Anda di halaman 1dari 6

Mutiara Tanpa Berlian

Senja akan beranjak. Langit keemasan mulai dibayang-bayangi malam yang akan
segera menjemput. Dia masih tenggelam dalam keasyikan menatap langit dan awan yang
berarak-arak membentuk beberapa rupa yang dia ciptakan dalam ruang imajinasinya sendiri.
Tidak ada seorangpun yang memikirkannya bahkan ketika hatinya terluka. Dia selalu
sendirian ketika membutuhkan dan dia tidak terlalu berharga untuk dibutuhkan. Setidaknya,
begitulah yang dia pikirkan tentang dirinya sendiri. Hanya seorang gadis di masa lalu yang
mampu membuat dia merasa berarti dan memiliki tujuan untuk hidup.
Suara

Mama

menyadarkannya

dari

lamunan

berkepanjangan.

Mama

mengingatkannya untuk segera mandi. Dengan langkah gontai dia masuk. Langkahnya
terhenti tatkala melihat seseorang keluar dari dalam rumah tetangga sebelah. Mereka saling
bertukar pandangan cukup lama, dengan tatapan yang sama-sama tajam. Hingga akhirnya dia
memilh untuk membuang muka dan meneruskan langkahnya. Hatinya terasa sedikit sakit dan
jantungnya berdegup kencang. Tanpa dia sadari air mata telah menggenang di pelupuk
matanya.
Mutiara dan Berlian, dua gadis yang telah bersahabat sejak kecil. Suka duka telah
mereka lewati bersama, setiap detail peristiwa yang berkesan tak pernah lekang dari ingatan
mereka.
Hingga akhirnya suatu masalah merusak tali persahabatan mereka. Tidak ada yang
menyangka hubungan mereka bisa retak begitu saja. Mutiara dan Berlian, tidak lagi memiliki
magnet untuk bersatu. Ada jarak yang cukup besar terbentang ditengah mereka. Dan itu
menjadi misteri yang tidak diketahui oleh siapapun selain mereka berdua dan Tuhan. Entah
apa yang dapat memulihkan hubungan mereka berdua. Tidak ada satupun di antara mereka
yang mencoba untuk memulai mengakhiri permusuhan itu.
Kamu bilang kita saling memiliki, padahal sebenarnya kita tidak pernah saling
memiliki. Semua janji yang kamu ucapkan selama ini hanya bualan yang menjijikkan. Kamu
pembohong! Jerit Berlian marah ditengah derai hujan deras yang mengguyur waktu itu.
Maafkan aku Ian . Hanya beberapa kata singkat itu yang mampu Mutiara ucapkan.
Air matanya yang jatuh mengalir tersembunyi dibalik guyuran hujan.

Aku benci kamu! Kita akhiri saja ini semua. Mulai sekarang, bersikaplah seolah-olah
kita tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Dan kalau bisa, jangan pernah muncul lagi di
hadapanku. Kau membuatku mual. Ciihh!

Berlian

berbalik dan meninggalkan tubuh

mungil Mutiara menggigil kedinginan ditengah hujan yang tak kunjung reda.
Mutiara masih mengingat jelas kejadian beberapa minggu lalu. Dia tidak akan pernah
bisa melupakan peristiwa penting itu.
Sore itu, Mutiara dan Berlian masih menunggu hujan reda di koridor depan kelas
mereka. Sekolah sudah sepi, hanya mereka berdua yang kelihatannya masih berada di koridor
sekolah. Tangan mereka saling menggengam erat, Mutiara menyandarkan kepalanya di
pundak Berlian. Suara petir menggelegar bersahut-sahutan, membuat suasana menjadi begitu
mencekam. Sore itu Mutiara lebih banyak diam dan merenung. Tidak seperti dirnya yang
biasa cerewet dan usil.
Berlian meraih dagu Mutiara dan menatap matanya, mencoba menyelami apa yang
gadis itu sembunyikan. Sorot mata Mutiara tidak berbinar seperti biasanya dia menatap
Berlian. Pandangan itu terkesan hampa dan kelelahan.
Kamu kenapa ? Berlian mendekatkan wajahnya pada Mutiara, bibir mereka hanya
berjarak beberapa centi.
Aku bingung dan lelah. Bisik Mutiara dan melepaskan genggamannya. Dia
menggeser duduknya dan menjauh dari Berlian. Dia melemparkan pandangannya ke arah
lain, menghindari tatapan tajam Berlian yang meminta penjelasan.
Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku ?
Nggg... aku merasa ada yang salah dengan ini semua.
Apa? Ketus Berlian.
Kita sudah melangkah terlalu jauh, melewati batas yang seharusnya tidak boleh kita
jalani. Aku menyerah, Ian. Ini semua tidak benar, kita harus memperbaiki ini semua.
Butiran-butiran air bening menetes membasahi pipi tembem Mutiara.
Kamu ngawur Tiara . Kamu kelelahan sehingga mengucapkan hal yang tidak pantas
begitu. Ayo pulang! Aku bisa gila kalau kamu terus ngigau begitu. Berlian menarik
pergelangan tangan Mutiara dan memaksanya berjalan ditengah guyuran hujan.

Mutiara menarik pergelangan tangannya yang terasa sakit. Kita sudah melanggar
batas kewajaran. Aku ingin normal seperti gadis lainnya.
Normal kamu bilang? Kita sudah ditakdirkan untuk hidup seperti ini. Tidak akan ada
yang bisa kamu ubah selain menerimanya. Berhentilah menjadi orang munafik. Berlian
mengguncang-guncangkan pundak Mutiara.
Tapi ini semua salah! Mutiara berlari meninggalkan Berlian. Tetapi cengkraman
tangan Berlian yang kuat menahannya.
Salah siapa kita ditakdirkan untuk menyukai sesama jenis seperti ini hah ? Salah
siapa ? Jawab aku! Berlian menggeram marah, matanya membelalak dan tangannya
mencengkram pergelangan tangan Mutiara semakin kuat.
Aku hanya ingin hidup normal Ian. Mutiara menangis terisak-isak.
Sejak sore itu segalanya berubah. Mereka berdua mulai sibuk dengan diri dan dunia
masing-masing. Saling menahan rindu demi keinginan untuk hidup normal. Semua orang
bingung, semua orang bertanya-tanya, tetapi mereka hanya diam seribu bahasa meninggalkan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.
Mereka sama-sama saling merasa sakit dan kehilangan. Sama-sama harus mengakhiri
rasa yang tengah bergejolak di antara mereka. Mereka berdua hanya gadis remaja biasa yang
sedang mencoba menata hati dan perasan. Mereka sedang menghadapi kenyataan hidup yang
begitu pahit
Hingga suatu hari, sepucuk surat terselip di buku catatan Mutiara. Sepucuk surat
beramplop ungu. Ungu adalah warna favorit Mutiara dan Berlian. Dengan jantung yang
berdegup kencang dan tangan yang sedikit bergetar Mutiara membaca isi surat itu. Pesan
sederhana, ditulis dengan acak-acakan.
Tolong temui aku di taman belakang sekolah.
Aku berjanji dengan seluruh nafasku, aku tidak akan menyakitimu.
Hanya sebentar, kumohon. Pukul 3 sore nanti. Aku menunggu.
Mutiara tidak sabar menunggu waktu itu. Dia berdandan secantik mungkin. Simple,
tapi menawan. Ada keinginan yang hebat untuk tampil cantik di depan Berlian setelah sekian

lama tidak ada pertemuan seperti ini di antara mereka. Tidak bisa dia pungkiri, perasaan
sayang itu masih tersimpan jauh di lubuk hatinya sekeras apapun dia berusaha menguburnya.
Sore itu angin berhembus sepoi-sepoi, rambut panjang Mutiara berkibar-kibar indah.
Langkahnya terhenti menatap punggung Berlian yang duduk membelakanginya.
Hai. Bisik lidahnya terasa kelu.
Hai! Berlian berbalik dan memamerkan senyum termanisnya. Rambutnya yang
pendek mulai memanjang dan diberi bando. Tidak seperti Berlian yang biasanya. Berlian
tidak pernah tampil sefeminim itu.
Dia menepuk bangku yang kosong disebelahnya. Sini duduk.
Apa kabar ?
Baik. Kamu ?
Tidak pernah baik sejak kehilangan kamu. Berlian menatap mata Mutiara.
Kamu mau bilang apa ? Aku tidak boleh berlama-lama disini. Ujar Mutiara gugup.
Hanya ingin mengucapkan salam perpisahan kepada orang yang kucintai. Sahut
Berlian tercekat.
Maksud kamu apa?
Aku cuman mau mengucapkan terimakasih atas segala kebersamaan yang udah kita
jalani selama ini. Mulai dari kita bermain bersama di waktu kecil, hingga tanpa kita sadari
ada perasaan yang tidak wajar muncul diantara kita ketika beranjak dewasa. Semuanya indah,
setiap duka maupun suka yang pernah kita lalui. Berlian menatap lurus ke depan, ke arah
taman bunga yang bunganya mulai bermekaran.
Mutiara menatapi wajah gadis itu. Gadis yang selama ini menjadi sosok yang
melindunginya dan menjaganya layaknya seorang pria. Gadis yang selalu mengisi hariharinya sehingga terasa berharga.
Aku tidak mengerti.
Aku akan pergi ke luar negri. Ingin memulai segala sesuatunya dari awal, belajar
untuk menjalani hidup seperti gadis normal pada umumnya. Belajar melupakan kamu, tapi

tidak akan pernah mengubur kenangan tentang kamu. Kamu betul, kita tidak boleh terus
menerus terjebak pada perasaan yang tidak wajar. Kita berdua tahu ini adalah hal yang
terlarang.
Tanpa disadari oleh dirinya sendiri, air mata Mutiara mengalir deras. Dia menggigit
bibirnya menahan rasa sakit di dadanya dan membenamkan wajahnya dibalik kedua telapak
tangannya.
Berikan aku pelukan perpisahan, Tiara. Bisik Berlian lembut.
Maafkan aku Ian. Hanya itu yang mampu ia ucapkan.
Mereka saling merangkul, berurai air mata dan melepas kerinduan yang menyiksa
mereka selama ini.
Kelak kalau kita berjumpa, aku ingin lihat kita saling memperkenalkan pria
pendamping hidup kita. Bukan seorang wanita. Kau harus bahagia tanpa aku Tiara. Berlian
mengecup lembut kening Tiara. Untuk yang terakhir kalinya.
Janji. Aku berjanji. Kita akan tetap bersama walau dipisahkan jarak, kita akan tetap
saling memiliki sebagai seorang sahabat. Aku menyayangimu.
Mereka berdua saling menautkan jari kelingking mereka.
Bunga-bunga yang bermekaran itu menjadi saksi kita ya. Ujar Tiara ditengah isak
tangisnya.
Iya. Sekarang ijinkan aku merasakan bibirmu yang indah untuk pertama dan yang
terakhir kalinya. Berlian mengangkat dagu Mutiara.
Mutiara hanya memejamkan matanya. Dan yang ia rasakan hanyalah jari Berlian yang
menghapus lembut air matanya. Tidak ada ciuman seperti yang ia bayangkan, yang ada hanya
pelukan lembut dari seorang gadis yang sangat dikasihinya.

BIODATA PENULIS

Nama

: Natanya Aloifolia Munthe

Tempat/ Tanggal Lahir

: Medan, 04 Agustus 1995

Status

: Mahasiswa

Jurusan/ Fakultas

: Akuntansi / PDEB SV UGM 2013

No. Handphone

: 085270096022

Alamat

:Jl. Kuningan Blok H No.43 RT / RW 08/04 Selatan


Lembah UGM, Sleman, DIY

Anda mungkin juga menyukai