BY
LULUK HF
WAJIB DIBACA
Spesial part ini aku buat hanya untuk have fun aja dan
menghibur pembaca yang ingin baca versi plot lain di
Spesial Part Ulang tahun Iqbal.
TRUTH
CERITAKAN KEJADIAN MEMALUKAN YANG
PERNAH LO ALAMI DAN NGGAK PERNAH LO LUPAKAN
DI HIDUP LO!
DARE
CIUM KETIAK ORANG DI SEBELAH KIRIMU
DARE
JILAT JEMPOL KAKI KAMU SEBANYAK LIMA KALI
TRUTH
SEBUTKAN SATU NAMA ORANG
YANG LO SUKA SAMPAI DETIK INI
DARE
KOPROL SEKARANG JUGA SAMPAI
PERMAINAN SELESAI
TRUTH
KAPAN CIUMAN PERTAMA LO?
Semua pandangan beralih ke Iqbal dan Acha secara
bergantian. Sedangkan Iqbal dan Acha langsung
membeku di tempat. Apalagi Acha, dia merasakan
kedua pipinya memanas, sangat malu. Kejadian di
rooftop pun kembali berputar-putar di kepalanya.
Lagi-lagi Acha hanya bisa merutuk. Kenapa
pertanyaan ini harus didapat oleh Iqbal? Padahal, Acha
sangat berharap Amanda atau Rian yang
mendapatkannya.
“Jawab Bal,” suruh Juna memecah keheningan.
Iqbal menoleh ke Acha, memperhatikan wajah
gadisnya yang terlihat malu dan salah tingkah. Iqbal
tersenyum kecil.
“Gue pilih minum,” ucap Iqbal yakin.
Yaa….. Seruan kecewa terdengar dari Amanda,
Rian, Glen dan Juna. Mereka sama sekali tidak puas
dengan pilihan Iqbal. Sedangkan Acha, langsung
menoleh ke Iqbal, lebih terkejut dengan pilihan Iqbal.
Acha melihat Iqbal mulai mengambil gelas dan
menuangkan minuman beracunnya.
“Lo udah ciuman kan sama Acha?” tanya Rian
menyelidik, yakin dengan pertanyaannya itu.
Iqbal tak menjawab, pura-pura tidak mendengar.
“Gue yakin udah, Yan. Kalau belum pasti dia akan
jawab belum,” tambah Glen ikut-ikutan yakin.
Amanda menatap Acha, menarik pelan baju
sahabatnya.
“Lo beneran udah ciuman sama Iqbal?” tanya
Amanda tanpa bersuara, hanya dengan gerak bibirnya
saja dan Acha bisa menangkap pertanyaan itu.
Acha tersenyum canggung tanpa menjawab dan
Amanda sangat tau arti dari senyuman itu. Amanda
langsung tersenyum penuh arti sembari mengangguk-
angguk.
“Bayi lo, Bal. Pertanyaan gitu aja nggak bisa jawab,”
ledek Rian.
Iqbal tetap tidak peduli, ia mengangkat gelasnya
yang sudah penuh dengan minuman beracun buatan
Acha.
“Gue minum,” ucap Iqbal sangat yakin dengan
keputusannya.
Iqbal langsung meneguk habis minuman tersebut.
Semuanya bergidik ngeri, melihat Iqbal yang kuat
meminum sampai habis.
“Gila lo, Bal,” decak Glen hanya bisa geleng-geleng.
Iqbal menunjukkan gelasnya sudah kosong. Buru-
buru ia membuka botol airnya dan menguknya sampai
habis. Minuman buatan Acha rasanya benar-benar aneh
dan Iqbal tidak merekomendasikan untuk
meminumnya.
Benar kata Glen, sudah mirip racun!
Iqbal kembali menatap ke Acha, gadis itu diam saja
tak bereaksi ketika dia selesai minum. Iqbal dapat
melihat masih ada kekesalan di kedua mata Acha karena
kejadian antara dia dan Juna beberapa saat yang lalu.
“Maaf,” lirih Iqbal, ingin menyentuh tangan Acha.
Namun, Acha dengan cepat menjauhkan tangannya dan
mengalihkan pandangannya.
“PERMAINAN BERAKHIR!!” seru Acha ke teman-
temannya.
Abdi langsung berhenti koprol dan lainnya
merebahkan tubuh mereka dengan perasaan lega.
Permainan buatan Acha sangat memacu adrenalin dan
pikiran mereka.
“PISAPI lo emang gila, Cha!” takjub Rian dan
diangguki lainnya.
******
Amanda langsung menyeret Acha ke kamar mandi
saat cowok-cowok tengah asik membahas pertandingan
sepak bola. Amanda merasa ini kesempatan emas untuk
bertanya ke Acha.
Acha sendiri hanya menurut dan mengikuti
Amanda dengan perasaan bingung. Acha melihat
Amanda mengunci pintu kamar mandi.
“Lo harus cerita ke gue!” tajam Amanda sangat
penasaran.
“Cerita apa?” tanya Acha masih tak mengerti.
Amanda menghela napas panjang, berusaha sabar.
Jari Amanda langsung menunjuk ke bibir Acha.
“Ciuman pertama lo dan Iqbal. Kapan dan dimana?”
tanya Amanda gemas.
Mendengar pertanyaan Amanda, kedua pipi Acha
langsung memerah. Acha mengangguk malu.
“Acha malu Amanda,” lirih Acha, ragu untuk
bercerita.
“Gue penasaran banget. Lo beneran udah ciuman
sama Iqbal?” tanya Amanda lagi dengan pelan-pelan.
Acha mengangguk kecil, membuat Amanda
membulatkan kedua mata, sangat kaget. Amanda
berusaha menahan teriakannya.
“Kapan? Kapan?” tanya Amanda lagi semakin tak
sabar.
Acha memberanikan diri untuk menatap Amanda
kembali.
“Tadi di rooftop café. Setelah Acha kasih hadiah
ulang tahun Iqbal,” jawab Acha, pipinya semakin terasa
panas.
Bukan hanya kedua mata Amanda yang semakin
melebar, mulut Amanda pun ikut terbuka sempurna.
“Sumpah? Sumpah? Serius? Demi apa?” heboh
Amanda.
“Iya.”
Amanda menghela napas panjang lagi, mencoba
tetap tenang walau sulit. Amanda mendekatkan
wajahnya ke Acha.
“Gimana rasanya? Iqbal jago nggak?”
Acha langsung memundurkan tubuh Amanda agar
menjauh.
“Amanda jangan tanya gitu. Acha beneran malu,”
rajuk Acha.
Amanda terkekeh pelan, gemas dengan tingkah
Acha yang seperti anak kecil. Amanda mengangguk-
angguk, memilih tidak bertanya lagi. Ia mencoba
menghargai privasi sahabatnya.
Amanda memeluk Acha erat, ikut bahagia dengan
hubungan Acha dan Iqbal.
“Semoga kalian berdua selalu seperti ini dan
langeng sampai seterusnya.”
*****
Pesta sederhana ulang tahun Iqbal akhirnya
berakhir. Mereka semua pamit untuk pulang karena
sudah malam. Sebelum pulang pun, Iqbal dan Juna
sudah kembali mengobrol santai dan berhubungan baik.
Amanda, Rian, Abdi, Glen dan Juna pamitan ke
Iqbal, mereka saling melempar ucapan terima kasih
untuk malam ini. Iqbal mengantarkan teman-temannya
sampai di lift. Sedangkan, Acha sibuk membereskan
makanan-makanan dan merapikan meja Iqbal.
Iqbal masuk kembali ke Apartmennya, melihat
ruang tengahnya sudah kembali rapi. Iqbal mendekati
Acha, ingin membantu gadisnya.
“Biar gue aja,” ucap Iqbal ingin merebut lap meja
dari tangan Acha. Namun, Acha lebih cepat menepisnya.
Acha segera berpindah ke sisi lain, tak menatap
ataupun menjawab Iqbal sedikit pun. Iqbal menggaruk-
garuk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal,
Iqbal tau Acha masih kesal kepadanya.
Iqbal memilih diam saja, duduk di ujung sofa,
menunggu Acha selesai bersih-bersih. Iqbal
memperhatikan Acha dengan perasaan was-was, takut
kekesalan Acha kepadanya tidak berakhir malam ini.
*****
Iqbal segera berdiri ketika melihat Acha selesai
membereskan ruang tengahnya yang kembali bersih.
Acha mengambil tisu, mengelap tangannya setelah
mencucinya. Sedari tadi, Acha masih tidak mau
menatap Iqbal dan tidak mau membuka suara.
“Acha,” panggil Iqbal.
Acha tidak peduli, ia berjalan mengambil tasnya,
bersiap untuk pulang. Iqbal berjalan mendekati sang
pacar.
“Gue salah, gue minta maaf,” akuh Iqbal cepat,
menahan tangan Acha.
Acha diam sebentar, menaruh kembali tasnya di
kursi. Perlahan, Acha membalikkan badan, menatap
Iqbal dengan tatapan dingin.
“Sebutin kesalahannya apa,” tajam Acha.
Iqbal mengalihkan tatapanya, Acha kalau marah
memang sangat menyeramkan.
“Gue salah karena sudah nantang Juna,” jawab
Iqbal memilih mengakui.
Acha mendecak pelan.
“Iqbal lupa pesan Acha?”
“Ingat.”
“Apa?”
“Nggak boleh cemburu ,” jawab Iqbal lagi seperti
anak kecil yang sedang dimarahi oleh Mamanya.
“Terus kenapa masih kayak gitu tadi?”
“Kan, gue jawab nggak janji.”
“Iqbal!” pekik Acha bertambah kesal.
Iqbal memberanikan diri untuk menatap Acha
kembali sembari menangkup kedua tangannya.
“Maaf, gue janji nggak akan kayak gini lagi,”
sumpah Iqbal. Apalagi sekarang Juna sudah punya
pacar. Jadi, Iqbal tidak perlu khawatir.
Acha menghela napas panjang, tatapan dinginnya
berubah melembut. Acha sangat tau bagaimana
cemburunya Iqbal dengan Juna. Namun, tetap saja Acha
tidak suka jika Iqbal menantang Juna seperti tadi.
“Jangan kayak gitu lagi, Acha nggak suka,” pinta
Acha.
Iqbal mengangguk, kembali menggenggam tangan
Acha.
“Nggak akan.”
Acha menangkap kejujuran di kedua mata Iqbal.
Hatinya lebih melega begitu juga dengan rasa kesalnya
perlahan sirna.
“Lepasin dulu tangan Acha.”
“Kenapa dilepas?” tanya Iqbal langsung khawatir,
bukannya melepaskan, Iqbal semakin mengeratkan
genggamannya.
“Acha mau ambil minum.”
“Gue ambilkan.”
Tanpa menunggu balasan Acha, Iqbal segera
berjalan ke dapur, mengambilkan minum untuk sang
pacar. Acha geleng-geleng melihat kelakuan Iqbal.
Cowok itu selalu takut jika dia marah tapi tetap saja
nekat memancing keributan.
Sembari menunggu Iqbal yang masih mengambil
minum, Acha duduk di sofa. Tak lama kemudian, Iqbal
kembali membawa segelas air putih untuk Acha.
Iqbal duduk di sebelah Acha, menyodorkan gelas.
Acha menerimanya dan segera meminumnya sampai
habis. Meladeni sifat kekanak-kanakan Iqbal lebih
menghabiskan tenaga.
“Sudah nggak marah, kan?” tanya Iqbal
memastikan.
Acha menaruh gelasnya di atas meja sembari
menggeleng.
“Nggak.”
“Kalau enggak, kenapa nggak lihat gue dan senyum
buat gue?”
Acha menoleh ke Iqbal, mengembangkan senyum
hangatnya. Ia memang sudah tidak marah maupun kesal
ke Iqbal. Tangan Acha menyentuh rambut Iqbal,
membelainya lembut.
“Nggak boleh cemburu lagi, ya.”
Iqbal akhirnya bisa tersenyum.
“Iya sayang.”
Acha mendekatkan tubuhnya dan menyandarkan
kepalanya ke dada Iqbal. Acha sedikit kaget saat
merasakan tangan Iqbal melingkar di pinggangnya,
bukan di bahunya seperti biasanya.
Seketika Acha merasakan jantungnya berdetak
cepat, ingatan kejadian di rooftop langsung terputar
cepat di otaknya, membuat pipi Acha memanas.
“Iqbal,” panggil Acha lirih.
“Iya?”
Acha meremas jemarinya yang mulai dingin. Entah
karena posisinya dengan Iqbal sekarang atau AC
Apartmen Iqbal. Acha tidak bisa membedakannya.
“Jam berapa sekarang?” tanya Acha.
Iqbal langsung menatap ke jam yang menempel di
dinding di hadapan mereka.
“Setengah sepuluh. Kenapa?”
“Sudah malam. Acha harus pulang,” jawab Acha
menahan kegugupannya.
“Sekarang?”
“Iya, Iqbal.”
Iqbal terdiam sebentar, bukannya melepaskan
tangannya dari pinggang Acha, Iqbal malah semakin
mengeratkan tangannya. Bahkan, memeluk pinggang
Acha dengan kedua tangannya.
“Jangan pulang,” rajuk Iqbal.
Tubuh Acha langsung membeku, suara berat Iqbal
sekarang berhasil membuat jantungnya berpacu dua
kali lipat. Acha memberanikan untuk menyentuh jemari
Iqbal yang masih memeluk pinggangnya.
“Acha nggak boleh pulang?” tanya Acha
memastikan.
Iqbal mengangguk cepat. Ia menurunkan
pandangannya untuk menatap Acha.
“Tidur di sini aja.”
Acha tak bisa lagi menyembunyikan
keterkejutannya. Kedua mata Acha terbuka lebih lebar.
Acha merasakan tenggorokannya mendadak kering.
Acha terkejut bukan main dengan permintaan Iqbal.
Acha berusaha mengontrol kegugupannya yang
semakin menjadi, desiran hebat mulai menguasai
tubuhnya. Acha memaksa pikirannya agar tetap waras!
“Acha tidur di Apartmen Iqbal?” tanya Acha lagi-
lagi ingin memastikan.
“Iya.”
“Emang boleh?” Nyatanya, Acha pernah bertanya
seperti ini dan jawaban Iqbal adalah tidak.
“Boleh.”
Gulp! Acha akhirnya bisa menelan ludahnya dengan
susah payah. Kecepatan detakan jantung Acha semakin
tak terkendali. Acha menarik napasnya mencari oksigen
sebanyak-banyaknya. Jawaban Iqbal sangat tak terduga.
Perlahan, Acha menegakkan tubuhnya,
memberanikan diri untuk menghadap ke Iqbal. Acha
merasakan pelukan Iqbal sedikit mengendor di
pinggangnya.
Acha tersenyum hangat ke arah Iqbal. Acha bisa
menangkap tatapan Iqbal yang begitu dalam, sama
seperti tatapan saat di rooftop. Tatapan yang bisa
membuat Acha seperti terhipnotis dengan segala sikap
lembut Iqbal.
“Acha mau tidur di sini. Tapi, Iqbal harus minta izin
dulu ke Tante Mama.”
Tubuh Iqbal ikut menegak. Iqbal melepaskan
pelukannya dari pinggang Acha. Kemudian, Iqbal segera
mengeluarkan ponselnya.
“Aku telfon Mama kamu sekarang.”
*****
Acha bingung harus berbuat apa, antara kaget dan
gelisah. Iqbal sungguh-sungguh dengan ucapannya.
Cowok itu sudah mengeluarkan ponselnya dan mencari
kontak Mama Acha.
“Iqbal beneran telfon Tante Mama?” tanya Acha
sangat gugup.
Iqbal menoleh ke Acha dan mengangguk.
“Iya.”
“Serius?”
Iqbal tidak menjawab, ia segera berdiri menjauhi
Acha. Sedangkan, Acha hanya bisa melihat punggung
Iqbal yang semakin menjauh dengan ponsel di dekatkan
di telinga.
Acha meneguk ludahnya dengan susah payah saat
mendengar suara Iqbal memanggil Mamanya di telfon.
Acha mendesis kecil.
“Mampus Acha!”
*****
Di sisi lain, Iqbal berdiri bersandar di depan pintu
kamar tamu. Iqbal serius dengan perkataannya ke Acha.
Saat ini, dia tengah berbicara dengan Kirana di telfon.
“Maaf Tante, Iqbal ganggu sebentar.” Iqbal
berusaha tetap tenang, walaupun detakan jantungnya
sudah tidak karuan. Jujur, Iqbal juga sangat gugup.
Untuk pertama kalinya dia meminta izin seperti ini ke
orang tua pacarnya.
“Iya Iqbal, ada apa?” Suara Kirana terdengar
ramah.
“Iqbal mau minta izin ke Tante Kirana,” lanjut Iqbal.
“Minta izin apa?”
Iqbal terdiam sebentar, merangkai kata-kata di
kepalanya.
“Hari ini ulang tahun Iqbal dan Acha masih di
Apartmen Iqbal. Apa boleh untuk hari ini Acha
menginap di Apartmen Iqbal? Iqbal ingin rayain ulang
tahun Iqbal bersama Acha, Tante.” Iqbal berusaha
menjelaskan sejujur mungkin dengan kalimat-kalimat
yang tetap sopan.
Tak ada jawaban langsung dari Kirana, wanita di
sebrang sana nampaknya terkejut dengan permintaan
Iqbal.
“Kalau boleh tau, siapa saja yang menginap di
Apartmen Iqbal? Ada yang lainnya juga?” Kirana
membuka suaranya lagi.
“Teman-teman semua sudah pulang, Tante.
Sekarang hanya ada Acha saja.”
“Berarti hanya Acha yang nginap di Apartmen
Iqbal?”
“Iya Tante. Iqbal janji akan jaga Acha. Iqbal nanti
tidur di kamar tamu. Iqbal hanya ingin di hari ulang
tahun Iqbal bisa menghabiskan waktu sehari penuh
bersama Acha,” jelas Iqbal lagi tak ingin membuat
Kirana salah paham.
Sedangkan, Kirana terkekeh mendengarnya. Seolah
ucapan Iqbal barusan sangatlah lucu dan terlalu jujur.
“Iqbal sangat suka ya sama Acha?” tanya Kirana
masih tertawa.
Iqbal mengangguk tanpa sadar.
“Iya Tante. Iqbal sangat sayang sama Acha,” jujur
Iqbal untuk kesekian kalinya.
Tawa Kirana terhenti, helaan napas panjang
terdengar dari sebrang sana membuat Iqbal semakin
gugup.
“Tante percaya sama Iqbal dari dulu bahkan sampai
sekarang. Dan, Tante izinin Acha tidur di Apartmen
Iqbal. Tapi…” Kirana menggantungkan ucapannya.
“Tapi apa Tante?”
“Tapi, beneran dijaga baik-baik ya, Achanya,”
pesan Kirana.
Iqbal tersenyum lega mendengar jawaban Kirana.
“Iya Tante. Iqbal janji akan jaga Acha. Besok pagi
Iqbal langsung anterin Acha pulang.”
“Syukurlah. Tante nitip Acha ya Iqbal,” tambah
Kirana.
“Iya Tante. Makasih banyak sudah kasih izin,” ucap
Iqbal.
“Sama-sama Iqbal. Tante boleh bicara sama Acha
sebentar?”
“Boleh Tante. Iqbal berikan telfonnya ke Acha.”
Iqbal berjalan kembali menuju ruang tengah. Ia
melihat Acha yang sedari tadi memperhatikannya
dengan tatapan gelisah dan penasaran. Iqbal langsung
duduk di sebelah Acha.
“Tante Mama bilang apa?” tanya Acha ingin tau.
Iqbal tidak menjawab, tangannya menyodorkan
ponselnya ke Acha.
“Mama kamu ingin bicara,” ucap Iqbal.
Acha tertegun sekaligus takut.
“Ke Acha?” tanya Acha memastikan.
“Iya.”
Dengan tangan sedikit gemetar, Acha menerima
ponsel Iqbal. Acha segera mendekatkan ponsel Iqbal ke
telinganya.
“Halo, Tante Mama. Kenapa?”
“Iqbal sudah minta izin ke Mama barusan dan
Mama izinin.”
Kedua mata Acha langsung melebar.
“Tante Mama izinin? Beneran?” kaget Acha tak
menyangka. Acha jadi penasaran apa yang disampaikan
oleh Iqbal ke Mamanya sampai membuat Mamanya
bisa memberikan izin.
“Iya. Mama percaya Acha bisa jaga diri dan Iqbal
juga pasti bisa jagain Acha dengan baik,” terang Kirana.
Acha terenyuh mendengarnya.
“Pasti itu Tante Mama.”
“Acha sendiri gimana? Nggak apa-apa tidur di
Apartmen Iqbal? Bisa tidur tanpa ditemenin boneka
sapi?”
Acha terdiam, baru teringat akan hal itu. Nyatanya,
Acha memang cukup susah tidur tanpa ada boneka sapi
di sampingnya.
“Kalau nanti Acha nggak bisa tidur, Acha minta
antar Iqbal pulang, Tante Mama.”
“Ya udah kalau gitu. Jaga diri baik-baik ya, cantik.”
“Iya Tante Mama. Makasih banyak.”
“Selamat malam sayang.”
“Malam juga Tante Mama.”
Sambungan diakhiri oleh Kirana. Terjadi
keheningan sesaat antara Iqbal dan Acha. Keadaan
mendadak terasa canggung.
Acha memberanikan untuk menoleh ke Iqbal
sembari menyerahkan ponsel Iqbal.
“Iqbal,” panggil Acha lirih.
Iqbal menoleh.
“Hm?”
“Iqbal tadi gimana minta izinnya sampai Mama
Acha ngebolehin?” tanya Acha sangat penasaran.
Senyum Iqbal mengembang tipis, tangannya
mengacak-acak puncak rambut Acha gemas.
“Rahasia.”
Acha mencibir pelan.
“Nggak mau ngasih tau?”
“Nggak mau.”
“Kenapa?”
Iqbal sedikit mendekatkan wajahnya dengan
senyum semakin merekah.
“Biar aku dan Mama kamu aja yang tau.”
Seketika Acha membeku di tempat. Tatapan hangat
Iqbal dan kalimat Iqbal barusan entah kenapa
membuatnya sangat gugup. Apalagi, Iqbal sedari tadi
sudah menggunakan aku-kamu ke dirinya. Terdengar
sangat manis.
“Acha beneran boleh tidur di Apartmen Iqbal?”
“Boleh sayang.”
Acha merasakan pipinya memanas, menahan diri
untuk tidak salah tingkah. Jujur, Acha bingung sekarang
harus berbuat apa. Untuk pertama kali bagi Acha
menginap di Apartmen pacarnya dan hanya berdua.
Gelisah, takut dan gugup menjadi satu. Acha
berusaha untuk selalu fokus dan menjaga dirinya.
Walaupun Acha sendiri percaya bahwa Iqbal tidak akan
berbuat macam-macam kepadanya. Karena Iqbal selalu
berusaha menghargainya.
“Cha, kamu mau mandi dulu?” tawar Iqbal.
Acha langsung menoleh dengan pandangan kaget.
“Kenapa Acha harus mandi?” tanya Acha refleks.
Iqbal menatap Acha bingung.
“Kamu nggak cuci muka atau sikat gigi?”
Ah. Acha mengangguk-angguk dengan senyum
canggung. Ia merutuki pertanyaan bodohnya sendiri.
Efek terlalu gugup.
“Iya. Habis ini Acha mandi dulu,” jawab Acha lirih.
“Mandi di kamar tamu aja biar bisa langsung ganti
baju.”
“Acha nggak bawa baju ganti, Iqbal,” ucap Acha
memberitahu.
Iqbal menunjuk ke kamar tamu.
“Di lemari ada baju Kak Ify. Kamu bisa pakai.”
“Nggak apa-apa?”
“Iya. Pakai aja.”
“Kak Ify nggak marah bajunya dipakai Acha?”
“Nggak, Cha. Nanti aku kasih tau Kak Ify.”
Acha mengangguk. Ia pun memilih segera berdiri. Ia
mencoba untuk kabur dari situasi yang
mengugupkannya. Acha butuh untuk menenangkan
hatinya sebentar.
“Acha ke kamar tamu dulu ya Iqbal,” pamit Acha.
Iqbal mengangguk.
“Iya.”
Tanpa banyak kata, Acha langsung berlari kecil
masuk ke kamar tamu. Iqbal terkekeh pelan melihat
Acha yang sangat gugup dan salah tingkah.
Setelah Acha masuk ke kamar tamu, Iqbal segera
berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Iqbal juga
hendak membersihkan diri dan mengganti bajunya.
******
Hampir empat puluh menit, Acha mandi dan
mengganti baju. Sebenarnya butuh lima belas menit
saja untuk itu, sisanya Acha berdiam diri di kamar tamu
dengan perasaan yang semakin gugup. Niatnya ingin
mendinginkan pikiran dan mengurangi kegelisahannya
malah semakin menjadi.
Acha menaruh kedua tangannya di tengah dada
dan menarik napasnya pelan-pelan.
“Tenang, Cha. Jangan gugup.”
Acha memberikan semangat ke dirinya. Setelah itu,
Acha memberanikan diri keluar dari kamar tamu. Acha
melihat Iqbal yang sudah duduk di sofa ruang tengah di
temani tumpukan-tumpukan buku di atas meja.
“Iqbal lagi belajar?” tanya Acha menghampiri Iqbal.
Iqbal menghentikan aktivitasnya, ia menoleh ke
Acha. Iqbal tersenyum kecil melihat Acha sudah
mengganti bajunya dengan piyama merah muda milik
Ify.
“Iya. Mau langsung tidur?” tanya Iqbal.
Acha menggeleng, ia duduk di sebelah Iqbal.
“Acha belum ngantuk.”
“Nanti tidur di kamar aku aja.”
Acha merasakan jemarinya semakin dingin
mendengar pernyataan Iqbal barusan.
“I… Iqbal tidur dimana kalau kamarnya Acha
pakai?” tanya Acha.
“Aku bisa tidur di kamar tamu.”
“Acha aja yang tidur di kamar tamu. Nggak apa-
apa.”
“Kamar aku lebih luas, Cha. Kamu tidur di sana.”
Acha mengangguk saja, tak berani melawan lagi.
Keadaan sekarang masih terasa canggung untuknya.
“Sini, temenin aku belajar,” pinta Iqbal meminta
Acha duduk lebih dekat.
Acha lagi-lagi menurut, ia mendekatkan tubuhnya
dan menyenderkan kepalanya di dada kanan Iqbal. Acha
menemukan kenyamanan di sana. Setidaknya sikap
Iqbal sekarang sedikit mengurangi kegelisahannya.
“Iqbal bisa fokus belajar kalau Acha di sini?” Acha
menangkap tangan Iqbal sudah memeluk pinggangnya
seperti tadi. Acha tersenyum tipis, tak sekaget saat
pertama kali Iqbal melakukannya.
“Bisa,” jawab Iqbal.
“Acha nggak ganggu?”
“Nggak.”
“Iqbal belajar apa?” tanya Acha lagi.
“Kardiologi,” jawab Iqbal.
“Jantung?” tebak Acha.
“Iya.”
Acha mengangguk-angguk, kagum dengan sang
pacar. Padahal, dirinya juga sebentar lagi menjadi
mahasiswi Kedokteran.
“Mau aku ajarin?” tanya Iqbal.
“Nggak. Acha lagi nggak pengin belajar,” tolak
Acha.
Iqbal terkekeh pelan, kemudian mencium puncak
kepala Acha dengan gemas.
“Kalau belajar lebih sayang aku, mau?”
Acha langsung mendongakkan kepalanya, terkejut
dengan pertanyaan Iqal yang tidak biasa. Senyum Acha
mengembang.
“Memangnya sayang Acha ke Iqbal kurang?” tanya
Acha gugup.
Iqbal menggeleng.
“Nggak. Aku hanya pengin kamu selalu sayang
sama aku,” jelas Iqbal.
“Acha selalu sayang sama Iqbal sejak dulu sampai
sekarang.”
“Aku juga.”
Untuk beberapa detik mereka hanya diam dan
saling pandang, mencari kejujuran dari tatapan masing-
masing dan mereka sama-sama menemukannya.
“Sekarang panggilnya aku-kamu?” tanya Acha
malu-malu.
“Nggak suka?”
“Suka.”
“Aku juga suka.”
Acha langsung menyembunyikan wajahnya di balik
dada Iqbal, benar-benar dibuat salah tingkah dengan
sikap manis Iqbal sekarang. Hari ini merupakan salah
satu hari paling bahagia buat Acha.
“Acha malu, Iqbal,” rajuk Acha.
“Malu kenapa?” bingung Iqbal.
“Malu aja. Setiap kali Iqbal ngomong, Acha
langsung salah tingkah,” jujur Acha dengan polosnya.
Iqbal terkekeh pelan, tangannya beralih
menyentuh rambut Acha dan membelainya lembut.
Perlahan, Acha memberanikan diri untuk mengangkat
kepalanya. Acha mendapati Iqbal yang kembali fokus
belajar.
Acha mencari posisi nyaman di dada Iqbal dan tak
ingin mengganggu Iqbal. Acha berniat menemani saja.
Acha tanpa sadar ikut membaca buku yang dipegang
oleh Iqbal.
Acha menatap ke jam dinding, lima menit lagi
menunjukkan pukul dua belas malam. Acha langsung
menegakkan tubuhnya, membuat Iqbal kaget.
“Iqbal,” seru Acha.
“Ada apa, Cha?” tanya Iqbal bingung.
Acha tersenyum manis.
“Lima menit lagi hari ulang tahun Iqbal berakhir.
Iqbal ingin permintaan apa sebelum hari ini berakhir?”
tanya Acha.
Iqbal tertegun sesaat. Namun, otaknya langsung
berpikir cepat, permintaan apa yang diinginkannya.
“Nggak ada,” jawab Iqbal tak menemukan apapun.
“Harus ada! Buruan empat menit lagi,” paksa Acha.
Iqbal terkekeh pelan. Ia mengangguk-angguk,
mencoba berpikir sekali lagi. Iqbal memperhatikan Acha
yang menatapnya dengan tak sabar.
“Aku ada satu permintaan,” ucap Iqbal.
“Apa? Apa Iqbal?” sahut Acha semangat.
Iqbal berdeham pelan, mendekatkan tubuhnya ke
Acha. Kedua mata Iqbal tak beralih dari paras cantik
Acha. Tangan Iqbal menyentuh rambut Acha dan
membelainya lembut.
“Aku ingin kamu selalu tersenyum bahagia seperti
ini dan selalu ada di samping aku seperti ini.”
Kini giliran Acha yang dibuat tertegun mendengar
permintaan Iqbal.
“Acha akan kabulkan. Acha janji,” balas Acha
sungguh-sungguh.
Terjadi keheningan sesaat. Hingga Acha merasakan
Iqbal semakin mendekat dan mempertipis jarak
mereka. Acha meremas jemarinya, desiran hebat
menjalar di sekujur tubuh Acha.
Bahkan tangan Iqbal bergerak turun dan berhenti di
pipi Acha.
Jantung Acha langsung berdetak cepat saat jemari
Iqbal menyentuh hangat bibir Acha.
“Aku suka ciuman pertama kita,” lirih Iqbal,
suaranya terdengar memberat.
Acha meneguk ludahnya dengan susah payah. Acha
juga tanpa sadar beberapa kali menahan napasnya.
“Kamu juga suka?” tanya Iqbal.
Acha mengangguk pelan.
“Suka Iqbal.”
“Jangan pernah diberikan siapapun, hanya aku.”
“Iya, Iqbal. Acha hanya untuk Iqbal.”
Iqbal tersenyum, bahagia mendengar jawaban
Acha. Iqbal menarik Acha ke dalam pelukannya,
memberikan dekapan hangat untuk gadisnya.
“Aku juga hanya untuk kamu, Acha.”
Acha membalas pelukan Iqbal lebih erat.
“Selamat ulang tahun Iqbal.”
*****
Iqbal melirik Acha, beberapa kali gadis itu
menguap. Acha masih tidak mau masuk ke kamar dan
kukuh ingin menemaninya belajar.
“Ngantuk?” tanya Iqbal.
Acha mengangguk-angguk, sedari tadi matanya
mulai memberat.
“Iya, Iqbal.”
“Pindah ke kamar aku. Tidur di sana,” suruh Iqbal.
“Nggak mau. Acha masih pengin nemenin Iqbal.”
“Ya udah, tidur aja. Nanti aku bangunin.”
Acha mengangguk-angguk lagi. Perlahan, Acha
memejamkan kedua matanya, tangannya ia lingkarkan
ke perut Iqbal tanpa sadar, mencari posisi paling
nyaman. Iqbal tersenyum kecil, membiarkan saja Acha
menyenderkan seluruh tubuhnya pada dirinya.
“Selamat malam pacarku,” bisik Iqbal hangat.
*****
Tanpa sadar, satu jam telah berlalu. Iqbal menutup
bukunya dengan hati-hati tak ingin membangunkan
Acha yang sudah tertidur. Iqbal menatap Acha yang
seperti peri kecil, sangat menggemaskan. Dengkuran
halus terdengar dari bibir Acha.
Kedua mata Iqbal berhenti di bibir mungil Acha,
membuat kejadian di rooftop terputar kembali.
“Acha,” panggil Iqbal pelan. Ingin membangunkan
gadisnya.
Namun bukannya bangun, Acha semakin
mengeratkan pelukannya. Iqbal jadi tidak tega untuk
membangunkan Acha yang terlihat pulas.
Perlahan Iqbal melepaskan tangan Acha dari
perutnya. Kemudian, Iqbal membopong tubuh Acha,
memindahkan Acha ke kamarnya dengan hati-hati.
Iqbal membaringkan tubuh Acha di kasurnya. Lalu,
menyelimuti Acha. Iqbal tak langsung keluar, ia
menyempatkan untuk menatap Acha terlebih dahulu.
Iqbal sangat suka melihat wajah Acha saat tidur, seperti
anak kecil.
Iqbal mendekatkan wajahnya dan memberikan
ciuman singkat di kening Acha.
“Makasih banyak Natasha untuk hari ini.”
*****
Pukul dua dini hari, Iqbal masih tidak bisa tidur.
Setelah memindahkan Acha ke kamarnya, Iqbal
melanjutkan belajarnya. Seolah belajar yang lebih
penting daripada tidur.
Tangan Iqbal berhenti mengetik di keyboard laptop
saat mendengar pintu kamarnya terbuka. Iqbal melihat
Acha keluar dari kamar dengan mata setengah
mengantuk.
“Iqbal,” panggil Acha lirih.
Iqbal terkejut melihat Acha bangun. Iqbal menutup
laptopnya dan segera menghampiri Acha.
“Kenapa?” tanya Iqbal khawatir.
Acha berjalan mendekati Iqbal dan langsung
memeluknya. Acha menyenderkan kepalanya ke dada
Iqbal dengan mata kembali terpejam.
“Acha kebangun,” ucap Acha mengaduh.
Iqbal membelai lembut rambut panjang Acha.
“Tidur lagi ya.”
Acha menggeleng.
“Acha nggak bisa tidur lagi. Acha pengin peluk
boneka sapi Acha,” rajuk Acha seperti anak kecil.
Iqbal tertegun, otaknya langsung berpikir cepat
mencari boneka sapi untuk Acha. Iqbal langsung
teringat dengan boneka sapi kecil yang pernah Acha
berikan kepadanya satu tahun yang lalu.
“Aku cariin sebentar,” ucap Iqbal.
Acha membuka matanya, menatap Iqbal dengan
bingung.
“Iqbal punya boneka sapi?”
“Sepertinya ada. Boneka sapi kecil dari kamu.”
Acha mengangguk-angguk senang. Acha mengikuti
Iqbal untuk masuk kembali ke kamar tanpa mau
melepaskan pelukannya. Untung saja Iqbal sabar dan
kuat menahan tubuh Acha.
“Duduk dulu,” suruh Iqbal.
Acha menurut, ia duduk di pinggir kasur. Acha
memperhatikan Iqbal sedang membuka lemarinya
mencari boneka sapi di sana. Senyum Acha langsung
mengembang saat Iqbal mengeluarkan boneka sapi
kecil yang pernah menjadi boneka sapi kesayangan
Acha.
“Sapiii,” seru Acha langsung memeluk boneka sapi
tersebut dengan senang.
Iqbal terkekeh melihat tingkah Acha yang
menggemaskan.
“Buruan tidur lagi,” suruh Iqbal.
Acha mengangguk singkat, kemudian segera
membaringkan kembali tubuhnya di kasur dengan
kedua tangan memeluk erat boneka sapi. Acha melihat
Iqbal merapikan selimut di tubuhnya.
“Iqbal,” panggil Acha pelan.
“Kenapa?” balas Iqbal.
Acha menepuk pinggiran kasur.
“Tungguin sampai Acha tidur,” pinta Acha.
Iqbal tersenyum dan mengangguk.
“Iya.”
Iqbal duduk di pinggir kasur, menuruti permintaan
gadisnya. Acha melepaskan satu tangannya dari boneka
sapi, beralih untuk menggenggam jemari Iqbal dengan
erat.
“Jangan tinggalin Acha,” ucap Acha.
Iqbal tertegun dengan permintaan Acha yang tak
biasanya.
“Nggak, Cha. Aku nggak kemana-mana.”
“Selalu di samping Acha, ya.”
“Iya.”
Acha tersenyum, ia bangun dan mendudukan
tubuhnya, membuat Iqbal bingung.
“Kenapa bangun?” tanya Iqbal.
“Ada yang mau Acha tanyain ke Iqbal.”
“Tanya apa?”
Acha bergumam sebentar, mengumpulkan
keberaniannya.
“Saat permainan PISAPI tadi. Kenapa Iqbal nggak
jawab jujur?”
Iqbal terdiam, tak langsung menjawab.
“Iqbal malu sudah ciuman sama Acha?” tanya Acha
lagi karena Iqbal tak kunjung menjawab.
Iqbal menggeleng, tangannya beralih
menggenggam jemari Acha sangat erat.
“Aku nggak malu, Cha.”
“Terus?”
Iqbal tersenyum dengan sorot mata hangat.
“Aku pengin hal itu menjadi kenangan indah dan
hanya kita berdua yang mengingatnya.”
Acha tersentuh mendengarnya.
“Tapi, Acha tadi sudah terlanjur jujur sama
Amanda. Nggak apa-apa?”
Iqbal menggeleng lagi.
“Nggak apa-apa,” jawab Iqbal tak
mempermasalahkan.
Acha menghela napas lega, mengira Iqbal akan
marah kepadanya.
“Acha cerita ke Tante Mama juga boleh?” tanya
Acha minta izin.
“Hah?” kaget Iqbal.
“Acha selalu cerita apapun ke Tante Mama. Bahkan,
waktu Iqbal pertama kali cium kening Acha juga Acha
cerita ke Tante Mama,” akuh Acha.
Iqbal mengerjap-kerjapkan kedua matanya, cukup
terkejut mendengar pengakuan Acha.
“Terus?”
“Tante Mama cuma senyum-senyum waktu
dengerin cerita Acha.”
Iqbal tertawa pelan, tak menyangka Acha seterbuka
itu ke Mamanya.
“Jadi, Acha boleh kan cerita juga ke Tante Mama?”
ulang Acha.
Iqbal mengangguk.
“Boleh sayang.”
Acha merasakan kedua sisi pipinya semakin
tertarik, ia tak bisa menahan untuk tidak tersenyum.
Kehadiran Iqbal sekarang membuatnya selalu bahagia.
Iqbal memperlakukannya lebih manis dan lebih banyak
waktu untuknya.
“Iqbal, Acha mau bisikin sesuatu.”
“Apa?”
“Sini.”
Acha melambai-lambaikan tangannya, meminta
Iqbal untuk mendekat dan Iqbal menurut saja, ia
mendekatkan wajahnya ke Acha.
Cup!
Bukannya bisikan yang Iqbal dapat, melainkan
sebuah kecupan singkat di pipi kanan Iqbal.
“Selamat malam Iqbal,” seru Acha langsung
kembali berbaring dan bersembunyi di dalam selimut.
Sedangkan Iqbal masih terdiam kaget. Iqbal
menyentuh pipi kanannya kemudian menatap Acha
yang sudah ada di dalam selimut.
Kedua sudut bibir Iqbal mengembang.
“Natasha,” panggil Iqbal.
“Acha sudah tidur.”
“Buka selimut sebentar,” pinta Iqbal.
Perlahan, Acha memberanikan diri membuka
selimutnya, Acha mendapati Iqbal yang tengah
menatapnya begitu dalam.
“Acha sudah buka selimutnya Iqbal.”
Tangan Iqbal terulur, menyentuh pipi Acha lembut.
Acha dapat merasakan jantungnya berdetak sangat
cepat. Tangan Iqbal terasa hangat di pipinya.
“Aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Aku
benar-benar sayang kamu, Cha. Jadi, kamu juga jangan
tinggalin aku.”
Acha mengangguk cepat.
“Acha nggak akan pernah tinggalin Iqbal.”
Tangan Iqbal menurun, menyentuh jemari Acha.
Iqbal mencium punggung tangan Acha dengan lembut.
“Aku selalu ingin bersama kamu, Natasha.”
*****
SELESAI
#CUAPCUAPAUTHOR
Salam,
Luluk HF