Anda di halaman 1dari 13

BUKU CATATAN CINTA

Oleh Chelsea Latifasari/13/XII MIPA 1

Ayam jantan mulai keluar dari kandangnya. Mencari jalan menuju tempat
yang sesuai untuk memulai ritual pagi. Setelah menemukan tempat yang pas, ia
mengepakkan kedua sayapnya yang bahkan tak bisa digunakan untuk terbang
tinggi. Membusungkan dadanya yang kokoh bak binaragawan, lalu berkokok
dengan suaranya yang lantang.
Matahari yang masih bersembunyi di balik pegunungan menimbulkan
kilauan jingga di langit sebelah timur. Semburat awan-awan halus seolah
menciptakan perpaduan dan menambah cantiknya sang angkasa. Udara dingin
masih betah mendekap daerah Tawangmangu tahun 1989 kala itu. Namun
sebentar lagi harus ia pergi dengan terpaksa saat surya telah menampakkan
kehangatannya.
“Bu, Ningsih berangkat dulu ya.” Ucap seorang gadis sembari mencium
tangan sang ibunda. “Hati-hati, Nak.” Pesan ibunda sembari mengelus kepala
anaknya. Gadis itu langsung bergegas menuju terminal agar tidak tertinggal bus
yang akan membawanya ke sekolah.
Sesampainya di terminal, ia menaiki bus jurusan Tawangmangu-Solo.
“Hai adik manis, cantik sekali hari ini.” Goda seorang kondektur bus sembari
mengerlingkan matanya. Ningsih hanya tersenyum lantas duduk di salah satu
kursi penumpang di dekat jendela.
Setelah dirasa bus sudah cukup penuh, sopir melajukan kendaraan besar
tersebut dengan kecepatan sedang. Bau kampas rem mulai tercium. Udara yang
mulanya dingin mulai menghangat karena bus mulai penuh dengan penumpang
yang diangkut dari beberapa titik pemberhentian. Keadaan itu sudah biasa bagi
Ningsih si anak rantau. Daripada memandang bus yang sesak, ia mengalihkan
pandangannya ke luar jendela. Melihat pemandangan ke sawah-sawah dan
kebun-kebun yang terbentang di pinggir jalan.
Ningsih namanya. Gadis remaja kelas dua di salah satu SMEA di
Karanganyar. Ningsih berkulit kuning langsat dan berwajah campuran. Mata sipit
ia dapatkan dari sang Ibunda. Hidungnya tak terlalu mancung persis seperti
Ayahnya. Bibirnya tipis dengan tahi lalat di atasnya. Ia memakai kacamata bulat
untuk membantu penglihatannya yang rabun jauh. Kacamata bulat yang
dikenakannya menambah kesan manis di wajahnya. Rambutnya yang lurus
dikeriting untuk mengikuti tren anak muda kala itu. Tubuhnya lebih pendek dari
teman-teman yang lainnya.
Ningsih anak yang cukup terkenal. Akan tetapi, bukan bak model majalah.
Bukan pula dikalangan sekolah. Ia terkenal dikalangan para kondektur bis
dikarenakan ia sering menaiki bis menuju sekolah. Ibundanya bekerja sebagai
penjual nasi di warung terminal tempat asalnya. Sementara ayahnya, bekerja
sebagai pegawai negeri dengan upah pas-pasan, tukang karcis di gerbang wisata
menuju Tawangmangu. Ningsih memiliki seorang kakak perempuan dan dua
orang adik laki-laki.
Meskipun tidak terlalu pintar, Ningsih anak yang cukup aktif di
sekolahnya. Di kelas, ia menjadi sekretaris. Sudah tugasnya mencatatkan apa yang
disuruh para guru saat pelajaran. Ia menjalaninya dengan santai, tetapi penuh
tanggung jawab.
Sampai akhirnya laki-laki berambut ikal itu berulah. “Ning, pinjam buku
catatanmu. Milikku belum selesai. Kamu tahu sendiri, jam ketiga tadi aku
membolos.” Ujar laki-laki itu. “Kembalikan besok ya. Jangan sampai tertinggal di
rumahmu.” Kata Ningsih sembari menyerahkan bukunya. “Beres.” Jawab
laki-laki itu mantap.
Ia bernama Yatno. Pemuda dari kecamatan Ngargoyoso. Anak pertama dan
memiliki empat adik. Ia tinggal bersama satu adik dan orang tua angkatnya.
Kedua orang tuanya merantau ke Jakarta bersama tiga adiknya yang lain.
Badannya lebih tinggi dari Ningsih. Dadanya bidang bak lapangan sepak bola.
Punggungnya tegap dan berkulit sawo matang karena terlalu sering pergi ke
sawah. Rupa wajahnya cukup rupawan meskipun sedikit kusam. Kumis yang
masih malu-malu untuk menampakkan diri berjejer rapi di atas bibir tipisnya.
Yatno sebenarnya anak yang pendiam. Akan tetapi, setelah naik ke kelas
dua, Yatno berubah menjadi anak yang sangat akrab dengan teman-temannya.
Keakrabannya kadang membuatnya kerap melanggar aturan sekolah. Membolos
misalnya. Ia membolos untuk mengikuti tawuran antar sekolah karena kalah
taruhan bola, maupun sekedar menonton bioskop di gedung bioskop kala itu.
Besoknya, Ningsih meminta buku catatannya kembali. “Mana buku
catatanku, Yatno?” pinta Ningsih. “Ini. Terima kasih ya, Cantik.” Ucap Yatno
sembari mengembalikan buku Ningsih. Saat Ningsih membuka bukunya di
halaman terakhir, ada banyak coretan dan gambar-gambar kartun. Tak usah
susah-susah mencari pun, Ningsih tau siapa pelakunya. “Yatno!!!” teriak Ningsih
jengkel. Pelaku yang diteriakkan namanya hanya lari dan tersenyum jahil.
Hari-hari berikutnya pun selalu berjalan seperti itu. Yatno yang selalu
meminjam buku Ningsih, dan Ningsih yang selalu menahan kekesalan karena
bukunya dipulangkan dengan penuh coretan. Mau tidak mau, Ningsih harus
bersabar karena tingkah teman nakalnya itu.
“Cantik, pinjam buku catatan lagi dong.” Pinta Yatno sambil menggoda
Ningsih. “Tidak. Aku sudah tidak mau membuang-buang kertas hanya untuk
membuang coretanmu.” Tolak Ningsih. “Ayolah Ning, kali ini tidak akan aku
coret lagi. Kamu tidak kasihan jika aku tertinggal pelajaran?” mohon Yatno
kepada Ningsih.
Ningsih yang menjunjung tinggi rasa pertemanan pun akhirnya mengambil
jalan keluar. “Begini saja, daripada aku membuang-buang kertas karena
coretan-coretan tidak pentingmu, lebih baik kemarikan buku catatanmu. Akan aku
tuliskan. Tapi sebagai gantinya, belikan aku makan siang.” Ucap Ningsih. “Wah,
yang benar Ning? Baik sekali kamu. Baiklah kalau begitu, ini buku catatanku.
Terima kasih ya, Cantik!” ujar Yatno senang sambil mengerlingkan matanya
menggoda. Ningsih hanya bisa menggelengkan kepala dan menahan semburat
merah yang muncul di pipi kanan dan pipi kirinya.
Benar. Yatno tertarik kepada Ningsih. Meminjam catatan hanyalah sebuah
alasan agar Yatno bisa mendapat perhatian dari gadis mungil itu. Sejujurnya, siapa
yang tidak tertarik pada gadis cantik dan rajin yang senang membantu guru dan
teman-temannya seperti Ningsih?
Waktu terus berjalan. Hari itu tiba. Hari dimana film besar yang
dinanti-nantikan darah muda akan diputar di gedung bioskop pukul sepuluh pagi.
Tanpa ditanyakan lagi, pastinya Yatno dan teman-temannya akan berangkat
menonton.
Seperti biasa, sepulang dari menonton film, Yatno kembali ke sekolah
untuk meminjam buku catatan Ningsih. “Ningsih, pinjam catatanmu lagi ya.”
Kata Yatno. “Kenapa tidak seperti biasanya saja? Kemarikan bukumu.” Ujar
Ningsih. “Tidak usah, catatan hari ini pasti banyak. Aku janji tidak akan mencoret
bukumu lagi.” Ucap Yatno. “Baiklah, kupegang kata-katamu!” jawab Ningsih.
Keesokan harinya, Ningsih menemukan buku catatan sudah kembali ke
loker mejanya. Aneh, kenapa Yatno tidak mengembalikannya langsung? Ningsih
membuka bukunya pada halaman terakhir untuk mengecek, apakah Yatno berulah
lagi.
Bukan coretan garis-garis tak beraturan yang Ningsih temukan. Bukan
pula gambar kartun buruk rupa yang biasa digambar Yatno. Puisi. Ningsih
menemukan sebuah puisi tertulis dengan tulisan yang sedikit acak-acakan.

Pagiku sangat indah,

Dengan senyum merekah

Aku tersipu,

Mengingat kamu di mimpiku

Malaikatku

Ningsih merasa aneh. Jantungnya memompa dua kali lebih cepat dari
biasanya. Suhu tubuhnya meningkat secara tiba-tiba. Wajahnya memanas,
Bersama dengan semburat merah yang mulai terlihat di kedua pipi kecilnya.
Sesuatu menggelitik perutnya. Terasa seperti kupu-kupu yang beterbangan yang
memaksanya menampilkan senyum manisnya. Ningsih, gadis polos dari desa,
jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Berkali-kali Yatno meminjam buku catatan Ningsih. Berkali-kali pula
Yatno menuliskan kata-kata manisnya pada lembar terakhir buku catatan Ningsih.
Dan berkali-kali pula Ningsih semakin jatuh ke dalam panasnya api asmara.
Semakin terpikat dan semakin penasaran dengan apa yang akan dituliskan Yatno
selanjutnya.
Masa SMA adalah masa dimana anak-anak muda bebas bersenang-senang.
Seperti anak muda pada umumnya, masa sekolah tidaklah lengkap jika tak
membuat kenangan bersama teman-teman. Menjelajah bumi Karanganyar ataupun
sekedar berkunjung ke rumah teman adalah cara Yatno, Ningsih, dan
teman-temannya menghabiskan waktu sebelum disibukkan dengan ujian.
Di masa-masa itulah Yatno dan Ningsih memulai suatu pendekatan. Tidak
terlalu mencolok, mereka hanya sekedar duduk bersebelahan saat menaiki
angkutan umum. “Cie.. Yatno suka Ningsih ya?” kata salah satu anak bertubuh
gempal dan pendek. “Ti-tidak, sudah tidak ada tempat kosong.” Jawab Yatno
menahan gugup. Sementara Ningsih hanya menatap ke arah jendela sembari
menahan senyuman serta semburat merah di pipinya.
Saat berjalan kaki pun mereka terlihat berdampingan. Ningsih sesekali
tertawa mendengar candaan yang dilontarkan Yatno. Perasaan senang mulai
muncul dalam hati keduanya. Seperti yang dikatakan orang-orang pada umumnya,
saat jatuh cinta, dunia serasa milik berdua.
Ningsih suka sekali mendengarkan Yatno bercanda. Memperhatikan
pemuda tinggi itu berbicara seolah menjadi musik klasik yang merdu saat
didengar telinga. Memperhatikan pemuda itu saat didekatnya seolah menjadi
pemandangan terindah di hidupnya. Seakan-akan Yatno telah menjadi pusat
dunianya, Ningsih sangat bahagia.
Bicara tentang cinta, memang sangat indah rasanya. Cinta seolah
membawamu ke langit ketujuh, dan menjanjikan sejuta kebahagiaan di dalamnya.
Namun tentu saja, tidak pernah ada kesenangan tanpa melewati rintangan
sebelumnya. Untuk menuju puncak kebahagiaan, tentu saja harus ada suatu
pengorbanan.
Siang itu, matahari berada tepat di atas kepala. Panas cukup terik, matahari
marah seperti siap membakar apa saja di bawahnya. Ningsih menunggu bus di
halte untuk kembali ke rumahnya.
Setelah menunggu cukup lama, bus yang ditunggu datang. Karena sudah
lama menunggu, Ningsih menaiki bus itu meskipun bus cukup penuh dengan
penumpang. Karena belum banyak bus yang lewat serta minimnya rakyat yang
memiliki kendaraan pribadi, membuat bus selalu penuh kala itu. Kebetulan orang
di sebelah Ningsih turun di pemberhentian selanjutnya yang cukup dekat dengan
halte tempat Ningsih menunggu.
Suasana bus cukup sesak. Ada kondektur yang bersusah payah
menyelipkan tubuhnya di antara penumpang untuk menarik ongkos. Juga anak
SMP yang merokok di kursi bagian paling belakang yang asapnya membuat
suasana bus menjadi semakin pengap. Ada pula wanita paruh baya yang
tampaknya menaiki bus dari pemberhentian awal bus, karena wanita itu terlihat
tertidur cukup pulas dengan kepala yang menyender di jendela dan mulut
menganga.
Saat bus berhenti di pemberhentian selanjutnya, ada wanita paruh baya
bertubuh cukup berisi dan menggendong balita yang terlihat seperti cucunya
menaiki bus. Wanita itu berdiri di sebelah Ningsih karena tidak mendapat kursi
yang kosong. Balita yang digendong terlihat terlelap di dada wanita itu. Ningsih
tak melihat wanita itu karena ia sibuk memperhatikan jendela. Sepertinya
kebiasaan Ningsih yang satu ini tidak bisa dihilangkan.
Tiba-tiba, balita yang digendong wanita tua itu merengek karena
sepertinya kepanasan. Ningsih mendengar rengekan balita itu. Tanpa pikir
Panjang, Ningsih yang awalnya melihat ke arah jendela pun berdiri dan
mempersilakan wanita tua yang berada di dekatnya untuk menduduki
kursinya.“Silakan duduk di kursi saya Bu.” Ucap Ningsih sambil tersenyum. “Ah,
terima kasih, Dik. Kamu baik sekali. Turun dimana, Dik?” tanya wanita itu setelah
duduk di kursi. “Saya turun di Terminal Tawangmangu, Bu.” Jawab Ningsih
sambil tersenyum. Ningsih dan wanita itu pun kemudian mengobrol sebagai
basa-basi.
Merasa tidak ada topik yang akan diobrolkan lagi, Ningsih pun melihat ke
arah jendela. Ningsih suka sekali memandangi sawah maupun rumah-rumah yang
dilewati bus di perjalanan. Ia menikmati pemandangan sembari berpegangan pada
sandaran kursi di depannya supaya tidak jatuh saat bus melewati jalanan naik
turun yang berkelok-kelok maupun saat bus mengerem karena harus menurunkan
dan menaikkan penumpang di titik-titik pemberhentian.
“Besok pulang jam berapa, Dik?” tanya seorang pemuda di kursi bagian
tengah pada gadis yang bertubuh lebih kecil di sebelahnya. Ningsih kebetulan
mendengar percakapan mereka. Tunggu. Suara ini. Suara ini terdengar familiar
bagi telinga Ningsih. Suara yang biasanya terdengar sopan saat menyapa gendang
telinga Ningsih. Suara yang biasanya membuat jantung Ningsih berdetak dua kali
lebih cepat. Suara Yatno.
Ketemu. Ternyata benar. Suara tadi adalah suara milik Yatno. Namun,
pemandangan selanjutnya yang dilihat Ningsih membuat dadanya terasa sesak.
Ningsih melihat Yatno duduk bersebelahan dengan salah satu perempuan dari
sekolah lain yang ia kenali sebagai adik kelasnya sendiri semasa SMP . Ningsih
tak ingin berburuk sangka. Akan tetapi, pandangan memuja yang diarahkan Yatno
kepada perempuan itu dan bagaimana perempuan itu tersenyum malu-malu seolah
menjelaskan semuanya.
Ningsih bingung. Rasanya bagai menelan besi membara hingga masuk ke
tenggorokannya. Matanya terasa panas, seolah menahan bendungan yang hampir
jebol karena desakan air yang terlalu banyak. Kakinya melemas. Namun Ningsih
harus bisa bertahan. Gadis polos itu, merasakan cemburu.
Ningsih menengok sekali lagi, memastikan bahwa pemuda yang dilihatnya
benar-benar Yatno. Saat Ningsih melihat kearah Yatno, entah sengaja atau tidak,
Yatno juga melihatnya. Pandangan mereka bertemu. Yatno terkejut. Bodoh. Yatno
lupa, bahwa bus jurusan Tawangmangu-Solo biasa ditumpangi Ningsih.
Mata Ningsih. Mata yang biasa memancarkan binar indah saat Bersama
Yatno tampak berbeda. Mata itu kini memandang Yatno dengan penuh
kekecewaan. Binar indah itu terganti dengan sorot kesedihan. Ningsih pun
menundukkan pandangannya. Ternyata benar seperti kata orang-orang. Jika kau
bermain-main dengan api asmara, kau juga harus siap terbakar olehnya.
Bus berhenti di Terminal Karangpandan. Wanita yang diberi tempat duduk
oleh Ningsih pun turun. “Duduk lagi, Dik. Ibu mau turun.” Kata wanita itu.
Ningsih melamun. Masih berusaha menetralkan pikirannya. “Dik?” panggil
wanita itu sekali lagi sambil menepuk pelan pundak Ningsih. “Ah, iya Bu.
Hati-hati ya Bu.” Jawab Ningsih sambil tersenyum. Ningsih pun kembali
menduduki kursi penumpang itu.
Para penumpang bergantian turun dengan tertib. Tidak ingin badan mereka
terdorong oleh penumpang lain. Yatno pun juga ikut turun. Melewati Ningsih
begitu saja tanpa menyapa barang sepatah kata. Ningsih melihatnya. Ingin marah
tapi bukan haknya. Memangnya ia siapa?
Pagi Ningsih tak secerah biasanya. Ningsih berjalan lesu di lorong menuju
kelasnya. Seperti biasa, ia datang lebih awal daripada teman-temannya. Ningsih
terduduk diam di kursinya. Merasa bosan, Ningsih berjalan menuju jendela.
Membuka gorden agar cahaya matahari menyinari ruangan kelas yang gelap.
Membuka jendela agar udara pengap di dalam kelas terganti menjadi udara baru
yang lebih segar. Tak lama kemudian, pintu kelas terbuka. Mengeluarkan bunyi
decitan khas pintu dibuka. Seseorang memasuki ruangan kelas. Merasakan
keberadaan orang selain dirinya, Ningsih menolehkan kepala. Niatnya ingin
sekedar menyapa. Namun, setelah melihat siapa yang datang. Ningsih
mengurungkan niatnya. Mengalihkan pandangan dari pemuda yang jarang ia
temui beberapa hari ini.
Benar. Pemuda yang datang adalah Yatno. Pemuda yang beberapa hari ini
berhasil memporak-porandakan hatinya. Pemuda yang menjadi alasan mengapa ia
tak bersemangat beberapa hari ini. Pemuda yang sama yang membuatnya terbang
tinggi di angkasa tetapi dijatuhkan ke dasar Samudra pada akhirnya. Yatno.
Yatno memandang Ningsih dengan tatapan bersalah. Ia ingin menjelaskan
kepada Ningsih tentang peristiwa beberapa hari ke belakang. Namun sulit sekali
menemukan waktu yang tepat untuk berbicara dengan gadis manis itu. Saat waktu
yang tepat tiba, saat ini, Yatno membeku. Terdiam. Bingung merangkai kata-kata
yang ada di otak pas-pasannya.
Mencoba mengurangi kecanggungan antara mereka berdua, Yatno
menyapa Ningsih. “Pagi, Ningsih.” Sapa Yatno. “Pagi.” Jawab Ningsih tanpa
menunjukkan senyum manisnya. Sangat ketara. Tingkah Ningsih menunjukkan
jika ia masih kesal. Meskipun otak Yatno tak terlalu pintar, ia menyadari itu. “Apa
kabar?” bodoh. Yatno merutuki kebodohannya sendiri. Pertanyaan macam apa
itu? Memangnya mereka terpisah sejauh apa? Sabang dan Merauke? Memangnya
mereka terpisah selama apa? Sewindu? Atau satu dekade?
Ningsih sedikit heran tetapi tetap menjawab pertanyaan bodoh Yatno.
“Seperti yang bisa kamu lihat. Anggota tubuhku masih lengkap.” Jawab Ningsih
sambil berusaha menahan kekesalannya. “Ning, bisa kita bicara?” ini dia.
“Memangnya kau pikir sedang apa kita sekarang? Berkokok?” sahut Ningsih.
“Kamu tahu maksudku, Ning. Ayolah, biarkan aku menjelaskan.” Pinta Yatno.
Ningsih menghela napas. “Baiklah.” Yatno terseyum mendengarnya.
“Waktumu sampai ada seseorang masuk kelas.” Sambung Ningsih. “Yang kamu
lihat waktu itu…” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Ningsih menyela,
“Adik kelas dari sekolah lain. Ya, aku tahu.” “Apa yang kamu pikirkan memang
benar. Aku juga dekat dengannya.” Sambung Yatno.
Ningsih menunduk. Berusaha menelan pahitnya kekecewaan. “Tapi
berbeda.” Lanjut Yatno. Ningsih bingung. Ia kembali mengangkat kepalanya.
Kembali menatap Yatno dalam. “Rasanya berbeda. Saat aku dekat denganmu dan
dengannya. Aku akui dia cantik, baik, dan ramah sepertimu. Akan tetapi, debaran
yang kurasakan berbeda. Aku hanya…” Yatno menelan ludah. “Hanya merasakan
debaran jantungku dua kali lebih cepat saat bersamamu.” Lanjutnya.
Ningsih tercekat. Hatinya juga berdebar. Mengalihkan pandangannya ke
papan tulis di depan. Berusaha menahan rona merah yang berlomba-lomba
menuju permukaan pipinya. “Beberapa hari ini aku sudah tak menemuinya lagi.
Aku berusaha mencari waktu yang tepat untuk berbicara padamu lagi.” Jelas
Yatno. Ningsih tak bisa menyembunyikan kesenangannya. Bibirnya perlahan
membentuk lengkungan indah bak pelangi terbalik.
“Jadi, Ning. Bolehkah aku meminta sesuatu.” Kata Yatno. “Apa?” tanya
Ningsih sembari meletakkan pandangannya kembali ke Yatno. “Bisakah kita
kembali seperti dahulu? Bisakah kau kembali percaya padaku?” jawab Yatno
dengan menatap Ningsih penuh harap. Gadis polos itu terliat bingung dan resah.
Ia menggerakkan kakinya ke samping kanan dan kiri. Ragu. Ia tak ingin
melepaskan Yatno tetapi juga tak ingin kembali disakiti oleh pemuda itu. Yatno
yang melihat itu kembali mengeluarkan suara, “Aku berjanji tidak akan dekat
dengan siapapun lagi selain dirimu, Ning.”
“Baiklah. Aku pegang janjimu ya!” jawab Ningsih sambil melotot lucu ke
arah Yatno. Mereka pun tertawa bersama. Sekali lagi, orang-orang berkata benar.
Akan ada pelangi setelah badai.
Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa, Yatno dan Ningsih sudah naik
ke kelas tiga dan sebentar lagi akan menjalani ujian kelulusan. Tahun 1990, tahun
terakhir mereka menjejakkan kaki di sekolah ini. Mereka masih seperti dulu.
Saling bertukar surat cinta yang indahnya masih terasa. Karena waktu ujian
semakin dekat, mereka saling mengirim semangat. Berharap agar nilai ujian
sesuai dengan yang diharapkan.
Hari-hari ujian berlalu, hari kelulusan tiba. Dengan rasa bahagia, seluruh
anak angkatan kelas tiga merayakan kelulusan mereka. Ada yang bersorak
bahagia karena lulus dengan nilai yang memuaskan. Ada pula yang bersedih
karena harus berpisah dengan teman-temannya karena melanjutkan hidup untuk
menikah, bekerja, atau melanjutkan ke perguruan tinggi bagi mereka anak-anak
yang berasal dari keluarga berada.
Ningsih lulus dengan nilai biasa-biasa saja. Meskipun begitu, ia tetap
bahagia. Sebenarnya, ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Yatno. Ia
menolehkan kepala ke samping kanan dan kiri, mencari eksistensi pemuda
berambut ikal itu. Ingin sekali bertanya, pemuda itu akan melanjutkan hidupnya di
mana atau sekedar mengucap salam perpisahan kepada Yatno.
Belum sempat ia menemukan pemuda itu, suara sang ayah menginterupsi,
“Ayo, Nak. Pulang. Masih mencari siapa?” Ningsih hanya bisa menurut dan
pasrah. “Tidak, Pak. Ayo.” Jawab Ningsih. Hatinya terasa ada yang kurang.
Dengan perasaan sedikit kecewa, Ningsih pulang dengan ayahnya.
Ningsih tentu harus membuat keputusan untuk melanjutkan hidupnya.
Ningsih sadar bahwa dirinya hanyalah lulusan SMEA. Tuntutan ekonomi
membuat orang tuanya tak mampu menyekolahkannya hingga ke tingkat yang
lebih tinggi. Tak ingin menjadi beban orang tua dan orang tak berguna, Ningsih
memutuskan akan merantau ke ibukota, Jakarta.
Ningsih akan berangkat ke Jakarta dengan menaiki bus. Ia harus menaiki
bus dengan jurusan Tawangmangu-Solo lalu turun di Terminal Tirtonadi, dan
menaiki bus jurusan Solo-Jakarta. “Hati-hati ya, Nak. Kabari Bapak dan Ibu jika
sudah sampai.” Kata ayahnya. “Jangan lupa ibadahnya ya, Nak.” Lanjut ibunya.
“Siap Bu, Pak. Mohon doanya semoga Ningsih cepat menemukan pekerjaan.”
Jawab Ningsih sambil berpamitan kepada kedua orang tuanya. “Adik-adik jangan
nakal, ya. Belajar yang giat. Jangan menyusahkan Bapak dan Ibu. Mbak, tolong
jaga adik-adik, ya.” Pesan Ningsih kepada kedua adik dan satu kakak
perempuannya. Adik-adik dan kakak Ningsih mengangguk sembari melambaikan
tangan. Ningsih menaiki bus. Berat rasanya meninggalkan kampung halaman.
Nemun demi kelangsungan hidupnya, apapun akan dilakukan.
Ningsih tiba di Terminal Tirtonadi. Ia menunggu bus jurusan Solo-Jakarta
tiba di salah satu kursi tunggu. Saat sedang mengamati keadaan sekitar, ada yang
menepuk bahu kanan Ningsih. “Ningsih?” kata seseorang itu. Suara ini. Suara
bariton ini. Yatno.
Ningsih menolehkan pandangannya. “Yatno!” sahut Ningsih gembira.
“Astaga, bagaimana kabarmu? Ke mana saja kamu? Ke mana kamu saat
kelulusan? Kenapa kamu bisa ada di sini?” Ningsih terlampau senang melihat
pujaan hatinya dan memberi Yatno banyak pertanyaan bak mewawancarainya.
“Tenang, Ning. Satu-satu. Aku jadi bingung. Kabarku baik, saat kelulusan adikku
sakit jadi aku dan bapakku harus buru-buru pulang setelah mengambil hasil
kelulusan. Aku sudah bekerja, Ning. Baru satu bulan. Aku bekerja di percetakan
dekat sini. Mimpi apa aku semalam… Bisa bertemu bidadari di terminal.” Jelas
Yatno panjang sambil terkekeh dan duduk di kursi kosong sebelah kanan Ningsih.
Ningsih ikut tertawa kecil menanggapi perkataan Yatno. “Bisa saja kamu.”
Kata Ningsih. “Oh iya, kamu sendiri mau ke mana Ning? Atau dari mana? Kok
bisa sampai sini? Pasti mencari pageran ya…” goda Yatno. “Pangeran? Siapa?”
tanya Ningsih bingung. “Tentu saja orang di sebelahmu!” jawab Yatno.
“Bapak-bapak yang membawa dua anak itu?” sahut Ningsih sambil memandang
orang di sebelah kirinya. “Astaga, Ning! Aku!” jawab Yatno kesal. Niatnya ingin
menggoda Ningsih, ia malah dikerjai.
Ningsih tertawa terbahak-bahak. Puas rasanya bisa mengerjai Yatno. Si
korban pun terdiam dan berusaha menetralkan batinnya yang kesal. Yatno
memandang paras ayu lawan bicaranya. Senang sekali bisa melihatnya tertawa
lagi. Perasaan rindu yang membuncah karena beberapa waktu terpisah juga
perlahan mulai terobati.
Akan tetapi, tawa Ningsih tak berlangsung lama. Tawanya berganti dengan
senyum sendu dan gerak tubuhnya yang lesu. Merasa ada yang tidak benar, Yatno
lantas bertanya, “Ada apa, Ning?” Ningsih menghela napas. “Aku akan merantau.
Ke Jakarta.” Jawab Ningsih sambil tersenyum getir.
Yatno bingung. Perasaannya campur aduk. Ia senang karena bisa bertemu
cintanya. Namun, ia juga sedih karena harus terpisah lebih jauh lagi dengan
Ningsih. “Jakarta? Berapa lama, Ning?” tanya Yatno. “Belum tahu. Jika aku
menemukan pekerjaan yang tetap dan membuatku nyaman, mungkin akan
menetap sampai entah kapan. Mungkin juga akan kembali kalua aku tidak betah
di sana.” Jelas Ningsih.
Yatno tertegun. Mungkin ini saatnya. Ia tak bisa menunggu lagi. Ia ingin
berjuang. “Ning, boleh aku jujur?” kata Yatno sambil memainkan jari-jari
tangannya menahan gugup. “Apa?” tanya Ningsih menoleh ke arahnya. “Aku
mencintaimu.” Kata cinta itu meluncur amat mulus dari bibir Yatno. Secara
tiba-tiba, pada waktu yang tak terkira.
Jantung Ningsih berdebar seketika. Merasa gembira. Ternyata cinta
pertamanya terbalas. Sembari menyembunyikan kebahagiannya, Ningsih berkata,
“Yatno, kamu tahu tidak. Kata-kata yang lebih bagus dari kata-katamu tadi?”
Yatno mengerutkan dahinya. “Tidak, memangnya apa?” tanya Yatno bingung.
Ungkapan cintanya memang sederhana. Namun, apakah ada ungkapan yang lebih
indah daripada ungkapan cinta?
Sambil memandang Yatno malu-malu, Ningsih berujar, “Aku juga.”
Ningsih benar. Yatno mengakui itu. Kata-kata Ningsih membuat Yatno dua kali
lebih berdebar daripada pernyataan cintanya. Kata-kata Ningsih membuat
kebahagiaan Yatno membuncah luar biasa. Namun apakah bisa? Apakah mereka
bisa saling mempertahankan rasa saat terpisah berpuluh-puluh kilometer jauhnya.
Hanya satu jawabnya, saling percaya. “Tetapi apakah kamu mau
menungguku, Yatno?” tanya Ningsih ragu. “Aku bisa, Ning. Aku harus bisa. Kita
juga masih bisa saling berkirim surat. Jika aku punya uang, aku akan
menyusulmu, Ning.” Jawab Yatno mantap. “Aku juga berjanji tidak akan dekat
dengan gadis manapun. Jika kau bisa mempercayaiku, aku juga akan
mempercayaimu, Ning.” Lanjutnya. “Baiklah. Jika aku sudah mendapat
pekerjaan, akan ku kirim surat ke kantor pos, ya.” Kata Ningsih. “Baiklah. Jangan
lupa ya.” Ujar Yatno tersenyum.
Bus jurusan Solo-Jakarta yang ditunggu Ningsih tiba. Ningsih berdiri.
Sekali lagi menatap pujaan hatinya sebelum pergi. “Aku berangkat, Yatno.” Pamit
Ningsih. “Iya. Hati-hati. Aku akan menunggumu, Cantikku.” Ucap Yatno
menggoda. “Hei! Aku belum menjadi milikmu, tau.” Jawab Ningsih. Mereka pun
tertawa. Ningsih mulai menaiki bis, ia duduk di dekat jendela. Bus mulai berjalan
perlahan, meninggalkan terminal. Ningsih melambaikan tangan, kepada sang
pujaan. Dibalas dengan lambaian tangan Yatno yang masih menunggu hingga bus
berlalu.
Tiga bulan berlalu. Ningsih bekerja di salah satu pabrik sepatu di daerah
Tangerang. Pabrik tempat Ningsih bekerja menyediakan fasilitas asrama bagi para
pekerja yang merantau atau pekerja yang rumahnya jauh. Akan tetapi, penginapan
yang disediakan masih berjarak satu kilometer dari pabrik. Ningsih dan
kawan-kawannya yang tidak mempunyai kendaraan bermotor harus bejalan kaki.
Juga, jika ingin mandi mereka harus mengantre dan hemat air karena sulit
mendapatkan air bersih dengan pasokan yang banyak di Tangerang kala itu.
Ningsih dan Yatno masih berhubungan baik. Masih sering berkirim surat
tiap seminggu sekali. Sepulang kerja, Ningsih dan Yatno tak pernah absen
mendatangi kantor pos di tempat masing-masing. Menanyakan kepada petugas
pos apakah surat dari pujaan hati sudah sampai. Apabila sudah, mereka akan
membawa pulang surat ke asrama dengan perasaan gembira. Membacanya
berulang kali sampai lusuh kertasnya. Apabila belum, mereka harus pulang
dengan perasaan kecewa karena harus bersabar dan memupuk rindu lebih lama.
Tiga bulan di Tangerang membuat Ningsih tidak betah. Tubuhnya yang
mungil tak sanggup menahan kerasnya kehidupan di kota. Ia sudah memutuskan
untuk berhenti. Menulis surat pengunduran diri dan pamit kepada
teman-temannya. Mengemasi semua barang-barangnya dan pergi ke terminal
untuk menaiki bus. Meninggalkan kota dengan hiruk pikuk yang luar biasa dan
kembali ke kampung halaman tercinta, tempat kelahirannya.
Tak lama setelah Ningsih pulang ke kampung halaman, Ningsih
memutuskan untuk mencari pekerjaan di Solo. Ia diterima di perusahaan asuransi
di dekat Terminal Tirtonadi. Tugasnya mencari nasabah kesana kemari. Meskipun
pekerjaannya cukup berat, ia lebih nyaman bekerja di sini daripada di tempat kerja
sebelumnya. Selain bisa bertemu keluarganya setiap hari, ia juga bisa bertemu
sang pangeran hati. Yatno.
Kantornya yang tak terlalu jauh dengan percetakan tempat Yatno bekerja
membuat ia kerap bertemu pemuda itu. Baik sekedar makan siang bersama atau
menghabiskan waktu bersama jika pekerjaan mereka tak terlalu banyak. Seperti
sore ini. Kedua insan manusia itu menghabiskan waktu berjalan-jalan di taman.
Menikmati waktu sore sembari memakan gorengan dan es teh yang dibeli dari
warung angkringan.
Ningsih memakan gorengannya sambil menatap kagum pada langit jingga
yang terlihat anggun di angkasa. Yatno pun begitu. Bedanya, Yatno sedikit resah,
gugup, dan takut. Ia ingin mengatakan sesuatu. “Ning?” ucapnya, membuka
pembicaraan. “Iya?” jawab Ningsih sambil tersenyum. “Ayo menikah.” Ajak
Yatno sambil memandang bidadarinya. “Apa?” Ningsih masih belum percaya
dengan kalimat yang melewati gendang telinganya baru saja. “Ayo menikah,
Ning. Aku sudah menunggu saat ini untuk waktu yang lama. Berusaha
mengumpulkan keberanianku, mempertimbangkan segala hal yang telah terjadi
dan mungkin akan terjadi. Aku percaya, kamu adalah jawaban dari semua
pertanyaanku, Ning. Aku ingin bersama denganmu dengan waktu yang lama,
selamanya. Memandu kasih bersama, membangun rumah tangga, dan mengurusi
anak-anak kita kelak bersamamu, Ning. Aku ingin bercengkrama denganmu di
depan rumah sambil menikmati sore hari dan secangkir teh dan dikelilingi
cucu-cucu kita, melihat rambut putihmu mulai muncul, dan keriput yang akan
tampak di wajahmu. Hingga maut memisahkan kita, Ning. Ayo menikah
denganku.”
Kalimat-kalimat itu meluncur dengan luwesnya dari mulut Yatno.
Memanjakan telinga Ningsih dengan kehangatan yang tiba-tiba melanda antara
kedua manusia itu. Ningsih senang. Sangat amat senang. Ia tak bisa menahan
keterkejutan serta euphoria yang tiba-tiba menyerang hingga gorengan yang baru
habis setengah terjatuh ke tanah begitu saja. Air kehidupan mengalir dari kedua
bola matanya tanda ia terlampau bahagia. “Bagaimana, Ning? Mau menerima
ajakanku? Aku pastikan kau selalu aman, nyaman, dan bahagia, Ning.” Lanjut
Yatno memecah keheningan sekaligus menenangkan ketegangan yang timbul
dalam benaknya karena Ningsih tak kunjung menjawab. “Aku mau. Ayo kita
menikah.” Ningsih menjawab sambil menutupi bibir dengan kedua tangannya,
menahan isakan karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Sementara sang
lawan bicara tersenyum puas. Perlahan menggenggam tangan Ningsih yang
berminyak karena memegang gorengan lalu mengelapnya dengan saputangan
yang berada di sakunya.
“Tidak.” Tegas seorang lelaki paruh baya yang cukup tinggi dan tegap
badannya. “Kenapa tidak boleh, Pak? Dia wanita pujaanku. Dia wanita pilihanku.
Yatno hanya ingin menikah dengan orang yang Yatno cintai, Pak.” Jelas Yatno
kepada lelaki itu. “Sekali Bapak bilang tidak, ya tidak.” Mutlak. Perintah ayah
angkat Yatno tak bisa dilanggar. “Kalau begitu beri Yatno alasan, Pak. Kenapa
bapak tidak memperbolehkanku menikahinya?” jawab Yatno meminta penjelasan.
“Rumahnya terlalu jauh. Kamu itu anak pertama. Kamu tega meninggalkan Bapak
dan Ibu di sini? Kamu tega meninggalkan adikmu?” lanjut ayah angkat Yatno.
Tentu saja alasan itu tidak masuk akal menurut otak Yatno. “Tap ikan
Yatno masih bisa sering berkunjung ke sini Pak, Bu.” Yatno masih berusaha
menyangkal. “Bapak tetap tidak setuju.” Kata ayah angkatnya. “Bu…” Yatno
meminta belas kasihan kepada ibu angkat, berharap beliau bisa membantu
meluluhksn hati ayah angkatnya. “Keputusan Ibu sama dengan keputusan Bapak,
Nak. Ibu tidak mau kehilangan kamu.” Jawaban ibu angkatnya membuat batin
Yatno berkecamuk. “Baiklah. Kalau Bapak dan Ibu tidak setuju dengan pilihanku,
aku pergi dari rumah ini.” Yatno muak. Ia pergi, meninggalkan rumahnya. Tanpa
peduli teriakan ayah dan ibu angkatnya, serta tangisan adiknya yang merasa
kehilangan sang kakak. Cinta telah berpijak di relung hati merajut kisah tak
terpungkiri. Namun, apa daya kini semua tiada berarti setelah cinta tak lagi
direstui.
Setiap hari kerja, Yatno menginap di kos-kosan di dekat kantornya. Harus
membayar sedikit mahal sebenarnya, tapi tak apa. Demi Ningsih, menyebrangi
samudra pun akan Yatno lalui. Untuk membantu Yatno menghemat biaya sewa,
Ningsih mengizinkan Yatno pulang ke rumahnya tiap malam minggu. Beruntung,
orang tua Ningsih adalah orang yang berpikiran terbuka. Mereka bersedia
menyetujui pilihan anaknya asalkan anaknya bahagia.
Dua bulan kepergian Yatno dari rumahnya, orang tua kandung Yatno
pulang. Sepertinya keberuntungan berpihak kepada Ningsih dan Yatno karena
seperti kedua orang tua Ningsih, kedua orang tua kandung Yatno menyetujui
pilihan anaknya. Kedua orang tua dari kedua belah pihak dipertemukan, tanggal
ditetapkan, dan pernikahan akan dilangsungkan.
Maret 1992 pernikahan dilaksanakan di kediaman Ningsih. Dimulai
dengan acara akad nikah dan dilanjutkan dengan acara resepsi. Pesta hanya
digelar selama satu hari dan secara sederhana.
Ningsih memakai kebaya sederhana berwarna merah. Kebaya itu
membalut tubuh kecilnya dengan pas. Rambutnya yang sudah memanjang
disanggul lalu dihiasi perhiasan khas Jawa dan bunga melati yang menguntai di
bahu kirinya. Wajahnya dirias sampai membuat orang-orang tak mengenalnya
sebagai Ningsih. Bibirnya yang tipis dibuat sedikit tebal dengan polesan lipstik
warna merah merona. Pipinya yang putih juga dirias sehingga kontras dengan
wajahnya yang ayu.
Beralih ke pengantin pria, Yatno. Lelaki dekil itu kini tampak menawan
dengan jas dan kalung bunga melati. Rambutnya yang ikal ditata rapi. Wajahnya
yang kusam diberi sedikit bedak dan bibir pucatnya diberi pelembap. Ia
mengenakan sepatu pantofel hitam yang kinclong, senada dengan jas abu-abu
tuanya.
Baik Ningsih dan Yatno merasakan gugup. Ini hari yang sangat bahagia
bagi mereka. Kedua manusia disatukan. Mengikat janji dihadapan Tuhan.
Meresmikan hubungan di mata agama, norma, maupun negara. Berjanji untuk
saling menjaga dan selalu bersama di keadaan apapun. Membangun bahtera
rumah tangga dan menua bersama.
Meskipun Ningsih dan Yatno bahagia, ada satu hal yang mengganjal
dalam benak mereka. Orang tua angkat Yatno tidak datang di hari yang paling
bersejarah dalam hidup mereka. Tak tahu apakah sudah tidak peduli atau masih
kecewa. Namun, Yatno dan Ningsih Yakin bahwa semua masalah pasti ada jalan
keluarnya.
Satu bulan setelah menikah, Ningsih dinyatakan mengandung. Sebuah
karunia Tuhan telah dititipkan kepadanya. Ningsih dan Yatno tak mengira akan
secepat ini diberi kepercayaan oleh Tuhan. Yatno dan Ningsih tak henti-hentinya
megucap syukur atas anugerah-Nya.
Waktu bergulir cepat. Sembilan bulan telah terlewati. Awal tahun 1993
lahirlah seorang bayi laki-laki dari rahim Ningsih. Yatno dan Ningsih telah
menjadi orang tua. Orang tua angkat Yatno tetap masih belum menerima.
Meskipun begitu, mereka tetap menengok cucu pertama mereka.
Enam bulan terlewati. Si jabang bayi tumbuh dengan sehat. Yatno dan
Ningsih amat bahagia. Dengan penuh perjuangan, mereka akan membesarkan
buah hati mereka dengan penuh kasih sayang dan tawa. Saat anak mereka genap
berusia enam bulan, orang tua angkat Yatno mendatangi rumah mereka. Berbicara
dengan baik dan mengajak keluarga kecil itu berkunjung ke rumah masa kecil
Yatno. Yatno dan Ningsih tentu sangat senang. Selain membawa kebahagiaan,
ternyata si jabang bayi juga meluluhkan hati orang tua angkat Yatno hingga
mereka mau merestui hubungan Yatno dan Ningsih.
Kisah Yatno dan Ningsih berawal dari pinjam-meminjam buku catatan.
Berakhir dengan disatukannya kedua insan dan membangun kebahagiaan. Kini
tinggal menunggu waktu menjalankan tugasnya. Seperti apa masalah lain yang
akan dihadapi Yatno dan Ningsih berikutnya akan menjadi tantangan bagi
keluarga kecil mereka. Buku catatan yang penuh dengan puisi-puisi cinta kini
harus berganti lembaran. Atau mungkin, diganti dengan buku baru yang masih
kosong dan bersih sehingga akan ada Yatno dan Ningsih selanjutnya dan bisa
menuliskan kisah cinta baru mereka.

-TAMAT-

Anda mungkin juga menyukai