Anda di halaman 1dari 7

Sittichai Lebih Cinta Indonesia daripada Aku

Oleh : Aisyah Nihayah

“kresek kresek”

Aku terbangun. Bergumam dalam hati, pasti Bapak. Bergegas berlari


kecil-kecil membuka pintu depan yang sudah dimakan usia. Masih subuh. Bapak
mau kemana pagi-pagi begini?

“Oh Sha. Wes tangi kon?1”

Aku mengangguk. Mengucek mata sebentar, meneliti apa yang sedang


Bapak bawa. Hari senin. Bukankah Bapak sudah berjanji akan menemaniku
membuat KTP di Kecamatan? Aku sudah genap berusia 17 tahun seminggu
kemarin.

“Bapak mau kemana? Bawa kapak? Bagaimana dengan janji pada Sha?”

Bapak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Matanya yang sendu


berusaha menjelaskan padaku. Kurang lebih seperti, ayolah Sha, kita sudah
pernah membahas ini sebelumnya bukan?. Aku berusaha mati-matian menahan
tangis. Jika Bapak sudah membawa kapak, berarti akan ada yang meninggal
setelah ini. Entah belasan, entah puluhan.

“kali ini berapa?”

Aku bertanya hati-hati.

“hanya satu” Bapak menjawab mantab.

Kemudian bergegas berbalik dan meninggalkanku berjalan memasuki


hutan. Menebang kayu-kayu terbaik untuk dijadikan peti mati.

Perkenalkan, aku Sha. Lahir dan besar dipulau Nusakambangan. Tempat


Lapas paling mengerikan se-Indonesia disebelah selatan pulau Jawa. Bapak dan
belasan penduduk lainnya berprofesi yang sama, pembuat peti mati. Walaupun
mayoritas yang lain bekerja sebagai nelayan. Mereka menerima pesanan dari para

1
Sudah Bangun kamu? (Bahasa Jawa Ngoko (kasar, biasanya digunakan oleh yang lebih tua
kepada yang lebih muda)
sipir penjara. Setiap tahunnya, ratusan orang di eksekusi di Bukit Nirbaya. Bukit
yang berjarak hanya sekitar 600 meter dari rumahku.

Bagaimana rasanya hidup dan makan dari darah para penjahat kelas kakap
Indonesia bahkan dunia?

Aku Sha. 17 tahun dan masih menangis melihat Bapak pergi mencari
kayu-kayu terbaik demi menafkahi aku. Walaupun sedih, aku bersyukur.
Setidaknya dalam waktu dekat ini hanya ada satu orang yang akan dieksekusi.

***
“Weh Sha. Sek isuk. Paling sek turu arek e2”

Pak Joni sedikit kaget melihatku yang pagi-pagi sudah datang membawa
perlengkapan melukis seperti biasa. Pak Joni Indro-sipir penjara Nusakambangan.
Asli Banyuwangi. Sudah menjadi sipir Lapas Nusakambangan sekitar hampir 10
tahun dan kelihatan masih betah.

Aku melambai sesaat dan tersenyum. Pak Joni membukakan pintu.

Sekarang aku didalam halaman penjara. Disekelilingnya berjejer belasan


sel. Dari ujung ke ujung. Halaman sel ini biasa disebut dengan pos satu.
Semuanya aku kenal. Mulai Pak Kusni, koruptor dua triliyun negara sampai Mat
Peci si gembong teroris. Pagi-pagi begini biasanya sudah banyak yang sudah
bangun. Entah berolahraga, entah mencuci baju. Sebagian besar memang masih
tidur.

Aku menuju sel paling barat. Satu-dua orang melambai, menyapa. Sel
yang kutuju isinya hanya satu orang. Sudah kuanggap sahabatku sendiri, Sittichai.
Pemuda asli Thailand, anak buah kapal pembawa 125 kg sabu-sabu. Dan tidak
seperti yang dibilang orang-orang, Sittichai ternyata sudah bangun. Asik
tengkurap membelakangiku, melukis.

“ehhem!” aku berdehem. Sittichai menoleh, tersenyum dan bergegas


membukakan pintu.

“lukisan baru?” aku bertanya.

2
Masih pagi. Mungkin masih tidur anaknya
Sittichai mengangguk. “aku nge-fans sama Choirul Bahri!” lima tahun di
Nusakambangan kosa kata bahasa Indonesia yang dikuasai Sittichai makin
canggih.

“siapa itu?” aku jujur bertanya. Sittichai bilang dalam melukis kita harus
punya panutan. Banyak sekali panutan dia. Sepertinya Pak Choirul Bahri ini yang
terbaru.

Alih-alih menjawab pertanyaanku, Sittichai malah memberikan sebuah


buku usang padaku dan dengan kedua matanya ia berusaha berkata-“baca
ini!”dengan sangat bersemangat. Judul bukunya, “21 Pelukis Aceh 21 Tahun
Silam”.

Aku memutar mataku. Bergumam dalam hati, Aceh lagi Aceh lagi!.

Sittichai memang tergila-gila dengan Aceh semenjak diberi buku


kebudayaan-kebudayaan Indonesia oleh Pak Joni setahun yang lalu. Coba tanya
Sittichai soal kebudayaan Aceh, ia pasti akan bercerita panjang lebar mulai Tari
Saman sampai Krong Badenya (rumah adat Aceh). Dan sekarang aku tidak terlalu
terkejut jika dia menemukan Pak Choirul siapalah itu.

Aku membaca cepat tentang pelukis yang dimaksud Sittichai ini. Lahir di
Gayo, anggota TNI dan belajar melukis di Roma, Itali. Sepertinya cukup hebat.

Aku mengembalikan bukunya, tidak tertarik membaca lebih lanjut. “Apa


alirannya?” kembali bertanya.

“sayangnya Realis. Menggambar orang cukup sulit” raut muka Sittichai


mendadak mendung.

Aku tertawa. “Realis kan tidak harus menggambar orang bukan?”


walaupun tidak bersekolah, sedikit banyak aku tahu maksud macam-macam aliran
dalam seni lukis. Realis hanya berusaha menampilkan subjek yang dilukis dengan
apa adanya.

“iya Sha. aku tahu. Tapi apa yang aku lihat? Ya hanya orang-orang. Atau
lebih tepatnya orang-orang yang sedang menunggu dieksekusi” Sittichai terkekeh
diujung kalimatnya. Tapi tidak dengan aku. Mendadak perutku mual mendengar
kalimat Sittichai.

Melihat ekspresiku yang berubah, Sittichai masuk ke sel nya dan kembali
dengan lukisan nya yang setengah jadi beserta perlengkapan melukis kami.
“ayolah walaupun belum mandi kita langsung melukis saja” Sittichai berkata
sambil menutup kembali selnya dan menggandeng tanganku menuju spot melukis
favorit kami.
Kami senang melukis menghadap pintu sel yang didepannya terhampar
pemandangan pulau Nusakambangan. Disebelah kiri ada hutan, disebelah kanan
ada bukit Nirbaya. Satu-dua ibu-ibu melintas membawa cucian, hendak mencuci
di sungai. Aku menyapa sopan.

Kali ini kami menghadap arah yang berlawanan. Aku berusaha melukis
bukit Nirbaya sementara Sitticahi berusaha melukis Pak Joni yang sedang
membaca koran.

Aku mencoba fokus. Melukis bukit Nirbaya susah susah gampang. Karena
bukitnya juga dikelilingi petak-petak air. Setengah jam melukis aku berhenti.
Selain lapar, sejak setengah jam yang lalu Sittichai juga tidak mengajak aku
bicara.

Aku berbalik badan. Membuka dua bungkus roti yang kubawa dan
memberikan salah satunya pada Sittichai. Aku menatap lukisannya sejenak. Bagus
sekali. Entah kenapa, tapi Pak Joni kelihatan lebih baik dilukisan Sittichai
daripada aslinya. Aku tersenyum sendiri bisa berfikiran seperti itu.

Angin sepoi-sepoi membuatku yang masih mengunyah roti mengantuk.


Aku mengambil posisi disebelah Sittichai. Dalam posisi tidur dan mengunyah roti
aku melihat Sittichai yang sedang fokus melukis. Pemuda ini tampan sekali. Aku
sangat suka kedua alis Sittichai yang sangat lebat dan hitam. Alis paling tebal
yang pernah kulihat.

Tiba-tiba aku teringat awal pertemuan kami.

Sejak kecil aku sudah keluar-masuk penjara karena ajakan bapak. Profesi
bapak yang menyebabkan kami harus sering-sering ke penjara, menerima
pesanan. Penghuni pos satu adalah teman-temanku semua. Aku sudah dianggap
anak sendiri oleh mereka yang notaben-nya adalah para ayah.

Mereka juga punya keluarga dirumah. Dengan melihatku, kurasa bisa


sedikit mengusir rasa rindu terhadap anak mereka. Penjagaan Nusakambangan
yang super ketat hanya mengizinkan mereka dijenguk oleh keluarga dua kali. Saat
pertama kali masuk Nusakambangan dan saat akan dieksekusi mati.

Saat mengunjungi penjara lima tahun lalu, Pak Kusni bercerita bahwa
beberapa hari yang lalu Pos Satu kedatangan satu anggota lagi. Seorang pemuda
tanggung asal Thailand. Anehnya, dia dimasukkan dalam sel tersendiri. Kata Pak
Kusni karena tiap malamnya dia mengamuk. Membentur-benturkan kepalanya ke
dinding dan meracau dengan bahasa Thailand.

Tapi demi mendengar cerita Pak Kusni bahwa dia adalah seorang pelukis,
aku memberanikan diri menghampiri selnya. Pertama kali melihatnya, Sittichai
sangat tidak ter-urus. Rambut keritingnya acak-acakan, pelipis dan bibirnya
berdarah. Juga aku tidak tahu kapan pemuda ini terakhir kali mandi. Bau selnya
sangat tidak enak.

Aku tidak tahu bahasa Thailand. Dia juga tidak tahu bahasa Indonesia.
Tapi aku ingin sekali bisa melukis dengannya. Maka berminggu minggu
kemudian aku setiap hari melukis didepan selnya. Perlahan-lahan Sittichai mau
mandi, tidak mengamuk lagi tiap malam dan mau melihatku melukis. Makin lama
Sittichai sudah bisa memarahiku bila kuasku tidak kucuci bekas melukis sehari
sebelumnya atau ketika aku mengambil warna cat yang salah, walaupun dengan
bahasa Thailand yang menurutku sangat lucu.

Kemajuan terbesarnya saat Sittichai bisa bersosialisasi dengan penghuni


sel lainnya. Diajari bahasa Indonesia bahkan Bahasa Jawa Krama oleh teman-
teman. Lima tahun disini, Sittichai semakin lebih baik. Apalagi semenjak diberi
buku-buku kebudayaan oleh Pak Joni. Berlagak lebih nasionalis daripada
siapapun hihi

Dibandingkan penghuni sel lainnya, Sittichai orang yang sangat terbuka.


Setahun dipenjara, disuatu siang saat kami sedang melukis dia tiba tiba bertanya,

“Apa kamu tidak penasaran Sha kenapa aku bisa masuk kesini?”

Aku tidak langsung berkata iya walaupun aku sangat ingin. Karena aku
tahu, setiap orang pasti punya alasannya sendiri. Melihatku yang hanya diam,
Sittichai dengan cepat bercerita bahwa,

ia aslinya ditipu.

Sittichai memang seorang pelukis. Orang tuanya adalah pedagang buah


dipasar. Dia anak tunggal. Sama sepertiku, Sittchai juga tidak bersekolah. Mereka
hidup sederhana. Namun suatu hari, paman Siitichai, adik dari ayahnya yang kaya
raya tiba-tiba datang kerumah. Memohon izin pada kakak nya untuk bisa
membawa Sittichai ikut berdagang benda-beda antik keseluruh dunia.

Sittichai kecil sangat bersemangat, akhirnya ia bisa menjual lukisannya


kepada banyak orang. Perdagangan barang antik itu sangat sukses. Berbulan-
bulan kemudian, kapal paman Sittichai sudah berlayar ke hampir seluruh benua di
dunia. Setelah dari Australia tujuan selanjutnya adalah bersandar di pelabuhan
Malaysia. Tapi naas, kapal mereka dihentikan oleh otoritas Bea Cukai ketika
memasuki perairan Indonesia.

Sittichai kecil kebingungan, “kenapa kapal kami diberhentikan?” ternyata


barang-barang antik hanyalah sebuah kedok. Digudang kapal otoritas Bea Cukai
mendapati temuan 125 kg sabu-sabu, temuan narkotika paling besar di Indonesia
tahun itu. Dimalam itu pula, Sittichai terakhir kali melihat paman beserta teman-
teman nya.
Tanpa bisa bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan baik, juga tidak
adanya pengacara, Sittichai semakin kesusahan membela dirinya sendiri di
Pengadilan. Melihat tubuhnya yang sudah besar dan tinggi, hakim tidak percaya
bahwa saat itu usia Sittichai masih usia anak-anak dan tidak seharusnya ia berada
di Nusakambangan.

Tapi diakhir cerita, Sittichai berterima kasih padaku karena sudah


menyelamatkan nyawanya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk walaupun
tidak faham benar apa yang ia maksud. Beberapa menit terbayang awal pertemuan
kami, Sittichai mengambil roti yang sudah kubukakan untuknya. Aku kembali
menatap kedua alisnya.

Setengah hari itu akhirnya aku mengerti kenapa Sittichai sangat tergila-
gila dengan Aceh.

Sebelum pulang, aku sempat bertanya pada Pak Joni tentang siapa yang
akan dieksekusi kali ini. Syukurlah Pak Joni menjawab, “bukan dari pos satu”.
Hatiku lega sekali. Aku pulang dengan riang gembira karena lukisanku juga
sempat dibantu oleh Sittichai tadi.

***

Keesokan paginya ada pengumuman yang ditujukan bagi warga agar tidak
keluar rumah karena akan dilaksanakan eksekusi di Bukit Nirbaya sesaat lagi.
Satu jam kemudian saat aku sedang mebuatkan kopi untuk Bapak terdengar
beberapa tembakan. Aku bergumam dalam hati, semoga dosa-dosanya bisa
diterima disisi-Nya, Amin.

Hari ini penjara ditutup. Para napi sedang berkabung. Aku sibuk melukis
didalam kamar. Jam dua belas siang pintu rumahku diketuk. Ternyata Pak Joni.
Kedua matanya sembab. Ditangan kanannya ada beberapa lukisan Sittichai dan
ditangan satunya ada peralatan melukis kami. Sesaat kemudian satu hal yang aku
langsung tahu.

Pak Joni berbohong padaku kemarin.

***

“kamu tahu kenapa aku sangat suka dengan kebudayaan Aceh?” Sittichai
kembali bertanya. Aku jelas tidak punya ide, jadi aku menunggunya melanjutkan
bicara.

“jawabannya sederhana Sha. karena dibuku Kebudayaan Indonesia yang


diberikan oleh Pak Joni, Halaman-halaman awalnya membahas kebudayaan Aceh.
Buku itu membahas kebudayaan dengan urut. Dari Sabang sampai Merauke. Aku
masih membaca awal-awal halaman dan sudah sangat jatuh cinta. Sesederhana itu
lho Sha Indonesia bisa dicintai. Aku yakin aku pasti akan menyukai semua
kebudayaan negeri ini jika aku masih punya waktu” lagi lagi Sittichai tertawa
diujung kalimat yang kubalas dengan menimpuknya dengan palet.

“semuanya luar biasa Sha. kalian semua berbeda, tapi bersepakat untuk
bersatu. Tarian kalian, rumah adat kalian-hei bahkan masakan penjara ini sangat
enak” aku tidak pernah melihat Sittichai seserius ini. Bahkan aku mendadak sedih,
biasanya orang orang senasionalis Sittichai begini malah yang sering ditertawakan
oleh orang Indonesia sendiri. Miris.

Sekarang Sittichai sudah berpulang. Sampai akhir hayatnya pun yang


sering ia bahas adalah Indonesia, Indonesia dan Indonesia. Sittichai jelas-jelas
lebih cinta Indonesia daripada aku.

Aku teringat pertanyaan yang sering ditanyakan Sittichai padaku, jadi


bagaimana Indonesia dimatamu Sha? .

Aku sudah 17 tahun hidup dipulau Nusakambangan, beberapa kali


menyebrang laut selama kurang lebih enam jam hanya untuk bisa pergi ke
kabupaten. Jadi untuk masalah mobilitas, tentu aku tidak mendapatkannya.

Aku tidak bersekolah. Aku bisa melihat dunia hanya dari buku-buku yang
dibawa oleh Pak Joni. Yang artinya pemerataan pendidikan di Indonesia masih
belum menjangkau tempat-tempat terpencil. Dan aku belum mendapatkannya

Aku kehilangan ibu ku saat melahirkanku. Resiko kematian ibu saat


melahirkan dipulauku sangat tinggi karena tidak ada dokter dipulauku, apalagi
rumah sakit. Yang artinya, selain pendidikan, hak untuk sehat juga sepenuhnya
belum kudapatkan.

Tapi mengingat Sittichai yang bisa mencintai Indonesia hanya dari sebuah
buku, bukankah aku pantas untuk malu? Sudah 17 tahun aku hidup. Aku memiliki
Bapak yang sangat menyayangiku dan bisa menghidupi keluarganya dari pohon-
pohon terbaik pulau Nusakambangan. Aku memiliki teman-teman yang baik
seperti Pak Joni, Pak Kusni, Mat Peci dan tentu saja Sittichai.

Kita menghirup udaranya. Kita minum airnya. Kita makan dari tanahnya.
Kita berteman baik dengan rakyatnya. Sittichai menyadarkanku bahwa seburuk
apapun keadaan negara ini dan setidak adil apapun kita diperlakukan oleh negara,
Indonesia selalu berhak untuk dicintai.

Anda mungkin juga menyukai