B iru membuka pintu kamar Andira yang sudah bersih dan wangi pembersih lantai. Ia melihat sang ibu masih berbaring menghadap samping. Dari posisi ini saja, Biru sudah bisa mengerti jika Andira tidak sudi melihat Karang yang sedari tadi membersihkan muntahan mereka. Ingin rasanya Biru berkata kasar kepada wanita yang telah melahirkan mereka itu, tetapi Biru mencoba bersabar karena ibunya sedang sakit. Biru juga tak ingin mengecewakan Karang yang sudah menaruh harapan besar jika ia bisa membuat ibu mereka cepat pulih kembali. “Mama minum obat dulu, ya,” ujar Biru. Andira segera berbalik setelah mendengar suara putra keduanya. “Iya,” jawabnya pelan. Wanita itu kemudian bangun dari baringannya untuk bersandar di kepala ranjang. Biru memberikan Andira obat sesuai dengan pesan dan arahan Mbok Jum. Setelah itu Biru menggenggam tangan ibunya untuk meminta maaf sesuai dengan keinginan Karang. “Maafin Biru ya, Ma. Karena Biru sudah bikin Mama sakit.” “Bukan salah kamu Mama sakit, Sayang. Mama memang kecapekan,” jelas Andira sembari mengusap pucuk kepala putra keduanya tersebut. Biru kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Andira. “Apa pun yang Biru katakan sama Mama, jangan diambil hati. Mama kan tahu sendiri kalau mulut Biru emang kayak kaleng rombeng.” Andira terkekeh kecil mendengarnya. “Mama tidak pernah masukin ke dalam hati apa pun yang kamu katakan. Mama anggap itu hanya cara kamu untuk mengekspresikan rasa kesal dan marah kamu kepada Mama,” balas Andira dengan nada lembut. “Biru sayang Mama,” ucap Biru tulus. Andira membelai rambut putranya yang hitam berkilau terkena pantulan lampu kamar. “Biru anak Mama. Kamu adalah harta tak ternilai yang Tuhan berikan untuk Mama. 2 Aku Tak Membenci Hujan Mama menyayangimu lebih dari yang kamu pikirkan.” Andira menunduk untuk mencium kening Biru dengan penuh kasih sayang. “Mama bisa bertahan sampai sekarang ini karena kamu, Sayang. Terima kasih.” Sementara di luar kamar Andira, ada sepasang mata yang terlihat cemburu dengan kebersamaan mereka. Terlihat Karang sedang mengintip kemesraan Ibu dan adiknya dari celah pintu kamar Andira yang sedikit terbuka. Ia tersenyum perih mengenang dirinya yang tak pernah dianggap ada selama ini oleh wanita yang ia panggil Mama. Anak malang itu berdiri di ambang pintu sembari menatap Biru yang menerima berjuta kasih sayang dari Ibu mereka dengan air mata berlinang. Dengan perlahan, Karang mulai memeluk tubuhnya menggunakan tangan kiri, kemudian tangan kanannya bergerak naik untuk membelai kepalanya sendiri. Di tengah air mata yang berlinang, ia berkata, “Karang anak Mama. Kamu adalah harta tak ternilai yang Tuhan berikan untuk Mama. Mama menyayangimu lebih dari yang kamu pikirkan.” Anak terbuang itu sedang memperagakan adegan Ibu dan adiknya yang sedang ia saksikan dari balik pintu. Karang mempraktikkan adegan itu dengan air mata bercucuran. Ia tersenyum senang melihat ibu dan adiknya yang sudah berbaikan. Namun, di dalam hatinya ia begitu terluka. Selama delapan belas tahun ini, ia hanya bisa menjadi penonton tanpa pernah bisa merasakan bagaimana hangatnya pelukan seorang Ibu. Pramana yang pulang lebih awal dari kantor dan ingin naik ke kamarnya tiba–tiba berhenti di ujung tangga saat melihat Karang berdiri mengintip kamar Andira dari celah pintu yang terbuka. Pramana bisa melihat dan mendengar dengan jelas apa yang sedang dilakukan oleh Karang, dan hal tersebut membuat Pramana terduduk lemas di salah satu anak tangga. Hatinya hancur berkeping-keping saat melihat Karang melakukan hal demikian. Pria itu merasa sangat gagal menjadi seorang ayah. Ia merasa sangat gagal memberikan kebahagiaan tak seberapa itu
Aku Tak Membenci Hujan 3
kepada Karang. Dadanya terasa sangat sesak, seolah–olah ada bongkahan batu besar yang sedang menindihnya. Pramana tak mampu menahan air matanya, rasanya ia ingin berteriak saat itu juga. Namun, ia tak bisa melakukannya. Karena jarak ia dan Karang hanya terpaut beberapa meter saja. Pramana tak ingin Karang sampai mendengar suara tangisnya. Lantas yang ia lakukan adalah menggigit tangannya untuk meredam suara tangis dan menyalurkan rasa sakit yang sedang ia rasakan, tetapi lagi-lagi ucapan Karang membuatnya terhenyak. “Ma… Lihat Karang sekali saja. Karang ada di sini. Karang juga ingin dipeluk Mama. Karang juga anak Mama, kan? Karang juga lahir dari rahim Mama, kan? Jadi apa bedanya Karang dengan Biru? Kenapa kasih sayang Mama harus terbelah seperti ini?” Kata–kata Karang membuat Pramana tak mampu menahan perasaan. Pria itu segera beranjak dari duduknya dan berlari menghampiri putranya yang berdiri sendirian dengan isak tangis yang ia tahan. Dengan cepat Pramana membalik tubuh putranya, membenamkan tubuh rapuh yang sedang menangis itu ke dalam pelukan hangatnya. “Papa di sini, Mas. Papa bisa lihat Mas Karang. Papa akan memeluk Mas Karang selama yang Mas Karang inginkan. Kasih sayang Papa tidak berbeda. Papa menyayangi Mas sama seperti Papa menyayangi Biru.” Tangis Karang pecah. Namun, Karang segera menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Ia tak ingin jika tangis itu sampai terdengar oleh Biru dan Andira. “Papa… Karang—” Karang menjeda ucapanya. Hatinya terlalu sakit sampai ia tak mampu lagi melanjutkan kalimatnya. “Sesak ya, Mas? Pasti sakit sekali,” lirih Pramana. Karang mengangguk dalam pelukan Pramana. ”K-kenapa Karang berbeda, Pa?” tanya Karang dengan isak tangis yang terdengar pilu. Pramana menepuk–nepuk punggung Karang untuk
4 Aku Tak Membenci Hujan
menenangkannya. “Bagi Papa tidak ada yang berbeda dari Biru dan Mas. Mas masih tetap anak kesayangan Papa.” “Tapi, Mama...?” “Jangan pedulikan Mamamu. Suatu hari nanti, Mama pasti bisa menyayangi Mas seperti Mama menyayangi Biru. Mas harus ingat satu hal, jika Biru mempunyai Mama di sisinya, Mas masih mempunyai Papa yang bisa Mas andalkan. Memang benar jika tangan Papa tidak selembut dan selentik Mama. Tapi, tangan Papa sangat mampu untuk menarik tangan Mas saat Mas terjatuh. Tangan Papa masih sangat Mampu untuk mengusap air mata Mas saat Mas menangis, dan tangan Papa sangat mampu untuk menengadah pada Allah, berdoa agar Mas selalu bahagia.” Sementara ayah dan anak tersebut hanyut dalam tangis, terlihat Mbok Jum di lantai satu sedang menatap mereka dengan penuh rasa haru. Wanita yang Karang anggap sebagai Ibu sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah keluarga Daneswara sepuluh tahun lalu, terlihat menangis sambil berdiri dan mendongak menatap mereka. Wanita yang sudah berumur lebih dari setengah abad tersebut menangis sambil meremas piring nasi goreng yang hendak ia bawakan untuk Karang. Mbok Jum tahu betul, bagaimana perih dan nelangsanya hidup anak asuhnya itu meskipun tak pernah sekali saja Karang membenci salah satu dari mereka yang sudah membuat hidupnya menderita. Anak malang itu selalu berkata, “Ini bukan salah Mama atau mereka, Mbok. Ini adalah salah Karang yang lahir tanpa diinginkan. Sesuatu yang datang tanpa diminta, akan terasa memberatkan. Begitu juga dengan Karang. Hanya bisa menjadi beban untuk mereka.” Begitu putihnya hati Karang. Seorang anak yang terlahir berkubang lumpur. Sayangnya, hati Andira seolah–olah sudah terkunci rapat untuk menerima kehadiran putranya itu. Karang yang sudah merasa lebih tenang, meminta izin kepada sang Ayah untuk masuk ke dalam kamar. “Karang istirahat dulu,
Aku Tak Membenci Hujan 5
Pa. Bentar lagi Biru keluar. Nanti Biru lihat kita di sini. Karang nggak mau Biru sedih ngelihat keadaan Karang.” “Kenapa Mas masih memikirkan perasaan Biru di saat Mas sendiri membutuhkan perhatian?” “Karena Karang adalah seorang kakak, dan Biru adalah adik Karang yang harus Karang lindungi. Entah itu tubuh atau hatinya. Karang nggak mau adik Karang terluka walau itu sedikit saja.” “Mas Karang.” Pramana menyeka kedua mata Karang yang sesekali masih meneteskan air mata, “Mas tahu? Mas itu adalah anak surga yang Allah hadiahkan untuk Papa. Papa adalah salah satu orang tua yang beruntung mendapatkan Mas dalam hidup Papa. Mas adalah kebanggaan Papa. Jagoan Papa yang tiada tandingannya.” Pramana memperbaiki kerah baju Karang yang sedikit menyamping. “Tidurlah yang nyenyak malam ini. Karena hari esok pasti akan lebih baik.”