Anda di halaman 1dari 84

EBOOK SPESIAL PART

ULANG TAHUN IQBAL

BY

LULUK HF
WAJIB DIBACA

Hai, teman-teman semua. Sebelumnya aku ucapkan


terima kasih banyak kepada teman-teman semua yang
sudah beli Ebook Spesial Part Ulang Tahun Iqbal.

Dan, aku ingin menjelaskan bahwa cerita di Spesial


Part ini tidak berhubungan dengan alur Mariposa 2 di
wattpad. Jadi, jangan disangkut pautkan ya. Alur yang
dipakai di cerita Mariposa 2 tetaplah alur yang sudah
diceritakan di wattpad.

Spesial part ini aku buat hanya untuk have fun aja dan
menghibur pembaca yang ingin baca versi plot lain di
Spesial Part Ulang tahun Iqbal.

SELAMAT MEMBACA DAN SEMOGA SUKA.


ATTENTION

1. Seluruh materi di dalam Ebook Spesial Part Ulang


Tahun Iqbal ini merupakan hasil karya penulis. Jika
ada yang melakukan penjualan tanpa seizin penulis
maka dilakukan secara ilegal. Karena hasil karya ini
dilindungi undang- undang.
2. Penulis melakukan proteksi file untuk melindungi
karyanya. Jadi jangan sampai disebarluaskan secara
ilegal. Karena akan merugikan penulis dan pembaca
yang sudah melakukan pembelian.
3. Tim akan selalu memantau peredaran Ebook Spesial
Part Ulang Tahun Iqbal. Jika ada yang menjual tanpa
izin akan kami bawa ke jalur hukum. Mari perangi
pembajakan karya penulis. Jangan rugikan penulis
dengan tindakan tidak bertannggung jawab.
4. Mari saling jaga dan mengingatkan. Jika ada teman,
sahabat atau kenalan yang menjual kembali Ebook
Spesial Part Ulang Tahun Iqbal. Segera lakukan
laporan ke tim Luluk HF. Karena akan segera di
proses secara hukum.

Selamat membaca dan jadilah pembaca yang bijak.

Dilarang menggandakan, menyebarkan dan


mendistribusikan Ebook Spesial Part Ulang Tahun Iqbal
tanpa seizin penulis. Mari jaga bersama karya penulis.
Silahkan saling melaporkan jika ada yang menyebarkan
tanpa izin.

Hak cipta dilindungi undang-undang All right reserved


Edisi I, November 2021
Dikelolah oleh HF Creations
SELAMAT ULANG TAHUN IQBAL

Acha memasukan kembali kue yang ada di meja ke


dalam kotaknya dengan hati-hati. Setelah memberikan
kejutan untuk Iqbal di rooftop, Acha mengajak Iqbal
untuk kembali ke Apartmen. Karena, semua teman-
teman sudah menunggu di sana.
Setelah yakin tidak ada yang ketinggalan, Acha
segera turun dari rooftop menghampiri Iqbal yang
sedang merapikan lilin-lilin di lantai satu.
“Iqbal,” panggil Acha sampai di tangga terakhir.
Iqbal menoleh ke Acha sebentar.
“Sudah selesai semua?”
“Sudah. Acha bantu Iqbal ya.”
“Nggak usah, lo duduk aja,” cegah Iqbal.
“Tapi masih banyak…”
“Duduk, Acha. Gue aja.”
Acha mengangguk, memilih menurut. Ia berjalan ke
salah satu kursi yang tak jauh dari Iqbal. Acha
memperhatikan Iqbal yang begitu fokus, senyum Acha
mengembang tipis. Kejadian di rooftop tak bisa berhenti
berputar di kepalanya.
Ciuman pertama mereka yang sangat hangat. Acha
akan selalu mengingatnya.
“Iqbal, pacarnya siapa?” tanya Acha jahil ingin
mengganggu Iqbal.
“Acha,” jawab Iqbal cepat tanpa menoleh.
Acha terkejut mendengar Iqbal yang merespon
jawabannya. Kedua pipinya langsung tersipu. Acha
merasa tak puas, ingin melanjutkan aksi jahilnya.
“Iqbal, pacarnya cantik nggak?”
“Cantik,” jawab Iqbal lagi dengan tangan yang terus
memasukan lilin-lilin di lantai.
Senyum Acha semakin mengembang.
“Iqbal, sayang sama Acha?”
Iqbal mengangguk-angguk.
“Sayang,” jawab Iqbal sembari berdiri. Ia sudah
memasukan semua lilin-lilin tersebut. Iqbal berbalik,
menghadap ke Acha yang tengah tersenyum manis ke
arahnya.
Iqbal berjan mendekat, mengulurkan tangan ke
Acha.
“Ayo,” ajak Iqbal.
Acha menerima tangan tersebut dan berdiri.
“Acha juga sayang sama Iqbal,” balas Acha sangat
tulus.
Iqbal tak bisa untuk tidak ikut tersenyum,
genggamannya lebih erat. Mereka berdua keluar café
dan segera beranjak menuju Apartmen Iqbal.
*****
Sesampainya di Apartmen, Iqbal disambut oleh
teman-temannya. Mereka semua memakan kue dan
Pizza bersama. Mereka menikmati malam ini dengan
obrolan santai, mengenang kembali masa-masa SMA
mereka.
“SMA lo pernah nggak demo nurunin kepala
sekolah?” seru Abdi tak mau kalah menyombongkan
SMA-nya dulu. Nyatanya, hanya dia yang berasal dari
SMA berbeda. Sedangkan, lainnya dari SMA yang sama
yaitu SMA ARWANA.
Abdi seperti sedang berperang satu lawan enam.
“Nggak, tapi kita pernah demo buat nurunin harga
cireng Mbak Wati,” celetuk Glen dengan yakin.
Jawaban Glen tak membuat yang lainnya kaget,
sejak SMA Glen memang pencinta cireng Mbak Wati
garis keras. Berbeda dengan Abdi, dia yang paling
bingung.
“Emang cirengnya Mbak Wati kenapa?” tanya Abdi
ingin tau.
Glen meletakkan Pizzanya, mulai tertarik dengan
pertanyaan Abdi.
“Tiba-tiba naik drastis dalam satu hari,” jawab Glen
dengan ekspresi dramatis.
“Seberapa drastisnya?” tanggap Abdi semakin
menjadi.
Glen mendekatkan duduknya ke Abdi.
“Bayangin, cireng lucu nan enak yang semula
harganya empat ribu per biji, tiba-tiba naik empat ribu
lima ratus! Konsiprasi macam apa yang sedang
diterapkan Mbak Wati!”
Abdi berpura-pura memberikan reaksi kaget.
“Wah, benar-benar konspirasi itu. Kenapa nggak
lima ribu aja? Pasti nggak ada yang protes.”
Glen mengangguk-angguk sembari mengangkat
dua jempolnya.
“Itu maksud kita! Kalau mau naikin langsung lima
ribu, jangan pakai lima ratus! Nangung! Makanya kita
demo buat diturunin kembali menjadi empat ribu.”
“Bukan dinaikkan lima ribu?” bingung Abdi.
Glen menggeleng.
“Jangan, waktu itu harga bensin lagi naik-naiknya.
Kasihan siswa dan siswi yang uang jajannya menipis.”
Abdi mengerutkan kening, mulai merasa aneh.
“SMA lo bukannya SMA Swasta yang isinya orang
kaya raya?”
Glen mengangguk-angguk lagi.
“Bener, kaya raya dan pandai menabung. Kita
sebagai anak muda harus pintar investasi dan
menabung sejak dini.”
“Emang lo nabung?” tanya Abdi.
Glen memberikan cengiran lebar.
“Enggak!”
Abdi dan Glen tertawa dengan keras seolah hal
tersebut sangatlah lucu. Sedangkan Iqbal, Acha, Rian,
Amanda dan Juna memperhatikan keduanya dengan
aneh. Tak menemukan hal yang lucu sama sekali.
“Lo ketemu teman macam dia darimana, Bal?” bisik
Amanda ngeri.
“Lorong kampus,” jawab Iqbal apa adanya.
“Lo nggak trauma punya teman seperti Glen?”
tanya Amanda lagi.
“Trauma.”
Amanda menoleh ke Iqbal sepenuhnya.
“Terus kenapa lo cari teman yang nggak ada
bedanya dengan Glen?” gemas Amanda.
Iqbal menoleh ke Amanda, tersenyum tipis.
“Gue khilaf.”
*****
Acha mengedarkan pandangannya, melihat teman-
temannya yang mulai kekenyangan. Namun, Acha
merasa pesta ulang tahun ini kurang sempurna jika tidak
ada permainan seru.
Acha segera berdiri dan berseru kencang.
“AYO SEMUANYA MELINGKAR. ACHA ADA
PERMAINAN SERU!”
*****
Mereka semua berkumpul melingkar di ruang
tengah, Acha memaksa teman-temannya untuk
bermain bersama, permainan yang sudah Acha siapkan
dan Acha sengaja membuat sendiri perlengkapan
perang untuk permainan malam ini.
Untung saja, semua langsung menyutujui dan mau
ikut permainan yang disiapkan Acha.
“Oke, peraturannya mudah. Teman-teman semua
pasti sudah pernah kan main permainan truth or dare,”
ucap Acha membuka acara games malam ini.
Semua mengangguk.
“Sudah!”
“Bedanya, truth or dare tidak diajukan oleh setiap
orang. Tapi, semua sudah ada di kartu ini.” Acha
menunjukkan tumpukan kartu seperti remi yang ada di
tangannya.
Iqbal takjub melihat kartu yang dipegang Acha.
Pasalnya kartu tersebut adalah kartu yang pernah Acha
bawa saat mereka sedang piknik di rumah lamanya.
Kartu dengan gambar kepala sapi lucu.
“Kartunya harus banget gambarnya Sapi, Cha?
Gambar Semut nggak bisa?” protes Glen.
Acha menggeleng cepat.
“Acha membuat kartu ini dengan sepenuh hati dari
tangan Acha dan nama kartu ini adalah PISAPI,” seru
Acha bangga.
Semuanya mendadak diam, hanya Acha yang
heboh, cukup terkejut mendengar nama kartu tersebut.
Kesekian kalinya mereka dibuat takjub dengan
kreatifitas seorang Acha akan dunia sapinya.
“Berarti kalau nanti gue buat sendiri kartu buatan
gue namanya MUTSEMUT?” ledek Glen.
Acha mendecak kesal dengan tatapan tajam ke
Glen, membuat nyali cowok itu langsung menciut
sembari menangkupkan kedua tangannya.
“Kalau ada tulisan DARE di kartu berarti itu
tantangan, kalau ada tulisan TRUTH berarti kalian harus
jawab jujur. Semua tantangan dan pertanyaan juga
sudah ada di kartu ini. Mengerti?”
Semuanya mengangguk-angguk kembali, sangat
paham dengan penjelasan Acha.
“Mengerti,” serempak semuanya.
Juna tiba-tiba mengangkat tangannya.
“Kalau nggak bisa jawab pertanyaan kejujuran atau
nggak mau lakukan tantangan, ada hukumannya, Cha?”
tanya Juna.
Ah! Acha hampir lupa menjelaskan peraturan
tersebut.
“Ada! Jika pemain tidak bisa menjawab atau tidak
mau melakukan tantangan di kartu, pemain wajib…”
Acha menggantungkan ucapannya membuat yang
lainnya mulai was-was. Mereka melihat Acha tiba-tiba
mengeluarkan sesuatu dari paper bag kebanggaannya.
Sebuah botol besar dengan isi minuman berwarna aneh.
“Apaan tuh, Cha?” gidik Rian ngeri.
Acha tersenyum licik.
“Acha sudah buat racikan minuman sehat yang
terbuat dari brokoli, bawang putih, kunyit, jahe merah,
pisang dan lemon. Jadi, hukumannya harus minum satu
gelas minuman sehat ini!” jelas Acha semakin bangga.
Amanda, Rian, Abdi, Juna bahkan Iqbal hampir
kesusahan menelan ludah mereka. Baru melihat warna
minumannya saja sudah membuat mereka ingin mual.
“Gue akan jawab semua dan lakukan
tantangannya! Bodo amat aib gue keluar semua!” ucap
Glen tak main-main.
“Gue juga, tantangan terjun dari lantai sepuluh gue
jabanin,” tambah Abdi, ia mengajak Glen untuk bertos
ria.
Acha terkekeh puas, ia pun segera mengacak kartu-
kartu yang ada di tangannya, setelah itu menaruh kartu
tersebut di tengah.
“Permainan PISAPI dimulai!” seru Acha semangat.
*****
Acha bermain duluan sebagai perwakilan dari
teman-temannya, Acha mengambil satu kartu dengan
hati-hati. Kemudian, menghembuskan napasnya pelan-
pelan sebelum membuka kartu tersebut.
Dengan gerakan cepat, Acha membuka kartunya
tepat di tengah, agar teman-teman lainnya bisa
membaca. Semua mata langsung fokus tertuju ke kartu
Acha, membacanya bersama.

TRUTH
CERITAKAN KEJADIAN MEMALUKAN YANG
PERNAH LO ALAMI DAN NGGAK PERNAH LO LUPAKAN
DI HIDUP LO!

Semua mata langsung tertuju ke Acha, sangat


penasaran dengan jawaban Acha. Sedangkan, Acha
mulai memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut,
buat Acha bukan pertanyaan yang susah.
“Ditolak Iqbal ratusan kali waktu SMA?” celetuk
Glen tak sabar karena Acha tak kunjung menjawab.
Acha mendecak sebal, memberikan lirikan tajam ke
Glen.
“Acha nggak malu akan hal itu,” ucap Acha jujur.
Pandangan Acha beralih ke Iqbal, cowok itu tengah
tersenyum ke arahnya, seolah lega mendengar jawaban
Acha.
“Buruan jawab, Cha,” suruh Amanda nggak sabar.
Acha menjetikkan jarinya, teringat.
“Dalam hidup Acha, ada dua kejadian memalukan
yang Acha ingat. Dan, Acha akan menceritakan
keduanya,” ucap Acha dengan senyum lebar.
“Yang pertama apa, Cha?” tanya Rian mulai
penasaran.
“Yang pertama, dulu waktu kelas 3 SMP, saat Acha
ikut olimpiade Sains di Bogor, Acha pernah salah masuk
bus SMA lain ketika lomba sudah selesai. Acha dengan
santainya masuk ke Bus SMP Tirta Bandung dan
langsung tidur. Acha baru tau kalau salah masuk Bus
ketika bangun dan Bus itu udah mau masuk tol
Bandung.”
Kedua mata yang lainnya langsung melebar, sangat
terkejut mendengar cerita Acha. Seorang Acha ternyata
bisa ceroboh seperti itu. Semuanya tak bisa menahan
tawa mereka karena kebodohan Acha.
“Gue ingat banget cerita itu langsung terkenal satu
sekolah dan akhirnya Guru penanggung jawab dan
Mama Acha harus ke Bandung buat nyusul nih bocoh,”
sahut Amanda yang sangat tau cerita legend itu.
Nyatanya, keduanya memang berada satu SMP.
Acha terkekeh dengan lugunya.
“Acha dimarahin habis-habisan sama Tante Mama,
untung aja nyasarnya di Bus SMP Bandung, coba Bus
milik SMP Garut, pasti makin jauh dari Jakarta,” lanjut
Acha menceritakan kebodohannya.
Iqbal menatap Acha sembari geleng-geleng, tak
menyangka gadisnya bisa mengalami kejadian seperti
itu.
“Yang kedua apa?” tanya Iqbal ikut penasaran.
Semuanya pun mengangguk semakin ingin tau.
Senyum Acha langsung hilang, teringat kembali
dengan kejadian memalukan tersebut.
“Waktu bersama Iqbal,” lirih Acha memberikan
tatapan sebal ke sang pacar.
Iqbal mengerutkan kening.
“Sama gue?” bingung Iqbal.
“Hayo, Bal. Lo apain anak orang sampai malu
banget?” kompor Abdi.
“Jangan-jangan lo suruh Acha berubah jadi Sapi di
tengah kerumunan?” tambah Glen asal.
Acha langsung menatap Abdi dan Glen dengan
tatapan semakin sebal.
“Bukan!” tegas Acha membuat nyali keduanya
langsung menciut.
“Terus apa, Cha?” tanya Amanda.
Acha menghela napas berat.
“Kejadiannya waktu Iqbal ajak Acha makan di
Restoran mahal. Iqbal pergi ke toilet dan tiba-tiba Acha
dapat kejutan bunga yang diberikan pramusajinya. Acha
kira itu bunga beneran dari Iqbal. Ternyata…..” Bibir
Acha kembali cemberut.
“Ternyata apa?” sahut lainnya tak sabar.
Sedangkan, Iqbal langsung terdiam sangat teringat
kejadian yang menurutnya lucu itu.
“Ternyata punya Rama untuk Putri! Pramusajinya
salah ngasih bunga ke Acha!” teriak Acha sangat kesal.
Tawa Rian, Iqbal, Glen, Abdi dan Juna langsung
meledak-ledak. Benar-benar kejadian sangat
memalukan.
“Iqbal, Acha diketawain,” rajuk Acha mengaduh.
Iqbal menahan untuk tidak ikut tertawa. Tangannya
mengacak-acak puncak rambut gadisnya.
“Sabar. Ayo lanjut permainannya,” suruh Iqbal
dengan lembut.
Acha mengangguk-angguk, menurut. Ia segera
kembali menatap ke kartu di depannya.
“Oke, permainan dilanjut. Sekarang Acha yang pilih
siapa pemain berikutnya,” ucap Acha menyadarkan
semuanya. Keadaan kembali tegang, sorot was-was
mulai nampak lagi.
Acha menatap temannya satu persatu, mereka
membuang muka, tak ada yang mau membalas tatapan
Acha. Acha mendesis kecil.
“Acha pilih Glen,” ucap Acha dengan puas.
Glen langsung melotot tak santai karena namanya
dipanggil.
“Lo dendam banget sama gue, Pi!” cibir Glen tak
terima, tapi tangannya mulai bergerak untuk
mengambil satu kartu. Glen langsung membalikkan
kartu tersebut.

DARE
CIUM KETIAK ORANG DI SEBELAH KIRIMU

Seketika itu, Glen dan Abdi langsung saling


bertatapan dengan kedua mata melebar. Melihat
ekspresi Glen dan Abdi yang tak santai membuat yang
lainnya tertawa.
“Najis! Lo jangan deket-deket dulu, Di!” peringat
Glen langsung menjauh. Namun, Rian dan Juna lebih
gesit, mereka menahan tubuh Glen dengan sengaja agar
tak kemana-mana.
Sedangkan, Abdi sudah memberikan tatapan
liciknya dan melebarkan tangannya yang menunjukan
ketiak kebanggaannya.
Glen menggeleng-geleng dengan tatapan memelas.
“Glen, lo mending cium ketiak wangi gue dari pada
minum racun buatan Acha,” ucap Abdi memberikan
saran terbaiknya. Perlahan, Abdi mulai mendekatkan
ketiaknya ke wajah Glen.
“Sialan! Yan lepasin gue!!!” brontak Glen sudah
seperti tawanan.
Amanda dan Acha mulai mengeluarkan ponsel
mereka, merekam adegan luar biasa di hadapan
mereka. Mereka tak mau melewatkan momen ini.
Dengan gerakan cepat, Abdi langsung menciumkan
ketiaknya ke Glen dengan sadisnya.
“BUNDA HIDUNG ANAKMU SUDAH TERNODAI!!”
tangis Glen langsung menunduk pedih.
Abdi tertawa dengan puas, ia menepuk-nepuk
pundak Glen.
“Sabar ya, kalau nanti lo dinyatakan hamil, gue siap
tanggung jawab,” ucap Abdi ngaco.
Glen mendongak, menatap Abdi tajam.
“Gue akan cari lo sampai ujung dunia kalau gue
hamil karena ketek beracun lo itu!” sahut Glen dramatis.
Abdi mengangkat jempolnya sembari mengangguk-
angguk dan ketawa ketiwi tak jelas.
“Glen buruan tunjuk pemain berikutnya,” suruh
Acha mengingatkan.
Glen membuang napas panjang, kemudian
menatap teman-temannya penuh dendam. Glen
bergumam panjang, memikirkan baik-baik siapa pemain
berikutnya.
“GUE PILIH LO, YAN!” ucap Glen sangat ingat Rian
yang paling kuat menahan tubuhnya beberapa menit
yang lalu.
Rian mendecak pelan, sudah menduga dia akan
terpilih kali ini. Tanpa banyak protes, Rian segera
mengambil satu kartu dan membukanya di tengah.

DARE
JILAT JEMPOL KAKI KAMU SEBANYAK LIMA KALI

“HUAKAKAKAKA MAMPUS LO YAN!!” tawa Glen


terdengar paling puas diantara lainnya.
Sedangkan, Rian mulai merasa kepalanya
mendadak pusing. Semua teman-temannya sudah
bersiap merekamnya.
Rian menatap Acha dengan tak percaya.
“Lo dapat ide gila kayak gini darimana, Cha?” protes
Rian.
Acha tak bisa menahan tawanya.
“Buruan, Rian!” suruh Acha.
Rian menghela napas berat, dengan terpaksa ia
menekuk kaki kanannya dan membuka kaos kakinya.
“Yan, habis ini jangan sentuh gue!” peringat
Amanda, hanya dia yang tidak bisa tertawa di situasi
yang menimpa pacarnya.
Rian tak mendengarkan Amanda, lebik baik ia
melakukan dare ini daripada minum racun Acha. Rian
memejamkan matanya, kemudian menjilati jempol
kakinya sebanyak lima kali.
“HUEK!!” teriak Abdi berpura-pura seperti ingin
muntah.
“Yan! Jijik banget!” seru Amanda langsung
membuang muka melihat kelakuan pacarnya.
Setelah melakukan dare-nya, Rian buru-buru
berdiri, ia menuju kamar mandi. Rian segera berkumur
dan mengoleskan odol di gigi dan mulutnya. Tak hanya
itu, Rian meminum obat kumur milik Iqbal.
Rian keluar dari kamar mandi dengan mulut yang
kembali segar, ia langsung duduk di sebelah Amanda.
“Nggak usah deket-deket gue!” ancam Amanda.
Rian memberikan tatapan memelas.
“Gue udah kumur, yang. Sumpah sudah wangi lagi
mulut gue,” rajuk Rian.
Amanda geleng-geleng masih ngeri mengingat
kejadian beberapa menit yang lalu.
“Giliran gue!” seru Rian tak sabar ingin segera
menunjuk pemain berikutnya.
Tanpa ragu, Rian langsung menunjuk Amanda,
membuat Amanda cukup kaget.
“Seriusan gue?” tanya Amanda memastikan.
“Iya. lo Amanda,” jawab Rian.
Amanda menghela napas panjang, tak bisa protes
lagi. Lalu, Ia mengambil satu kartu di tengah dan
membukanya seperti yang dilakukan pemain-pemain
lainnya.
TRUTH
PILIH COWOK ROMANTIS ATAU
COWOK HUMORIS?

Seruan kecewa terdengar dari para cowok, seolah


tidak puas dengan pertanyaan yang didapatkan oleh
Amanda.
“Muda banget ini,” ucap Amanda tidak
mempedulikan seruan yang lainnya. Amanda menatap
Rian sebentar yang sedang menunggu jawabannya.
Amanda tersenyum kecil.
“Gue pilih cowok romantis, kayak dia,” ucap
Amanda sembari menunjuk Rian.
Rian tersenyum senang mendengar jawaban
Amanda, ia langsung merangkul bahu sang pacar
dengan bangga.
“Pacar gue nih,” sombong Rian.
Abdi dan Glen yang masih menyandang status
jomlo tak segan memberikan umpatan kesal!
“Banyak sekali Kang Bucin di sini!” gidik Abdi ngeri.
“Stroberi di makan Curut, Lanjut!!” teriak Glen tak
sudi melihat lebih lama kelakuan Rian.
Rian dan Amanda tertawa puas sambil bertos,
Amanda sangat lega pertanyaan untuknya tidak aneh-
aneh.
“Gue pilih Juna,” ucap Amanda begitu saja.
Juna mengangguk, menerima pilihan Amanda
tanpa banyak protes seperti teman-teman lainnya. Juna
mengambil satu kartu dan segera membukanya.

TRUTH
SEBUTKAN SATU NAMA ORANG
YANG LO SUKA SAMPAI DETIK INI

Tidak seperti yang sebelum-sebelumnya, saat ini


tidak ada yang berani tertawa, mendadak keadaan
menjadi tegang, seolah mereka semua bisa menebak
satu nama tersebut.
“Ayo Jun, sebutkan nama gebetan atau pacar yang
sangat lo suka!” teriak Abdi tak tau diri. Maklum saja,
diantara mereka semua yang bukan satu SMA adalah
Abdi. Dan, yang tidak tau kisah cinta segitiga paling
legend di SMA Arwana hanyalah Abdi.
Juna berdeham pelan, bingung harus menjawab
apa. Sedangkan, Acha sendiri mulai merutuki
kebodohannya, ia tak menyangka pertanyaan tersebut
akan didapat oleh Juna.
Rian, Amanda dan Glen mulai saling lirik-lirikan
melihat situasi di sekitar mereka. Menatap Juna, Acha
dan Iqbal bergantian. Mereka menangkap Juna dan
Acha terlihat gugup, sedangkan Iqbal bersikap begitu
tenang, seperti biasanya.
“Kalau lo nggak bisa jawab, lo minum aja Jun. Gue
yakin minuman buatan Acha nggak buruk-buruk
banget,” ucap Amanda memecah keheningan mereka.
“Ngapain minum? Emang sesulit itu sebut satu
nama orang?” protes Abdi heran.
Glen langsung menarik baju Abdi dengan tatapan
tajam.
“Lo mending diem!” pekik Glen memberikan
peringatan.
Abdi mengerutkan kening, semakin tidak mengerti.
“Kenapa? Cewek yang disuka Juna nggak ada di sini
kan? Sebut aja Jun! Nggak usah malu!” seru Abdi masih
tak paham situasi.
Amanda mendesis kesal, ingin sekali menampol
kepala Abdi sekarang juga. Ternyata ada manusia yang
lebih menyebalkan dari Glen.
“Gue pilih minum aja,” ucap Juna tersenyum
canggung. Juna bersiap menuangkan minuman beracun
buatan Acha ke gelasnya.
Satu bibir Iqbal tanpa sadar terangkat ketika
mendengar pilihan Juna.
“Tindakan lo sekarang bukannya makin
memperjelas jawaban lo?”
Deg! Keadaan yang sudah tegang makin tegang.
Tangan Juna berhenti bergerak, tak jadi menuangkan
minuman tersebut. Acha sendiri mulai sulit meneguk
ludahnya.
“Lo mending siap-siap jadi penengah,” bisik
Amanda pelan ke Rian.
Amanda menatap sorot dingin Iqbal sangat jelas
ditujukan ke Juna saat ini. Terdengar helaan napas
panjang dari Juna. Cowok itu memberanikan diri
menatap Iqbal, tangannya kembali menaruh gelasnya.
“Lo mau dengar jawaban gue lebih jelas?” tantang
Juna tanpa takut.
Tak ada yang berani menyahuti, bahkan nyamuk
sekalipun tak berani melewati tatapan dingin keduanya.
Abdi yang tadi berani koar-koar pun memilih diam,
bukan, lebih tepatnya karena Glen membungkam
mulutnya.
“Jawab aja,” tantang Iqbal balik.
Acha semakin tak nyaman dengan situasi sekarang.
Sebelum semuanya semakin tidak terkendali. Acha
segera berdiri.
“Acha mau ambil snack di kulkas, ada yang mau?”
tawar Acha memberanikan diri.
“Duduk, Cha.”
Suara dingin Iqbal sangat mendominasi seisi
Apartmen, Rian yang semula ingin menyahuti ucapan
Acha langsung terurungkan.
Acha merasakan tangannya mulai berkeringat,
bimbang harus menuruti ucapan Iqbal atau tidak.
Juna tersenyum kecil, dugaannya benar, Iqbal
masih menganggapnya sebagai rivalnya. Juna kembali
duduk, terlihat lebih santai.
“Hana,” jawab Juna mengungkapkan orang yang
disuka.
Semuanya langsung menatap Juna dengan kaget,
tak menduga jawaban yang diberikan Juna. Begitu juga
dengan Iqbal, tatapan dinginnya berubah dengan
tatapan bingung.
“Duduk aja, Cha,” suruh Juna sebelum menjelaskan.
Kali ini Acha langsung mengangguk, penasaran
dengan jawaban Juna. Ia segera kembali duduk.
Juna mengeluarkan ponselnya, membuka satu foto
dan menunjukan ke teman-temannya.
“Gue udah punya pacar sejak satu bulan yang lalu.
Namanya Hana. Dan, gue sangat sayang sama dia.”
Hening sesaat, tak ada yang memberikan respon
apapun. Semuanya nampak masih terkejut dengan
jawaban Juna.
“Gue bilang apa, gampang kan jawabnya!” seru
Abdi akhirnya bisa bebas dari bekapan Glen.
Juna sendiri memilih minum karena sengaja ingin
memancing Iqbal, Juna ingin melihat reaksi Iqbal. Dan,
Juna sangat puas melihat reaksi Iqbal tadi.
“Sialan lo Jun! Hampir gue panggil bagian
keamanan, nih!” protes Glen bernapas sangat lega.
Rian menunjuk ke Juna dengan tatapan kesal.
“Lo bener-bener ya…”
Juna tersenyum tipis, ia berganti menatap Iqbal
kembali.
“Gue udah nggak suka sama Acha, Bal. Lo nggak
perlu sedingin itu lagi sama kehadiran gue,” ucap Juna
terang-terangan.
Tatapan dingin Iqbal langsung berubah kembali
tenang. Iqbal hanya mengangguk singkat sebagai
respon.
“Juna selamat ya, semoga langeng sama pacar
Juna,” ucap Acha memberikan dukungan tulusnya.
Jujur, Acha sangat senang mendengar kabar itu.
“Makasih, Cha. Lo juga.”
Baik Acha dan lainnya benar-benar merasa lega
karena tidak ada perang dingin malam ini.
“Mari kita lanjut. Gue pilih Abdi,” ucap Juna
mencoba mengembalikan suasana permainan.
Abdi mengangguk-angguk sangat semangat
akhirnya gilirannya tiba. Abdi segera mengambil satu
kartu dan membukanya.

DARE
KOPROL SEKARANG JUGA SAMPAI
PERMAINAN SELESAI

Tawa semua orang yang ada di Apartmen meledak-


ledak. Bahkan, Iqbal pun ikut tertawa karena dare gila
yang didapat oleh Abdi. Sedangkan, Abdi masih diam
terkejut seperti patung.
“Di, lo mending minum racun buatan Acha aja,”
goda Glen.
Abdi menggeleng-geleng, pilihan yang sangat sulit
untuknya.
“Nasib lo lebih nggak beruntung daripada Glen, Di,”
celetuk Amanda masih tak bisa menghentikan tawanya.
“Gue sial banget hari ini!” Suara Abdi terdengar
sangat lemas dan memprihatinkan.
“Buruan koprol, Di!” suruh Rian tanpa ampun.
Abdi menatap ke Acha, meminta bantuan.
“Cha, nggak boleh negosiasi tantangannya?” lirih
Abdi.
Acha menggeleng.
“Nggak boleh Abdi, maaf.”
“Buruan! Pakai nawar segala. Dikira ini pasar!” seru
Glen tak sabar.
Abdi pun hanya bisa mengangguk pasrah. Dengan
langkah gontai dan napas yang semakin memberat, Abdi
mulai berjongkok, bersiap untuk melakukan koprol.
“Nggak boleh berhenti sampai permainan selesai,
Di!” peringat Rian dan Glen bersamaan.
Abdi tak menjawab, tatapanya beralih ke Iqbal.
“Bal, buruan giliran lo yang terakhir!” ucap Abdi
meminta bala bantuan satu-satunya.
Iqbal menahan tawanya, tidak tega juga melihat
Abdi memelas seperti itu. Iqbal mengangkat jempolnya
sebagai persetujuan.
“Gue koprol!” teriak Abdi dan memulai
tantangannya.
Tawa semuanya kembali pecah saat melihat Abdi
sudah berguling-guling dari ujung ruang tengah sampai
dapur dan kembali lagi.
“Gue ambil kartunya,” ucap Iqbal melanjutkan
permainan.
Semua kembali fokus ke permainan, membiarkan
Abdi terus koprol tanpa berhenti. Iqbal membalikan
kartunya dan membacanya bersama dengan yang
lainnya.

TRUTH
KAPAN CIUMAN PERTAMA LO?
Semua pandangan beralih ke Iqbal dan Acha secara
bergantian. Sedangkan Iqbal dan Acha langsung
membeku di tempat. Apalagi Acha, dia merasakan
kedua pipinya memanas, sangat malu. Kejadian di
rooftop pun kembali berputar-putar di kepalanya.
Lagi-lagi Acha hanya bisa merutuk. Kenapa
pertanyaan ini harus didapat oleh Iqbal? Padahal, Acha
sangat berharap Amanda atau Rian yang
mendapatkannya.
“Jawab Bal,” suruh Juna memecah keheningan.
Iqbal menoleh ke Acha, memperhatikan wajah
gadisnya yang terlihat malu dan salah tingkah. Iqbal
tersenyum kecil.
“Gue pilih minum,” ucap Iqbal yakin.
Yaa….. Seruan kecewa terdengar dari Amanda,
Rian, Glen dan Juna. Mereka sama sekali tidak puas
dengan pilihan Iqbal. Sedangkan Acha, langsung
menoleh ke Iqbal, lebih terkejut dengan pilihan Iqbal.
Acha melihat Iqbal mulai mengambil gelas dan
menuangkan minuman beracunnya.
“Lo udah ciuman kan sama Acha?” tanya Rian
menyelidik, yakin dengan pertanyaannya itu.
Iqbal tak menjawab, pura-pura tidak mendengar.
“Gue yakin udah, Yan. Kalau belum pasti dia akan
jawab belum,” tambah Glen ikut-ikutan yakin.
Amanda menatap Acha, menarik pelan baju
sahabatnya.
“Lo beneran udah ciuman sama Iqbal?” tanya
Amanda tanpa bersuara, hanya dengan gerak bibirnya
saja dan Acha bisa menangkap pertanyaan itu.
Acha tersenyum canggung tanpa menjawab dan
Amanda sangat tau arti dari senyuman itu. Amanda
langsung tersenyum penuh arti sembari mengangguk-
angguk.
“Bayi lo, Bal. Pertanyaan gitu aja nggak bisa jawab,”
ledek Rian.
Iqbal tetap tidak peduli, ia mengangkat gelasnya
yang sudah penuh dengan minuman beracun buatan
Acha.
“Gue minum,” ucap Iqbal sangat yakin dengan
keputusannya.
Iqbal langsung meneguk habis minuman tersebut.
Semuanya bergidik ngeri, melihat Iqbal yang kuat
meminum sampai habis.
“Gila lo, Bal,” decak Glen hanya bisa geleng-geleng.
Iqbal menunjukkan gelasnya sudah kosong. Buru-
buru ia membuka botol airnya dan menguknya sampai
habis. Minuman buatan Acha rasanya benar-benar aneh
dan Iqbal tidak merekomendasikan untuk
meminumnya.
Benar kata Glen, sudah mirip racun!
Iqbal kembali menatap ke Acha, gadis itu diam saja
tak bereaksi ketika dia selesai minum. Iqbal dapat
melihat masih ada kekesalan di kedua mata Acha karena
kejadian antara dia dan Juna beberapa saat yang lalu.
“Maaf,” lirih Iqbal, ingin menyentuh tangan Acha.
Namun, Acha dengan cepat menjauhkan tangannya dan
mengalihkan pandangannya.
“PERMAINAN BERAKHIR!!” seru Acha ke teman-
temannya.
Abdi langsung berhenti koprol dan lainnya
merebahkan tubuh mereka dengan perasaan lega.
Permainan buatan Acha sangat memacu adrenalin dan
pikiran mereka.
“PISAPI lo emang gila, Cha!” takjub Rian dan
diangguki lainnya.
******
Amanda langsung menyeret Acha ke kamar mandi
saat cowok-cowok tengah asik membahas pertandingan
sepak bola. Amanda merasa ini kesempatan emas untuk
bertanya ke Acha.
Acha sendiri hanya menurut dan mengikuti
Amanda dengan perasaan bingung. Acha melihat
Amanda mengunci pintu kamar mandi.
“Lo harus cerita ke gue!” tajam Amanda sangat
penasaran.
“Cerita apa?” tanya Acha masih tak mengerti.
Amanda menghela napas panjang, berusaha sabar.
Jari Amanda langsung menunjuk ke bibir Acha.
“Ciuman pertama lo dan Iqbal. Kapan dan dimana?”
tanya Amanda gemas.
Mendengar pertanyaan Amanda, kedua pipi Acha
langsung memerah. Acha mengangguk malu.
“Acha malu Amanda,” lirih Acha, ragu untuk
bercerita.
“Gue penasaran banget. Lo beneran udah ciuman
sama Iqbal?” tanya Amanda lagi dengan pelan-pelan.
Acha mengangguk kecil, membuat Amanda
membulatkan kedua mata, sangat kaget. Amanda
berusaha menahan teriakannya.
“Kapan? Kapan?” tanya Amanda lagi semakin tak
sabar.
Acha memberanikan diri untuk menatap Amanda
kembali.
“Tadi di rooftop café. Setelah Acha kasih hadiah
ulang tahun Iqbal,” jawab Acha, pipinya semakin terasa
panas.
Bukan hanya kedua mata Amanda yang semakin
melebar, mulut Amanda pun ikut terbuka sempurna.
“Sumpah? Sumpah? Serius? Demi apa?” heboh
Amanda.
“Iya.”
Amanda menghela napas panjang lagi, mencoba
tetap tenang walau sulit. Amanda mendekatkan
wajahnya ke Acha.
“Gimana rasanya? Iqbal jago nggak?”
Acha langsung memundurkan tubuh Amanda agar
menjauh.
“Amanda jangan tanya gitu. Acha beneran malu,”
rajuk Acha.
Amanda terkekeh pelan, gemas dengan tingkah
Acha yang seperti anak kecil. Amanda mengangguk-
angguk, memilih tidak bertanya lagi. Ia mencoba
menghargai privasi sahabatnya.
Amanda memeluk Acha erat, ikut bahagia dengan
hubungan Acha dan Iqbal.
“Semoga kalian berdua selalu seperti ini dan
langeng sampai seterusnya.”
*****
Pesta sederhana ulang tahun Iqbal akhirnya
berakhir. Mereka semua pamit untuk pulang karena
sudah malam. Sebelum pulang pun, Iqbal dan Juna
sudah kembali mengobrol santai dan berhubungan baik.
Amanda, Rian, Abdi, Glen dan Juna pamitan ke
Iqbal, mereka saling melempar ucapan terima kasih
untuk malam ini. Iqbal mengantarkan teman-temannya
sampai di lift. Sedangkan, Acha sibuk membereskan
makanan-makanan dan merapikan meja Iqbal.
Iqbal masuk kembali ke Apartmennya, melihat
ruang tengahnya sudah kembali rapi. Iqbal mendekati
Acha, ingin membantu gadisnya.
“Biar gue aja,” ucap Iqbal ingin merebut lap meja
dari tangan Acha. Namun, Acha lebih cepat menepisnya.
Acha segera berpindah ke sisi lain, tak menatap
ataupun menjawab Iqbal sedikit pun. Iqbal menggaruk-
garuk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal,
Iqbal tau Acha masih kesal kepadanya.
Iqbal memilih diam saja, duduk di ujung sofa,
menunggu Acha selesai bersih-bersih. Iqbal
memperhatikan Acha dengan perasaan was-was, takut
kekesalan Acha kepadanya tidak berakhir malam ini.
*****
Iqbal segera berdiri ketika melihat Acha selesai
membereskan ruang tengahnya yang kembali bersih.
Acha mengambil tisu, mengelap tangannya setelah
mencucinya. Sedari tadi, Acha masih tidak mau
menatap Iqbal dan tidak mau membuka suara.
“Acha,” panggil Iqbal.
Acha tidak peduli, ia berjalan mengambil tasnya,
bersiap untuk pulang. Iqbal berjalan mendekati sang
pacar.
“Gue salah, gue minta maaf,” akuh Iqbal cepat,
menahan tangan Acha.
Acha diam sebentar, menaruh kembali tasnya di
kursi. Perlahan, Acha membalikkan badan, menatap
Iqbal dengan tatapan dingin.
“Sebutin kesalahannya apa,” tajam Acha.
Iqbal mengalihkan tatapanya, Acha kalau marah
memang sangat menyeramkan.
“Gue salah karena sudah nantang Juna,” jawab
Iqbal memilih mengakui.
Acha mendecak pelan.
“Iqbal lupa pesan Acha?”
“Ingat.”
“Apa?”
“Nggak boleh cemburu ,” jawab Iqbal lagi seperti
anak kecil yang sedang dimarahi oleh Mamanya.
“Terus kenapa masih kayak gitu tadi?”
“Kan, gue jawab nggak janji.”
“Iqbal!” pekik Acha bertambah kesal.
Iqbal memberanikan diri untuk menatap Acha
kembali sembari menangkup kedua tangannya.
“Maaf, gue janji nggak akan kayak gini lagi,”
sumpah Iqbal. Apalagi sekarang Juna sudah punya
pacar. Jadi, Iqbal tidak perlu khawatir.
Acha menghela napas panjang, tatapan dinginnya
berubah melembut. Acha sangat tau bagaimana
cemburunya Iqbal dengan Juna. Namun, tetap saja Acha
tidak suka jika Iqbal menantang Juna seperti tadi.
“Jangan kayak gitu lagi, Acha nggak suka,” pinta
Acha.
Iqbal mengangguk, kembali menggenggam tangan
Acha.
“Nggak akan.”
Acha menangkap kejujuran di kedua mata Iqbal.
Hatinya lebih melega begitu juga dengan rasa kesalnya
perlahan sirna.
“Lepasin dulu tangan Acha.”
“Kenapa dilepas?” tanya Iqbal langsung khawatir,
bukannya melepaskan, Iqbal semakin mengeratkan
genggamannya.
“Acha mau ambil minum.”
“Gue ambilkan.”
Tanpa menunggu balasan Acha, Iqbal segera
berjalan ke dapur, mengambilkan minum untuk sang
pacar. Acha geleng-geleng melihat kelakuan Iqbal.
Cowok itu selalu takut jika dia marah tapi tetap saja
nekat memancing keributan.
Sembari menunggu Iqbal yang masih mengambil
minum, Acha duduk di sofa. Tak lama kemudian, Iqbal
kembali membawa segelas air putih untuk Acha.
Iqbal duduk di sebelah Acha, menyodorkan gelas.
Acha menerimanya dan segera meminumnya sampai
habis. Meladeni sifat kekanak-kanakan Iqbal lebih
menghabiskan tenaga.
“Sudah nggak marah, kan?” tanya Iqbal
memastikan.
Acha menaruh gelasnya di atas meja sembari
menggeleng.
“Nggak.”
“Kalau enggak, kenapa nggak lihat gue dan senyum
buat gue?”
Acha menoleh ke Iqbal, mengembangkan senyum
hangatnya. Ia memang sudah tidak marah maupun kesal
ke Iqbal. Tangan Acha menyentuh rambut Iqbal,
membelainya lembut.
“Nggak boleh cemburu lagi, ya.”
Iqbal akhirnya bisa tersenyum.
“Iya sayang.”
Acha mendekatkan tubuhnya dan menyandarkan
kepalanya ke dada Iqbal. Acha sedikit kaget saat
merasakan tangan Iqbal melingkar di pinggangnya,
bukan di bahunya seperti biasanya.
Seketika Acha merasakan jantungnya berdetak
cepat, ingatan kejadian di rooftop langsung terputar
cepat di otaknya, membuat pipi Acha memanas.
“Iqbal,” panggil Acha lirih.
“Iya?”
Acha meremas jemarinya yang mulai dingin. Entah
karena posisinya dengan Iqbal sekarang atau AC
Apartmen Iqbal. Acha tidak bisa membedakannya.
“Jam berapa sekarang?” tanya Acha.
Iqbal langsung menatap ke jam yang menempel di
dinding di hadapan mereka.
“Setengah sepuluh. Kenapa?”
“Sudah malam. Acha harus pulang,” jawab Acha
menahan kegugupannya.
“Sekarang?”
“Iya, Iqbal.”
Iqbal terdiam sebentar, bukannya melepaskan
tangannya dari pinggang Acha, Iqbal malah semakin
mengeratkan tangannya. Bahkan, memeluk pinggang
Acha dengan kedua tangannya.
“Jangan pulang,” rajuk Iqbal.
Tubuh Acha langsung membeku, suara berat Iqbal
sekarang berhasil membuat jantungnya berpacu dua
kali lipat. Acha memberanikan untuk menyentuh jemari
Iqbal yang masih memeluk pinggangnya.
“Acha nggak boleh pulang?” tanya Acha
memastikan.
Iqbal mengangguk cepat. Ia menurunkan
pandangannya untuk menatap Acha.
“Tidur di sini aja.”
Acha tak bisa lagi menyembunyikan
keterkejutannya. Kedua mata Acha terbuka lebih lebar.
Acha merasakan tenggorokannya mendadak kering.
Acha terkejut bukan main dengan permintaan Iqbal.
Acha berusaha mengontrol kegugupannya yang
semakin menjadi, desiran hebat mulai menguasai
tubuhnya. Acha memaksa pikirannya agar tetap waras!
“Acha tidur di Apartmen Iqbal?” tanya Acha lagi-
lagi ingin memastikan.
“Iya.”
“Emang boleh?” Nyatanya, Acha pernah bertanya
seperti ini dan jawaban Iqbal adalah tidak.
“Boleh.”
Gulp! Acha akhirnya bisa menelan ludahnya dengan
susah payah. Kecepatan detakan jantung Acha semakin
tak terkendali. Acha menarik napasnya mencari oksigen
sebanyak-banyaknya. Jawaban Iqbal sangat tak terduga.
Perlahan, Acha menegakkan tubuhnya,
memberanikan diri untuk menghadap ke Iqbal. Acha
merasakan pelukan Iqbal sedikit mengendor di
pinggangnya.
Acha tersenyum hangat ke arah Iqbal. Acha bisa
menangkap tatapan Iqbal yang begitu dalam, sama
seperti tatapan saat di rooftop. Tatapan yang bisa
membuat Acha seperti terhipnotis dengan segala sikap
lembut Iqbal.
“Acha mau tidur di sini. Tapi, Iqbal harus minta izin
dulu ke Tante Mama.”
Tubuh Iqbal ikut menegak. Iqbal melepaskan
pelukannya dari pinggang Acha. Kemudian, Iqbal segera
mengeluarkan ponselnya.
“Aku telfon Mama kamu sekarang.”
*****
Acha bingung harus berbuat apa, antara kaget dan
gelisah. Iqbal sungguh-sungguh dengan ucapannya.
Cowok itu sudah mengeluarkan ponselnya dan mencari
kontak Mama Acha.
“Iqbal beneran telfon Tante Mama?” tanya Acha
sangat gugup.
Iqbal menoleh ke Acha dan mengangguk.
“Iya.”
“Serius?”
Iqbal tidak menjawab, ia segera berdiri menjauhi
Acha. Sedangkan, Acha hanya bisa melihat punggung
Iqbal yang semakin menjauh dengan ponsel di dekatkan
di telinga.
Acha meneguk ludahnya dengan susah payah saat
mendengar suara Iqbal memanggil Mamanya di telfon.
Acha mendesis kecil.
“Mampus Acha!”
*****
Di sisi lain, Iqbal berdiri bersandar di depan pintu
kamar tamu. Iqbal serius dengan perkataannya ke Acha.
Saat ini, dia tengah berbicara dengan Kirana di telfon.
“Maaf Tante, Iqbal ganggu sebentar.” Iqbal
berusaha tetap tenang, walaupun detakan jantungnya
sudah tidak karuan. Jujur, Iqbal juga sangat gugup.
Untuk pertama kalinya dia meminta izin seperti ini ke
orang tua pacarnya.
“Iya Iqbal, ada apa?” Suara Kirana terdengar
ramah.
“Iqbal mau minta izin ke Tante Kirana,” lanjut Iqbal.
“Minta izin apa?”
Iqbal terdiam sebentar, merangkai kata-kata di
kepalanya.
“Hari ini ulang tahun Iqbal dan Acha masih di
Apartmen Iqbal. Apa boleh untuk hari ini Acha
menginap di Apartmen Iqbal? Iqbal ingin rayain ulang
tahun Iqbal bersama Acha, Tante.” Iqbal berusaha
menjelaskan sejujur mungkin dengan kalimat-kalimat
yang tetap sopan.
Tak ada jawaban langsung dari Kirana, wanita di
sebrang sana nampaknya terkejut dengan permintaan
Iqbal.
“Kalau boleh tau, siapa saja yang menginap di
Apartmen Iqbal? Ada yang lainnya juga?” Kirana
membuka suaranya lagi.
“Teman-teman semua sudah pulang, Tante.
Sekarang hanya ada Acha saja.”
“Berarti hanya Acha yang nginap di Apartmen
Iqbal?”
“Iya Tante. Iqbal janji akan jaga Acha. Iqbal nanti
tidur di kamar tamu. Iqbal hanya ingin di hari ulang
tahun Iqbal bisa menghabiskan waktu sehari penuh
bersama Acha,” jelas Iqbal lagi tak ingin membuat
Kirana salah paham.
Sedangkan, Kirana terkekeh mendengarnya. Seolah
ucapan Iqbal barusan sangatlah lucu dan terlalu jujur.
“Iqbal sangat suka ya sama Acha?” tanya Kirana
masih tertawa.
Iqbal mengangguk tanpa sadar.
“Iya Tante. Iqbal sangat sayang sama Acha,” jujur
Iqbal untuk kesekian kalinya.
Tawa Kirana terhenti, helaan napas panjang
terdengar dari sebrang sana membuat Iqbal semakin
gugup.
“Tante percaya sama Iqbal dari dulu bahkan sampai
sekarang. Dan, Tante izinin Acha tidur di Apartmen
Iqbal. Tapi…” Kirana menggantungkan ucapannya.
“Tapi apa Tante?”
“Tapi, beneran dijaga baik-baik ya, Achanya,”
pesan Kirana.
Iqbal tersenyum lega mendengar jawaban Kirana.
“Iya Tante. Iqbal janji akan jaga Acha. Besok pagi
Iqbal langsung anterin Acha pulang.”
“Syukurlah. Tante nitip Acha ya Iqbal,” tambah
Kirana.
“Iya Tante. Makasih banyak sudah kasih izin,” ucap
Iqbal.
“Sama-sama Iqbal. Tante boleh bicara sama Acha
sebentar?”
“Boleh Tante. Iqbal berikan telfonnya ke Acha.”
Iqbal berjalan kembali menuju ruang tengah. Ia
melihat Acha yang sedari tadi memperhatikannya
dengan tatapan gelisah dan penasaran. Iqbal langsung
duduk di sebelah Acha.
“Tante Mama bilang apa?” tanya Acha ingin tau.
Iqbal tidak menjawab, tangannya menyodorkan
ponselnya ke Acha.
“Mama kamu ingin bicara,” ucap Iqbal.
Acha tertegun sekaligus takut.
“Ke Acha?” tanya Acha memastikan.
“Iya.”
Dengan tangan sedikit gemetar, Acha menerima
ponsel Iqbal. Acha segera mendekatkan ponsel Iqbal ke
telinganya.
“Halo, Tante Mama. Kenapa?”
“Iqbal sudah minta izin ke Mama barusan dan
Mama izinin.”
Kedua mata Acha langsung melebar.
“Tante Mama izinin? Beneran?” kaget Acha tak
menyangka. Acha jadi penasaran apa yang disampaikan
oleh Iqbal ke Mamanya sampai membuat Mamanya
bisa memberikan izin.
“Iya. Mama percaya Acha bisa jaga diri dan Iqbal
juga pasti bisa jagain Acha dengan baik,” terang Kirana.
Acha terenyuh mendengarnya.
“Pasti itu Tante Mama.”
“Acha sendiri gimana? Nggak apa-apa tidur di
Apartmen Iqbal? Bisa tidur tanpa ditemenin boneka
sapi?”
Acha terdiam, baru teringat akan hal itu. Nyatanya,
Acha memang cukup susah tidur tanpa ada boneka sapi
di sampingnya.
“Kalau nanti Acha nggak bisa tidur, Acha minta
antar Iqbal pulang, Tante Mama.”
“Ya udah kalau gitu. Jaga diri baik-baik ya, cantik.”
“Iya Tante Mama. Makasih banyak.”
“Selamat malam sayang.”
“Malam juga Tante Mama.”
Sambungan diakhiri oleh Kirana. Terjadi
keheningan sesaat antara Iqbal dan Acha. Keadaan
mendadak terasa canggung.
Acha memberanikan untuk menoleh ke Iqbal
sembari menyerahkan ponsel Iqbal.
“Iqbal,” panggil Acha lirih.
Iqbal menoleh.
“Hm?”
“Iqbal tadi gimana minta izinnya sampai Mama
Acha ngebolehin?” tanya Acha sangat penasaran.
Senyum Iqbal mengembang tipis, tangannya
mengacak-acak puncak rambut Acha gemas.
“Rahasia.”
Acha mencibir pelan.
“Nggak mau ngasih tau?”
“Nggak mau.”
“Kenapa?”
Iqbal sedikit mendekatkan wajahnya dengan
senyum semakin merekah.
“Biar aku dan Mama kamu aja yang tau.”
Seketika Acha membeku di tempat. Tatapan hangat
Iqbal dan kalimat Iqbal barusan entah kenapa
membuatnya sangat gugup. Apalagi, Iqbal sedari tadi
sudah menggunakan aku-kamu ke dirinya. Terdengar
sangat manis.
“Acha beneran boleh tidur di Apartmen Iqbal?”
“Boleh sayang.”
Acha merasakan pipinya memanas, menahan diri
untuk tidak salah tingkah. Jujur, Acha bingung sekarang
harus berbuat apa. Untuk pertama kali bagi Acha
menginap di Apartmen pacarnya dan hanya berdua.
Gelisah, takut dan gugup menjadi satu. Acha
berusaha untuk selalu fokus dan menjaga dirinya.
Walaupun Acha sendiri percaya bahwa Iqbal tidak akan
berbuat macam-macam kepadanya. Karena Iqbal selalu
berusaha menghargainya.
“Cha, kamu mau mandi dulu?” tawar Iqbal.
Acha langsung menoleh dengan pandangan kaget.
“Kenapa Acha harus mandi?” tanya Acha refleks.
Iqbal menatap Acha bingung.
“Kamu nggak cuci muka atau sikat gigi?”
Ah. Acha mengangguk-angguk dengan senyum
canggung. Ia merutuki pertanyaan bodohnya sendiri.
Efek terlalu gugup.
“Iya. Habis ini Acha mandi dulu,” jawab Acha lirih.
“Mandi di kamar tamu aja biar bisa langsung ganti
baju.”
“Acha nggak bawa baju ganti, Iqbal,” ucap Acha
memberitahu.
Iqbal menunjuk ke kamar tamu.
“Di lemari ada baju Kak Ify. Kamu bisa pakai.”
“Nggak apa-apa?”
“Iya. Pakai aja.”
“Kak Ify nggak marah bajunya dipakai Acha?”
“Nggak, Cha. Nanti aku kasih tau Kak Ify.”
Acha mengangguk. Ia pun memilih segera berdiri. Ia
mencoba untuk kabur dari situasi yang
mengugupkannya. Acha butuh untuk menenangkan
hatinya sebentar.
“Acha ke kamar tamu dulu ya Iqbal,” pamit Acha.
Iqbal mengangguk.
“Iya.”
Tanpa banyak kata, Acha langsung berlari kecil
masuk ke kamar tamu. Iqbal terkekeh pelan melihat
Acha yang sangat gugup dan salah tingkah.
Setelah Acha masuk ke kamar tamu, Iqbal segera
berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Iqbal juga
hendak membersihkan diri dan mengganti bajunya.
******
Hampir empat puluh menit, Acha mandi dan
mengganti baju. Sebenarnya butuh lima belas menit
saja untuk itu, sisanya Acha berdiam diri di kamar tamu
dengan perasaan yang semakin gugup. Niatnya ingin
mendinginkan pikiran dan mengurangi kegelisahannya
malah semakin menjadi.
Acha menaruh kedua tangannya di tengah dada
dan menarik napasnya pelan-pelan.
“Tenang, Cha. Jangan gugup.”
Acha memberikan semangat ke dirinya. Setelah itu,
Acha memberanikan diri keluar dari kamar tamu. Acha
melihat Iqbal yang sudah duduk di sofa ruang tengah di
temani tumpukan-tumpukan buku di atas meja.
“Iqbal lagi belajar?” tanya Acha menghampiri Iqbal.
Iqbal menghentikan aktivitasnya, ia menoleh ke
Acha. Iqbal tersenyum kecil melihat Acha sudah
mengganti bajunya dengan piyama merah muda milik
Ify.
“Iya. Mau langsung tidur?” tanya Iqbal.
Acha menggeleng, ia duduk di sebelah Iqbal.
“Acha belum ngantuk.”
“Nanti tidur di kamar aku aja.”
Acha merasakan jemarinya semakin dingin
mendengar pernyataan Iqbal barusan.
“I… Iqbal tidur dimana kalau kamarnya Acha
pakai?” tanya Acha.
“Aku bisa tidur di kamar tamu.”
“Acha aja yang tidur di kamar tamu. Nggak apa-
apa.”
“Kamar aku lebih luas, Cha. Kamu tidur di sana.”
Acha mengangguk saja, tak berani melawan lagi.
Keadaan sekarang masih terasa canggung untuknya.
“Sini, temenin aku belajar,” pinta Iqbal meminta
Acha duduk lebih dekat.
Acha lagi-lagi menurut, ia mendekatkan tubuhnya
dan menyenderkan kepalanya di dada kanan Iqbal. Acha
menemukan kenyamanan di sana. Setidaknya sikap
Iqbal sekarang sedikit mengurangi kegelisahannya.
“Iqbal bisa fokus belajar kalau Acha di sini?” Acha
menangkap tangan Iqbal sudah memeluk pinggangnya
seperti tadi. Acha tersenyum tipis, tak sekaget saat
pertama kali Iqbal melakukannya.
“Bisa,” jawab Iqbal.
“Acha nggak ganggu?”
“Nggak.”
“Iqbal belajar apa?” tanya Acha lagi.
“Kardiologi,” jawab Iqbal.
“Jantung?” tebak Acha.
“Iya.”
Acha mengangguk-angguk, kagum dengan sang
pacar. Padahal, dirinya juga sebentar lagi menjadi
mahasiswi Kedokteran.
“Mau aku ajarin?” tanya Iqbal.
“Nggak. Acha lagi nggak pengin belajar,” tolak
Acha.
Iqbal terkekeh pelan, kemudian mencium puncak
kepala Acha dengan gemas.
“Kalau belajar lebih sayang aku, mau?”
Acha langsung mendongakkan kepalanya, terkejut
dengan pertanyaan Iqal yang tidak biasa. Senyum Acha
mengembang.
“Memangnya sayang Acha ke Iqbal kurang?” tanya
Acha gugup.
Iqbal menggeleng.
“Nggak. Aku hanya pengin kamu selalu sayang
sama aku,” jelas Iqbal.
“Acha selalu sayang sama Iqbal sejak dulu sampai
sekarang.”
“Aku juga.”
Untuk beberapa detik mereka hanya diam dan
saling pandang, mencari kejujuran dari tatapan masing-
masing dan mereka sama-sama menemukannya.
“Sekarang panggilnya aku-kamu?” tanya Acha
malu-malu.
“Nggak suka?”
“Suka.”
“Aku juga suka.”
Acha langsung menyembunyikan wajahnya di balik
dada Iqbal, benar-benar dibuat salah tingkah dengan
sikap manis Iqbal sekarang. Hari ini merupakan salah
satu hari paling bahagia buat Acha.
“Acha malu, Iqbal,” rajuk Acha.
“Malu kenapa?” bingung Iqbal.
“Malu aja. Setiap kali Iqbal ngomong, Acha
langsung salah tingkah,” jujur Acha dengan polosnya.
Iqbal terkekeh pelan, tangannya beralih
menyentuh rambut Acha dan membelainya lembut.
Perlahan, Acha memberanikan diri untuk mengangkat
kepalanya. Acha mendapati Iqbal yang kembali fokus
belajar.
Acha mencari posisi nyaman di dada Iqbal dan tak
ingin mengganggu Iqbal. Acha berniat menemani saja.
Acha tanpa sadar ikut membaca buku yang dipegang
oleh Iqbal.
Acha menatap ke jam dinding, lima menit lagi
menunjukkan pukul dua belas malam. Acha langsung
menegakkan tubuhnya, membuat Iqbal kaget.
“Iqbal,” seru Acha.
“Ada apa, Cha?” tanya Iqbal bingung.
Acha tersenyum manis.
“Lima menit lagi hari ulang tahun Iqbal berakhir.
Iqbal ingin permintaan apa sebelum hari ini berakhir?”
tanya Acha.
Iqbal tertegun sesaat. Namun, otaknya langsung
berpikir cepat, permintaan apa yang diinginkannya.
“Nggak ada,” jawab Iqbal tak menemukan apapun.
“Harus ada! Buruan empat menit lagi,” paksa Acha.
Iqbal terkekeh pelan. Ia mengangguk-angguk,
mencoba berpikir sekali lagi. Iqbal memperhatikan Acha
yang menatapnya dengan tak sabar.
“Aku ada satu permintaan,” ucap Iqbal.
“Apa? Apa Iqbal?” sahut Acha semangat.
Iqbal berdeham pelan, mendekatkan tubuhnya ke
Acha. Kedua mata Iqbal tak beralih dari paras cantik
Acha. Tangan Iqbal menyentuh rambut Acha dan
membelainya lembut.
“Aku ingin kamu selalu tersenyum bahagia seperti
ini dan selalu ada di samping aku seperti ini.”
Kini giliran Acha yang dibuat tertegun mendengar
permintaan Iqbal.
“Acha akan kabulkan. Acha janji,” balas Acha
sungguh-sungguh.
Terjadi keheningan sesaat. Hingga Acha merasakan
Iqbal semakin mendekat dan mempertipis jarak
mereka. Acha meremas jemarinya, desiran hebat
menjalar di sekujur tubuh Acha.
Bahkan tangan Iqbal bergerak turun dan berhenti di
pipi Acha.
Jantung Acha langsung berdetak cepat saat jemari
Iqbal menyentuh hangat bibir Acha.
“Aku suka ciuman pertama kita,” lirih Iqbal,
suaranya terdengar memberat.
Acha meneguk ludahnya dengan susah payah. Acha
juga tanpa sadar beberapa kali menahan napasnya.
“Kamu juga suka?” tanya Iqbal.
Acha mengangguk pelan.
“Suka Iqbal.”
“Jangan pernah diberikan siapapun, hanya aku.”
“Iya, Iqbal. Acha hanya untuk Iqbal.”
Iqbal tersenyum, bahagia mendengar jawaban
Acha. Iqbal menarik Acha ke dalam pelukannya,
memberikan dekapan hangat untuk gadisnya.
“Aku juga hanya untuk kamu, Acha.”
Acha membalas pelukan Iqbal lebih erat.
“Selamat ulang tahun Iqbal.”
*****
Iqbal melirik Acha, beberapa kali gadis itu
menguap. Acha masih tidak mau masuk ke kamar dan
kukuh ingin menemaninya belajar.
“Ngantuk?” tanya Iqbal.
Acha mengangguk-angguk, sedari tadi matanya
mulai memberat.
“Iya, Iqbal.”
“Pindah ke kamar aku. Tidur di sana,” suruh Iqbal.
“Nggak mau. Acha masih pengin nemenin Iqbal.”
“Ya udah, tidur aja. Nanti aku bangunin.”
Acha mengangguk-angguk lagi. Perlahan, Acha
memejamkan kedua matanya, tangannya ia lingkarkan
ke perut Iqbal tanpa sadar, mencari posisi paling
nyaman. Iqbal tersenyum kecil, membiarkan saja Acha
menyenderkan seluruh tubuhnya pada dirinya.
“Selamat malam pacarku,” bisik Iqbal hangat.
*****
Tanpa sadar, satu jam telah berlalu. Iqbal menutup
bukunya dengan hati-hati tak ingin membangunkan
Acha yang sudah tertidur. Iqbal menatap Acha yang
seperti peri kecil, sangat menggemaskan. Dengkuran
halus terdengar dari bibir Acha.
Kedua mata Iqbal berhenti di bibir mungil Acha,
membuat kejadian di rooftop terputar kembali.
“Acha,” panggil Iqbal pelan. Ingin membangunkan
gadisnya.
Namun bukannya bangun, Acha semakin
mengeratkan pelukannya. Iqbal jadi tidak tega untuk
membangunkan Acha yang terlihat pulas.
Perlahan Iqbal melepaskan tangan Acha dari
perutnya. Kemudian, Iqbal membopong tubuh Acha,
memindahkan Acha ke kamarnya dengan hati-hati.
Iqbal membaringkan tubuh Acha di kasurnya. Lalu,
menyelimuti Acha. Iqbal tak langsung keluar, ia
menyempatkan untuk menatap Acha terlebih dahulu.
Iqbal sangat suka melihat wajah Acha saat tidur, seperti
anak kecil.
Iqbal mendekatkan wajahnya dan memberikan
ciuman singkat di kening Acha.
“Makasih banyak Natasha untuk hari ini.”
*****
Pukul dua dini hari, Iqbal masih tidak bisa tidur.
Setelah memindahkan Acha ke kamarnya, Iqbal
melanjutkan belajarnya. Seolah belajar yang lebih
penting daripada tidur.
Tangan Iqbal berhenti mengetik di keyboard laptop
saat mendengar pintu kamarnya terbuka. Iqbal melihat
Acha keluar dari kamar dengan mata setengah
mengantuk.
“Iqbal,” panggil Acha lirih.
Iqbal terkejut melihat Acha bangun. Iqbal menutup
laptopnya dan segera menghampiri Acha.
“Kenapa?” tanya Iqbal khawatir.
Acha berjalan mendekati Iqbal dan langsung
memeluknya. Acha menyenderkan kepalanya ke dada
Iqbal dengan mata kembali terpejam.
“Acha kebangun,” ucap Acha mengaduh.
Iqbal membelai lembut rambut panjang Acha.
“Tidur lagi ya.”
Acha menggeleng.
“Acha nggak bisa tidur lagi. Acha pengin peluk
boneka sapi Acha,” rajuk Acha seperti anak kecil.
Iqbal tertegun, otaknya langsung berpikir cepat
mencari boneka sapi untuk Acha. Iqbal langsung
teringat dengan boneka sapi kecil yang pernah Acha
berikan kepadanya satu tahun yang lalu.
“Aku cariin sebentar,” ucap Iqbal.
Acha membuka matanya, menatap Iqbal dengan
bingung.
“Iqbal punya boneka sapi?”
“Sepertinya ada. Boneka sapi kecil dari kamu.”
Acha mengangguk-angguk senang. Acha mengikuti
Iqbal untuk masuk kembali ke kamar tanpa mau
melepaskan pelukannya. Untung saja Iqbal sabar dan
kuat menahan tubuh Acha.
“Duduk dulu,” suruh Iqbal.
Acha menurut, ia duduk di pinggir kasur. Acha
memperhatikan Iqbal sedang membuka lemarinya
mencari boneka sapi di sana. Senyum Acha langsung
mengembang saat Iqbal mengeluarkan boneka sapi
kecil yang pernah menjadi boneka sapi kesayangan
Acha.
“Sapiii,” seru Acha langsung memeluk boneka sapi
tersebut dengan senang.
Iqbal terkekeh melihat tingkah Acha yang
menggemaskan.
“Buruan tidur lagi,” suruh Iqbal.
Acha mengangguk singkat, kemudian segera
membaringkan kembali tubuhnya di kasur dengan
kedua tangan memeluk erat boneka sapi. Acha melihat
Iqbal merapikan selimut di tubuhnya.
“Iqbal,” panggil Acha pelan.
“Kenapa?” balas Iqbal.
Acha menepuk pinggiran kasur.
“Tungguin sampai Acha tidur,” pinta Acha.
Iqbal tersenyum dan mengangguk.
“Iya.”
Iqbal duduk di pinggir kasur, menuruti permintaan
gadisnya. Acha melepaskan satu tangannya dari boneka
sapi, beralih untuk menggenggam jemari Iqbal dengan
erat.
“Jangan tinggalin Acha,” ucap Acha.
Iqbal tertegun dengan permintaan Acha yang tak
biasanya.
“Nggak, Cha. Aku nggak kemana-mana.”
“Selalu di samping Acha, ya.”
“Iya.”
Acha tersenyum, ia bangun dan mendudukan
tubuhnya, membuat Iqbal bingung.
“Kenapa bangun?” tanya Iqbal.
“Ada yang mau Acha tanyain ke Iqbal.”
“Tanya apa?”
Acha bergumam sebentar, mengumpulkan
keberaniannya.
“Saat permainan PISAPI tadi. Kenapa Iqbal nggak
jawab jujur?”
Iqbal terdiam, tak langsung menjawab.
“Iqbal malu sudah ciuman sama Acha?” tanya Acha
lagi karena Iqbal tak kunjung menjawab.
Iqbal menggeleng, tangannya beralih
menggenggam jemari Acha sangat erat.
“Aku nggak malu, Cha.”
“Terus?”
Iqbal tersenyum dengan sorot mata hangat.
“Aku pengin hal itu menjadi kenangan indah dan
hanya kita berdua yang mengingatnya.”
Acha tersentuh mendengarnya.
“Tapi, Acha tadi sudah terlanjur jujur sama
Amanda. Nggak apa-apa?”
Iqbal menggeleng lagi.
“Nggak apa-apa,” jawab Iqbal tak
mempermasalahkan.
Acha menghela napas lega, mengira Iqbal akan
marah kepadanya.
“Acha cerita ke Tante Mama juga boleh?” tanya
Acha minta izin.
“Hah?” kaget Iqbal.
“Acha selalu cerita apapun ke Tante Mama. Bahkan,
waktu Iqbal pertama kali cium kening Acha juga Acha
cerita ke Tante Mama,” akuh Acha.
Iqbal mengerjap-kerjapkan kedua matanya, cukup
terkejut mendengar pengakuan Acha.
“Terus?”
“Tante Mama cuma senyum-senyum waktu
dengerin cerita Acha.”
Iqbal tertawa pelan, tak menyangka Acha seterbuka
itu ke Mamanya.
“Jadi, Acha boleh kan cerita juga ke Tante Mama?”
ulang Acha.
Iqbal mengangguk.
“Boleh sayang.”
Acha merasakan kedua sisi pipinya semakin
tertarik, ia tak bisa menahan untuk tidak tersenyum.
Kehadiran Iqbal sekarang membuatnya selalu bahagia.
Iqbal memperlakukannya lebih manis dan lebih banyak
waktu untuknya.
“Iqbal, Acha mau bisikin sesuatu.”
“Apa?”
“Sini.”
Acha melambai-lambaikan tangannya, meminta
Iqbal untuk mendekat dan Iqbal menurut saja, ia
mendekatkan wajahnya ke Acha.
Cup!
Bukannya bisikan yang Iqbal dapat, melainkan
sebuah kecupan singkat di pipi kanan Iqbal.
“Selamat malam Iqbal,” seru Acha langsung
kembali berbaring dan bersembunyi di dalam selimut.
Sedangkan Iqbal masih terdiam kaget. Iqbal
menyentuh pipi kanannya kemudian menatap Acha
yang sudah ada di dalam selimut.
Kedua sudut bibir Iqbal mengembang.
“Natasha,” panggil Iqbal.
“Acha sudah tidur.”
“Buka selimut sebentar,” pinta Iqbal.
Perlahan, Acha memberanikan diri membuka
selimutnya, Acha mendapati Iqbal yang tengah
menatapnya begitu dalam.
“Acha sudah buka selimutnya Iqbal.”
Tangan Iqbal terulur, menyentuh pipi Acha lembut.
Acha dapat merasakan jantungnya berdetak sangat
cepat. Tangan Iqbal terasa hangat di pipinya.
“Aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Aku
benar-benar sayang kamu, Cha. Jadi, kamu juga jangan
tinggalin aku.”
Acha mengangguk cepat.
“Acha nggak akan pernah tinggalin Iqbal.”
Tangan Iqbal menurun, menyentuh jemari Acha.
Iqbal mencium punggung tangan Acha dengan lembut.
“Aku selalu ingin bersama kamu, Natasha.”
*****

SELESAI
#CUAPCUAPAUTHOR

Aku ucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman


yang sudah membeli Ebook Spesial Part Ulang Tahun
Iqbal. Semoga Ebook ini menghibur teman-teman
semua dan disukai oleh teman-teman pembaca semua.

Aku juga ingin mengingatkan, dimohon untuk tidak


menyebar luaskan Ebook ini tanpa seizin penulis.

Semoga teman-teman semua selalu suka Mariposa 2,


selalu baca Mariposa 2 dan selalu support Mariposa 2.

Sebentar lagi konflik utama Mariposa 2 akan dimulai.


Siap-siap ya semuanya. Kita akan memulai perjalanan
yang lebih seru di Mariposa 2.

TEMAN-TEMAN SELALU CINTA MARIPOSA 2 YA.


SEKALI LAGI MAKASIH BANYAK SEMUANYA DAN
SELALU JAGA KESEHATAN. SAYANG KALIAN SEMUA.

Salam,

Luluk HF

Anda mungkin juga menyukai