Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

Alex begitu fokus menyelesaikan lukisannya. Anak laki-laki berusia sebelas tahun itu tidak
terganggu dengan apapun di sekitar. Matanya hanya tertuju pada canvas di hadapannya--
sesekali menoleh ke arah objek lukisan: sebuah keranjang berisi apel, pisang, melon dan
semangka di atas meja kecil tak jauh dari tempatnya duduk. Lukisannya sudah hampir
selesai--tinggal satu pisang yang belum sepenuhnya terwanai dan juga latar belakang.
Lukisannya itu begitu mirip dengan objek aslinya.

Di samping Alex, duduk Alia yang sedang serius menatap layar HP. Dahi gadis berusia enam
belas tahun itu berkerut dan tergambar jelas di wajahnya kalau dirinya sedang fokus
memikirkan sesuatu. Jempolnya men-scrol layar HP dengan tak sabar seolah sedang fokus
dengan informasi yang sedang diterimanya. Dibacanya berkali-kali sebuah artikel dari situs
entertainment yang memberitakan Dinda Sonaya, seorang artis papan atas Indonesia berusia
tiga puluh delapan tahun yang di foto tampak begitu cantik dengan balutan gaun satin merah.
Dirinya sedikit terkejut dengan judul artikel itu “Penghargaan Piala Seni: Dinda Sonaya
Terpilih Sebagai Artis Terbaik.”

“Lagi liatin apa sih, Kak? Serius amat,” Alex berkata pada Alia. Tangannya tetap
menggoreskan kuas di canvas dengan konsisten. Pandangannya tak teralihkan dari
lukisannya.

Alia tak kunjung menjawab. Dirinya terpaku pada layar HP karena membaca berita yang tiba-
tiba itu. Dia memang tahu Dinda Sonaya dinobatkan sebagai salah satu nominasi ajang
penghargaan bergengsi yang hanya aktor atau artis luar biasa yang pantas memperolehnya,
tetapi dia tak siap saat tahu artis yang terkenal di publik sebagai “Ratu Es” karena sikap tegas
dan dinginnya itu terpilih sebagai pemenang. Dia hanya terlalu terkejut saja. Hatinya
merasakan getaran tak terlukiskan saat nama yang tak asing lagi baginya itu diberitakan
sebagai salah satu pemenang. Bukan sekedar pemenang, tapi pemenang artis terbaik. Apalagi
Penghargaan Piala Seni telah diselenggarakan sejak tahun tujuh puluhan dan merupakan satu-
satunya pelopor ajang apresiasi aktor dan artis pertama di Indonesia. Jurinya pun tak main-
main, jajaran aktor dan artis senior yang sudah go international  dan bisa dipastikan ketat
dalam menyeleksi dan memilih pemenang dari tiap-tiap kategori. 
Alex menghentikan kegiatan melukisnya dan menghela napas perlahan. Guru melukisnya ini
selalu saja mudah terganggu dengan hal-hal lain saat mengajarinya melukis. “Kak, aku
kesulitan nentuin latar belakangnya nih.”

Alia tersadar dari keterpakuannya pada berita di HP. Dirinya langsung menyadari
kesalahannya sudah menggunakan waktu mengajarnya dengan hal lain. Namun, saat melihat
lukisan Alex, pikirannya tiba-tiba kosong dan nyaris lupa sebenarnya apa yang sedang
dilakukannya di sini. “Em, ya terserah kamu, Dik. Kamu mau ngelukis aliran naturalis, kan?
Latar belakangnya bisa warna tunggal atau sesuai imajinasimu. Bebas aja.”

Alia menyadari kalimatnya terkesan tak yakin. Jujur, dia masih belum bisa fokus. Apakah
sudah waktunya jam les berakhir? pikirnya. Namun, saat melihat jam di layar HP-nya,
ternyata waktu hanya berjalan setengah jam semenjak kelas dimulai. 

Alex tak bertanya lagi. Anak laki-laki itu malah sempat berpikir guru lesnya ini kurang
kompeten dengan memberikan jawaban yang kurang berdasar itu. Namun, karena sudah
setengah jalan, diteruskannyalah lukisannya yang nyaris selesai itu. Lagipula, dia sudah
meminta kakaknya lewat chat untuk menjemput saat tahu hari itu guru lesnya sepertinya
sedang tak fokus mengajar.

Alia memang benar-benar tak bisa fokus. Dirinya ingin keluar sejenak untuk menata hati.
“Dik, kakak ambil minum sebentar ya. Adik mau apa?”

Alex bergumam, “Air putih aja, Kak,” dengan terus serius menatap canvas seraya melukis.

Alia cepat-cepat bangkit dari duduk dan keluar ruang lukis itu. Dia berjalan seraya menyerap
segala informasi di berita yang baru saja dia baca di HP. Perasaannya campur aduk, antara
senang dan sedih. Dirinya merasa seakan ditinggalkan. Jauh dari sosok yang dulu saat kecil
dekat dengannya. 

Gadis itu menghela napas untuk menenangkan diri. Baru kemudian di sadari suasana begitu
sepi. Di mana kakek?

“Kek?” Alia mengintip kamar kakeknya yang terbuka sedikit. Saat disadari suasana kamar
sepi, dibukanya kamar itu lebih lebar. Tak dilihatnya sang Kakek.
Alia menghela napas. Kakeknya pasti kesepian ditinggalnya mengajar Alex belajar melukis.
Langkah Alia perlahan menuju dapur. Ah, tadi kan aku mau minum.

Diambilnya dua gelas kaca sebelum diisi air dari dispenser. Namun, saat langkahnya akan
menuju kembali ke ruang lukis, terdengar suara bel dari pintu depan. Alia urung membawa
dua gelas kaca itu dan meletakkannya di atas meja makan. Siapa ya? Apa Kiara dan Lea
mampir?, pikir Alia teringat dua sahabatnya.

Terdengar suara kakeknya yang keras sedang berbicara pada seseorang. Alia beranjak ke
ruang tamu dan melihat seorang pemuda duduk di sofa ruang tamunya sedang berbicara pada
kakeknya. Alia mengerutkan kening memikirkan siapa pemuda yang tak dia kenal itu dan
sedikit mengangguk ke arah pemuda itu sebelum duduk di samping kakeknya. 

"Ini cucu Kakek. Guru lesnya Alex," Kakek berbicara lantang seraya mengedikkan
jempolnya ke Alia. “Ini Kakaknya Alex, Lia. Datang untuk menjemput Alex.”

Pemuda itu lantas tersenyum lebar dan mengulurkan tangannya pada Alia, “Theo.”

“Alia,” ujar Alia pelan seraya menyambut uluran tangan laki-laki itu.

“Tadi adik saya menghubungi buat dijemput. Apakah--”

“Kak Theo!” 

Alex tiba-tiba muncul di ruang tamu lengkap dengan tas ransel yang disandangnya di bahu.
“Aku pulang dulu, Kak.” lanjut anak laki-laki itu sambil melirik Alia.

Dari wajah Alex yang bete, Alia paham anak didiknya itu sedang kesal dengan sikapnya
barusan yang kurang fokus mengajar. Makannya Alex menghubungi sang kakak untuk
dijemput.

Alia memperhatikan lagi wajah Theo. Rasanya kok pernah lihat ya.

“Em, Kakak satu sekolah sama saya? em… SMA Pelita!” spontan Alia berkata sebelum Theo
hendak pamit.
Theo urung bangkit. Wajahnya tampak seakan tersadar akan sesuatu saat menatap Alia lebih
seksama. Dia tersenyum lebar dan menjawab, “Iya, betul.”

Ah, ternyata benar dia satu sekolah sama aku, pikir Alia.

“Oh, kalian satu sekolah, tho!” Kakek berkata seraya tertawa. “Alia ini kelas satu SMA di
sana. Berarti pernah ketemu ya?”

Theo tersenyum lebar pada kakek. “Iya, Kek. Makannya saya kayak merasa pernah lihat Alia.
Saya sudah kelas tiga di SMA Pelita”

“Kak Theo, aku tunggu di depan ya,” Alex berjalan ke luar melewati pintu. 

Theo mengangguk sopan pada kakek dan tersenyum pada Alia, “Saya pamit dulu Kek, Alia.”

Alia balas mengangguk sopan. Ternyata Alex punya Kakak, tetapi kok dia nggak pernah
ngomongin kakaknya ini ya? Ah, Alex memang tak banyak bicara lagipula.

Alia menutup pintu sebelum kembali duduk di samping kakek. Kedatangan pemuda itu
sejenak membuatnya lupa dengan artis Dinda Sonaya. Dirinya merenung cukup lama di
samping kakeknya hingga sang kakek menyadari cucunya begitu diam.

“Kamu nggak ngunjungin ibumu? Kakek tadi di telpon sama manajer ibumu katanya kamu
diminta ibumu datang.”

Alia menghela napas panjang. Hatinya gundah. Jika boleh memilih, dia tak mau bertemu
dengan ibunya. Dia merasa ada jarak antara dia dan ibunya.

“Ya nanti Alia usahain, Kek.”

Kakek tersenyum mengerti. “Kunjungi ibumu. Kakek senang kalau kamu akrab sama ibumu.
Kakek sudah sejak kecil merawat ibumu. Kakek tahu ibumu juga sayang sama kamu.”

Alia tak menjawab. Rasanya ada beban begitu berat di pundaknya tiap kali mengunjungi
ibunya. Apalagi sang ibu pernah mewanti-wanti agar hubungan mereka tidak diketahui
publik. Alia mengerti, ibunya hanya menganggapnya sebagai beban. Mana mungkin seorang
wanita yang telah terkenal sebagai artis papan atas masih mau mengurus sang anak yang
semenjak bercerai sang anak lebih memilih tinggal dengan mantan suaminya? Otak Alia
semakin pusing. Teringat kembali olehnya sang ayah yang meninggal karena sakit kanker
usus saat umurnya baru tujuh tahun dan akhirnya dirinya tinggal dengan kakeknya.
Ditepisnya kenangan menyedihkan itu cepat-cepat dari pikirannya karena membuatnya makin
pusing.

“Alia bersihin ruang lukis dulu ya, Kek.”

Kakek bergumam meng-iya-kan. Saat Alia beranjak pergi, ditatapnya cucu perempuan
semata wayangnya itu, anak dari putri satu-satunya. Tak ada yang lebih membahagiakannya
selain Alia dan sang ibu, Dinda Sonaya, memperbaiki hubungan mereka.

 
BAB 2

"Lagu ini untuk tiap hati yang sedang merindu. ‘AKU UNTUKMU SELALU’ everyone!""

“WOOOO!!!”

Alia terdorong-dorong oleh para penonton konser di belakangnya. Apalagi Kiara dan Lea--
dua sahabatnya--berjingkrak-jingkrak di sampingnya. Alia tak habis pikir dengan manusia-
manusia ini. Mengapa mereka rela berdesak-desakkan hanya untuk menonton orang
bernyanyi di atas panggung. Ini konser pertamanya dan dia belum terbiasa dengan kehebohan
yang ada. Kiara mengajak Alia karena tahu sahabatnya itu pasti sedang mengunci diri dengan
cara menyedihkan di kamar sambil membaca buku atau melukis di malam minggu itu kalau
saja tak dibujuk untuk menonton konser. Apalagi Lea butuh konten menarik untuk
instagramnya. Jadilah Alia berdesak-desakan dengan ratusan penonton yang memenuhi hall
untuk menonton JEJAKA, grup musik indie yang sedang naik daun dengan lagu terbaru
mereka “AKU UNTUKMU SELALU”
 

Lirik terakhir diakhiri dengan sorak sorai penonton. Alia semakin terdorong-dorong ke depan
dan ke belakang. Kiara dan Lea berteriak gembira di sampingnya. Alia masih tak habis pikir
dengan itu. Dia mendesah. Mungkin aku kelewat introvert.

“Mari diam sejenak…, saling bergandengan tangan boleh. “BIASA TANPAMU”. Lets
enjoy…”

Lagu berikutnya mengalun. Alia langsung heran dengan perubahan suasana yang terjadi di
sekitarnya. Para penonton langsung ikut menyanyi dengan tenang mengikuti irama lagu yang
lebih kalem dari sebelumnya. Lea memeluk lengan kirinya dan menyandarkan kepala di bahu
Kiara yang tampak terharu sampai menutup mulut serta hidungnya dengan menangkupkan
tangan. Dua sahabatnya itu bergoyang pelan ke kanan dan ke kiri menikmati suara vokalis
JEJAKA. Alia hanya mengamati orang-orang di sekitarnya, kebiasaannya saat tengah berada
di keramaian.

Akhirnya konser selesai juga walau hampir tengah malam. Alia sudah sangat mengantuk dan
dua sahabatnya juga mulai tampak lelah. Mereka bertiga pulang dengan mobil Lea.
“Gimana seru, kan? Lain kali kita cobain lagi yuk!” Kiara tampak senang sekali seraya
menoleh ke arah Alia yang duduk di sampingnya. Gadis tambun dengan riasan wajah cukup
tebal itu memang dasarnya periang dan suka diajak bersenang-senang. 

“Kalian mah oke-oke aja. Gue nggak biasa nih,” sahut Alia jujur. Sebenarnya, dia tak mau
ikut konser macam apapun lagi. Bukan style-nya saja. Terpaksa ikut nyatanya pulang-pulang
capek dan dirinya merasa telah buang-buang waktu. 

“Pengalaman kali, Al! Hehe," ujar Lea lantang seraya tetap sibuk menyetir. “Kapan lagi, ya
nggak?”

“Iya…, iya…" gumam Alia hanya untuk menyenangkan dua sahabatnya.

Kiara tersenyum begitu juga Lea. Mereka sebenarnya tahu Alia karakter yang kelewat pasif
dan lebih suka menghabiskan waktu sendiri. Walau begitu, bagi mereka, Alia sahabat yang
peduli dan ringan tangan. Alia punya kharisma sendiri bagi dua sahabatnya itu. Selain cantik,
Alia tak suka melebih-lebihkan kecantikannya dan cenderung low profile. Malahan, mereka
lah yang sering “mempromosikan” Alia ke cowok-cowok. Namun, tetap saja, Alia tak
tertarik. Gadis ramping berambut panjang itu tetap setia dengan kesendiriannya yang
nyaman.

Mobil melaju dengan tenang. Alia hanya diam menatap keluar jendela mobil karena satu sisi
dia sudah lelah dan mengantuk serta di sisi lain pikirannya tengah ruwet memikirkan desakan
kakeknya untuk segera menemui sang ibu. Manajer ibunya bahkan meneleponnya dan
mengatakan sang ibu ingin sekali bertemu dengannya. Alia memejamkan mata dengan letih.
Apa ibunya memang benar-benar peduli padanya? Namun, dibalik harapan itu, terselip
keraguan: mengapa sang ibu tak meneleponnya sendiri?

Kiara menguap di sampingnya. Gadis itu berusaha untuk tetap terjaga dengan menggeleng-
gelengkan kepala. Lea tak diayal tertular rasa kantuk dengan ikut menguap.

“Kok gue ngantuk banget ya,” ujar Lea dari kursi kemudi.

“Setel aja radionya,” celetuk Kiara yang matanya sudah terasa seperti tinggal setengah watt.
Lea langsung menyalakan radio dan mencari siaran yang menarik—setidaknya siaran yang
bisa mengusir rasa kantuk mereka. Lagu R&B pun akhirnya mengalun di mobil dan mereka
mulai bernyanyi mengikuti irama lagu. Namun, akhirnya lagu itu pun selesai dan suara
renyah penyiar radio wanita terdengar.

“Gimana malam minggunya sobat FM? Wah pasti seru banget ya. Tambah seru lagi dengan
mendengarkan cerita yang sangat menarik dari salah seorang penggemar setia FM nih.
Jadi, mulai hari ini, kami akan menyiarkan tulisan-tulisan ungkapan hati penuh makna
darinya yang akan dibacakan oleh teman saya Andri. Yuk kita dengarkan bersama-sama!”

Lagu intro mengalun lembut sebelum disusul oleh suara laki-laki yang terdengar bass.

“Kalian pasti tahu makna dari sosok yang berharga dalam hidup kalian adalah agar kalian
bisa belajar untuk mencintai. Kalian juga pasti tahu kehilangan orang itu secara perlahan
merenggut cahaya dari kehidupan kalian. Semua orang pasti pernah kehilangan. Semua
orang pasti pernah merasakan sakit. Aku pun juga. Sosok yang begitu peduli dan penuh cinta
kasih padaku direnggut dariku begitu saja. Sebuah kata ‘kehilangan’ mengandung banyak
makna. Perpisahan. Kematian. Ditinggalkan. Namun, satu hal yang pasti sama: menorehkan
rasa sakit yang mendalam. Butuh waktu untuk menyembuhkannya. Butuh waktu untuk
memahami apa yang telah terjadi, tetapi aku akan selalu ingat untuk terus berupaya bangkit
dari luka itu, seberapa pun sakit yang diakibatkannya.”

Alia tercenung mendengarnya. Dia akhirnya sadar matanya mengabur. Dirinya begitu tertaut
dengan ungkapan hati yang baru dibacakan di radio itu. Cepat-cepat diusap matanya sebelum
dua sahabatnya menyadari. Mengapa aku begitu terbawa perasaan dengan ungkapan hati
yang baru dibacakan barusan? 

“Eh, itu kafe baru, ya?” Lea melihat sebuah kafe di depan mereka.

“Mampir yuk!” Kiara tiba-tiba tak mengantuk lagi. “Yuk, yuk mampir, yuk!” celotehnya
girang di samping Alia. Dia makin kegirangan saat Lea membelokkan mobil dan parkir di
halaman depan kafe.

“Keren banget ya eksteriornya!” ujar Lea lantang saat mereka bertiga keluar dari mobil.
Gadis kurus tinggi  itu langsung dengan sigap mengeluarkan HP dan cepat-cepat
mengabadikan eksterior kafe untuk stok konten Instagramnya. “Fotoin dong! Fotoin gue!”
Alia menghela napas walau segaris senyum tampak di wajahnya karena terhibur dengan ke-
exited-an sahabatnya. Dirinya menawarkan untuk membantu memfoto Lea. Lea langsung
berlari ke depan kafe dan sigap berpose.

CEKREK!

“Makasih Alia sayang!” Lea berlari senang ke arah Alia dan tak sabar melihat hasil
jepretannya. “Bagus!" Lea menoleh ke arah Alia. “Lo sekalian foto juga Al!”

“Nggak deh, gue pengin kopi aja di dalam. Yuk masuk,” 

“Yuk! Yuk!” sahut Kiara semangat. Dirinya tak sabar menyantap makanan yang di sediakan
kafe. Gadis yang suka ngemil itu menyadari perutnya sejak tadi keroncongan setelah
menonton konser.

Kafe itu memang bagus. Saat masuk, Alia disambut lampu-lampu temaram yang
menghangatkan mata. Dindingnya dihiasi lukisan-lukisan artistik berukuran besar yang
mencuri perhatian. Alia memilih duduk di salah satu kursi kafe disusul oleh dua sahabatnya. 

Seorang pelayan kafe perempuan mendekat dan dengan sopan menyapa mereka serta
meletakkan buku menu. Pakaian pelayan kafe itu juga unik. Konsep kafe itu sepertinya merah
muda dan hitam. Alia melihat pelayan-pelayan kafe laki-lakinya memakai pakaian bernuansa
hitam sedangkan para pelayan kafe perempuannya mengenakan pakaian bernuansa merah
muda.

Mereka bertiga memesan pesanan masing-masing dan pelayan itu pun undur diri. Kiara diam-
diam memfoto Alia saat sahabatnya itu main HP. Namun, suara jepretannya terdengar dan
Alia langsung menyadari dirinya difoto. Dia langsung protes. Jangan-jangan Kiara nanti
mempostingnya di story Instagram. Dirinya tak suka terekspos.

“Bagus loh Al! Lihat nih!" Kiara tersenyum lebar dan menyerahkan HP-nya kepada Alia.
Alia cepat-cepat mengambil HP itu untuk menghapus fotonya. Namun, disadarinya seorang
laki-laki tak sengaja tertangkap kamera dan saat foto itu dia zoom-in dia sadar ternyata wajah
laki-laki di foto mirip dengan laki-laki yang pernah dilihatnya baru-baru ini: kakak dari murid
les melukisnya. Dipastikannya lagi laki-laki yang di foto tampak serius memandangi laptop
itu. Apa benar Kak Theo? Kakak kelas itu?
Ditolehkannya kepala perlahan ke belakang. Oh, benar, memang dia.

Tanpa sengaja tatapan mereka bertemu. Alia langsung tersenyum karena bagaimana pun
mereka sudah pernah bertemu. Theo balas tersenyum lebar dan sedikit mengangguk sopan.
Ah, masih ingat aku ternyata, pikir Alia.

“Eh, siapa tuh Al?” Lea langsung kepo. Tadi sempat dilihatnya laki-laki yang duduk di
seberang tersenyum pada Alia. 

“Kakak kelas kita, adiknya murid les gue,” jawab Alia kalem.

“Kak Theo ya?” Kiara langsung menyahut. Alia mendongak menatap Kiara. Ah, ternyata
Kiara diam-diam tahu. “Pernah kenalan sih. Kakaknya wawancara gue soal make up.
Katanya buat majalah sekolah," jelas Kiara.

“Oh, berarti dia masuk ekskul jurnalistik ya?” tanya Lea. Gadis itu tak mau ketinggalan
informasi apapun. Apalagi menyangkut kakak kelas cakep macam Theo.

“Iya lah pastinya,” jawab Kiara enteng. “Kakaknya ramah Kok. Banyak senyum."

Lea mengangguk-angguk. “Gue baru tahu nih. Habis sekolah kita itu gede banget. Muridnya
aja seribu lebih.”

Alia langsung teringat dengan sekolahnya. Dirinya masuk ke sekolah elit itu hanya karena
dorongan kakeknya. Dia sebenarnya enggan. Semenjak tinggal bersama kakeknya, kakeknya
lah yang membiayai sekolahnya dengan uang pensiun. Alia menghela napas. Sang ibu bukan
semerta-merta menelantarkannya. Ibunya terkadang mentransfer sejumlah besar uang
kepadanya. Namun, uang itu hanya berakhir di rekeningnya tanpa tersentuh. Dia merasa
belum bisa memakainya. Sang ibu yang begitu jarang ditemuinya semenjak umur enam tahun
terasa begitu jauh dan asing. Dia merasa tak pantas menerima uang pemberian dari wanita itu.
Makanya dia membuka les melukis privat untuk membiayai uang sekolah walau dia sendiri
masuk ke SMA melalui jalur prestasi dari piagam-piagam penghargaan juara melukisnya
selama ini. Diakui dirinya hanya gadis sederhana penerima beasiswa yang seharusnya tak
pantas belajar di sekolah se-elit itu.

“Hai…” 
Alia langsung tersadar dari lamunan. Dilihatnya Lea tersenyum lebar dan Kiara tersenyum
manis sedangkan tatapan mereka tertuju pada seseorang di sampingnya. Alia menoleh. Kak
Theo sedang berdiri di dekatnya lengkap dengan ransel yang disampirkan di bahu.
Penampilan laki-laki itu sederhana saja--hanya memakai kaos warna abu-abu, celana cargo
pendek warna khaki dan sepatu converse yang terlihat lusuh. 

Alia mengangguk sedikit seraya mencoba untuk tersenyum sopan. 

“Gue cuma datang buat nyapa aja. Kiara, kan? Dan satunya lagi…," Theo sengaja
menggantungkan kalimatnya.

“Lea, Kak!” sahut Lea dengan sigap memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan
pada Theo. Theo menyambutnya seraya tersenyum lebar. “Theo.” 

“Salam kenal Kak!” sahut Lea seraya menampilkan senyum terlebarnya.

Tatapan Theo beralih ke Alia. “Alia ya? Guru les Alex?”

Alia mengangguk.

Theo melanjutkan, “Makasih udah ngajarin adik gue ngelukis. Alex memang cuek, tapi lo
nggak kesulitan kan ngajar dia?”

Mau tak mau Alia bersuara, “Alex sangat berbakat. Kakak pasti bangga sama dia."

Theo tersenyum lembut. “Tentu saja. Malah, adik gue itu yang banyak berkorban
sebenarnya.”

Kening Alia berkerut. Maksud Kak Theo?

Lea tersenyum lebar. “Kak Theo gabung sini sama kami! Tadi kami habis liat konser, Kak.
Seru banget lho! Terus liat Kak Theo--”

Kiara berdehem dan segera mengambil alih, “Kakak udah mau balik, ya?” Kiara paham Theo
hendak pulang. Baru saja sebelum menuju meja mereka sempat dilihatnya Theo membayar
bill di kasir.
Theo tertawa, “Wah, iya betul," kemudian tatapannya beralih kepada Alia. “Alia, adik gue
kadang cerita tentang lo. Lo memang suka seni, ya? Katanya lo juga suka baca. Gue sendiri
seneng nulis. Mungkin karena gue juga suka baca.”

Alia mulai merasa nyaman. Setidaknya dia menemukan orang yang mempunyai hobi yang
sama dengannya. “Betul, Kak. Rasanya ada yang hilang kalau nggak baca sehari aja.”

Theo menyahut, “Maksud lo kehilangan seperti apa?” dirinya tersenyum. ”Sebuah kata
kehilangan mengandung banyak makna."

Alia mengerutkan kening. Rasanya dia pernah dengar kalimat itu. Seperti baru saja dia
mendengarnya. Ah! Alia akhirnya teringat. Itu salah satu kalimat dari tulisan ungkapan hati
yang tadi didengarkannya di siaran radio. Apakah Kak Theo juga mendengarkannya?

“Hati-hati, Kak!” Kiara berteriak lantang. Theo tersenyum seraya mengangkat tangan
sebelum melambai ringan. Malah Kiara yang heboh sendiri mengangkat tangannya tinggi-
tinggi dan melambai kuat-kuat, “Sampai nanti Kak Theo!” pekiknya dari tempat duduk.

Alia tersenyum dan mengangguk kecil pada Theo. Dirinya baru sadar sempat termenung
sampai tak sadar Theo telah pamit.

Jadi, apa Kak Theo benar-benar mendengar ungkapan hati dari siaran radio itu? Apakah
artinya dia juga merasakan hal yang sama seperti saat aku mendengarkannya?  Apakah itu
artinya dia telah melewati hal yang sama sepertiku? 

Alia menatap punggung Theo hingga sosok laki-laki itu hilang dari pandangan.

Ah, bisa jadi hanya kebetulan saja, pikir Alia menyimpulkan. Mungkin aku hanya terlalu
terbawa perasaan dengan siaran radio tadi, lagipula, aku memang terlalu perasa.

 
BAB 3

“Uhuk…Uhuk…” 

Theo langsung sadar dan menoleh ke arah kakaknya, Andri. Mereka sedang duduk di ruang
makan. Wajah Andri tampak pucat dan dia memakai jaket walau tak dingin. Andri sadar
dirinya sedang ditatap Theo dan akhirnya menjelaskan, “Ah, jangan khawatir. Cuma batuk
biasa. Gue hanya kurang istirahat saja karena begadang semalaman.”

Theo menghela napas. Dirinya tak mau Andri jatuh sakit. Bukan semata karena jadi tak ada
yang membacakan tulisannya di radio, tetapi bagaimana pun juga Andri kakak semata
wayangnya. 

“Sudah jangan memandang gue dengan tatapan seperti itu, makan saja. Alex mana?" Andri
bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar ruangan sambil terbatuk-batuk. “Lex!”
suaranya terdengar semakin menjauh.

Semenit kemudian, Alex melenggang masuk ke dalam ruang makan. Andri menyusul
setelahnya, tetapi tiba-tiba dirasakan tubuhnya oleng dan dia berpegangan pada dinding ruang
makan. 

“Kak!”  Theo bangkit berdiri. Alex menoleh dengan tetap di kursinya.

Andri merasakan kepalanya pening. Dikerjap-kerjapkan matanya sebelum menggelengkan


kepala kuat-kuat. Dia mencoba tersenyum, “Kalian makan dulu ya. Kakak mau istirahat
sebentar,” ujarnya kemudian sebelum berjalan terseok-seok menuju kamarnya.

“Kakak nggak makan?” tanya Theo lantang. 


“Nanti aja!" sahut Andri dari jauh sebelum kembali terbatuk.

Theo kembali duduk. Hhhh…, dia mendesah pelan. Selalu saja.

“Biarin aja, Kak. Cuma batuk biasa,” Alex berkata pelan sebelum memasukkan roti lapis ke
mulutnya. 

Theo menatap Alex seksama dan timbul perasaan iba pada adiknya yang baru kelas enam SD
itu. Bukan tanpa sebab anak itu bersikap jauh lebih dewasa dari umurnya. Ibu mereka telah
meninggal dunia saat Alex masih berusia empat tahun. Ayah mereka yang seorang penulis
novel terkenal sering bepergian ke luar kota. Ditambah lagi Alex harus menerima kenyataan
kakak pertamanya yang sering jatuh sakit dan tak bisa untuk selalu diandalkan. Sedang
dirinya sendiri senantiasa sibuk dengan dunianya. Terkadang Theo berpikir sang adik telah
banyak berkorban untuk mereka dengan menjadi anak yang cepat dewasa dan harus
mengurus segala keperluannya sendiri.

“Ayah belum pulang dalam waktu dekat. Kakak saja yang menghadiri pameran lukis
sekolahmu," Theo berujar. Dia merasa harus lebih memperhatikan Alex apalagi semenjak
ayahnya akhir-akhir ini semakin sibuk ke luar kota.

“Terserah,” jawab Alex singkat. “Tapi aku nggak berharap banyak. Kakak pasti nggak datang
lagi.”

Theo memejamkan mata dan merapatkan bibir karena teringat kesalahan yang dibuatnya
dulu. Dibukanya matanya perlahan seraya menghela napas, “Kemarin waktu kakak nggak
bisa ngambil rapormu karena Kak Andri kan lagi sakit."

Alex mengangguk-angguk seolah berlagak mengerti. “Kakak juga nggak hadir saat pentas
seni sekolah.”

Lagi-lagi Theo memejamkan matanya seraya merapatkan bibir. Dibuka lagi matanya dan kali
ini berkata dengan nada benar-benar menyesal, “Yang itu kakak ngaku salah. Kakak harus
ngerjain majalah sekolah yang mau terbit.”

Alex menegak segelas air dan menyandang tas ransel yang tadi diletakkannya di sandaran
kursi. “Nggak perlu memaksakan diri buat dateng. Aku tahu kakak punya kesibukan sendiri,”
usai berkata seperti itu, Alex bangkit berdiri dan berjalan ke depan rumah karena Pak Mamat,
supir ayahnya,  sudah menunggu. 

Theo hanya bisa terdiam. Dirinya sebenarnya juga merasa kesal dengan apa yang terjadi.
Andai saja ibu masih hidup, dia tak perlu sesusah ini berusaha untuk memikirkan saudara-
saudaranya. Sang ayah yang begitu sibuk seakan tak pernah punya waktu untuk mereka.

Setelah menyelesaikan sarapan, Theo hendak bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Bibik
Marni, pembantu mereka, datang untuk membersihkan meja makan, tetapi dia melihat piring
Andri tidak tersentuh dan mengambilnya, “Den, Den Andri belum makan?”

Theo menghela napas. “Sini Bik, biar saya saja yang nganter ke kamarnya,” Theo berkata
seraya mengambil piring itu dari Bibik Marni. 

“Den Andri sakit lagi?” Bibik Marni bertanya dengan khawatir. Dirinya tahu anak sulung
majikannya itu memang sering sekali sakit. Dia sendiri sudah bekerja untuk waktu yang lama
sebagai pembantu di rumah ini semenjak istri majikannya meninggal dunia.

“Tolong jangan bilang ayah ya Bik. Cuma batuk biasa,” pesan Theo. Dia pun membawa
piring berisi roti isi itu menuju ke kamar Andri.

“Kak?” Theo membuka pintu kamar Andri yang terbuka sedikit. Dilihatnya Andri sedang
tidur di kasur. Dia masuk ke dalam kamar lalu diletakkannya piring itu ke atas meja. Saat
hendak keluar, didengarnya suara batuk-batuk Andri. Dirinya menghela napas dan urung
beranjak dari kamar itu. Didekatinya kasur Andri, “Kak, ke Dokter, yuk. Aku bolos aja hari
ini.”

Theo menatap wajah Andri yang pucat. Kakaknya itu hanya diam bergeming dengan mata
terpejam dan suara tarikan napas yang berat.

“Kak,” Theo menggoyang-goyangkan bahu Andri. Panas sekali tubuhnya.

Andri membuka mata perlahan. Badannya terasa remuk semua. Kepalanya terasa begitu sakit.
Dilihatnya Theo yang sedang memandangnya khawatir. “Kok lo belum berangkat?”
didengarnya sendiri suaranya yang terdengar lemah.

“Nggak. Kak, ayo ke dokter.”


Andri memejamkan mata untuk menahan rasa sakit di kepalanya. Kemudian, dia dengan
susah payah berusaha duduk sementara Theo membantunya.

“Theo, kirim aja tulisan lo segera untuk siaran minggu depan supaya bisa segera direview,”
Andri berhenti sebentar karena terbatuk. “Tolong untuk acara pameran lukis sekolah Alex, lo
temani Alex beli peralatan lukisnya karena dia butuh--”

“Kak,” Theo menghentikan perkataan Andri. “Jangan banyak pikiran dulu. Ayo aku antar ke
dokter. Badan Kakak panas sekali.”

Andri memandang Theo dengan iba. Adik pertamanya itu begitu susah payah merawatnya
saat jatuh sakit. Dia pun terkadang membenci diri sendiri karena merasa menjadi beban bagi
keluarganya. 

“Kak, kalau Pak Mamat udah balik. Aku temenin ke rumah sakit, ya.”

Andri mengangguk dan mencoba tersenyum walau setelahnya terbatuk-batuk lagi. Theo
menyimpan rasa kagum pada kakaknya itu. Baru disadarinya kalau selama ini Andri jarang
mengeluh walau sering sakit. Apalagi, kakaknya itu malah lebih sering memikirkan adik-
adiknya dibanding diri sendiri bahkan saat sakit sekalipun.

Andri memejamkan mata erat-erat sebelum membukanya dan kemudian menarik napas
dalam-dalam  serta menghembuskannya perlahan. Disibaknya selimut yang tadi
digunakannya untuk menghangatkan diri karena badannya terasa dingin hingga menggigil.
Dirinya sekuat tenaga berusaha bangkit dari kasur. Kepalanya mendadak pusing saat kakinya
telah menapak lantai. Dia diam sejenak sampai rasa pening itu memudar.

“Mau ke mana, Kak?”

“Gue--” Andri terbatuk. “--mau ke kantor. Lo berangkat saja lah ke sekolah. Sudah siang.”

“Nggak ke rumah sakit?”

“Nggak, nanti kalau belum baikan, baru gue ke rumah sakit"

Theo memandang Andri dengan pandangan khawatir.


Andri mencoba tersenyum. “Sudah, sudah. Urus diri lo sendiri," setelah mengucapkannya,
Andri kembali duduk di kasur karena rasa pening di kepalanya membuat dirinya tak kuat
berdiri.

Theo mengangguk dengan enggan. Dia sebenarnya bisa saja menyeret Andri untuk di bawa
ke rumah sakit kalau saja Andri bukan kakaknya yang dia kagumi. Selama ini dia tak pernah
melawan perintah sang kakak dan kakaknya pun tahu kapan saat-saat dimana dirinya
membutuhkan pertolongan Theo. Kakaknya tahu batas kemampuan diri sendiri. Namun,
terkadang, Theo yang harus mengingatkan sang kakak kalau lupa telah memaksakan diri
terlalu keras dan butuh pertolongannya.

“Aku tinggal ya, Kak,” Theo berkata setengah hati. Andri mengangguk sambil terbatuk-
batuk. Theo menghela napas untuk kesekian kalinya. Lagipula dirinya tetap saja bukan
seutuhnya bagian dari keluarga ini sesayang apapun dia dengan mereka.

“Gimana keadaannya Den Andri?” Bibik Marni bertanya dengan wajah cemas saat Theo
keluar dari kamar Andri. Dia telah merawat Andri sejak anak sulung majikannya itu berumur
enam belas tahun hingga kini telah dewasa dan berumur dua puluh tiga tahun. Dia tahu betul
watak Andri yang selalu tak bilang jika sedang sakit padahal butuh seseorang untuk merawat.
Malah dia sendiri yang mencari tahu gelagat Andri jika anak majikannya itu sedang sakit.
Diantara ketiga anak yang diasuhnya, dia paling tahu si sulung lah yang terlihat paling
berusaha untuk tak merepotkan siapa pun.

“Telpon saya ya Bik kalau ada apa-apa” pesan Theo pada pembantunya itu.

Bibik Marni mengangguk-angguk. “Iya, Den.”

Bibik Marni menatap Theo yang berjalan lesu meninggalkan dirinya. Baru disadarinya sudah
besar ternyata anak laki-laki berumur sebelas tahun yang dulu sering dilihatnya menangis di
pojokan itu. Theo memang lain dibanding dua saudaranya dan Bibik Marni paham dengan hal
itu. Anak itu begitu perasa, sensitif dan selalu ingin menolong orang lain. Bibik Marni
mendesah. Pernahkan satu orang saja mencoba untuk lebih memperhatikan Den Theo? 
BAB 4

Dinda menatap lebih lama dari biasanya pada putrinya yang duduk tak nyaman di sofa merah
ruang tamunya yang luas. Dirinya ingin sekali menyayangi anak ini jika saja sang anak tak
mengingatkannya pada mantan suaminya yang telah meninggal dunia. Dibuangnya muka
sejenak sebelum kembali mencoba untuk menatap sang anak. Wajah putrinya begitu serupa
dengan mantan suaminya. Setiap mengingat ayah Alia, kebencian langsung menguar dalam
dadanya. Itulah mengapa dia tak bisa mempertahankan hubungan pernikahan lebih lama. 

“Kamu begitu mirip dengan ayahmu, kamu tahu?” ucap Dinda pada Alia dengan tatapan
sinis. 

Alia menunduk tak nyaman sebelum kembali menatap sang ibu. “Bisakah ibu tak
membicarakan hal itu setiap kali bertemu denganku?”

Dinda mendengus pelan sebelum tersenyum dingin. “Sudah kamu terima uang yang kukirim
padamu?”

Alia hanya mengangguk dengan wajah masam. Apakah hanya soal uang yang dibahas saat
mereka bertemu?

Suara dering HP terdengar. Alia mendongak untuk melihat sang ibu menerima panggilan dan
berbicara pada seseorang di ujung telpon. “Aku tak melakukannya! Urus saja! Kamu kan
manajerku!” usai berteriak di telpon, Dinda mematikan sambungan dan berdecak dengan
kesal. Alia sedikit takut dengan kemarahan yang ditunjukkan sang ibu di hadapannya. Image
sang ibu yang tegas dan dingin sampai dijuluki “Ratu Es” ternyata terlihat betul saat marah.

Hening yang tak nyaman saat mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Apa ibu shooting film baru akhir-akhir ini?” Alia mencoba memecahkan keheningan yang
tak nyaman di antara mereka. “Apakah lancar?”

Sang ibu tak kunjung menjawab. Sorot mata dan air mukanya mengatakan dirinya masih
diliputi perasaan kesal akibat telpon barusan. 

“Bu?”

“Iya!” jawab ibunya nyaris berteriak. 

Alia tersentak. Suasana hati ibunya sedang tak baik. Dia pun kembali terdiam sambil
menunduk. Matanya menatap lurus lantai marmer ruang tamu yang dipijaknya.

Sang ibu bergumam pada diri sendiri, “Dasar manajer tidak jelas! Masalah gitu aja nggak
bisa ngatasin!”

“Kenapa, Bu?” tanya Alia pelan. Dirinya agak gentar melihat suasana hati ibunya saat itu
yang sepertinya sedang buruk.

Sang ibu memejamkan mata berusaha untuk sedikit menenangkan diri sebelum membukanya
kembali. “Kamu cepat pulang saja, keburu malam. Ibu shooting nanti malam.”

Alia merasa sesak karena sakit hati. Dirinya tidak diperlakukan sebagai anak walau di rumah
ibunya sendiri. Namun, dengan terbata akhirnya  dia pun menjawab. “I…ya, Bu…”

Setelahnya, sang ibu sudah tak mempedulikannya lagi. Alia sudah merasa tak nyaman sejak
tadi dan ingin segera pulang. Dirinya meraih tas ransel di sampingnya sebelum disandangnya
tas itu dan perlahan bangkit berdiri. Kakinya melangkah perlahan keluar rumah itu tanpa
menoleh ke belakang lagi. Entah kenapa dadanya terasa sakit walau dia sudah sering
diperlakukan ibunya seperti itu. Di luar langit mulai gelap. Alia mendesah. Dia berjalan lesu
keluar dari kompleks elit itu sebelum memesan ojek online. Menyedihkan sekali hidupku,
pikirnya.

Saat ojek yang ia pesan datang, tak kuasa air matanya tumpah. Bapak ojek yang melihatnya
sedikit panik, “Kenapa, Dik?”
Alia mencoba tertawa walaupun dirinya sadar suara tawanya terdengar terpaksa. “Bapak
kelamaan Pak! Saya jadi takut pulang jalan kaki!”

“Ah, Adik ini!” Sang Bapak ojek menyahut. “Ayo naik, Dik. Keburu malem!”

Alia naik sambil mencoba tertawa walau matanya masih sembab. Motor melaju dengan pelan
di jalan raya.

“Makasih, Pak!” Alia mengangguk pada Bapak ojek setelah dirinya sampai dan cepat-cepat
masuk ke rumah. Sang kakek tersenyum lebar di kursi teras menyambut kedatangannya. Hati
Alia sedikit teraliri hawa sejuk melihat senyum lebar kakeknya. Tak ada yang lebih
membahagiakannya selain berada di rumah sendiri. 

“Kakek!” Alia tersenyum lebar dan duduk di samping kakeknya. “Masuk, Kek. Di luar
dingin!”

“Kakek memang mau nunggu kamu,” ujar kakeknya sumringah. “Gimana? Udah ketemu
ibumu?”

Mendengar kakeknya mengungkit sang ibu, hati Alia kembali murung dan tanpa sadar itu
tergambar jelas di wajahnya. 

Sang kakek tersenyum menenangkan. “Ibumu terkadang bicaranya memang ceplas-ceplos.


Tapi, ada baiknya kamu sering mengunjunginya.”

Alia menghela napas. “Kek, kenapa ibu selalu bersikap dingin padaku? Aku salah apa?”

Kakeknya menunduk sedikit sebelum kembali menatap Alia dengan senyum di wajah.
“Kamu tahu? Ibumu kecewa sekali saat kamu memilih tinggal dengan ayahmu waktu mereka
bercerai.”

Alia mengerutkan kening. Dirinya baru berumur enam tahun saat itu. Bahkan mengingat
peristiwa pastinya saja dia tidak bisa. “Aku kan masih kecil, Kek! Tapi, ibu…” Alia
menunduk sedih.

Kakek menatap Alia dan berkata, “Dulu--”


Kata-kata kakek terhenti karena suara deru mobil terdengar dan sebuah mobil biru tua
berhenti di depan pagar rumah. Alia mengerutkan kening, tetapi tersadar kalau Alex sudah
datang karena itu mobil yang biasa antar jemput dia. Benar saja, Alex keluar dari pintu mobil
dan berjalan masuk.

“Kak Alia, malem, Kak," sapa Alex sebelum mengangguk kecil pada kakek. “Kek…”

Kakek tersenyum ramah pada Alex seraya mengangguk pelan. Alia penasaran mengapa
tempo lalu ketika dirinya tak fokus mengajar akibat melihat berita ibunya di artikel, Alex
dijemput oleh sang kakak. “Kakakmu nggak bisa nganter ya, Dik?”

“Kak Theo di rumah. Nggak bisa nganter malam ini,” jawab Alex datar. “Waktu itu Pak
Mamat nggak bisa jemput soalnya istrinya melahirkan, jadi aku minta Kak Theo jemput.”

Alia tersenyum menatap Alex. Anak kecil ini gigih betul les melukis bahkan rela menunggu
Alia pulang sekolah untuk belajar melukis dengannya. Tapi, jujur saja, selama ini Alia lah
yang lebih banyak bicara tentang kegemarannya, hobinya dan kesehariannya di sekolah
kepada Alex. Walau anak kecil itu entah mendengarkan atau tidak, terkadang Alia ingin
sekali menjadi kakak yang baik bagi muridnya yang sudah dia anggap sebagai adik sendiri
itu.

Saat di ruang lukis, Alia menatap Alex yang fokus melukis dan berharap dirinya punya
saudara karena semenjak kecil dia tinggal sendiri dengan kakeknya setelah ayahnya
meninggal. Kehilangan ayahnya adalah masa tersedih yang pernah ia rasakan selama ini,
walaupun peristiwa pastinya dia tak begitu ingat, tetapi rasa kehilangan itu begitu terasa
sampai dirinya menjelang SMP. Kehadiran sang kakek yang begitu menyayangi dan
perhatian padanya seakan menghapus kesendiriannya. Namun, dia ingin saudara yang benar-
benar bisa diajak berbagi rasa dengannya. Bahkan dua sahabatnya pun belum bisa mengganti
posisi saudara yang sangat diidamkannya.

“Saudara Adik ada berapa?” Alia tersenyum pada Alex yang sedang serius melukis. Dia
benar-benar ingin mencari tahu lebih banyak tentang anak didiknya. Sudah dua minggu
mereka berinteraksi bersama, tetapi masih banyak yang belum dia tahu tentang Alex. Anak
itu begitu pendiam. Alia ingin Alex lebih menikmati sesi belajar mereka dengan
mengenalnya lebih jauh sehingga timbul keakraban.
“Aku ingin jadi anak tunggal tapi sayangnya dua kakak lahir duluan daripada aku,” Alex
berkata datar. Lucu sebenarnya melihat seorang anak kecil sepertinya berbicara sakartis.
Namun, Alex memang begitu. 

“Adik dekat dengan kakak-kakak adik ya?” tanya Alia memancing Alex untuk lebih terbuka
dengannya. 

Alex mengedikkan bahu. “Aku nggak pernah benar-benar menyukai Kak Theo. Aku juga
nggak pernah bermasalah dengan Kak Andri. Jadi aku pikir kami akrab-akrab aja, Kak.”

“Kakakmu yang pertama ya yang namanya Kak Andri?”

Alex mengangguk kecil dan menjawab singkat. “Ya.” 

“Dia udah kerja? Atau masih kuliah?” Alia tersenyum. “Kak Theo satu sekolah sama kakak.
Kamu pasti tahu, kan?”

Alex mengelap kuasnya dengan kain. “Kak Andri udah kerja di siaran. Kakak pasti pernah
tahu dia di radio. Dia jadi penyiar di sana," Alex mencelupkan kuasnya ke dalam cat dan
kembali fokus pada canvas di hadapannya.

Alia mengangguk-angguk. Mungkin saja.

“Ibumu pasti bangga Dik kamu jago ngelukis. Ibumu sering menghubungi Kakak--”

“Dia bukan ibuku,” jawab Alex tiba-tiba sebelum melanjutkan. “Itu Tante Rita. Asisten ayah.
Ibuku udah meninggal.”

Alia menutup mulutnya karena sadar dirinya salah. Huh, masak gitu aja kamu nggak tahu,
Al. Kok bisa-bisanya kamu salah paham gini. Untung Alex masih kecil.

Alia jadi tahu mengapa Alex lebih dewasa daripada anak seusianya. Kehilangan sosok ibu
memang berat bagi anak sekecil dia. Alia sendiri merasa berat walau nyatanya sang ibu masih
hidup. Dia malu pada Alex yang terlihat lebih tegar.

Malam semakin larut. Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Alia mengoreksi lukisan
Alex, “Dik, yang ini lebih dihitamkan lagi supaya kontras dengan sebelahnya dan ini
diperhalus lagi, ya,” ujar Alia seraya telunjuknya mengarah pada pewarnaan yang dia rasa
kurang.

“Ya, Kak,” Alex menjawab kalem dan memperbaiki lukisannya. Alia merasa bersyukur
mendapat murid yang mudah dinasihati seperti Alex. Dengan telaten Alex memperbaiki
lukisannya kembali. Kemudian, HP anak itu berdering dan Alex mengangkatnya. Alia bisa
melihat perubahan di wajah Alex ketika anak itu mendengar seseorang yang bicara di ujung
telepon.

“Kak, aku nginep di rumah, Kakak ya,” Alex tiba-tiba berkata setelah menutup telepon.
“Kakak bolehin aku nginep?”

Alia sebenarnya senang Alex sudah bersedia terbuka dengannya dan bahkan berani bertanya
ingin menginap di rumahnya. “Adik pengin ngobrol lebih lama sama Kakak ya?”

Alex mengangguk. “Ya,” Namun, Alia bisa merasakan kalau suasana hati Alex sedang
mendung. Anak itu menatap HP-nya dengan air muka murung. Alia baru pertama kali
melihat Alex menunjukkan ekspresi. Walau dia bertanya-tanya apa yang membuat anak itu
sedih.

“Pak Mamat nggak bisa jemput Adik ya?” 

Alex lagi-lagi mengangguk dengan lesu.

Alia mendekatkan kursinya ke Alex dan mencoba tersenyum lebar padanya. “Kenapa? Apa
ada masalah di rumah?”

Alex tak kunjung menjawab. Tertangkap oleh Alia, kedua mata anak itu mulai berkaca-kaca.
Alia pun berkata. “Cerita aja kalau Adik ingin cerita.”

Alex akhirnya buka suara. “Kak Theo lupa kalau aku belum dijemput. Pak Mamat disuruh dia
nemenin ke rumah sakit gara-gara Kak Andri sakit."

Alia menatap Alex iba. Diusapnya kepala anak didiknya itu dan berkata, “Nggak apa-apa
Alex tidur di rumah kakak dulu. Besok kan libur sekolahnya. Kita doakan aja Kak Andri
cepet sembuh juga.”
Alex mengangguk seraya mengusap matanya dengan sebelah tangan. Alia tersenyum untuk
menghiburnya. Dirinya selama ini merasa dialah orang yang paling malang, padahal anak
kecil di hadapannya juga punya masalah yang bahkan anak itu bisa tegar menghadapinya.
Entah mengapa tiba-tiba perasaannya jadi lebih baik. Dia tak sendirian merasakan kesedihan.
Banyak orang selain dirinya, termasuk Alex, yang memiliki kesedihan sendiri-sendiri dan dia
senang dengan kenyataan dirinya bisa menghibur anak itu.

BAB 5

Alex duduk murung di pojok aula sekolah. Dia menatap hampa HP di tangannya. Tak ada
yang menemaninya di acara pemeran lukis sekolah. Dia mengangkat wajah dan melihat
lukisan miliknya yang dipajang di dekat pintu masuk aula. Terngiang kata-kata gurunya,
Bagus sekali Alex lukisanmu! Ibu taruh di baris paling depan ya!

Semua anak-anak ditemani oleh orangtua mereka atau setidaknya oleh kakak mereka. Hati
Alex terasa sakit menyadari hanya dirinya yang datang sendiri ke pameran lukis ini. Matanya
mulai memanas. Cepat-cepat dia menunduk karena tak mau ada yang tahu dan
menganggapnya cengeng.

Seorang anak perempuan duduk di sampingnya. Alex merasa lebih nyaman karena sepertinya
anak itu juga sendiri datang ke pameran. Di tengah keramaian di aula itu, Alex bertanya,
“Kamu sendirian aja?”

Anak perempuan itu menjawab enteng, “Iya.”

Alex tercenung. Dirinya begitu sedih saat tahu tak ada yang bisa datang ke acara pameran
sekolahnya, tetapi anak perempuan seumurannya yang sepertinya dari kelas lain itu bersikap
santai-santai saja. “Aku juga.”

Anak perempuan itu menatap ke sekeliling aula lalu tersentak, “Ah!” dia berdiri seraya
melambai. “Ibuku datang ternyata!” dia menoleh ceria pada Alex sebelum meninggalkannya.

Alex mendesah menatap kepergian anak perempuan itu. Dia kembali sendirian. Lalu
disadarinya, HP-nya berdering. Nama “Kak Theo” tertulis di layarnya. Sejenak dirinya
merasa senang dan cepat-cepat mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Kak!” Alex kemudian
terdiam. Ekspresi wajahnya terlihat berubah. “Oh…., nggak usah memaksakan diri, Kak.
Nggak apa-apa, kok. Beneran, Kak, nggak apa-apa. Iya… . Oke, walaikumsalam,” usai
menutup telepon, hati Alex semakin terasa berat. Matanya kembali berkaca-kaca sementara
di sekelilingnya terdengar hiruk-pikuk para pengunjung pameran.

Di rumah, Theo kalang kabut mengurus Andri. Andri panas tinggi bahkan hingga mengigau.
Badan sang kakak seluruhnya gemetar dan keringat dingin tak henti-hentinya mengucur dari
tubuhnya. Malam sebelumnya, dokter menyarankan agar Andri dirawat di rumah dengan
tetap minum obat dan perbanyak istirahat, tetapi hingga sore itu panasnya tak turun-turun
bahkan semakin tinggi.

Theo mengompres dahi Andri dan sesekali mengganti kain kompres itu karena cepat sekali
hangat. Ayahnya masih di luar kota dan baru tiba besok. Dia tak mau merepotkan ayahnya
sehingga tak mengatakan pada sang ayah bahwa Andri sedang sakit. Theo mendesah.
Diambilnya beberapa helai selimut dari lemari Andri dan diselimutinya tubuh kakaknya.
Siang itu Bibik Marni meneleponnya dan dari nada bicara pembantunya itu, dia tahu wanita
itu sedang bingung dan pasti keadaan Andri sedang parah. Dia langsung izin guru untuk
pulang lebih cepat dan melesat pulang ke rumah. Theo menghela napas karena pikirannya
terbelah antara Andri dan Alex. Dia sudah berjanji untuk menghadiri pameran lukisan di
sekolah Alex, tetapi di sisi lain, lagi-lagi kakaknya sakit bahkan persis di saat yang tidak
tepat. Lex, maafin Kakak…

Sementara itu tak jauh dari sekolah Alex, Alia buru-buru berkata pada tukang ojek yang
menggoncengnya, “Pak, Pak, berhenti di sini. Udah sampe sekolahnya!”

Sang tukang ojek langsung berhenti dan setelahnya Alia bergegas masuk menuju gerbang
sekolah Alex. Dirinya bertanya pada satpam sekolah dimana letak aula tempat pameran lukis
yang diadakan dan setelah satpam sekolah itu mengarahkannya, Alia segera mencari gedung
aula tersebut. Dilihatnya jam tangan putih yang melingkari pergelangan kirinya. Ah, masih
baru mulai, telat dikit sih, tapi untungnya baru jam setengah enam. Pameran Alex sendiri
berakhir pukul delapan malam, Alia yakin dirinya belum sepenuhnya terlambat, bahkan
masih ada banyak waktu sebelum pameran usai.

Alia merogoh saku roknya dan segera menelepon Alex. Suara Alex terdengar di ujung
telepon dan bahkan anak laki-laki itu tak bisa menyembunyikan nada senang pada suaranya.
“Kakak di dekat pintu masuk aula nih. Adik dimana sekarang? Oh, oke, kakak ke sana.”
Alex begitu senang guru les melukisnya tiba-tiba datang untuk melihat pameran lukis
sekolahnya. Dilihatnya Alia berjalan mendekatinya dengan senyum di wajah. “Adik nunggu
sendirian di sini?”

Alex mengangguk. “Iya, Kak. Kak Andri belum sembuh.”

Alia tersenyum setengah iba pada Alex. “Kakak temenin keliling yuk. Adik sudah liat-liat
lukisan di sini?”

Alex menggeleng. Dirinya mana semangat keliling melihat lukisan sendirian.

“Ayok, Kakak temenin,” Alia tersenyum hangat sebelum keduanya berjalan untuk melihat-
lihat karya lukis di aula itu.

Sedangkan, di lain tempat, tepatnya di kamar, Alex menunggu Andri hingga mengantuk.
Sesekali terbangun karena igauan kakaknya atau mengganti kompres sang kakak. Setelah
tertidur dan terbangun beberapa kali, dilihatnya jam di dinding kamar Andri: pukul tujuh
malam. Dirinya sedikit resah Alex sendirian di sekolah.

“Woi, Ndri! Kok lo nggak ja--” 

Theo menoleh dan mendapati Seno, teman kakaknya berdiri di depan pintu kamar. Terdengar
suara igauan Andri dan Seno langsung berlari mendekat. “Eh, Yo. Andri sakit? Lo kok nggak
bilang sih."

Theo menyadari kedatangan Seno bisa membuatnya punya waktu sejenak untuk datang
menemani Alex di acara pameran seni. “Kak, tolong jagain Kak Andri bentar ya. Gue harus
ke sekolahnya Alex. Ntar gue balik lagi.”

Seno mengangguk dan langsung mengambil kompres yang diserahkan Theo padanya.
Sedangkan Theo segera keluar kamar menuju halaman depan rumah dimana dia bertemu Pak
Mamat. “Pak, pinjem kunci mobil ya!” Pak Mamat langsung tergopoh memberikan kunci
mobil kepada anak majikannya itu seraya berkata. “Den, tadi temennya Den Andri barusan
dateng. Den Andri--”
“Udah saya minta tolong dia buat jagain Kak Andri, Pak. Saya pergi dulu," usai berkata
seperti itu, Theo cepat-cepat masuk mobil dan dengan cekatan menyalakan mesin sebelum
mobil melesat keluar pagar rumah.

Theo tiba di sekolah Alex tak lama kemudian dan saat dirinya memasuki gedung Aula dan
hendak menelepon Alex dilihatnya pemandangan yang membuatnya lega sekaligus senang:
Alex mengangguk-angguk sementara Alia berada di samping anak itu sambil berbicara
dengan semangat. Tatapan Theo melembut. Alia memang baik…

Sedangkan Alex sendiri melihat kakaknya datang menghampirinya dengan wajah begitu
lelah. Alex belum seratus persen memaafkan kakaknya yang nyaris tidak datang itu, tetapi
dirinya sudah lega Theo akhirnya benar-benar menepati janjinya.

“Alex…, Alia.”

Alia berhenti sejenak dari penjelasannya yang bersemangat pada Alex tentang lukisan di
hadapan mereka dan menoleh. Dilihatnya Theo tersenyum padanya. Alia balas tersenyum.
Ah, ternyata kakaknya Alex menyempatkan diri untuk datang juga akhirnya.

“Kak, lama amat sih.”

Theo menyadari kesalahannya. “Sorry, Dik. Kakak telat.”

Alex mendengus kecil. “Untung Kak Alia inget pamerannya dan nemenin aku.”

Theo menatap Alia yang terlihat salah tingkah. Entah karena kebaikannya diungkapkan atau
gadis itu mudah sungkan. “Makasih Al. Udah nemenin Alex. Tadi gue habis ngurus kakak
gue yang lagi sakit.”

Alia mengangguk seraya tersenyum malu.

Alex mengerutkan keningnya khawatir. “Kak Andri Kakak tinggal sendiri di rumah?”

“Tenang,” Theo tersenyum menenangkan. “Ada Kak Seno, tadi.”

Mereka bertiga melihat berkeliling lukisan-lukisan yang dipamerkan. Theo sesekali


tersenyum diam-diam melihat Alia yang begitu bersemangat mengajarkan Alex teknik-teknik
melukis seraya melihat satu per satu lukisan yang dipajang. Dirinya tak begitu menguasai
seni, tetapi mendengar penjelasan Alia yang menarik, dia ikut menikmati lukisan-lukisan di
pameran itu. 

“Kalo ini adik bisa belajar gradiennya…, lihat, nih…” Alia menunjuk sebuah lukisan sawah.
“Kayak yang kakak ajarin kemarin-kemarin…, iya betul, Dik. Ini juga bisa dicontoh nih
proporsinya…” Alia membungkuk untuk menunjukkan Alex sudut dari lukisan itu, tetapi
helaian rambutnya menghalangi hingga dirasakan olehnya sebuah tangan menyelipkan
rambutnya itu ke belakang telinganya.

Alia kembali berdiri tegak dan menyadari Theo memandangnya salah tingkah. Dirinya pun
dirasanya salah tingkah. Sedangkan Theo sendiri merutuki dirinya yang tanpa sadar
menyelipkan rambut Alia ke belakang telinga gadis itu. Itu… terlalu intim.

“Ah, tadi, rambutmu--” Theo semakin salah tingkah.

Alia juga ikut semakin salah tingkah. “Ah…, ya… makasih, Kak.”

“Yuk, lihat baris sebelah sana!”

Alia cepat-cepat menyusul Alex yang telah berlari ke baris lain. Kok, perasaanku jadi aneh
ya…

Theo, seperti kebiasaannya saat menyadari dirinya berbuat salah, memejamkan mata sambil
menutup bibir rapat-rapat sebelum membuka matanya kembali seraya menghela napas.
Dirinya tidak bermaksud melakukan apa yang barusan terjadi, tetapi entah mengapa akhirnya
dia melakukannya juga.

Akhirnya mereka bertiga telah melihat satu per satu lukisan yang ada di aula dan malam pun
semakin larut sehingga Theo mengajak Alia dan adiknya pulang. Di dalam mobil, Alex
semakin banyak bicara karena baru kali ini dia berpartisipasi dalam pameran sekolah dan itu
pengalaman pertamanya melihat begitu banyak lukisan yang dipajang dalam satu ruangan.
Ayahnya pernah cerita, waktu Alex kecil, dirinya sering diajak melihat pameran lukisan
karena waktu itu kebetulan Alex senang corat-coret sehingga ayahnya mengira Alex suka
menggambar. Alex tak terlalu ingat setiap kejadian yang diceritakan ayahnya itu sehingga ini
pertama kalinya dia merasa benar-benar di sebuah pameran lukisan. Dirinya sungguh senang
malam itu.

Alia mengucapkan terima kasih saat Theo mengantarkannya sampai depan rumah dan
langsung membuka pagar serta berlari masuk. Disembunyikannya raut wajahnya yang masih
memerah karena memikirkan kejadian yang dialaminya di sekolah Alex dan cepat-cepat
menyadarkan diri. Ih, aku kok baperan! Kak Theo kan cuma gitu aja…, tapi… tetap saja…
Alia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Itu biasa aja kali Al…
Alia kembali menghembuskan napas. Tapi… 

Kita kan baru kenal.

Sedangkan Theo sendiri di mobilnya, dia memikirkan sikap Alia setelah dirinya melakukan
suatu bentuk perhatian yang dirasanya terlalu dini. Gue cuma lihat Alia yang begitu baik dan
perhatian sama Alex… gue nggak nyadar kalo tangan gue ini tiba-tiba--

Kenapa gue kayak pacarnya Alia? Kenapa gue merasa gue dan Alia begitu deket… hingga
gue--

“Kak, bisa lebih cepet nggak? Kan Andri kasian di rumah.”

Theo tersadar dirinya melamun hingga mobil hanya melaju pelan. “Oh, oke, Dik.” Diliriknya
Alex dari kaca mobil. “Adik masih marah? Kok tiba-tiba diem? Kak Andri kan lagi sakit jadi
Kakak baru dat--”

“Kak Andri selalu saja,” wajah Alex terlihat marah. Pandangannya ke luar kaca mobil.
Kemudian, diam-diam dia menghela napas. Tapi, aku tetep nggak benci Kak Andri…, walau
tetap saja Kak Andri--

Menyebalkan.

“Sudah sampe nih, Dik. Jangan ngambek terus dong. Jutek banget wajahnya.”

“Aku turun ya, Kak.”

Alex berlari masuk ke rumah dan disambut Bibik Marni. “Eh, Den…, Bibik baru inget tadi
waktu Bibik nyetrika baju tadi sore. Ada titipan dari Den Andri!”
Alex mengernyitkan dahi saat dia menerima sebuah kantong plastik dari Bibik Marni.
Dibukanya isi kantong plastik itu: kuas, cat warna putih, penghapus…

“Itu… waktu Den Andri mau dibawa ke rumah sakit, Den Andri sempat keluar sebentar
beliin keperluan Den Alex. Bibik udah pesan padahal untuk titip Pak Mamat saja, tapi Den
Andri ini… bilangnya biar dia saja karena takutnya Pak Mamat salah beli Den…”

Anda mungkin juga menyukai