****
Pagi itu tidak secerah pagi kemarin, kemarin sinar matahari sudah bisa
masuk mengisi ruang gelap lewat celah-celah jendela. Sore kemarin adalah salju
pertama turun di Nara. Ketika musim salju tiba sinar matahari bersinar lebih
lembut dari musim yang lainnya. Udara terasa hangat namun dingin.
Ali membuka dua matanya dan melihat Aisyah tidur di sampingnya. Ujung
bibirnya terangkat perlahan. Sungguh malaikat kecil inilah yang menyelamatkan
kehidupannya. Jika Aisyah tidak ada entah ada dimana dia sekarang. Ali menyeka
beberapa helai rambut yang menutupi mata anaknya. Kemudian ia mengelus
lembut pipi Aisyah.
Wajah Aisyah sangat mirip dengan istrinya. Setiap memandang Aisyah, ia
merasa melihat istrinya. Kerinduan akan istrinya akan selalu muncul ke
permukaan. Kerinduan tanpa tau apa yang harus dilakukan ternyata sangat
menyakitkan.
"Tok tok, Komandan." Seseorang mengetuk pintu kamarnya.
Ali bangun dari kasur, ia harus segera menghentikan suara yang akan
membangunkan anaknya.
"Pelankan suaranya, anak saya masih tidur." ucapnya pertama kali saat
melihat orang di hadapannya.
"Mohon maaf komanda bukan maksud saya ingin mengganggu. Mohon ijin
tadi ajudan Komandan Athan* menghubungi, katanya ingin mengajak Komandan
makan siang bersama di Nara. Kebetulan Komandan Athan sedang ada kegiatan di
Nara."
Ali sedikit terkejut dengan berita pagi ini. "Siang ini? Kita yang
mempersiapkan makan siangnya atau bagaimana?"
"Tadi sekertarisnya bilang Komandan Athan sudah mereservasi tempat
makan di Kikusuiro untuk pukul satu siang."
"Jadi kita hanya tinggal kesana saja berarti ?" tanya Ali pada seorang lelaki
muda di hadapannya.
"Iya komandan. Bunda tadi juga meminta saya membangunkan komandan
untuk sarapan. beliau sudah mempersiapkan sarapan di meja makan. Beliau sedang
menunggu komandan disana." Jelas laki-laki muda. Lelaki itu berusia 25 tahun,
badannya tinggi dan tegap. Potongan rambutnya rapih selayaknya anggota militer
lainnya.
"Baik terimakasih ya, San. Nanti saya menyusul ke ruang makan. Kamu
juga ikut sarapan bersama kami nanti. Jangan ada penolakan ini perintah." perintah
Ali memaksa. Lalu menutup pintu kamarnya lagi.
***
12.00 Nara, Jepang.
Ali membukan pintu mobil dihadapannya dan masuk.
"Apakah ada rencana lain selain makan siang yang akan kita lakukan ?"
tanya Ali pada sekertarisnya. Ihsan.
"Tidak ada komandan."
Mobil hitam itu mulai meninggalkan pekarangan rumah menuju ke restoran
tujuan mereka. Butuh sekitar waktu 40 menit dari kediaman mereka di Hohju-
temple ke Kikusiro. Hari ini salju turun lebih lebat dari hari kemarin. Ali
memandang keluar jendela, butiran salju seperti berlomba untuk menyentuh
jalanan kota Nara. Suasana kota Nara saat musim dingin terasa lebih lembut
dibandingkan musim hujan. Kota ini tidak terlalu padat seperti Tokyo, tapi tidak
terlalu kosong seperti Ishikawa. Sebuah payung kuning menarik perhatian Ali.
Payung kuning dengan motif perahu kertas di sisi kanan. Payung itu mengingatkan
Ali pada seseorang yang pernah hadir secara singkat di hidupnya. Ali
memperhatikan ke arah mana payung itu berjalan.
Mobil mereka berhenti di perempatan lampu merah. Pemilik payung kuning itu
terlihat berlari untuk menyeberangi jalan di depan mobilnya. Mata Ali masih fokus
pada payung kuning itu. Posisi payung kuning itu berubah ketika si pemilik
berjalan menyebrang jalan. Motif perahu kertas semakin tampak jelas di matanya,
mobil Ali berhenti di sisi kanan pejalan kaki. Pemilik payung itu menoleh ke
kanan, sehingga motif perahu itu hilang dari pandangan Ali.
"can't take my eyes of you.." lirik lagu can't take my eyes of you dari Josep
Vincent mengisi keheningan mobil.
Beberapa saat yang lalu payung kuning itu yang menarik perhatian Ali. Tapi
sekarang pemilik payung itu mengunci perhatiannya. Dia. Wajah itu bukan wajah
baru yang pernah ia lihat. Wajah itu pernah hadir secara singkat dalam hidupnya.
Singkat namun berkesan. Sudah berapa lama ia tidak melihat wajah itu? 2 tahun? 3
tahun? 5 tahun? otaknya sibuk menghitung rumus pertemuan terakhirnya dengan si
pemilik payung kuning.
5 tahun. Otaknya sudah menemukan jawaban. Tapi wajahnya sama sekali
tidak berubah. Ali mengedipkan matanya, lalu kembali membuka mata lagi untuk
memastikan wajah itu. Hasilnya wajah itu masih sama. Ternyata itu memang dia.
Pemilik payung kuning dengan motif perahu kertas yang ia temui hari ini dan 5
tahun lalu adalah orang yang sama. Dia ada disini, mereka ada di kota yang sama.
Ternyata wanita yang aku lihat kemarin di lampu merah benar dia. Bisakah
aku menemukannya lagi disini? Pertanyaan itu muncul seiring dengan berjalannya
mobil Ali menjauhi jalanan dan pemilik payung tadi.
***
“Komandan.”
Suara lembut di telinga Ali sontak membuat matanya terbuka. Ia menoleh ke
segala arah mencari pemilik suara itu. Sedetik kemudian ia menyadari itu hanya
halusinasinya saja. Ada apa dengan ku? Batinnya terus mengulang pertanyaan itu
dari kemarin. Semenjak siang itu, pertemuan nya dengan anak perempuan itu
setelah hampir 5 tahun membuat hatinya terusik dan tidak tenang.
Ali menoleh ke sisi kanan tempat tidur untuk melihat jam. 01.30, kenapa
waktu berjalan sangat lama. Ia fikir sudah hampir shubuh. Mungkin Allah
membangunkan ku agar aku bisa sholat dan menghilangkan perasaan tidak enak di
hatiku ini. Fikirnya sambil bangun dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar
mandi untuk mengambil wudhu. Air yang mengusap wajahnya terasa sangat dingin
namun menyegarkan. Hatinya jadi sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
“Cara terbaik menghilangkan ke khawatirkan di hati adalah bertemu dengan
Allah di sepertiga malam.” Penggalan kalimat dari salah satu kajian tiba-tiba
muncul di kepalanya.
“Allahuakbar….”. kata pertama dalam memulai pertemuannya dengan Allah
malam ini.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Sambil menolehkan
kepala ke kanan dan kiri. Ali mengusap wajah dengan kedua tangannya. Rasanya
sudah lama sekali ia tidak sholat Tahajud. Semenjak kepergian istrinya tidak ada
lagi orang yang selalu membangunkan ia untuk sholat di sepertiga malam.
Mungkin ini adalah sholat Tahajud pertamanya setelah 3 tahun berlalu.
Ali menceritakan semua perasaannya di atas sajadah, sambil mengangkat
kedua tangannya dan menutup mata. Ia yakin Allah sudah mengetahui masalah
yang ia rasakan bahkan saat ia sendiri tidak paham masalah apa yang ia rasakan
saat ini. Ia meminta ketenangan hati dan keberkahan untuk segala sesuatu yang
telah terjadi dan akan terjadi. Ali meminta segala hal yang terbaik untuk diri dan
keluarganya. Ia meminta petunjuk untuk semua keresahan di hatinya. Malam itu,
Ali merasa tenang karena telah meluapkan semua yang ia rasakan lewat doanya. Ia
menceritakan semua yang ingin ia luapkan di atas sajadahnya. Sungguh keputusan
terbaik untuk sholat malam itu.
***
Hari minggu pagi Aisyah merengek kepada ayahnya untuk jalan jalan. Ia
ingin membeli es krim di café yang mereka datangi kemarin. Tapi ayahnya terus
menolak karena takut anaknya hilang lagi.
“Ayah, ayo nenek bilang mau menemani aku. Kalau ayang gamau om Ihsan
bisa nemenin aku. Aku ga akan hilang lagi ayah, kemarin itu aku penasaran liat
boneka. Terus ketika aku menoleh ke belakang ayah udah ga ada.”
“Kalau ayah ga ijinin aku beli es krim hari ini. Aku ga akan makan. “
“Aisyah, tapi sekarang masih pagi. Pagi itu bukan waktunya makan es
krim.” Ali duduk di meja makan sambil menopang sebelah pipi dengan tangannya.
Ia memperhatikan gadis kecilnya yang terus merengek dibelikan es krim.
“Kalau kamu sibuk, bunda bisa temani Aisyah.” Bundanya datang sambil
mebawa sepiring roti berisi beberapa roti panggang.
“Bukan gitu Bun, masalahnya sekarang masih pagi tapi dia udah minta beli
es krim sarapan saja dia belum.” Pungkas Ali pada Bundanya.
“Aisyah, bagaimana kalau beli es krimnya siang?” Tawar neneknya.
“Nenek tapi Aisyah maunya sekarang.”
“Tapi kalau sekarang tokonya masih tutup sayang. Lagipula sekarang
musim dingin, kalau kita keluar pagi sekarang pasti udaranya dingin sekali.” Bujuk
neneknya sambil menyuapkan sepotong roti ke mulut Aisyah.
Aisyah memajukan bibirnya menandakan kekesalan di hati. Sambil mengela
nafas panjang ia berkata sesuatu. “Baiklah, tapi siang nanti kita harus beri es krim.
Ayah harus janji ikut.”
Sebetulnya Ali sama sekali tidak ingin menyetujui permintaan anaknya itu.
Tapi sebelum ia mengeluarkan pendapatnya, salah satu wanita yang ia cintai
langsung mendorong jauh pendapatnya itu.
“Kita berangkat setelah sholat dhuhur ya, sekalian makan siang di sana.”
Ucap bundanya lembut sambil tersenyum ke arah cucu dan anaknya.
Ketika bundanya sudah tersenyum seperti itu tidak ada lagi yang bisa
melawan. Ali hanya bisa menghela nafas dengan berat sambil mengangguk.
Semenjak istrinya meninggal bundanya jadi sangat memanjakan Aisyah. Tapi Ali
merasa segala yang Aisyah inginkan selalu di setujui oleh bundanya, Ali pun tidak
bisa melawan ketika bundanya sudah mengiyakan dengan senyuman tipis tapi
penuh makna.
Setelah sholat duhur Aisyah sudah siap di depan mobil bersama dengan
Ihsan.
“om ihsan suka es krim kan ?” tanyanya polos pada lelaki tinggi besar di
sampingnya.
Ihsan tersenyum sambil menatap wajah gadis kecil di sampingnya.
Perbedaan tinggi badan keduanya memuat ihsan harus berjongkok di depan gadis
itu. “Suka sekali apalagi kalau dikasih sama Aisyah.”
“Aisyah makan es krim terus ga takut batuk?” tanya ihsan lembut.
Aisyah menggeleng sambil tersenyum.” Kenapa aku harus takut kan ada om
ihsan dan ayah yang bisa ngejagain aku.”
Neneknya keluar dari rumah sambil membawa tas gendong milik Aisyah. “
Sudah siap?” tanya neneknya.
“Aisyah sudah siap bahkan sebelum saya siap bu. Saat saya datang dia
sudah menunggu sambil duduk di teras depan tadi.”
“Ayah ga akan ikut nenek?”
“Kata ayah kita berangkat duluan saja, soalnya ayah ada kerjaan yang harus
diselesaikan dulu. Kalau sempat nanti ayah akan menyusul. “ jelas neneknya.
“ayo ihsan kita berangkat saja.”
“baik bu.”
“Lets go.” Teriak Aisyah.
***
Ihsan berdiri di depan café sambil menggenggam ponselnya. Tangan kirinya
menjadi penopang ponsel di telinga. Sedangkan tangan kanannya ia masukan ke
dalam saku mantel. Sebelah kaki kanannya memainkan butiran salju di aspal. Kaki
kanannya bergerak maju mundur mengikuti ritme suaranya.
***
Nhena memperhatikan putranya sejak pertama kali mereka masuk mobil untuk
pulang ke rumah. Nhena merasa seperti ada sesuatu yang tidak ia ketahui. Hal
tersebut menyangkut putranya dan Zayyana. Ya benar, gadis perempuan yang
mereka temui tadi. Gadi perempuan yang ternyata merupakan malaikat yang
menyelamatkan cucunya. Sebetulnya Nhena sudah sedikit curiga dengan reaksi
ihsan pertama kali ketika bertemu dengan Zayyana. Awalnya ia fikir mungkin ada
sesuatu antara ihsan dan Zayyana sebelumnya, antara mereka berdua. Tapi
kecurigaan itu seketika menghilang ketika ia melihat pertemuan pertama putranya
dengan Zayyana. Insting seorang ibu tidak pernah meleset tentang putranya.
Nhena yakin pasti ada sesuatu antara Ali dan Zayyana di masa lalu. Ihsan
bilang Zayyana pernah mengikuti ekspedisi bersama dengan team mereka. Team
itu adalah team yang di pimpin oleh Ali. Apa mungkin saat itu terjadi sesuatu
diantara mereka berdua?
Aku harus mencari tahu tentang ini!
Apa aku tanya pada ihsan saja?
Tapi pasti ihsan tidak akan mau menjawab apapun.
Atau aku langsung tanya pada Ali baik-baik.
Nanti malam aku akan coba ajak Ali bicara dan bertanya tentang ini.
Nhena bertekad untuk bertanya langsung pada putranya.
22.00 Jepang.
Nhena keluar dari kamarnya dan melangkah ragu menuju kamar putranya. Ia
memastikan ihsan dan Aisyah sudah tertidur. Saat ia berjalan menuju kamar Ali
tiba-tiba langkahnya terhenti, ia melihat ali sedang berdiri di luar rumah sambil
menatap ke arah langit. Nhena berjalan mendekat dan berdiri di samping putranya.
Ia memperhatikan wajah putranya dari samping. Ali terlihat sangat bingung
seperti ada sesuatu yang ia khawatirkan tapi tidak bisa ia selesaikan.
“Astagfirulloh Bunda.” Ali terkejut ketika melihat Nhena berdiri
disampingnya sambil melihat kearahnya.
“Sejak kapan bunda berdiri disini?”
“Kamu seperti anak 7 tahun yang sedang ketahuan berbuat salah oleh
ibunya.” Tempat Nhena pada anaknya.
“Bunda.” Ali tersenyum tipis. “Ini sudah malam kenapa bunda keluar? Nanti
bunda masuk angin.” Ali merangkul bahu bundanya dan mencoba membawa
kedalam rumah.
“Ali, tidak ada yang ingin kamu ceritakan pada bunda?” ucap Nhena lembut
pada putranya.
Putranya itu sedikit tertegun mendengar pertanyaan Nhena. “Maksud bunda
apa?”
“Ali.” Ucap bundanya lagi lembut.
Ali melepaskan rangkulannya dan menatap kedua mata Nhena. “Bunda.” Ia
kemudian menghela nafas, seolah rasanya berat sekali untuk menceritakan
semuanya.
“Ali belum siap?” tanya bundanya lagi.
Ali menggeleng. “Bukan belum siap. Ali juga bingung apa yang harus Ali
ceritakan. Ali juga bingung apa yang sedang terjadi pada Ali saat ini. Ali belum
bisa memastikan segalanya.” Ali mengalihkan pandangan mata dari Nhena. Ia
menatap ke atas langit kembali. Rangkulan tangannya yang ia lepaskan dari
pundak Nhena kini berpindah ke saku celananya.
“Ada Zayyana juga dalam kebingungan mu, nak?” Nhena mencoba
memastikan tanda tanyanya.
Ali terlihat menahan nafasnya ketika mendengar Nhena menyebut nama
Zayyana. Ia kemudian menoleh untuk menatap Nhena lagi. Satu pertanyaan dalam
hati Nhena sudah terjawab. Benar. Ada hubungannya dengan Zayyana, ada sesuatu
antara mereka berdua dimasa lalu.
“Boleh bunda memberi saran?” kini Nhena merangkul tangan putranya.
Namun karena tinggi mereka cukup berbeda, Nhena hanya bisa merangkul lengan
Ali. “Jangan hanya karena suatu alasan yang membuatmu tidak percaya diri, kamu
jadi mencoba membohongi dirimu sendiri. Sesuatu yang jelas tidak akan pernah
bisa menjadi tabu, kecuali mereka sendiri yang ingin menjadikannya tabu.”
Nhena mengakhiri kalimatnya dengan senyuman sambil mengelus lengan
putranya. Ia mencoba meyakinkan putranya bahwa semua akan baik-baik saja.
Hatinya juga sedang mengkhawatirkan sesuatu, tapi ia mencoba menjadi ibu yang
supportif untuk anaknya.
Malam itu suasana di luar rumah sangat hening, Nhena sampai bisa
mendengar detak jantung ali yang berdegup kencang. Putranya saat ini sedang
tidak baik-baik saja. Apapun yang akan terjadi ia akan selalu bersama putranya.
Nhena merasa Ali menggenggam tangan kanannya yang sedang
merangkul lengan putranya.
“Bunda mau mendengar cerita Ali? Tentang Ali dan Zayyana.” Ali
mengucapkannya dengan yakin meskipun keraguan masih menyelimuti matanya.
Bundanya tersenyum sambil mengangguk.
***
“KISAH MASA LALU.”
Ali, ihsan, zayyana, istri ihsan
Ali ihsan = tentara
Zayyana = volunteer, mahasiswa tingkat akhir
Istri ihsan = dokter
Kupang, NTB/NTT
Kejadian 1 :
- Pertemuan pertama di bandara (hujan, dibawah payung perahu kertas
kuning, ali sedang mengikat sepatu.
-
***
“Ali menjadikan semua nya tabu karena Ali merasa dari awal itu bukah hal
yang bisa menjadi jelas.”
Selama Ali menceritakan semua yang terjadi di masa lalu Nhena hanya bisa
terdiam dan mendengarkan kisah putranya dengan sabar. Waktu berjalan sangat
cepat, lembutnya sinar bulan kini sudah hampir tergantikan dengan hangatnya sinar
matahari. Nhena melihat jam yang terpasang di dinding. Pukul 03.00. Sudah masuk
waktu shubuh, suara adzan berkumandang dari ponsel Ali yang tergeletak di depan
meja mereka.
“Ali jadi mengganggu waktu istirahat bunda, bunda jadi tidak tidur
semalaman. Maafkan Ali ya bunda. “ Ali terlihat sangat khawatir.
Nhena menggeleng. “Bagi bunda cerita ini lebih menyenangkan
dibandingkan tidur. “ Nhena tersenyum menggoda.
“Ayo kita sholat berjamaah, sudah lama kamu tidak menjadi imam sholat
untuk bunda. Padahal dulu hampir setiap hari kita sholat berjamaah dan kamu
imamnya. Bunda jadi rindu bacaan surat mu. “
“Mari Ali ingatkan kembali indahnya suara anakmu ini.” Ali tersenyum
menggoda.
Nhena terlihat cukup tenang melihat putranya sudah bisa bercanda.
Nhena dan Ali berjalan ke kamar masing-masing untuk mengambil air
wudhu dan alat sholat. Kemudian mereka kembali ke ruang tengah untuk
melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Bahagia sekali mendengar kembali suara
anaknya dalam mebacakan surat Al-Quran. Rasanya bru kemarin mendampingi dia
untuk setor hafalan setiap jumat sore ke Kyai di kampung halaman mereka
Purwokerto. Kini aknaknya bahkan sudah menjadi imam sebuah keluarga. Ali
sudah tumbuh menjadi imam yang baik untuk orang tua dan keluarganya.