Anda di halaman 1dari 7

SPOILER

AKU TAK
MEMBENCI
HUJAN

Aku Tak Membenci Hujan 1


B iru membuka pintu kamar Andira yang sudah bersih dan
wangi pembersih lantai. Ia melihat sang ibu masih berbaring
menghadap samping. Dari posisi ini saja, Biru sudah bisa
mengerti jika Andira tidak sudi melihat Karang yang sedari tadi
membersihkan muntahan mereka. Ingin rasanya Biru berkata
kasar kepada wanita yang telah melahirkan mereka itu, tetapi
Biru mencoba bersabar karena ibunya sedang sakit. Biru juga tak
ingin mengecewakan Karang yang sudah menaruh harapan besar
jika ia bisa membuat ibu mereka cepat pulih kembali.
“Mama minum obat dulu, ya,” ujar Biru.
Andira segera berbalik setelah mendengar suara putra
keduanya. “Iya,” jawabnya pelan. Wanita itu kemudian bangun
dari baringannya untuk bersandar di kepala ranjang.
Biru memberikan Andira obat sesuai dengan pesan dan arahan
Mbok Jum. Setelah itu Biru menggenggam tangan ibunya untuk
meminta maaf sesuai dengan keinginan Karang.
“Maafin Biru ya, Ma. Karena Biru sudah bikin Mama sakit.”
“Bukan salah kamu Mama sakit, Sayang. Mama memang
kecapekan,” jelas Andira sembari mengusap pucuk kepala putra
keduanya tersebut.
Biru kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Andira.
“Apa pun yang Biru katakan sama Mama, jangan diambil hati.
Mama kan tahu sendiri kalau mulut Biru emang kayak kaleng
rombeng.”
Andira terkekeh kecil mendengarnya. “Mama tidak pernah
masukin ke dalam hati apa pun yang kamu katakan. Mama
anggap itu hanya cara kamu untuk mengekspresikan rasa kesal
dan marah kamu kepada Mama,” balas Andira dengan nada
lembut.
“Biru sayang Mama,” ucap Biru tulus.
Andira membelai rambut putranya yang hitam berkilau
terkena pantulan lampu kamar. “Biru anak Mama. Kamu
adalah harta tak ternilai yang Tuhan berikan untuk Mama.
2 Aku Tak Membenci Hujan
Mama menyayangimu lebih dari yang kamu pikirkan.” Andira
menunduk untuk mencium kening Biru dengan penuh kasih
sayang. “Mama bisa bertahan sampai sekarang ini karena kamu,
Sayang. Terima kasih.”
Sementara di luar kamar Andira, ada sepasang mata yang
terlihat cemburu dengan kebersamaan mereka. Terlihat Karang
sedang mengintip kemesraan Ibu dan adiknya dari celah
pintu kamar Andira yang sedikit terbuka. Ia tersenyum perih
mengenang dirinya yang tak pernah dianggap ada selama ini oleh
wanita yang ia panggil Mama. Anak malang itu berdiri di ambang
pintu sembari menatap Biru yang menerima berjuta kasih sayang
dari Ibu mereka dengan air mata berlinang.
Dengan perlahan, Karang mulai memeluk tubuhnya
menggunakan tangan kiri, kemudian tangan kanannya bergerak
naik untuk membelai kepalanya sendiri. Di tengah air mata
yang berlinang, ia berkata, “Karang anak Mama. Kamu adalah
harta tak ternilai yang Tuhan berikan untuk Mama. Mama
menyayangimu lebih dari yang kamu pikirkan.” Anak terbuang
itu sedang memperagakan adegan Ibu dan adiknya yang sedang
ia saksikan dari balik pintu.
Karang mempraktikkan adegan itu dengan air mata
bercucuran. Ia tersenyum senang melihat ibu dan adiknya yang
sudah berbaikan. Namun, di dalam hatinya ia begitu terluka.
Selama delapan belas tahun ini, ia hanya bisa menjadi penonton
tanpa pernah bisa merasakan bagaimana hangatnya pelukan
seorang Ibu.
Pramana yang pulang lebih awal dari kantor dan ingin naik
ke kamarnya tiba–tiba berhenti di ujung tangga saat melihat
Karang berdiri mengintip kamar Andira dari celah pintu yang
terbuka. Pramana bisa melihat dan mendengar dengan jelas apa
yang sedang dilakukan oleh Karang, dan hal tersebut membuat
Pramana terduduk lemas di salah satu anak tangga. Hatinya
hancur berkeping-keping saat melihat Karang melakukan hal
demikian. Pria itu merasa sangat gagal menjadi seorang ayah. Ia
merasa sangat gagal memberikan kebahagiaan tak seberapa itu

Aku Tak Membenci Hujan 3


kepada Karang. Dadanya terasa sangat sesak, seolah–olah ada
bongkahan batu besar yang sedang menindihnya. Pramana tak
mampu menahan air matanya, rasanya ia ingin berteriak saat itu
juga.
Namun, ia tak bisa melakukannya. Karena jarak ia dan Karang
hanya terpaut beberapa meter saja. Pramana tak ingin Karang
sampai mendengar suara tangisnya. Lantas yang ia lakukan
adalah menggigit tangannya untuk meredam suara tangis dan
menyalurkan rasa sakit yang sedang ia rasakan, tetapi lagi-lagi
ucapan Karang membuatnya terhenyak.
“Ma… Lihat Karang sekali saja. Karang ada di sini. Karang
juga ingin dipeluk Mama. Karang juga anak Mama, kan? Karang
juga lahir dari rahim Mama, kan? Jadi apa bedanya Karang
dengan Biru? Kenapa kasih sayang Mama harus terbelah seperti
ini?”
Kata–kata Karang membuat Pramana tak mampu menahan
perasaan. Pria itu segera beranjak dari duduknya dan berlari
menghampiri putranya yang berdiri sendirian dengan isak
tangis yang ia tahan. Dengan cepat Pramana membalik tubuh
putranya, membenamkan tubuh rapuh yang sedang menangis
itu ke dalam pelukan hangatnya. “Papa di sini, Mas. Papa bisa
lihat Mas Karang. Papa akan memeluk Mas Karang selama yang
Mas Karang inginkan. Kasih sayang Papa tidak berbeda. Papa
menyayangi Mas sama seperti Papa menyayangi Biru.”
Tangis Karang pecah. Namun, Karang segera menutup
mulutnya dengan kedua telapak tangan. Ia tak ingin jika tangis
itu sampai terdengar oleh Biru dan Andira. “Papa… Karang—”
Karang menjeda ucapanya. Hatinya terlalu sakit sampai ia tak
mampu lagi melanjutkan kalimatnya.
“Sesak ya, Mas? Pasti sakit sekali,” lirih Pramana.
Karang mengangguk dalam pelukan Pramana. ”K-kenapa
Karang berbeda, Pa?” tanya Karang dengan isak tangis yang
terdengar pilu.
Pramana menepuk–nepuk punggung Karang untuk

4 Aku Tak Membenci Hujan


menenangkannya. “Bagi Papa tidak ada yang berbeda dari Biru
dan Mas. Mas masih tetap anak kesayangan Papa.”
“Tapi, Mama...?”
“Jangan pedulikan Mamamu. Suatu hari nanti, Mama pasti
bisa menyayangi Mas seperti Mama menyayangi Biru. Mas
harus ingat satu hal, jika Biru mempunyai Mama di sisinya,
Mas masih mempunyai Papa yang bisa Mas andalkan. Memang
benar jika tangan Papa tidak selembut dan selentik Mama. Tapi,
tangan Papa sangat mampu untuk menarik tangan Mas saat Mas
terjatuh. Tangan Papa masih sangat Mampu untuk mengusap air
mata Mas saat Mas menangis, dan tangan Papa sangat mampu
untuk menengadah pada Allah, berdoa agar Mas selalu bahagia.”
Sementara ayah dan anak tersebut hanyut dalam tangis,
terlihat Mbok Jum di lantai satu sedang menatap mereka dengan
penuh rasa haru. Wanita yang Karang anggap sebagai Ibu sejak
ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah keluarga Daneswara
sepuluh tahun lalu, terlihat menangis sambil berdiri dan
mendongak menatap mereka. Wanita yang sudah berumur lebih
dari setengah abad tersebut menangis sambil meremas piring nasi
goreng yang hendak ia bawakan untuk Karang. Mbok Jum tahu
betul, bagaimana perih dan nelangsanya hidup anak asuhnya itu
meskipun tak pernah sekali saja Karang membenci salah satu dari
mereka yang sudah membuat hidupnya menderita.
Anak malang itu selalu berkata, “Ini bukan salah Mama
atau mereka, Mbok. Ini adalah salah Karang yang lahir tanpa
diinginkan. Sesuatu yang datang tanpa diminta, akan terasa
memberatkan. Begitu juga dengan Karang. Hanya bisa menjadi
beban untuk mereka.”
Begitu putihnya hati Karang. Seorang anak yang terlahir
berkubang lumpur.
Sayangnya, hati Andira seolah–olah sudah terkunci rapat
untuk menerima kehadiran putranya itu.
Karang yang sudah merasa lebih tenang, meminta izin kepada
sang Ayah untuk masuk ke dalam kamar. “Karang istirahat dulu,

Aku Tak Membenci Hujan 5


Pa. Bentar lagi Biru keluar. Nanti Biru lihat kita di sini. Karang
nggak mau Biru sedih ngelihat keadaan Karang.”
“Kenapa Mas masih memikirkan perasaan Biru di saat Mas
sendiri membutuhkan perhatian?”
“Karena Karang adalah seorang kakak, dan Biru adalah
adik Karang yang harus Karang lindungi. Entah itu tubuh atau
hatinya. Karang nggak mau adik Karang terluka walau itu sedikit
saja.”
“Mas Karang.” Pramana menyeka kedua mata Karang yang
sesekali masih meneteskan air mata, “Mas tahu? Mas itu adalah
anak surga yang Allah hadiahkan untuk Papa. Papa adalah salah
satu orang tua yang beruntung mendapatkan Mas dalam hidup
Papa. Mas adalah kebanggaan Papa. Jagoan Papa yang tiada
tandingannya.”
Pramana memperbaiki kerah baju Karang yang sedikit
menyamping. “Tidurlah yang nyenyak malam ini. Karena hari
esok pasti akan lebih baik.”

***

6 Aku Tak Membenci Hujan


Aku Tak Membenci Hujan 7

Anda mungkin juga menyukai