Anda di halaman 1dari 3

Ketika angin berhembus kencang, pasti akan terasa melelahkan bagi dedaunan yang

melekat pada cabang pohon rapuh.


Lantas kenapa daun itu bersikap seolah semua baik-baik saja?
Memangnya siapa yang peduli jika daun itu menangis?
Seperti cabang yang berusaha menggenggam daun dengan erat. Semuanya sia-sia kala angin
hadir dan membawanya pergi tanpa arah.

Hujan yang turun dengan deras, sinar matahari yang begitu tajam. Aku selalu berlindung di
bawah pohon kokoh. Dengan tegak kau berdiri tegap dan melindungiku dengan segenap
jiwa ragamu. Memangnya siapa yang peduli jika kau mulai tumbang dan goyah?
Aku sudah baik-baik saja sekarang. Karenanya kau boleh ragu, goyah, bahkan menangis.
Pasti sulit kan untuk berpura-pura? Saking sulitnya, mungkin kau juga lupa sendiri
bagaimana rasanya bersikap banyak bersandiwara.

Ketika segalanya terasa sulit, jangan tersenyum seolah kau mendapatkan semangat dariku.

Biarkan, Lepaskan.
Berikan daun itu pada angin.
lepaskan ia jika telah pada waktunya ia harus pergi.

“Masih tidak ingin bicara?” Aku bertanya pada seorang perempuan yang duduk tepat di
depanku. Dia masih menunduk memainkan gadget nya didepanku. perempuan itu hanya
mengeluarkan gelengan pelan dan enggan berbicara.Aku menghela nafas kecewa. “Jika kau
sudah siap bercerita. Kau boleh datang padaku.” Dia masih saja diam dan Percakapan kami
terhenti sampai di situ. Aku sengaja memberinya waktu untuk berpikir dan menyelesaikan
masalahnya.

Satu hari, dua hari, tak terasa seminggu sudah aku dan dia tidak bertatap muka maupun
bertukar pesan. Rasanya aku ingin jalan jalan ke planet lain karena bumi terlalu
membosankan tanpa dia.

Malam memiliki seribu mata dan siang hanya memiliki satu mata. Namun, cahaya dunia
yang terang akan padam bersama padamnya cahaya matahari. Pikiran memiliki seribu mata
dan hati hanya memiliki satu mata.

Siang hari bumi hanya punya satu mata yaitu matahari. Malam hari bumi punya seribu mata
yaitu bulan, bintang beserta jajarannya. Pikiranku mungkin punya seribu mata untuk
menatap beragam pilihan. Tapi hatiku hanya punya satu mata. Dan mata itu hanya
mengarah padanya sejak lama.

Malam itu, dia datang dengan wajah lesu dan frustasi. Seberat apa masalahmu hingga
menghilangkan aura cantikmu?

Dari dulu aku tidak pernah bisa menerka pikirannya. Dia selalu tertutup dan penuh kejutan.
Dia menatap mataku dengan sendu. Hatiku seolah teriris nyeri melihat raut wajahnya.
Perlahan dia mendekat. Mengirim sinyal ‘aku butuh pelukanmu’ lewat isyarat tubunya. Aku
tidak berkata apapun lagi. Kupeluk dia dengan erat. Saat itu juga luruhlah tameng yang
susah payah ia bangun selama ini. Kuusap lembut bahunya yang bergetar karena menangis.

Kami saling menguatkan untuk beberapa menit. Sampai akhirnya dia mengurai pelukanku
dan menatap bola mataku dengan lekat.

“Kita akhiri saja hubungan ini.”

Kubilang dia misterius dan penuh kejutan. Apa ini juga bagian dari rencananya
mengejutkanku?

“Aku serius. Mulai sekarang kita tidak usah bertemu lagi.”

Aku terkesiap. Dia benar-benar serius. Aku tidak bisa melihat tatapan bercanda dari bola
matanya. Tapi aku memang tidak bisa membaca pikirannya. Mungkin saja dia sedang
membuat lelucon untuk menyenangkanku.

“Aku tahu kau hanya bercanda.”


“Tidak. Aku tidak pernah seserius ini.” jawabnya.
“Tapi kenapa?”
“Aku ingin berhenti menjadi lelaki brengsek.”

Bagiku dia adalah lelaki terbaik yang pernah ada. Dia yang membuatku kembali menemukan
harapan untuk hidup.

“Hei, siapa bilang kau brengsek?” kataku seraya menangkup wajah tampannya dengan
kedua tanganku.
“Menyakiti wanita dengan menduakannya bukankah itu termasuk tindakan seorang
bajingan?”

Ya, aku memang wanita serep. Aku cadangan saat wanita yang sebenarnya sedang tidak
ada. Aku memang bukan prioritas. Dan aku bahagia dengan itu. Selama aku mencintainya
dan dia juga mencintaiku, aku merasa itu sudah cukup.

“Apa aku serakah jika tetap ingin bersamamu?” tanyaku.


“Dia terlalu baik untuk mendapatkan sebuah pengkhianatan dari sahabatnya sendiri. Ayo
kita akhiri ini sekarang juga.”
“Tapi.. kau mencintaiku dan aku mencintaimu, lagipula dia tidak tahu perihal hubungan kita.
Lantas, apa yang perlu kau pusingkan?”
“Kau pikir, hubungan seperti ini akan tersimpan sampai maut menjemput?”

Aku menangis. Benar-benar menangis. Orang yang paling berharga di hidupku akan
meninggalkanku sebentar lagi.

“Sudahlah jangan menangis. Aku minta maaf, aku tahu ini menyakitimu. Kita lupakan saja.
Anggap saja kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Kau selalu berkata berikan daun itu
pada angin, lepaskan beban beratmu. Mulai sekarang aku ingin hidup tenang tanpa dihantui
rasa takut dan bersalah. Aku juga berharap kau hidup demikian.”

“Selama ini aku memintamu menyandarkan bebanmu padaku. Dan ternyata beban
terberatmu adalah aku.” Aku meninggalkannya dengan air mata yang sudah membanjiri
pipiku.

Kau selalu melindungiku dari hujan. Tapi kau tidak ingin berada dalam hujan yang sama
denganku. Selamat. Kau sudah memberikan daun kering itu pada angin.

Anda mungkin juga menyukai