenalkan aku dengan luka dan
kecewa.”

“Seperti yang aku bilang tadi, semuanya memang tidak mudah. Dan tanpa aku pun
sebenarnya kamu bisa. Sayangnya kamu terlalu meratapi semuanya, sampai-sampai
kamu nggak mampu lagi untuk berdiri seperti yang dulu.”

“Kamu benar Awan, aku terlalu meratapi semuanya. Sampai aku lupa kalau masih ada
tempat untuk bahagia.”

“Pelangi saja masih bisa menampakkan keindahannya walau ia berada di antara


mendung, hujan pun tak pernah lelah untuk kembali hadir meski harus merasakan sakit
karena jatuh berkali-kali.”

“Tari coba kamu lihat bunga itu, dia tidak tak selamanya terlihat indah bermekaran
seperti itu, terkadang dia juga harus layu karena musim.”

Awan tidak sedang menghakimiku, atau bahkan membuatku semakin jatuh, sama sekali
tidak. Meski sering aku berpikir demikian. Awan juga tidak sedang membenarkan
langkahku selama ini yang hidup di bawah bayang-bayang masa lalu. Awan hanya
menjalankan perannya sebagai seorang sahabat, membantuku bangkit dan perlahan
menjauh dari masa lalu, membawaku pada kehidupan yang sebenarnya

Aku yang keras kepala mungkin sering membuat Awan merasa jengkel, marah atau
bahkan lebih dari itu. “Nggak Pernah merasakan yang namanya Sakit hati yah?”
Umpatku pada Awan suatu hari. Tersinggung, yah itu pasti yang dirasakan Awan,
namun Awan tidak pernah menampakkan atau bahkan melampiaskan sakitnya dengan
menjauhiku. Tapi sebaliknya.

“Tari mungkin selama ini kamu nggak suka dengan sikap aku, tapi yang harus kamu tau
Tari aku melakukan ini karena aku sayang sama kamu, aku ingin kamu kembali
tersenyum seperti dulu, aku mau kamu mendapat kebahagiaan kamu kembali, Cuma itu
Senja.”

“Terima kasih Awan untuk semua yang telah kamu lakukan buat aku. Seharusnya kamu
nggak perlu ngelakuian ini buat aku.”

“Sama-sama Tari, aku ngelakuin ini karena aku ingin kita seperti Mentari dan
awan yang saling melengkapi.”

“Mentari dan awan di langit?”

“Iya, seperti Mentari dan Awan yang saling melengkapi,awan selalu menyelimuti
dan mentari yang selalu menyinari. ”

“Hahaha lucu yah Awan, dua orang yang satu Awan dan yang satunya Mentari. Bertemu
dalam suasana yang berbeda. Tapi akan terus bersama nggak yah?”

“Awan tidak akan terlihat putih tanpa ada mentari mendampinginya, dan itu akan
berlaku selamanya. Begitu pun dengan kita.”

“Karena kita adalah Mentari dan Awan di kehidupan nyata, yang keharmonisan
dan keindahannya bukan karena lukisan alam, tetapi dilukis oleh sebuah kisah dan
air mata.”

Anda mungkin juga menyukai