Anda di halaman 1dari 7

Nama : Helisa

NPM : 111210069
Kelas : BINA VI B

Sinopsis Novel Bidadari Bidadari Surga Karya Tere Liye

BAB 1 Empat Penjuru
PULANGLAH. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan,
mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-
anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah
Izinkan mamak mengirimkan pesan itu Lais, sudah saatnya mereka tahu. Tanpa menunggu
persetujuan dari putri sulungnya itu, jari ibunya langsung menekan ok. Mengirim pesan
tersebut ke empat nomor sekaligus.
Pulanglah, anak-anakku! Untuk pertama dan sekaligus untuk terakhir kalinya, kakak kalian
membutuhkan kalian.

BAB 2 Bulan Yang Terbelah
Dalimunte sengaja berhenti mendadak sejenak. Tersenyum. Meraih gelas besar di
hadapannya. Meminum seteguk-dua teguk. Membasahi kerongkongannya. Membiarkan rasa
haus ingin tahu menggantung di langit-langit ruangan.
Tapi entah kenapa, saat semua peserta bersiap menunggu gagasan hebat, jawaban atas
pertanyaan itu, menunggu penjelasan apa yang akan disampaikan professor muda di depan
mereka. Saat Dalimuntetelah meletakkan kembali gelasnya. Kembali menunjuk slide yang
terpampangdi layar LCD raksasa. Bersiap menjelaskan progress penelitiannya. Dalimunte
malah mendadak terdiam. Pelan menurunkan kembali tangannyayang memegang pointer
layar LCD.
Telepon genggam disaku celananya mendadak bergetar.
Maaf, sebentar Dalimunte tersenyum tanggung ke peserta symposium. Siapa? Menelan
ludah. Ini ganjil sekali. Dia punya dua telepon genggam. Satu untuk urusan kampus, lab dan
lain-lain, yang lazimnya dinonaktifkan dalam situasi symposium seperti ini. Satu lagi untuk
urusan keluarga, yang selalu stand-by apapun alasannya. Hanya ada enam orang yang tahu
nomor telepon genggam urusan keluarganya.

BAB 3 Titipan Kaos Bola
Sejak kecil Ikanuri dan Wibisanasudah kompak. Kaka beradik yang selalu bisa saling
mengandalkan. Hari ini mereka berangkat ke Roma bersama-sama. Menyelesaikan tender hak
pembuatan sasis salah satu mobil balap tersohor produksi Italia.
Tangan Ikanuri dan Wibisana sedikit terburu-buru menekan tombol open. Gagap membaca
kalimat-kalimatnya. Menggigit bibir. Terdiam. Lantas bersitatap lemah satu sama lain lagi.
Satu detik. Dua detik. Lima detik. Senyap. Berdiri diam di antara sibuknya gerakan 298
penumpang beranjak turun. Dan seperti sontak diperintahkan, mereka berbarengan
melangkah mendekati pramugari. Mendorong-dorong penumpang lain. Bersikutan. Lupa
sudah dengan koper-koper. Lupa sudah dengan janji pertemuan bisnis yang penting , besok
pagi. Lupa dengan segalanya.
Ikanuri terbata berkata: Il Volo.. per Jakarta.. Ce un volo per Jakarta questa sera?
Apa ada.. penerbangan kembali ke Jakarta.. malam ini juga?

BAB 4 Penguasa Angkasa
Gadis yang duduk paling depan itu tertawa lebar, melepas teropong binokuler dari wajahnya.
Terlihat amat senang. Lega. Menghempaskan pantatnya ke bebatuan. Dua temannya ikut
mengangguk-angguk beberapa detik kemudian.
Yashinta nama gadis itu. Tiba-tiba HP nya berdering.
Pulang. Ia harus segera pulang!
Itu pasti Kak Laisa! Itu pasti Kak Laisa! Yashinta menyeka matanya yang mendadak basah,
sambil terisak menangis, meluncur cadas bebatuan secepat kakinta bisa.

BAB 5 Aku Harus Pulang, Sekarang!
ADUH, Intan lagi sibuk, Mi! Gadis kecil itu menyeringai sebal. Merasa terganggu.
Intan harus pulang, sayang
Kan bisa tunggu bentar, lagi tanggung. Bentar lagi juga bel!
Memangnya kita mau kemana sih, Mi? mendadak benar!
Perkebunan strawberry! dalimunte yang menjawab, pendek.
EYANG LAINURI? Mata hitam gadis kecil itu membulat. Hore!! Intan mendadak
semangat menyeret tas sekolahnya yang berat itu.



BAB 6 Berang-berang yang Lucu
Berang-berang it uterus berkejaran di beningnya air kolam. Uap mengepul dari inang sungai.
Suara lenguh uwa terdengar dari kejauhan. Kicau ramai-ramai burung. Matahari pagi
semakin terik. Permainan cahayanya dari sela dedaunan yang memantul di beningnya air
bendungan terlihat memsona. Pagi yang indah. Benar-benar pagi yang indah di Lembah
Lahambay. Menyaksikan sendiri lima anak berang-berang berenang, saling bercengkrama,
persis dari bibir kolam bendungannya. Menyaksikannya dari jarak sepelemparan batu saja.

BAB 7 Itu Benar-benar Jauh Lebih Penting
Beruntung sebelum seisi rumah diobrak-abrik Intan, hamster belang itu dengan cueknya
nongol di dapur. Berlenggak-lenggok bak model. Sibuk menyeka-nyeka mulutnya. Tanpa
ampun, langsung disambar Intan. Gadis kecil itu berlarian berteriak, UMMI, ABI,
HAMSTER-NYA SUDAH DAPAT!

BAB 8 Kau Anak Lelaki
KAU ANAK LELAKI DALIMUNTE! Anak lelaki harus sekolah! Akan jadi apa kau jika
tidak sekolah? Pencari kumbang di hutan sana seperti orang lain di kampung ini? Penyadap
damar? Kau mau menghabiskan seluruh masa depanmu di kampong ini? Setiap tahun
berladang dan berharap hujan turun teratur? Setiap tahun berladang hanya untuk cukup
makan! Kau mau setiap tahun hanya makan ubi gadung setiap kali hama belalang menyerang
lading? Hah, mau jadi apa kau Dalimunte?

BAB 9 Crayon 12 Warna
Yashinta tanpa perlu diperintah dua kali, membuka ikatan kantong plastic kecil. Sekejap
terdiam memegang kotak berwarna itu. Seperti tidak percaya. Satu detik. Dua detik. Lantas
berseru senang sekali.
CRAYON 12 WARNA Yashinta tertawa lebar.
Ikanuri ikut tertawa. Mengusap jidatnya.
TERIMA KASIH KAK!


BAB 10 Pertemuan Di Balai Kampung
Kau sudah menelpon Mamak di kampong? Ikanuri setelah ikut terdiam sebentar, bertanya.
Dengan intonasi sedikit berbeda. Juga ikutan merasa ganjil setelah menyebut nama Kak
Laisa.
Baik. Baik. Jika kau tiba tujuh jam lagi bilang Mamak, aku dan Wibisana akan berusaha
segera tiba di sana, Dalimunte. Ya ampun, apa yang sering kubilang dulu? Kau seharusnya
sudah menemukan alat agar kami bisa pindah kemana saja dalam sekejap, Profesor. Bukan
hanya mengurus soal bulan yang terbelah, itu kan sudah jelas pasti benar, Mamak dulu juga
sudah bilang itu benar dalam cerita-ceritanya lepas shubuh, tak perlu kau buktikan Ikanuri
mencoba bergurau, sebelum menutup sambungan internasional.

BAB 11 Lima Kincir Air
MAKSUDMU, Kita bisa mengangkat air sungai itu dengan kincir-kincir itu, Dali? Salah
seorang pemuda bertanya, memecah lengang setelah Dalimunte selesai menunjukkan
gambar-gambarnya.
Dalimunte mengangguk mantap.
Lantas membuatnya mengairi ladang-ladang kita?
Bertanya lagi. Sedikit terpesona, lebih banyak sangsinya.
Dalimunte mengangguk sekali lagi. Bahkan kincir-kincir itu bisa sekalian digunakan sebagai
pembangkit listrik.
Itu lima meter tingginya, Dalimunte! Sebesar apa kincir yang harus kita buat agar bisa
mengangkat air dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu. Pemuda itu berseru sedikit
putus-asa.

BAB 12 Bagi Mereka Urusan Ini Sederhana!
DALIMUNTE sudah di mana?
sudah naik mobil jemputan perkebunan strawberry, bersama Kak Cie Hui dan Intan.
Ikanuri memasukkan telepon genggam ke saku. Merapatkan jaket hujan yang dikenakan.
Kereta ekspres itu berhenti persis di tengah hutan.
Di depan sana belasan lampu sorot berkekuatan ribuan watt menerangi lokasi longsoran
tebing. Hanya butuh setengah jam sejak longsoran itu terjadi, tim tanggap darurat kepolisian
dan pasukan militer Swiss dari kota terdekat tiba di lokasi. Membawa alat-alat berat untuk
membersihkan tanah liat yang menumpuk sepanjang lima belas meter. Mereka terbilang
taktis dan gesit. Ada sekitar dua peleton pasukan di sana. Tapi hujan yang turun semakin
deras, membuat pekerjaan semakin sulit. Apalagi, baru saja bersih lima meter, tebing itu
longsor lagi. Lebih banyak.


BAB 13 Kau Bukan Kakak Kami
Ya Allah, dia jahat sekali. Jahat! Dua puluh lima tahun silam. Seperempat abad lalu. Kejadian
itu tidak akan pernah terlupakan. Tidak akan. Wajah Kak Laisa yang menangis saat itu.
Wajah Kak Laisa yang seperti tak percaya mendengar dia mengatakan kalimat-kalimat
menusuk itu. Ikanuri tersedan. Lihatlah, wajah Kak Laisa sekarang seperti mengukir
sempurna di bayangan jendela kereta. Wajahnya yang tersenyum, wajahnya yang selalu
melindungi mereka, adik-adiknya yang bebal. Semua pengorbanan itu. Semua.
Ikanuri tersungkur. Tergugu. Dia benar-benar tidak tahan lagi. Menangis terisak. Ya Allah,
jika ada yang bertanya siapa yang paling penting dalam hidupnya jika ada yang bertanya:
Siapa?
Maka itu sungguh adalah Kak Laisa.

BAB 14 Penguasa Gunung Kendeng
CELAKA. Benar-benar celaka. Kesibukan penduduk Lembah Lahambay hari itu ternyata
tidak berhenti saat senja tiba. Tapi benar-benar hingga malam hari, 24 jam.
Menjelang maghrib setelah dipotong istirahat shalat ashar, lima kincir air itu sudah berderet
rapi di dinding cadas sungai. Lubang-lubang pondasi sudah dituangi cor semen. Belum
terpasang. Meski pondasinya sudah siap, lima kincir itu baru akan dipasang minggu depan,
jadwal gotong-royong berikutnya. Pondasinya dibiarkan dulu kering.

BAB 15 Kakak Tidak Pernah Akan Terlambat
Dali, bilang Mamak, maafkan Lais Kak Laisa berkata dengan suara semakin serak. Ia tahu,
mala mini harimau-harimau ini membutuhkan mangsa. Tumbal. Maka biarlah ia yang
menggantikan adik-adiknya ia tahu, waktunya sudah selesai. Biarlah begitu. Biar ia yang
menahan mereka sementara adik-adiknya berlari
Suara gerungan itu tiba dipuncaknya.
Kepala-kepala menakutkan itu terangkat siap menerkam.
Laisa dengan mata bercahaya, buncah oleh air-mata menatap ke depan. Menunggu. Bersiap.
Sementara Dalimunte yang sedikit pun tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Kak Laisa,
tunggang-langgang menarik tubuh Ikanuri yang sempat terjatuh, mereka harus kabur sesegera
mungkin dari situ.
Seperseribu detik berlalu. Ekor harimau yang paling besar, yang paling menakutkan, yang
bersitatap dengan mata Laisa, tiba-tiba bergoyang. Harimau itu menggerung keras. Laisa
menggigit bibir. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia sudah pasrah. Ia sudah siap.
Dalimunte yang terjerambab di semak belukar setelah berlari sepuluh langkah bersama adik-
adiknya menatap kosong tiga harimau yang melewati mereka, melangkah di atas tubuh-tubuh
mereka yang terjerambab.
Begitu saja
Lima detik. Lima belas detik.
Senyap. Hening.

BAB 16 Sejuta Kunang-kunang
Menjelang larik jingga muncul di ufuk sana, menjelang matahari pagi akhirnya terbit, saat
Wak Burhan dan penduduk kampong masih sibuk dan mulai putus asa mencari Ikanuri dan
Wibisana, mereka tiba di gerbang hutan seberang dinding cadas.
Kerlip kunang-kunang lebih ramai di sini.
Terbang berkelompok. Beranjak pulang ke sarang.
Langkah Laisa terhenti. Menatap cahaya mereka yang indah.

BAB 17 Yasin yang Dibacakan
Sekarang? Ya Allah, bagaimana mungkin seluruh rumah terlihat seperti sedang bersiap
melepas kepergian seseorang. Yasin yang dibacakan? Warga yang berkumpul? Dalimunte
menggigit bibir, sakit apa sebenarnya Kak Laisa?
Dalimunte tidak tahan lagi, bergegas masuk ke kamar Kak Laisa. Terhenti. Langkahnya
terhenti seketika persisi di bawah bingkai pintu. Lihatlah! Ya Allah, apa maksud semua ini?
Kamar Kak Laisa penuh dengan peralatan medis. Selang infuse, belalai-belali plastic. Layar
bertuliskan garis-garis hijau. Alat-alat bantu lainnya. Tabung oksigen. Masker. Kaki
Dalimunte bergetar. Matanya mencari disela-sela peralatan medis yang pasti didatangkan dari
rumah sakit kota provinsi.

BAB 18 Pernikahan Terakhir
Senja datang untuk ke sekian kalinya di lembah indah itu.
Cahaya matahari senja menerabas indah bingkai jendela kamar. Berpendar-pendar jingga.
Sungguh senja itu wajah Kak Laisa terlihat begitu bahagia. Mungkin seperti itulah wajah
bidadari surge.
Lima menit kemudian pernikahan itu dilangsungkan. Dalimunte yang menjadi wali
pernikahan. Bang jogar dan salah satu penduduk kampong lainnya menjadi saksi. Pernikahan
terakhir di lembah indah mereka.
Seusai Goughsky mengucap ijab Kabul. Saat Yashinta menangis tersedu. Ketika Mamak
menciumi kening bungsunya memberikan kecupan selamat. Saat yang lain buncah oleh
perasaan entahlah. Semua perasaan ini saat itulah cahaya indah memesona itu turun
membungkus lembah. Sekali lagi. Seperti sejuta pelangi jika kalian bisa melihatnya. Di
sambut lenguhan penguasa Gunung Kendeng yang terdengar di kejauhan. Kelepak elang
yang melengking sedih.
Bagai parade sejuta kupu-kupu bersayap kaca.
Menerobos atap rumah, turun dari langit-langit kamar, lantas mengambang di atas ranjang.
Lembut menjemput.
Kak Laisa tersenyum untuk selamanya. Kembali.
Senja itu, seorang bidadari sudah kembali di tempat terbaiknya.
Bergabung dengan bidadari-bidadari surge lainnya.
Dan sungguh di surge ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah:22). Pelupuk mata
bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi
cantik jelita. (Ar Rahman:70). Suara Mamak berkata lembut saat kisah itu diceritakan
pertama kali terngiang di langit-langit ruangan: bidadari-bidadari surge, seolah-olah adalah
telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat:49)

Anda mungkin juga menyukai