B. STRUKTUR
1. PROLOG
Alkisah pada zaman dahulu, di tanah Parahyangan pada sebuah kerajaan yang
dipimpin oleh seorang baginda raja yang ditemani oleh seorang ratu yang hanya
memiliki seorang putri. Putri tersebut bernama Dayang Sumbi yang tekenal
dengan kecantikan dan juga kecerdasannya, namun ia juga terkenal dengan sifat
manjanya. Di suatu pagi pada saat dayang sumbi sedang menenun, ia merasa tak
enak badan. Selanjutnya ia secara tidak sengaja menjatuhkan pintalan benangnya
ke lantai berkali-kali.
2. DIALOG
a. Orientasi
Dayang Sumbi:
Ya ampun, pintalan itu lagi-lagi terjatuh (Dayang Sumbi Kesal). Aku bejanji,
Siapapun orangnya apabila ada seseorang yang membawakan pintalan benang
yang jatuh itu kepadaku, kalau ia seorang laki-laki, akan kujadikan ia
suamiku, apabila ia seorang perempuan maka akan kujadikan ia saudaraku.
Narator:
beberapa saat setelah kata-kata perjanjian tersebut diikrarkan, tiba-tiba
datanglah seekor anjing yang sakti bernama Tumang.
Tumang:
Ini milikmu tuan putri? (seraya membawakan pintalan benang)
Dayang sumbi:
Kenapa malah kau yang membawakan pintalan benangku? Artinya suka tidak
suka, aku harus menjalankan janjiku untuk menjadikan anjing ini suamiku.
Narator:
Selanjutnya Dayang Sumbi dan seekor anjing yang bernama Tumang hidup
berbahagia dalam mahligai rumah tangga. Dalam rumah tangga mereka,
Dayang Sumbi dan Tumang dikaruniai seorang anak laki-laki yang gagah dan
tampan. Anak tersebut tumbuh dan berkembang layaknya seperti seorang anak
laki-laki pada umumnya. Anak laki-laki ini dinamakan Sangkuriang.
b. Komplikasi
Narator:
Dalam perjalanan perkembangan pertumbuhan Sangkuriang, Keseharian
Sangkuriang selalu ditemani oleh Tumang yang selama ini ia ketahui hanyalah
seekor anjing biasa yang selalu setia menemaninya. Bukanlah sebagai ayah
kandungnya. Dalam perjalanan waktu yang senantiasa bergulir, Sangkuriang
berkembang dan tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan rupawan dan
gagah. Pada suatu ketika Dayang Sumbi memanggil puteranya Sangkuriang
Dayang sumbi:
Ananda Sangkuriang, ibu saat ini sangat ingin memakan daging menjangan.
Pergilah sekarang kau ke hutan untuk berburu rusa dan ajaklah si Tumang
bersama dirimu.
Sangkuriang:
Baiklah, ibundaku.
Narator:
Setibanya Sangkuriang di tengah hutan.
Sangkuriang:
Dimana aku bisa memperoleh seekor menjangan yang besar? Aku tidak akan
kembali pulang, sebelum membawa hasil yang memuaskan. Jika aku tidak
membawa hasil, maka dengan sangat terpaksa akan aku hujamkan anak panah
ini ke tunuh kumang sebagai ganti hewan buruan yang tak kunjung ku
dapatkan.
Narator:
Lalu Sangkuriang mengarahkan busurnya ke aras si Tumang, dan benar saja ia
telah melakukannya. Tumang pun terkena anak panah Sangkuriang dan tak
lama kemudian si Tumangpun sekarat dan akhirnya mati. Begitu Sangkuriang
tiba di rumah, ia langsung menyerahkan daging Tumang kepada ibunya.
Sangkuriang:
Ibunda, ini adalah daging menjangan yang besar hasil buruanku.
Dayang sumbi:
Terima kasih banyak anakku. Kau sangat piawai sekali dalam berburu
menjangan.
Narator:
Beberapa saat setelah makan selesai, Dayang Sumbi teringat akan si Tumang.
Dayang sumbi:
Dimana ya si Tumang? Kenapa ia belum pulang juga. Sangkuriang, kemarilah
nak…!
Sangkuriang:
Iya bunda, ada apa gerangan?
Dayang sumbi:
Kau tahu di mana si Tumang? Kenapa ia belum pulang juga
Sangkuriang:
Maafkan aku ibunda, Tumang telah mati ditanganku. Daging yang ibu makan
bukanlah daging menjangan. Tapi daging itu adalah milik Tumang.
Dayang Sumbi:
Apa kau bilang???!! Jadi, yang kau suguhkan pada ibumu kemarin adalah
daging si Tumang??
Sangkuriang:
Benar sekali bunda.
Dayang Sumbi:
(marah) Dasar anak tak tau diri! Pergilah dari rumah ini!
Narator:
Dayang Sumbi begitu marah besar mendengar cerita tersebut. Dengan reflek
disertai dengan amarah yang memuncak Dayang Sumbi memukul kepala
Sangkuriang dengan benda peralatan dapur yang dipegangnya. Sangkuriang
terluka cukup parah dibagian kepalanya.
Sangkuriang:
Maafkan aku ibu, baiklah…aku akan pergi dari sini.
Narator:
Beberapa tahun berlalu, Sangkuriang yang telah mengembara ke seluruh
negeri dan selanjutnya memutuskan untuk kembali ke rumahnya.
Sesampainya di rumah, Sangkuriang sangat heran melihat banyak perubahan
yang terjadi pada kampungnya. Kemudian ia bertemu kembali dengan ibunya,
namun keduanya tidak saling mengenal.
Sangkuriang:
Hai, nona manis. kau sangat cantik. Aku ingin sekali melamarmu. Maukah
kau kupersunting untuk menjadi istriku?
Dayang Sumbi:
Baiklah, aku bersedia untuk menjadi istrimu.
Narator:
Suatu ketika Sangkuriang meminta tolong untuk merapikan ikat kepalanya,
dan Dayang Sumbi pun mengikuti kemauannya. Dayang Sumbi kaget melihat
kepala Sangkuriang terdapat bekas luka yang amat jelas di kepalanya.
Dayang Sumbi:
Sangkuriang, mengapa di kepala mu terdapat bekas luka? Bekas luka apakah
itu?
Sangkuriang:
Bekas luka di bagian kepalaku ini, dulu aku pernah dipukul oleh ibuku.
Karena aku telah membunuh anjing kesayanganku.
Dayang Sumbi:
Ya Tuhan…! Ternyata engkau adalah Sangkuriang anakku.
Narator:
Dayang Sumbi semakin bertambah bimbang.
Dayang Sumbi:
Bagaimana ini? Aku tak mungkin menikahi anakku sendiri. Aku harus
mencari cara untuk menggagalkan pernikahan kami.
Dayang Sumbi:
Sangkuriang. Aku ingin mengatakan hal yang sesungguhnya bahwa engkau
adalah puteraku. Kau adalah anakku. Aku yang dahulu pernah memukul
kepalamu hingga berbekas seperti itu.
Sangkuriang:
Kau bohong! Kau hanya tidak mencintaiku bukan? Makanya kau mengarang
cerita yang tidak-tidak supaya pernikahan kita gagal.
Dayang Sumbi:
Apa yang aku ceritakan adalah kebenaran. Aku adalah ibumu nak.
c. Resolusi
Narator:
Setelah panjang lebar Dayang Sumbi menjelaskan mengenai dirinya dan
puteranya serta anjing yang bernama Kumang, namun Sangkuriang tetap tak
mau mendengarkan dan bersikeras hendak menikahi Dayang Sumbi. Dayang
Sumbi berpikir keras untuk menemukan cara agar pernikahannya dengan
puteranya gagal.
Dayang Sumbi:
Wahai Sangkuriang, apa kamu tetap bersikeras ingin mempersuntingku?
Sangkuriang:
Tentu, tekadku sedah bulat.
Dayang Sumbi:
Baiklah. Aku bersedia menjadi istrimu dengan beberapa syarat.
Sangkuriang:
Apa syarat yang kau ajukan?
Dayang Sumbi:
Aku ingin engkau membuat sebuah bendungan dan membuatkanku sebuah
perahu untukku. Syarat-syarat tersebut harus bisa kau penuhi sebelum fajar
tiba.
Sangkuriang:
Baiklah! Akan aku jalankan segala persyaratan yang kau ajukan.
Narator:
Lalu sangkuriang pun pergi. Kemudian ia mengerahkan segala kesaktiannya
dan memanggil jin-jin untuk membuat bendungan dan perahu untuknya.
Narator:
Ketika pekerjaan Sangkuriang tengah berlangsung, Dayang Sumbi
menggunakan tipu muslihat yakni dengan membangunkan ibu-ibu
untukmenumbuk padi pertanda fajar telah tiba.
Narator:
Sangkuriang berhenti melakukan pekerjaannya, dan jin-jin pun lari terbirit-
birit karena mengira fajar telah tiba. Namun Sangkuriang menyadari bahwa
ini hanyalah tipu muslihat dari Dayang Sumbi.
3. EPILOG
Sangkuriang marah dan mengutuk Dayang Sumbi lalu ia merusak bendungan
setengah jadi ia buat bersama jin-jin nya. Karena amarah yang tak tersalurkan,
Sangkuriang pun menendang perahu tersebut dan jatuh dalam keadaan terbalik.
Perahu itu membentuk sebuah Gunung Tangkuban Perahu
Dayang Sumbi:
Hari ini terlalu terik untuk bekerja menenun, bahkan untuk sekedar melamun.
Matahari meluncur turun ke atas pucuk kepalaku. Ah, kayu pintalku jatuh.
Tumang:
Menjaga Dayang Sumbi, anak emas ayahanda raja, menjelma gadis jelta,
diperebutkan para kesatria, hingga harus mengasingkan diri, ku setia
menemani.
Dayang Sumbi:
Jika ada telinga yang mendengarku, tolong ambil kayu pintalku. Jika kau
perempuan, bersaudaralah kita nanti, jika kau lelaki, ku jadikan kau suami.
Sungguh kah ia yang kau pilih?
Tumang:
Menikahi Dayang Sumbi, berputrakan Sangkuriang, ia tak tahu siapa ayahnya,
ia hanya tau satu-satunya penjaga adalah anjing berwarna jelaga.
b. Komplikasi
Selagi berburu, tertusuk panah Sangkuriang kecil, anaknya sendiri, Tumang
pun jatuh dan terbunuh. Dayang Sumbi pun mengusir Sangkuriang. Terusir,
Sangkuriang pun berkelana, berkeliling menimba ilmu hingga jadi manusia
sakti. Setelah belasan tahun, kini ia kembali ke tanah kelahirannya, dan jatuh
cinta pada Dayang Sumbi.
Sangkuriang:
Semua berawal dari senja, saat ibu merana dan aku termanggu, dengan satu
tamparan ia lukai kepalaku. Bertahun ku lewati, di tanah asing, ku timba ilmu
dengan satu tujuan. Manusia hebat mahadaya, aji yang sakti dan mantraguna.
Raga menjelma perkasa, jiwa menjadi hadir, sesak pilu telah di ujung kening.
Entah dimana kini ku berdiri, hanya satu yang terlihat, seraut wajah, dengan
mata yang serupa cakrawala, apakah kau percaya pada rasa cinta, cinta, oh
matamu serupa cakrawala dengan matahari yang tak kunjung tenggelam.
Ketika semua berawal dari senja.
Narator:
Dayang Sumbi memohon ampun tulus dan penuh dari hati. Dewa memberinya
kecantikan abadi yang membuat putranya sendiri terpukau.
Dayang Sumbi:
Aku tak mau menikahimu, kau putera kandungku.
Sangkuriang:
Buktikan padaku bahwa ucapanmu adalah sungguh.
Dayang Sumbi:
Luka di keningmu adalah karena amarahku dulu.
c. Resolusi
Narator:
Sangkuriang tak lagi dibutakan oleh cinta semata, tetapi nafsu pula. Ibunya
terpekur oleh kegigihan puteranya, tak punya pilihan selain menerima, dengan
sebuah syarat yang tidak bisa diwujudkan manusia bisa, sebelum fajar tiba,
perahu besar harus dibangun sungai pun harus dibendung.
Dayang Sumbi:
Jika bisa kau penuhi, aku bersumpah bersedia kau nikahi.
Narator:
Sangkuriang yang sakti memanggil mahluk ghoib, membangun perahu
raksasa, membendung derasnya sungai hanya dalam semalam saja.
Sangkuriang:
Pukul 3 pagi, perahu sudah bediri, tingal kubendung sungai ini.
Dayang Sumbi:
Oh dewata, tolonglah hamba hentikan putera hamba. Menikahi ibu
kandungnya.
Narator:
Dayang Sumbi mengambil kain sutra putih, ditutupinya langit gulita,
dimintanya juga ayam jantan berkokok. Meski masih dalam bertahta, mahluk
ghoib pun pergi, Sangkuriang pun seorang diri, kemarahan memuncak bagai
api.
Sangkuriang:
Engkau telah mengkhianati sumpahmu sendiri.
3. EPILOG
Dayang Sumbi:
Ilusi cinta ditendangnya, terlempar jauh, jatuh menghadap bumi.
Narator
Kelahiran bagai mujikzat, pertemuan yang tak diharap, cinta yang tak pada
tempatnya, kematian yang tak terelakkan, semua kembali pada semesta.
Tumang:
Dikejarnya sang kekasih, cinta lari bersembunyi, terus bersembunyi, hingga
menjelma abadi.
Sangkuriang:
Kelahiran bagai mujikzat, pertemuan yang tak diharap, cinta yang tak pada
tempatnya, kematian yang tak terelakkan, semua kembali pada semesta.