Anda di halaman 1dari 17

Till We Meet Again

Seorang laki-laki paruh baya berlarian mengelilingi hampir seluruh kota


tanganya sibuk menelepon beberapa nomor dan mata nya sibuk menemukan
sesuatu. Sesekali iya menghampiri orang yang berlalu lalang di hadapannya sambil
menunjukan sebuah foto di layar ponsel.
"Do you see her? She is my daughter."
Jawaban yang Ia dapatkan selalu saja gelengan kepala dari semua orang. 
Wajahnya sudah mulai pucat pasi dan rasa khawatirnya semakin meningkat.
Bayangan-bayangan buruk mulai muncul di pikirannya. Tiba-tiba suara dering
ponsel membuyarkan semua bayangannya. Bunda. Nama yang muncul di layar
ponsel. Ia langsung menekan tombol hijau.
"Halo bunda, bagai..."
"Aisyah sudah ketemu sayang. Sekarang dia sama bunda di cafe tadi."
Wanita di sebrang telepon memotong kalimatnya sebelum laki-laki itu selesai
berbicara. 
"Serius bunda? Ali kesana sekarang." tanpa basa basi ia berlari menuju cafe
tempat pertama kali ia kehilangan putri kesayangannya. 
Langkah kakinya terhenti bersama dengan jutaan pasang kaki lainnya di
ujung jalan. Tinggal sedikit lagi ia bisa melihat putri, cafe itu ada di sebrang jalan.
Kalau saja ini di Indonesia mungkin ia tidak akan menghiraukan rambu-rambu
jalan. Tapi ini di Jepang, negara dengan disiplin yang kuat. Kakinya bergetar
menunggu rambu hijau pejalan kaki. 
Sebuah butiran putih jatuh di ujung hidungnya. Dingin. Sedetik kemudian
beberapa butiran lainnya mulai menghujani tubuhnya. 
Salju! Salju pertama di Nara. Lelaki itu mengangkat kepalanya menatap langit. 
"Salju pertama tanpa mu, sayang." ucapnya lirih.
Lamunannya tersadarkan oleh jutaan pasang kaki yang mulai berjalan maju
menyeberangi jalanan. Ia mulai berlari melewati jalan bersama sepasang kaki
lainnya. Ujung matanya menangkap sesosok wajah yang tak asing di memori. Ia
hampir saja berhenti di tengah jalan untuk menoleh kembali ke belakang. Wajah
itu berjalan ke arah yang berbeda dengannya. 
Kaki kanannya sudah ada di ujung jalan, detik itu juga rambu pejalan kaki berubah
warna. Saat ia menoleh untuk memastikan kembali wajah orang itu, beberapa
kendaraan sudah sibuk berlalu lalang dijalanan. 
"Ayah". Suara kecil itu terdengar lembut di telinganya. Perempuan kecil
berlari sambil hampir melompat ke pelukan lelaki itu. 
"Aisyahku." Lelaki itu menyambut anak perempuan dengan pelukan erat
yang lembut. Iya tak mau kehilangan hadiah terbaiknya.
Sambil memeluk dan menggendong anaknya ia berjalan masuk kedalam
cafe. Seorang perempuan sedang duduk di ujung jendela sambil menoleh ke arah
pintu masuk. Lelaki itu berjalan menghampiri meja perempuan itu dan duduk di
hadapannya. 
"Bunda nemu aisyah dimana?" tanya lelaki itu penasaran.
"Tadi aisyah diantar anak perempuan, kayanya seumuran Zea. Dia orang
indonesia Ali. Bunda bahagia sekali waktu dia bilang kalau di dari Indonesia. Dia
anterin Aisyah ke cafe ini, katanya tadi Aisyah keliatan bingung. Alhamdulillah
Allah masih lindungi kamu sayang." Mata wanita itu yang semula menatap lelaki
di hadapannya, pada kalimat terakhir berpaling menatap mata perempuan kecil di
pangkuan anaknya. 
"Ah syukurlah Allah pertemukan Aisyah dengan orang baik, Ali." Sambung
wanita tua.
Sambil memajukan badannya mendekati meja ia mulai penasaran kejadian
apa selanjutnya yang terjadi setelah anak perempuan itu mengantarkan anaknya.
"Terus Bunda kasih sesuatu?"
Wanita itu menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Bunda belikan dia coklat panas tadi."
"Hanya coklat panas?" timbal Ali pada ibunda tercintanya.
Bunda nya menghela nafas sebentar, kemudian menjawab. "Tadi bunda juga
mau ngajak dia makan siang sama kita. Bunda juga minta dia nunggu kamu supaya
kamu bisa ngucapin terima kasih. Tapi dia bilang sedang buru buru mengejar
kelas. Bunda kan gaenak kalau harus menghalangi anak yang mau kuliah. Bunda
sampai bisa bayarin coklat panas dia saja hasil dari buah kesabaran dan perjuangan
panjang."
"Bunda bahkan mengajak dia makan malem bersama kita nanti. Bunda juga
menawarkan dia untuk jalan-jalan ke mall bersama bunda. Tapi bunda terus
tertolak."
"Lalu?" ali masih penasaran bagaimana sampai akhirnya ibunya hanya bisa
memberikan secangkir coklat hangat pada seseorang yang sudah menyelamatkan
sesuatu paling berharga dalam hidupnya. Secara tidak langsung orang tersebut
sudah menyelamatkan hidupnya. 
"Bunda bilang saja kalau bunda gamau punya perasaan tidak enak atas
pertolongannya. Akhirnya dia bilang supaya rasa tidak enaknya hilang, bunda
cukup membayar coklat panas yang ia pesan saja."
"Bunda tidak punya info lain? Ali harus kasih hadiah setimpal buat dia,
Bun."
"Semoga saja Allah pertemukan kita dengan dia lagi. Tapi bunda yakin kita
akan ketemu lagi sama dia." ucap bundanya pasti.
Ali terus berharap dalam hatinya agar bisa bertemu dengan anak yang telah
menemukan buah hati tercintanya. Pertolongan yang Allah berikan lewat anak itu
sangat berarti bagi hidupnya, jadi ia harus membayar dengan hal yang setimpal.
Meskipun apa yang bisa ia berikan mungkin tidak sebanding dengan
pertolongannya.

****
Pagi itu tidak secerah pagi kemarin, kemarin sinar matahari sudah bisa
masuk mengisi ruang gelap lewat celah-celah jendela. Sore kemarin adalah salju
pertama turun di Nara. Ketika musim salju tiba sinar matahari bersinar lebih
lembut dari musim yang lainnya. Udara terasa hangat namun dingin. 
Ali membuka dua matanya dan melihat  Aisyah tidur di sampingnya. Ujung
bibirnya terangkat perlahan. Sungguh malaikat kecil inilah yang menyelamatkan
kehidupannya. Jika Aisyah tidak ada entah ada dimana dia sekarang. Ali menyeka
beberapa helai rambut yang menutupi mata anaknya. Kemudian ia mengelus
lembut pipi Aisyah. 
Wajah Aisyah sangat mirip dengan istrinya. Setiap memandang Aisyah, ia
merasa melihat istrinya. Kerinduan akan istrinya akan selalu muncul ke
permukaan. Kerinduan tanpa tau apa yang harus dilakukan ternyata sangat
menyakitkan. 
"Tok tok, Komandan." Seseorang mengetuk pintu kamarnya.
Ali bangun dari kasur, ia harus segera menghentikan suara yang akan
membangunkan anaknya. 
"Pelankan suaranya, anak saya masih tidur." ucapnya pertama kali saat
melihat orang di hadapannya.
"Mohon maaf komanda bukan maksud saya ingin mengganggu. Mohon ijin
tadi ajudan Komandan Athan* menghubungi, katanya ingin mengajak Komandan
makan siang bersama di Nara. Kebetulan Komandan Athan sedang ada kegiatan di
Nara."
Ali sedikit terkejut dengan berita pagi ini. "Siang ini? Kita yang
mempersiapkan makan siangnya atau bagaimana?"
"Tadi sekertarisnya bilang Komandan Athan sudah mereservasi tempat
makan di  Kikusuiro untuk pukul satu siang."
"Jadi kita hanya tinggal kesana saja berarti ?" tanya Ali pada seorang lelaki
muda di hadapannya. 
"Iya komandan. Bunda tadi juga meminta saya membangunkan komandan
untuk sarapan. beliau sudah mempersiapkan sarapan di meja makan. Beliau sedang
menunggu komandan disana." Jelas laki-laki muda. Lelaki itu berusia 25 tahun,
badannya tinggi dan tegap. Potongan rambutnya rapih selayaknya anggota militer
lainnya. 
"Baik terimakasih ya, San. Nanti saya menyusul ke ruang makan. Kamu
juga ikut sarapan bersama kami nanti. Jangan ada penolakan ini perintah." perintah
Ali memaksa. Lalu menutup pintu kamarnya lagi.

***
12.00 Nara, Jepang.
Ali membukan pintu mobil dihadapannya dan masuk.
"Apakah ada rencana lain selain makan siang yang akan kita lakukan ?"
tanya Ali pada sekertarisnya. Ihsan.
"Tidak ada komandan." 
Mobil hitam itu mulai meninggalkan pekarangan rumah menuju ke restoran
tujuan mereka. Butuh sekitar waktu 40 menit dari kediaman mereka di Hohju-
temple ke Kikusiro. Hari ini salju turun lebih lebat dari hari kemarin. Ali
memandang keluar jendela, butiran salju seperti berlomba untuk menyentuh
jalanan kota Nara. Suasana kota Nara saat musim dingin terasa lebih lembut
dibandingkan musim hujan. Kota ini tidak terlalu padat seperti Tokyo, tapi tidak
terlalu kosong seperti Ishikawa. Sebuah payung kuning menarik perhatian Ali.
Payung kuning dengan motif perahu kertas di sisi kanan. Payung itu mengingatkan
Ali pada seseorang yang pernah hadir secara singkat di hidupnya. Ali
memperhatikan ke arah mana payung itu berjalan. 
Mobil mereka berhenti di perempatan lampu merah. Pemilik payung kuning itu
terlihat berlari untuk menyeberangi jalan di depan mobilnya. Mata Ali masih fokus
pada payung kuning itu. Posisi payung kuning itu berubah ketika si pemilik
berjalan menyebrang jalan. Motif perahu kertas semakin tampak jelas di matanya,
mobil Ali berhenti di sisi kanan pejalan kaki. Pemilik payung itu menoleh ke
kanan, sehingga motif perahu itu hilang dari pandangan Ali. 
"can't take my eyes of you.." lirik lagu can't take my eyes of you dari Josep
Vincent mengisi keheningan mobil.
Beberapa saat yang lalu payung kuning itu yang menarik perhatian Ali. Tapi
sekarang pemilik payung itu mengunci perhatiannya. Dia. Wajah itu bukan wajah
baru yang pernah ia lihat. Wajah itu pernah hadir secara singkat dalam hidupnya.
Singkat namun berkesan. Sudah berapa lama ia tidak melihat wajah itu? 2 tahun? 3
tahun? 5 tahun? otaknya sibuk menghitung rumus pertemuan terakhirnya dengan si
pemilik payung kuning. 
5 tahun. Otaknya sudah menemukan jawaban. Tapi wajahnya sama sekali
tidak berubah. Ali mengedipkan matanya, lalu kembali membuka mata lagi untuk
memastikan wajah itu. Hasilnya wajah itu masih sama. Ternyata itu memang dia.
Pemilik payung kuning dengan motif perahu kertas yang ia temui hari ini dan 5
tahun lalu adalah orang yang sama. Dia ada disini, mereka ada di kota yang sama.
Ternyata wanita yang aku lihat kemarin di lampu merah benar dia. Bisakah
aku menemukannya lagi disini? Pertanyaan itu muncul seiring dengan berjalannya
mobil Ali menjauhi jalanan dan pemilik payung tadi. 

***
“Komandan.”
Suara lembut di telinga Ali sontak membuat matanya terbuka. Ia menoleh ke
segala arah mencari pemilik suara itu. Sedetik kemudian ia menyadari itu hanya
halusinasinya saja. Ada apa dengan ku? Batinnya terus mengulang pertanyaan itu
dari kemarin. Semenjak siang itu, pertemuan nya dengan anak perempuan itu
setelah hampir 5 tahun membuat hatinya terusik dan tidak tenang.
Ali menoleh ke sisi kanan tempat tidur untuk melihat jam. 01.30, kenapa
waktu berjalan sangat lama. Ia fikir sudah hampir shubuh. Mungkin Allah
membangunkan ku agar aku bisa sholat dan menghilangkan perasaan tidak enak di
hatiku ini. Fikirnya sambil bangun dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar
mandi untuk mengambil wudhu. Air yang mengusap wajahnya terasa sangat dingin
namun menyegarkan. Hatinya jadi sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
“Cara terbaik menghilangkan ke khawatirkan di hati adalah bertemu dengan
Allah di sepertiga malam.” Penggalan kalimat dari salah satu kajian tiba-tiba
muncul di kepalanya.
“Allahuakbar….”. kata pertama dalam memulai pertemuannya dengan Allah
malam ini.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Sambil menolehkan
kepala ke kanan dan kiri. Ali mengusap wajah dengan kedua tangannya. Rasanya
sudah lama sekali ia tidak sholat Tahajud. Semenjak kepergian istrinya tidak ada
lagi orang yang selalu membangunkan ia untuk sholat di sepertiga malam.
Mungkin ini adalah sholat Tahajud pertamanya setelah 3 tahun berlalu.
Ali menceritakan semua perasaannya di atas sajadah, sambil mengangkat
kedua tangannya dan menutup mata. Ia yakin Allah sudah mengetahui masalah
yang ia rasakan bahkan saat ia sendiri tidak paham masalah apa yang ia rasakan
saat ini. Ia meminta ketenangan hati dan keberkahan untuk segala sesuatu yang
telah terjadi dan akan terjadi. Ali meminta segala hal yang terbaik untuk diri dan
keluarganya. Ia meminta petunjuk untuk semua keresahan di hatinya. Malam itu,
Ali merasa tenang karena telah meluapkan semua yang ia rasakan lewat doanya. Ia
menceritakan semua yang ingin ia luapkan di atas sajadahnya. Sungguh keputusan
terbaik untuk sholat malam itu.

***
Hari minggu pagi Aisyah merengek kepada ayahnya untuk jalan jalan. Ia
ingin membeli es krim di café yang mereka datangi kemarin. Tapi ayahnya terus
menolak karena takut anaknya hilang lagi.
“Ayah, ayo nenek bilang mau menemani aku. Kalau ayang gamau om Ihsan
bisa nemenin aku. Aku ga akan hilang lagi ayah, kemarin itu aku penasaran liat
boneka. Terus ketika aku menoleh ke belakang ayah udah ga ada.”
“Kalau ayah ga ijinin aku beli es krim hari ini. Aku ga akan makan. “
“Aisyah, tapi sekarang masih pagi. Pagi itu bukan waktunya makan es
krim.” Ali duduk di meja makan sambil menopang sebelah pipi dengan tangannya.
Ia memperhatikan gadis kecilnya yang terus merengek dibelikan es krim.
“Kalau kamu sibuk, bunda bisa temani Aisyah.” Bundanya datang sambil
mebawa sepiring roti berisi beberapa roti panggang.
“Bukan gitu Bun, masalahnya sekarang masih pagi tapi dia udah minta beli
es krim sarapan saja dia belum.” Pungkas Ali pada Bundanya.
“Aisyah, bagaimana kalau beli es krimnya siang?” Tawar neneknya.
“Nenek tapi Aisyah maunya sekarang.”
“Tapi kalau sekarang tokonya masih tutup sayang. Lagipula sekarang
musim dingin, kalau kita keluar pagi sekarang pasti udaranya dingin sekali.” Bujuk
neneknya sambil menyuapkan sepotong roti ke mulut Aisyah.
Aisyah memajukan bibirnya menandakan kekesalan di hati. Sambil mengela
nafas panjang ia berkata sesuatu. “Baiklah, tapi siang nanti kita harus beri es krim.
Ayah harus janji ikut.”
Sebetulnya Ali sama sekali tidak ingin menyetujui permintaan anaknya itu.
Tapi sebelum ia mengeluarkan pendapatnya, salah satu wanita yang ia cintai
langsung mendorong jauh pendapatnya itu.
“Kita berangkat setelah sholat dhuhur ya, sekalian makan siang di sana.”
Ucap bundanya lembut sambil tersenyum ke arah cucu dan anaknya.
Ketika bundanya sudah tersenyum seperti itu tidak ada lagi yang bisa
melawan. Ali hanya bisa menghela nafas dengan berat sambil mengangguk.
Semenjak istrinya meninggal bundanya jadi sangat memanjakan Aisyah. Tapi Ali
merasa segala yang Aisyah inginkan selalu di setujui oleh bundanya, Ali pun tidak
bisa melawan ketika bundanya sudah mengiyakan dengan senyuman tipis tapi
penuh makna.
Setelah sholat duhur Aisyah sudah siap di depan mobil bersama dengan
Ihsan.
“om ihsan suka es krim kan ?” tanyanya polos pada lelaki tinggi besar di
sampingnya.
Ihsan tersenyum sambil menatap wajah gadis kecil di sampingnya.
Perbedaan tinggi badan keduanya memuat ihsan harus berjongkok di depan gadis
itu. “Suka sekali apalagi kalau dikasih sama Aisyah.”
“Aisyah makan es krim terus ga takut batuk?” tanya ihsan lembut.
Aisyah menggeleng sambil tersenyum.” Kenapa aku harus takut kan ada om
ihsan dan ayah yang bisa ngejagain aku.”
Neneknya keluar dari rumah sambil membawa tas gendong milik Aisyah. “
Sudah siap?” tanya neneknya.
“Aisyah sudah siap bahkan sebelum saya siap bu. Saat saya datang dia
sudah menunggu sambil duduk di teras depan tadi.”
“Ayah ga akan ikut nenek?”
“Kata ayah kita berangkat duluan saja, soalnya ayah ada kerjaan yang harus
diselesaikan dulu. Kalau sempat nanti ayah akan menyusul. “ jelas neneknya.
“ayo ihsan kita berangkat saja.”
“baik bu.”
“Lets go.” Teriak Aisyah.

***
Ihsan berdiri di depan café sambil menggenggam ponselnya. Tangan kirinya
menjadi penopang ponsel di telinga. Sedangkan tangan kanannya ia masukan ke
dalam saku mantel. Sebelah kaki kanannya memainkan butiran salju di aspal. Kaki
kanannya bergerak maju mundur mengikuti ritme suaranya.

“Baik Komandan. Komandan mau saya jemput?”


“Baiklah nanti saya shareloc lokasi cafenya.”
“Aisyah sudah menghabiskan 2 cup es krim komandan, tapi sampai
sekarang belum mau pulang.”
“Ibu sudah membujuknya untuk pulang tapi Aisyah terus menolak.”
“Situasi aman komandan, sepertinya kalau komandan tidak menyusul juga
tidak apa-apa.”
“Saya…” Ihsan tiba-tiba menghentikan kalimatnya. Matanya tertuju pada
seorang wanita yang berjalan melewati lampu merah dan mendekat ke arahnya.
Wanita itu tidak terlalu tinggi sehingga mantel coklatnya hampir menutupi seluruh
tubuh. Ia berjalan sambil memasukkan kedua tangganya kedalam saku mantel.
Sebuah syal mengelilingi wajah nya yang mungil, sehingga hampir menutupi
sebagian wajah kecilnya. Namun meskipun sebagain wajah wanita tersebut
tertutup ihsan tetap bisa mengenali wanita itu.
“Dia….” Tanpa ia sadari ucapannya itu.
Jarak wanita itu semakin dekat dengannya. Mata ihsan tak bisa berpaling
hingga wanita itu berjalan melewatinya dan masuk kedalam café.
“Tring” suara lonceng café pertanda ada seseorang masuk menyadarkan
ihsan.
“San , halo san ada apa..” suara komandan terdengar panik di sebrang
telepon.
“ah iya halo komandan mohon maaf saya tadi bertemu kenalan saya. Tenang
komandan disini semua aman.”
“Baik komandan saya akan selalu melaporkan keadaan disini.”
Setelah menutup teleponnya ihsan langsung bergegas masuk ke dalam cafe
untuk mencari wanita tadi dan memastikan apakah dia orang yang ia kenal. Ia
melihat keseluruh café mencari keberadaan mantel coklat.
“Om ihsan sini.” Suara nyaring Aisyah membuyarkan pencariannya.
Saat ihsan menoleh ke arah meja Aisyah, ia melihat ada seorang yang duduk
di samping Aisyah tapi bukan neneknya. Ihsan berjalan mendekat ke meja Aisyah.
Saat jaraknya semakin dekat perempuan di samping Aisyah menoleh ke arahnya.
Mata mereka berdua bertemu. Kali ini seluruh wajah wanita ini tidak tertutup
mantel lagi. Ihsan bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ihsan terdiam selama
beberapa detik. Wanita di depannya sama terkejut dengan ihsan. Meskipun wanita
itu tidak mengeluarkan suara, namun ihsan bisa melihat dari pupil matanya yang
melebar saat mata mereka bertemu.
Beberapa detik kemudian wanita itu tersenyum. Ekspresi terkejut nya kini
berubah menjadi tenang. “Apa kabar pak Ihsan?”
“Saya baik mba, bagaimana dengan mba?” tanya ihsan kembali dengan
senyuman tipis yang mengandung rasa tidak percaya.
“Kalian kenal?” tanya nenek Aisyah.
Ihsan menggangguk menjawab pertanyaan ibunda komandannya. “Mba
Zayyana ini pernah ikut berlayar bersama team kami bu.”
“Wah, kebetulan sekali. Zayyana ini yag kemarin menemukan Aisyah. “
Aisyah hilang dan ternyata yang menemukannya adalah mba Zayyana?
Kebetulan? Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan, semua ada maksud dan
tujuannya. Ihsan terus berbicara dengan hatinya. Mencari semua jawaban yang bisa
menjelaskan kondisi yang terjadi saat ini.
Tujuan? Tapi apa tujuan dari semua ini? Tidak ada yang bisa menjawabnya
saat ini. Mari melihat jawabannya di masa depan. Apa tujuan Sang Penulis
mempertemukan mereka kembali.
***
Kintetsu Nara Station. 15.00 Japan.
Ali berenti di halte bus terdekat dengan tempat Aisyah membeli ice cream.
Naranicle cafe. Setelah turun dari bus ia harus berjalan ke barat sejauh 124 meter
hingga sampai per-empatan jalan pertama. Setelah itu ia harus berjalan ke selatan
sejauh 237 meter untuk sampai ke per-empatan kedua. Sistem transportasi Jepang
berbeda jauh dengan di Indonesia, seseorang tidak bisa berhenti sembarang di
mana saja. Semua kendaraan umum hanya akan berhenti di setiap halte tujuan
mereka. Salju minggu ini tidak selebat minggu kemarin. Tapi udaranya tetap saja
tidak bisa dengan mudah dihadapi warga tropis seperti Ali.
Per-empatan kedua sudah mulai terlihat dari pandangan mata Ali.
Beruntungnya ia adalah seorang tentara, sehingga berjalan hampir setengah
kilometer tidak membuatnya lelah. Ali merubah ritme jalannya menjadi berlari
kecil saat pintu café Naranicle sudah terlihat. Ketika menerima telepon dari
sekretarisnya 2 jam lalu dan mengatakan Aisyah tidak berhenti makan ice cream,
Ali bergegas untuk pergi menyusul anaknya dan menghentikan kegilaan itu. Anak
kecil macam apa yang makan ice cream di musim dingin seperti ini.
Tring! Lonceng café berbunyi saat Ali memasuki pintu café.
“Ayah.”
Kata pertama saat ia berhasil masuk ke dalam café. Aisyah sedang berada di
depan kasir. Namun ada seseorang yang menggendong nya. Ihsan? Jelas bukan, ini
seorang wanita. Bundanya? Bukan juga, bentuk tubuhnya berbeda jauh dengan
bundanya.
“Kakak itu ayahku.” Aisyah terlihat ingin memperkenalkan dirinya.
Ucapan Aisyah membuat orang tersebut merubah posisi berdirinya
menghadap Ali.
Kini Ali bisa melihat dengan jelas wajah orang itu. Wajah yang akhir-akhir
ini mengganggu pikirannya. Tubuhnya membeku, mulutnya membisu, matanya
melebar dan jantungnya berdegup kencang. Jika ada seseorang berdiri
disampingnya saat ini mungkin orang itu bisa mendengar suara jantung Ali.
“Ali itu anak perempuan yang menemukan Aisyah kemarin.” Tiba-tiba
suara lirih berbisik di telinga kirinya.
Berita itu bukan membuat dirinya jadi tenang justru hatinya semakin merasa
tidak karuan dan otaknya semakin bingung. Seketika tanda seru dalam otaknya
berubah menjadi tanda tanya. Ada apa dengan semua ini?
Perempuan itu berjalan mendekat. Tanpa Ali sadari kini jarak mereka hanya
beberapa inchi. Kenapa rasanya hanya sedetik waktu yang dibutuhkan perempuan
itu untuk merubah jarak mereka berdua. Wajah perempuan itu sekarang berada
tepat di depannya. Wajahnya tidak berekspresi, tidak ada senyuman di bibirnya.
Matanya menatap lembut mata Ali. Lembut dan penuh keraguan. Ali bisa melihat
keraguan dari matanya. Matanya masih sama! Ucap Ali dalam hati.
Ali menyadari jantungnya masih belum tenang. Jarak ini semakin membuat
jantungnya berteriak. Ia merasa jantungnya hampir keluar dari tubuhnya, dengan
sigap ia melangkah mundur. Perempuan itu telihat terkejut dengan pergerakan tiba-
tiba Ali. Bukan hanya perempuan itu yang terkejut dengan sikap Ali tapi semua
orang di ruangan itu.
“Semoga ini adalah hal baik bukan hal buruk.” Ihsan berdoa dalam hatinya
ketika melihat Ali dan Zayyana bertemu.
Seorang wanita dari sudut lain tersenyum tipis. “Tentu saja tidak ada yang
namanya kebetulan di dunia ini. Mari kita lihat seperti apa akhir dari pertemuan
mereka kali ini.”

***
Nhena memperhatikan putranya sejak pertama kali mereka masuk mobil untuk
pulang ke rumah. Nhena merasa seperti ada sesuatu yang tidak ia ketahui. Hal
tersebut menyangkut putranya dan Zayyana. Ya benar, gadis perempuan yang
mereka temui tadi. Gadi perempuan yang ternyata merupakan malaikat yang
menyelamatkan cucunya. Sebetulnya Nhena sudah sedikit curiga dengan reaksi
ihsan pertama kali ketika bertemu dengan Zayyana. Awalnya ia fikir mungkin ada
sesuatu antara ihsan dan Zayyana sebelumnya, antara mereka berdua. Tapi
kecurigaan itu seketika menghilang ketika ia melihat pertemuan pertama putranya
dengan Zayyana. Insting seorang ibu tidak pernah meleset tentang putranya.
Nhena yakin pasti ada sesuatu antara Ali dan Zayyana di masa lalu. Ihsan
bilang Zayyana pernah mengikuti ekspedisi bersama dengan team mereka. Team
itu adalah team yang di pimpin oleh Ali. Apa mungkin saat itu terjadi sesuatu
diantara mereka berdua?
Aku harus mencari tahu tentang ini!
Apa aku tanya pada ihsan saja?
Tapi pasti ihsan tidak akan mau menjawab apapun.
Atau aku langsung tanya pada Ali baik-baik.
Nanti malam aku akan coba ajak Ali bicara dan bertanya tentang ini.
Nhena bertekad untuk bertanya langsung pada putranya.

22.00 Jepang.
Nhena keluar dari kamarnya dan melangkah ragu menuju kamar putranya. Ia
memastikan ihsan dan Aisyah sudah tertidur. Saat ia berjalan menuju kamar Ali
tiba-tiba langkahnya terhenti, ia melihat ali sedang berdiri di luar rumah sambil
menatap ke arah langit. Nhena berjalan mendekat dan berdiri di samping putranya.
Ia memperhatikan wajah putranya dari samping. Ali terlihat sangat bingung
seperti ada sesuatu yang ia khawatirkan tapi tidak bisa ia selesaikan.
“Astagfirulloh Bunda.” Ali terkejut ketika melihat Nhena berdiri
disampingnya sambil melihat kearahnya.
“Sejak kapan bunda berdiri disini?”
“Kamu seperti anak 7 tahun yang sedang ketahuan berbuat salah oleh
ibunya.” Tempat Nhena pada anaknya.
“Bunda.” Ali tersenyum tipis. “Ini sudah malam kenapa bunda keluar? Nanti
bunda masuk angin.” Ali merangkul bahu bundanya dan mencoba membawa
kedalam rumah.
“Ali, tidak ada yang ingin kamu ceritakan pada bunda?” ucap Nhena lembut
pada putranya.
Putranya itu sedikit tertegun mendengar pertanyaan Nhena. “Maksud bunda
apa?”
“Ali.” Ucap bundanya lagi lembut.
Ali melepaskan rangkulannya dan menatap kedua mata Nhena. “Bunda.” Ia
kemudian menghela nafas, seolah rasanya berat sekali untuk menceritakan
semuanya.
“Ali belum siap?” tanya bundanya lagi.
Ali menggeleng. “Bukan belum siap. Ali juga bingung apa yang harus Ali
ceritakan. Ali juga bingung apa yang sedang terjadi pada Ali saat ini. Ali belum
bisa memastikan segalanya.” Ali mengalihkan pandangan mata dari Nhena. Ia
menatap ke atas langit kembali. Rangkulan tangannya yang ia lepaskan dari
pundak Nhena kini berpindah ke saku celananya.
“Ada Zayyana juga dalam kebingungan mu, nak?” Nhena mencoba
memastikan tanda tanyanya.
Ali terlihat menahan nafasnya ketika mendengar Nhena menyebut nama
Zayyana. Ia kemudian menoleh untuk menatap Nhena lagi. Satu pertanyaan dalam
hati Nhena sudah terjawab. Benar. Ada hubungannya dengan Zayyana, ada sesuatu
antara mereka berdua dimasa lalu.
“Boleh bunda memberi saran?” kini Nhena merangkul tangan putranya.
Namun karena tinggi mereka cukup berbeda, Nhena hanya bisa merangkul lengan
Ali. “Jangan hanya karena suatu alasan yang membuatmu tidak percaya diri, kamu
jadi mencoba membohongi dirimu sendiri. Sesuatu yang jelas tidak akan pernah
bisa menjadi tabu, kecuali mereka sendiri yang ingin menjadikannya tabu.”
Nhena mengakhiri kalimatnya dengan senyuman sambil mengelus lengan
putranya. Ia mencoba meyakinkan putranya bahwa semua akan baik-baik saja.
Hatinya juga sedang mengkhawatirkan sesuatu, tapi ia mencoba menjadi ibu yang
supportif untuk anaknya.
Malam itu suasana di luar rumah sangat hening, Nhena sampai bisa
mendengar detak jantung ali yang berdegup kencang. Putranya saat ini sedang
tidak baik-baik saja. Apapun yang akan terjadi ia akan selalu bersama putranya.
Nhena merasa Ali menggenggam tangan kanannya yang sedang
merangkul lengan putranya.
“Bunda mau mendengar cerita Ali? Tentang Ali dan Zayyana.” Ali
mengucapkannya dengan yakin meskipun keraguan masih menyelimuti matanya.
Bundanya tersenyum sambil mengangguk.

***
“KISAH MASA LALU.”
Ali, ihsan, zayyana, istri ihsan
Ali ihsan = tentara
Zayyana = volunteer, mahasiswa tingkat akhir
Istri ihsan = dokter
Kupang, NTB/NTT
Kejadian 1 :
- Pertemuan pertama di bandara (hujan, dibawah payung perahu kertas
kuning, ali sedang mengikat sepatu.
-
***
“Ali menjadikan semua nya tabu karena Ali merasa dari awal itu bukah hal
yang bisa menjadi jelas.”
Selama Ali menceritakan semua yang terjadi di masa lalu Nhena hanya bisa
terdiam dan mendengarkan kisah putranya dengan sabar. Waktu berjalan sangat
cepat, lembutnya sinar bulan kini sudah hampir tergantikan dengan hangatnya sinar
matahari. Nhena melihat jam yang terpasang di dinding. Pukul 03.00. Sudah masuk
waktu shubuh, suara adzan berkumandang dari ponsel Ali yang tergeletak di depan
meja mereka.
“Ali jadi mengganggu waktu istirahat bunda, bunda jadi tidak tidur
semalaman. Maafkan Ali ya bunda. “ Ali terlihat sangat khawatir.
Nhena menggeleng. “Bagi bunda cerita ini lebih menyenangkan
dibandingkan tidur. “ Nhena tersenyum menggoda.
“Ayo kita sholat berjamaah, sudah lama kamu tidak menjadi imam sholat
untuk bunda. Padahal dulu hampir setiap hari kita sholat berjamaah dan kamu
imamnya. Bunda jadi rindu bacaan surat mu. “
“Mari Ali ingatkan kembali indahnya suara anakmu ini.” Ali tersenyum
menggoda.
Nhena terlihat cukup tenang melihat putranya sudah bisa bercanda.
Nhena dan Ali berjalan ke kamar masing-masing untuk mengambil air
wudhu dan alat sholat. Kemudian mereka kembali ke ruang tengah untuk
melaksanakan sholat shubuh berjamaah. Bahagia sekali mendengar kembali suara
anaknya dalam mebacakan surat Al-Quran. Rasanya bru kemarin mendampingi dia
untuk setor hafalan setiap jumat sore ke Kyai di kampung halaman mereka
Purwokerto. Kini aknaknya bahkan sudah menjadi imam sebuah keluarga. Ali
sudah tumbuh menjadi imam yang baik untuk orang tua dan keluarganya.

Anda mungkin juga menyukai