Anda di halaman 1dari 21

Kisah Kino

Pertama-tama, ini adalah serial tentang kehidupan di kota kecil, walau tak terlalu jauh dari kota besar. Ini juga cerita
tentang Kino, seorang pria yang menjalani masa remaja, dan akhirnya tumbuh sebagai lelaki matang. Pada babak awal
cerita, Pembaca dapat menyimak kisah-kisah pubertasnya. Pada masa awal inilah, seksualitas dan sensualitas terbentuk.
Dengan begitu, ini pula kisah tentang the coming of age yang kadang-kadang melodramatik.

Kino tergolong pemuda biasa seperti kita-kita semua. Apa yang dialaminya merupakan kejadian biasa, dan bisa terjadi
pada siapa saja, karena merupakan kelumrahan belaka. Tetapi, kita tahu ada banyak kelumrahan yang kita sembunyikan
dengan seksama. Kita letakkan di lipatan-lipatan yang tak mudah ditemukan, agar tak menjadi keseronokan yang tidak
sopan. Halaman-halaman berikut ini bermaksud mengungkap kelumrahan itu tanpa tergelincir menjadi keseronokan.
Entah apakah maksud itu tercapai, Pembaca jua lah yang menjadi jurinya.

Nama dan tempat dalam cerita ini -tentu saja- adalah hayal belaka. Tetapi jika ada kesamaan dengan apa yang Anda
temui dalam hidup nyata, penulis hanya bisa mengatakan bahwa itu adalah sebuah kebetulan. Sambil mengucap
terimakasih, karena kisah ini bisa mengungkap kenyataan.

Judul-judul dari Kisah Kino :


1. Awal Perjumpaan
2. Musim Berderap Berlalu
3. Seorang Bidadari dan Sebuah Mimpi
4. Musim Badai Tiba
5. The Twilight Zone
6. Kembang Semusim
7. Suara Kesunyian
8. Sang Troubador
9. Menguntai Masa Lalu

Extra : Binar Bintang di Bentang Malam – Aneka Kisah Wanita di Sekitar Kino

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 1


Musim Berderap Berlalu (1)
Kemarau akhirnya berlalu. Rintik hujan pertama jatuh di senja hari Rabu itu, saat orang-orang pada umumnya berada di
rumah. Awan yang menjanjikan hujan sebenarnya telah sering bergantung-gantung di langit selama seminggu terakhir
ini. Tetapi baru sekarang hujan benar-benar turun. Mulanya hanya menetes-netes seperti tidak sungguh-sungguh hendak
turun ke bumi, tetapi lalu dengan cepat membesar. Tanah yang telah lama kering, segera menghisap air dengan cepat,
dan bau bumi yang basah segera memenuhi udara. Pohon-pohon seperti jejingkrakan, selayaknya anak-anak yang ramai
mandi hujan di halaman rumah masing-masing.
Kino berada di beranda rumah Alma ketika hujan turun. Patut kiranya diketahui, hubungan mereka telah membaik
kembali, setelah sempat "perang dingin" selama seminggu. Kepergian Mba Rien dan rasa sedih yang menelungkupi
Kino telah menjadi picu dari ketegangan itu. Tetapi kemudian segalanya kembali seperti semula, dan Kino kembali
mengantar Alma pulang setiap hari, atau membuat PR bersama seperti hari ini.
"Akhirnya hujan turun juga....," Kino menggumam, berdiri di beranda memandang halaman rumah Alma dengan cepat
tergenang air. Alma berdiri di sampingnya, menggigit-gigit pensil, merengkuh tangan kekasihnya.
"Seperti dicurahkan dari langit," ucap Alma perlahan, mendongak memandang garis-garis air turun seperti jarum-jarum
raksasa dari langit yang gelap kehitaman.
"Aku suka air hujan," kata Kino, "Aku tidak suka terik berkepanjangan. Rasanya badanku mengering di saat kemarau,
dan segala sesuatu bisa berubah menjadi bencana,"
"Mmm...," Alma cuma bergumam. Ia juga tidak suka kemarau, terutama kemarau yang baru saja lalu. Ia tidak suka
pertengkaran terjadi antara mereka berdua, dan sekarang bersyukur karena hujan telah datang. Mungkin benar kata
Kino, kemarau lah yang menyebabkan mereka berdua bertengkar.
Kino memeluk bahu Alma, dan gadis itu menyandarkan kepalanya manja ke dada kekasihnya. Berdua mereka
memandangi hujan, hampir lupa mengerjakan PR matematika yang tertinggal di atas meja. Kalau tidak terdengar Ibunda
mendehem dari ruang tamu di dalam, pastilah PR itu tak kan pernah selesai.
*****
Musim hujan juga mengiringi hari-hari akhir dari sekolah Kino dan Alma. Mereka kini telah duduk di kelas tiga, dan
telah memasuki masa akhir. Ujian akan segera tiba, lalu mereka harus menempuh perguruan tinggi. Segalanya berjalan
dengan cepat, seakan-akan air hujan ikut memperlancar roda kehidupan di kota kecil itu. Tanpa terasa, Kino dan Alma
kini tenggelam lagi dalam kesibukan mempersiapkan diri menghadapi kertas-kertas ujian.
Mereka belajar dengan intensif, dalam kelompok yang semakin besar, karena melibatkan pula Dodi dan Iwan dan dua
teman putri yang konon adalah pasangan mereka: Sita (pacar Dodi) dan Wiwik (pacar Iwan). Enam orang ini sering
berkumpul, terutama di rumah Alma yang adalah rumah terbesar di antara rumah-rumah mereka, dan karena hanya Alma
yang rumahnya tidak ramai oleh anak-anak kecil. (Alma adalah putri bungsu. Kedua kakaknya sudah tinggal di luar
rumah).
Sesekali, mereka juga belajar di rumah Iwan yang punya kebun jambu di halaman belakangnya. Tetapi belajar di rumah
Iwan adalah kesia-siaan belaka. Mereka lebih sering berada di atas pohon jambu, masing-masing berbekal sekantong
garam-cabai-terasi. Sedap sekali makan rujak di atas pohon!
Belajar bersama dalam kelompok besar juga sering menimbulkan pertengkaran. Maklumlah, ada enam kepala remaja
yang keras, masing-masing tidak mau mengalah kecuali kepada pasangannya. Dan kalau ada tiga pasang remaja
bertengkar, pastilah tidak ada penyelesaian. Alma paling sering mengeluhkan hal ini kepada Kino, dan mengusulkan
agar mereka kembali belajar berdua saja. Apaboleh buat, Kino pun setuju, dan Dodi maupun Iwan cuma menggerendeng
tak berani menyatakan penolakan.
Tetapi belajar berdua --sebagai sepasang kekasih-- juga ada kelemahannya bukan?
*****
Siang itu, ketika Kino dan Alma tiba dari sekolah, ibu Alma terlihat sedang berkemas-kemas dibantu asistennya. Sebuah
tas hitam besar berisi alat-alat kebidanan tampak telah siap. Sebuah mobil milik BKKBN menunggu di jalan.
"Ibu harus ke kota R, Alma," ucap Ibunda, tampak terengah-engah karena harus berjalan bulak-balik. Ibu ini terlalu
gemuk, pikir Kino dalam hati. Cepat-cepat ia menolongnya membawa tas ke mobil.
"Kino,.. tolong temani Alma hari ini. Ayahnya juga sedang rapat sampai malam di kantor Bupati," kata Ibunda sambil
menutup pintu mobil. Lalu, sebelum mobil berjalan, ia melongokkan kepala dari jendela dan berucap, "Kamu makan
siang di sini saja, Kino. Lalu belajarlah,.... jangan nakal!" Kata-kata yang terakhir itu diucapkan sambil melirik ke Alma,
yang masih menggendong tas sekolah dan berdiri mematung di sebelah Kino.
"Baik, tante.." kata Kino.

2e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000


"Ya, bu..." kata Alma.
Mobil pun lalu pergi diiringi lambaian tangan kedua remaja itu. Setelah mobil hilang dari pandangan, barulah keduanya
berjalan masuk ke dalam rumah yang sepi. Alma berjalan di depan sambil mengayun-ayunkan tasnya. Kino mengikuti
dengan langkah ringan.
"Makan dulu, yuk..." ajak Alma yang tentu segera di-iya-kan oleh Kino. Perutnya selalu lapar di hari-hari yang penuh
hujan seperti ini. Apalagi jam memang telah menunjukkan waktu untuk makan siang, dan Ibunda Alma telah
menyiapkan satu ayam panggang utuh.
Lahap sekali mereka berdua makan hari itu. Walau pada awalnya kikuk juga, makan berduaan di rumah yang sepi. Alma
dengan canggung menyiapkan piring dan menyendoki nasi untuk Kino. Ia tiba-tiba merasa gugup, karena rasanya
mereka berdua sudah suami-istri, makan siang bersama seperti ini. Kino juga canggung, karena ia sebenarnya tidak biasa
dilayani. Di rumah, ia mengambil nasi sendiri, sesuka hati.
Alma tertawa kecil pada suapan pertamanya. Kino mengernyitkan dahi, "Kenapa?"
"Ah, tidak... aku cuma merasa lucu saja," jawab Alma.
"Apanya yang lucu?"
"Kita. Makan berduaan, seperti..." Alma tidak meneruskan kata-katanya.
"Seperti apa?" desak Kino.
Alma terus mengunyah, lalu menjawab, "Sudahlah. Tidak boleh terlalu banyak bicara jika sedang makan!"
Kino tersenyum mendengar "perintah" itu. Mereka pun makan diam-diam, dan memang makanannya juga sedap untuk
dinikmati tanpa banyak bicara. Tak berapa lama, ayam hanya tersisa sepertiganya. Kino merasa sangat kenyang, dan
Alma pun takjub sendiri. Belum pernah ia makan begitu banyak, padahal ayam panggang sudah sering jadi menu di
rumah ini.
Lalu Kino membantu Alma mencuci piring di dapur, berdiri bersisian di bak cuci piring sambil mengobrol. Sesekali
tangan mereka yang dipenuhi sabun bersentuhan, dan Alma dengan manja minta Kino membersihkan sabun yang
menciprat ke ujung hidungnya.
"Tanganku juga penuh sabun, bagaimana bisa membersihkan hidungmu," protes Kino.
"Gunakan pipimu!" sergah Alma sambil tersenyum manis.
Nakal juga pacarku ini, pikir Kino sambil mulai menyeka sabun dari hidung Alma dengan pipinya. Tetapi tentu saja
Kino tidak cuma menyekakan pipinya ke hidung yang agak berkeringat itu. Dengan cepat ia mengecup hidung itu setelah
tak bersabun. Dengan cepat pula ia turun agak ke bawah, mengecup bibir yang masih tersenyum itu. Alma menarik
kepalanya, tapi kurang ke belakang, tak mampu menghindar sepenuhnya.
Lalu tiba-tiba saja mereka lupa piring-piring yang belum dibilas. Lupa tangan mereka yang berleleran sabun. Bibir
mereka tiba-tiba saja sudah saling melumat dan tangan Alma sudah memeluk leher Kino. Kedua kaki Alma berjinjit,
agar ia bisa leluasa mengulum bibir kekasihnya, dan agar Kino leluasa pula melumat bibirnya. Tangan Kino pun kini
merangkul pinggang Alma, menekan tubuhnya agar lebih rapat lagi. Sedap sekali mencium bibir gadis yang kau sayangi,
yang wajahnya selalu kau rindukan. Alma pun terpejam membiarkan tubuhnya terhenyak ke depan. Lembut sekali
rasanya dicium pria pujaan mu, pria yang tahu bagaimana memanjakanmu.
Hujan tiba-tiba turun, keras menerpa jendela dapur, menimbulkan suara berisik bertalu-talu. Tetapi Kino dan Alma tidak
mendengar apa-apa. Di telinga mereka cuma ada debur jantung yang semakin mengencang, dan nafas yang mendesah-
desah. Cuma ada musik romantis yang mengiringi tarian kerinduan di atas awan-awan cinta. Perlahan-lahan tubuh Kino
dan Alma semakin merapat, dan kedua mulut mereka semakin sibuk mengulum, menghisap dan terkadang menggigit.
Alma mengerang pelan ketika kekasihnya mengulum perlahan bibir bawahnya, membuatnya membuka mulut agak lebih
lebar. Lalu terasa lidah Kino menyerbu masuk, menyentuh-nyentuh lidahnya sendiri. Rasanya hangat dan geli, tetapi
juga mesra dan memanjakan.
Perasaan nikmat yang lain juga kini muncul di dada Alma, yang terhenyak rapat di dada Kino. Dengan tangan semakin
erat merangkul leher pemuda pujaannya, gadis belia ini merasakan kegelian memenuhi puncak-puncak payudaranya
yang ranum. Apalagi gerakan tubuhnya menyebabkan gesekan-gesekan kecil. Ia menggelinjang dan semakin merapatkan
dadanya. Oh, jangan biarkan semua ini berlalu! jeritnya dalam hati. Matanya terpejam rapat, dan nafasnya yang hangat
semakin menderu. Alma terhanyut dalam gelora baru yang telah lama terpendam sejak ia memacari Kino. Ia menggeliat
merasakan tubuhnya bagai dipenuhi rasa geli yang aneh, yang menyebar perlahan ke segala penjuru, dan yang
menyebabkan jantungnya berpacu. Terengah-engah, Alma mencoba memahami semua ini, tetapi kepalanya terasa
kosong tak bisa berpikir. Segalanya terasa tak masuk akal, karena cuma ada rasa dan emosi. Cuma ada gairah dan birahi.
Kino pun terpejam merasakan hangat menerpa dari tubuh gadis yang dipeluknya. Selama ini, tubuh itu lah yang ia peluk
dengan sayang, yang ia terima ketika bersandar. Kini tubuh itu begitu dekat, begitu hangat, dan begitu ranum seperti

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 3


baru pertama kali disentuhnya. Sambil mengulum bibir Alma yang semakin terasa panas dan basah, Kino mengusap-
usap punggung gadis itu. Ia tak peduli, sabun menodai seragam putihnya. Ia tak bisa berpikir lain, selain ingin
mengusap-usap tubuh gadis yang dirindukannya ini. Tangannya lembut menjalar ke sana ke mari. Juga ke bawah
pinggang Alma, ke bagian belakang yang kenyal dan menonjol seksi itu. Kino meremas gemas bagian itu.
Alma menjerit tertahan, menggeliat kaget merasakan remasan tangan Kino. Sebuah aliran panas yang menggelisahkan
menyerbu dari bagian yang diremas itu, menerobos ke mana-mana, mendatangkan sebuah demam tanpa sakit. Ini bukan
flu, pikir Alma, ini bukan demam biasa. Ini demam cinta. Alma mengerang, melepaskan ciumannya, dan
menyembunyikan wajahnya di leher Kino. Tangannya lebih erat merangkul, dan kini tubuh bagian bawahnya ia
tempelkan lebih keras lagi ke tubuh Kino. Remasan tangan pemuda itu di bagian belakang telah memicu sebuah
gemuruh di dalam tubuh Alma.
"Jangan di sini, Kino...," desah Alma, repot sekali berucap di tengah nafas yang memburu. Ia melepaskan diri dari
pelukan kekasihnya, lalu mengajak Kino ke ruang tengah. Kino membiarkan tangannya dituntun. Mereka berdua sudah
lupa sama sekali, ada beberapa piring dan sendok masih menggeletak di bak cucian. Tangan mereka masih agak basah,
walau busa sabun telah lama hilang.
Di ruang tengah, Alma menarik Kino untuk duduk bersama di sebuah sofa empuk. Dengan segera mereka melanjutkan
apa yang tadi terputus di dapur. Kino menindih tubuh kekasihnya, menciumi lehernya yang lembab oleh keringat
walaupun udara sebenarnya agak sejuk. Alma menggeliat kegelian dan merebahkan tubuhnya pasrah. Ia ingin Kino
melakukan sesuatu hari ini, tapi ia tak pasti apakah "sesuatu" itu. Ia ingin membiarkannya saja sebagai misteri yang
menegangkan. Dan ketegangan adalah bumbu dari percumbuan, bukan?
Dengan satu tangannya, Kino membuka kancing-kancing baju Alma. Oh, ia dengan mudah bisa melakukannya, teringat
pengalamannya dengan Mba Rien yang kini sedang ia coba lupakan sekuat hati. Satu demi satu kancing itu lolos dari
lubangnya, sehingga akhirnya baju Alma di bagian depan terkuak sudah. Sebuah beha putih membungkus sepasang bukit
ranum, jauh lebih kecil daripada payudara Mba Rien yang padat membusung itu. Tetapi tak kalah menggemaskan pula,
dada Alma yang terlihat turun naik dengan cepat itu. Jemari Kino tak tertahankan, menelusup masuk ke bawah beha,
merayapi salah satu bukit ranum itu. Alma menggeliat-geliat kegelian, merasakan kenikmatan baru yang belum pernah
diterimanya dari siapa pun. Ia memang senang menempelkan dadanya di pangkal lengan Kino jika bergandengan, tetapi
sungguh-sungguh disentuh langsung seperti ini..... wow, berbeda sekali rasanya!
Kino merasakan puting Alma langsung mengeras ketika tersentuh ujung jarinya. Ia putar-putarkan ujung jari itu dengan
ringan di sana. Ah, puting itu terasa panas seperti menyimpan air mendidih. Kenyal pula, seperti terbuat dari karet
berkualitas tinggi. Bukit kecil di bawahnya terasa padat dan halus-licin. Berkali-kali telapak tangan Kino seperti
tergelincir di sana, seperti seorang pemain ski yang meluncur gembira di bukit bersalju.
Alma kini mengerang di sela desahan-desahan nafasnya. Sebuah aliran kehangatan, kecil saja bagai sebuah parit, terasa
mulai terbentuk di pangkal pahanya. Dengan gelisah, Alma merapatkan kedua pahanya, kuatir aliran itu menerobos
keluar membasahi celananya, atau bahkan membasahi sofa. Tetapi berbarengan dengan itu, juga ada rasa nikmat yang
makin lama makin kuat terasa. Semakin ia merapatkan pahanya, justru semakin nikmat rasanya. Membingungkan sekali,
segalanya terasa penuh paradoks. Segalanya terasa janggal sekaligus memikat. Alma akhirnya menyerah saja,
membiarkan apa pun yang terjadi. Ia cuma bisa mengerang ketika sebuah tangan Kino mengelus-elus pahanya, perlahan-
lahan mengangkat rok seragamnya semakin tinggi.
Kino mengelus perlahan, menikmati paha yang lembut-hangat-mulus itu. Telapak tangannya seperti sedang menjalani
pualam yang hangat, membuat ujung-ujung saraf di sana bergairah. Sesekali ia tak tahan meremas, merasakan tubuh
Alma bereaksi cepat terhadap setiap ramasan itu. Kino merasa seperti seorang konduktor orkestra, yang dengan gerakan
tangannya mampu mengatur musik, kapan mengalun perlahan dan kapan menggelora penuh semangat.
Dengan mata terpejam, Alma mencari-cari mulut Kino. Ketika ditemukannya, ia mengulum bibir pemuda itu, sambil
mendesah. Kino pun menyambut pagutan bergairah itu, sementara tangannya kini telah sampai di pinggir celana dalam
Alma, di bagian berkaret yang ketat memagari apa pun yang ada di baliknya. Mulanya, Kino ingin menerobos barikade
itu, tetapi sebuah suara kecil di hatinya segera melarang. Jemarinya pun menghindari pinggiran itu, melainkan naik
mengusap ke arah atas. Kain nilon terasa halus di telapak tangannya, juga terasa hangat karena tak mampu mencegah
panas yang muncul dari tubuh yang diselaputinya. Dengan lembut dan mesra, Kino mengelus-elus kewanitaan Alma
yang masih diselimuti celana dalamnya.
Alma meregang, diusap-dielus di bagian itu, ia merasa seakan-akan sebuah ledakan sedang bersiap-siap meletus di
dalam tubuhnya. Geli sekali rasanya. Nikmat sekali rasanya. Tangan Kino bagai sedang mengirimkan berjuta-juta rasa,
dan semua rasa itu berpangkal pada kenikmatan belaka. Alma tanpa sadar merenggangkan kedua pahanya, membiarkan
tangan Kino menjelajah lebih ke bawah lagi, ke bagian yang kini lembab oleh cairan hangat itu. Alma kini tak lagi
kuatir, apakah lembab itu akan berubah menjadi basah, menjadi banjir, menjadi apa pun. Ia sungguh tak peduli.
Dengan jari tengahnya, Kino mulai menelusuri celah yang terbentuk di antara dua punuk kecil di bawah sana yang masih
terlindung nilon tipis. Perlahan-lahan jarinnya menelusur ke bawah, lancar karena nilon memang adalah kain yang licin.
Terutama juga karena kain itu telah basah. Ujung jari Kino melesak sedikit, menyentuh bagian terbawah yang terhenyak
di sofa. Alma mengerang merasakan kegelian-kenikmatan menyerbu tubuh bagian bawahnya. Ia mengangkat sedikit
4e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000
tubuhnya, sehingga tangan Kino bisa menelusup lebih ke bawah. Lalu, jari itu naik lagi perlahan, menelusuri jalur yang
sama yang ditempunya ketika turun. Tubuh Alma pun terhenyak kembali, dan bergeletar pelan ketika ujung jari itu
menyentuh sebuah tonjolan kecil di bagian atas. Apalagi kemudian Kino berlama-lama di sana, memutar dan menekan
tonjolan itu.
Tanpa dapat ditahan oleh Alma, tubuhnya meregang. Sebuah gemuruh bagai banjir bandang memenuhi tubuhnya. Banjir
itu menerjang segala yang menghalanginya, menyerbu seperti hendak membuat tubuh Alma meledak. Kino
mempercepat usapan dan gosokan jari tangannya; ia tahu sebentar lagi kekasihnya akan tiba di puncak kenikmatan yang
telah didakinya dengan sabar ini. Kino tahu, dari pengalamannya dengan Mba Rien, sebentar lagi tubuh mungil ini akan
menggelepar dilanda orgasme. Maka ia mempercepat gerakan tangannya, dan menekan tubuh kekasihnya lebih dalam ke
sofa.
Walaupun sudah mengantisipasinya, Kino tak urung terkejut juga ketika akhirnya Alma mencapai klimaks. Terkejut
karena gadis yang lembut dan manja itu berteriak cukup keras, seperti seorang yang disengat listrik. Cepat-cepat Kino
membungkamnya dengan mencium mulut Alma. Agak sulit melakukan hal ini, karena Alma seperti menghindar,
menggelepar dan menggelengkan kepalanya dengan mulut terpejam. Ketika akhirnya Kino berhasil mengulum bibirnya,
Alma pun masih mengerang keras, walau kali ini ia hanya mengeluarkan suara "Ngggg....".
Tak kurang dari 3 menit lamanya diperlukan oleh Alma untuk melepaskan semua desakan birahi yang menggumuruh di
tubuhnya. Setelah itu, ia merasa lunglai dan tak bertulang. Ia merengkuh leher Kino, mencoba mencari kekuatan dari
kekasihnya. Matanya seakan tak bisa membuka, karena kepalanya masih berenang-renang di danau kenikmatan. Untuk
sejenak, Alma khawatir ia sudah tidak ada di dunia ini lagi. Ia sudah berada di dunia lain, ia sudah tewas! Hanya
kemudian sebuah gigitan kecil dari Kino di cuping telinganya yang membuat ia sadar, bahwa tadi itu bukanlah kematian.
Tadi itu adalah orgasme pertamanya bersama pemuda yang dicintainya.
Kino menciumi leher Alma dengan mesra. Ia seakan sedang mensyukuri kejadian barusan. Ia pun merasa bangga telah
berhasil membawa Alma ke puncak birahi. Terlebih-lebih lagi, ia merasakan perbedaan yang besar dengan percumbuan
sebelumnya bersama Mba Rien. Dengan wanita itu, Kino hanya dipenuhi birahi, dan ia hanyalah sebuah perahu yang
dinakodai Mba Rien. Dengan Alma, Kino dipenuhi rasa sayang, dan ia adalah nakodanya.
Siang itu, Kino berhasil pula memendam keinginannya untuk melanjutkan percumbuan. Alma sebetulnya menawarkan
kelanjutan, dengan caranya yang lugu (dia bilang, "Lagi?" dengan ragu-ragu). Tetapi Kino tersenyum saja, perlahan-
lahan melepaskan pelukannya, mencium pipi gadis yang tampak makin cantik dengan muka bersinar. Ia berbisik,
"Jangan, Alma .. kita cuma berdua di sini. Nanti kita terlena terlalu jauh.."
Alma terharu mendengar ucapan pemuda ini. Dipeluknya leher Kino erat-erat. My hero, you are my hero! jeritnya dalam
hati, penuh suka cita.
*****
Masa ujian pun tiba, membuat semua murid di kota kecil itu menghilang dari pantai atau sungai atau danau tempat
mereka biasanya bermain. Semua anak-anak usia sekolah tampak berwajah serius, bahkan tak sedikit yang terlalu serius
sehingga kehilangan warna kanak-kanaknya. Kino dan Alma tampak penuh percaya diri, begitu pula Dodi, Iwan dan
kedua pacar-pacar mereka. Dengan tenang -walaupun kadang-kadang agak gentar- mereka menghadapi setiap kertas
ujian, dan selalu menyelesaikan soal-soal sebelum bel akhir berdentang.
Hari-hari yang sibuk selalu terasa lebih pendek dari hari biasa. Secepat datangnya, secepat itu pula masa ujian berlalu.
Anak-anak sekolah berhamburan ke luar dari kelas pada hari terakhir, berteriak-teriak seakan perjuangan mereka telah
usai dengan kemenangan. Padahal, tentu saja perjuangan itu justru baru dimulai. Jalan masih panjang, walau sekarang
mereka tak punya pikiran lain selain liburan sebulan penuh. Anak-anak SMA sudah pula mempersiapkan acara
perkemahan, sebelum mereka bersiap-siap ikut testing masuk perguruan tinggi.
Alma terpilih sebagai ketua regu kelas 3, sementara Kino bertanggungjawab pada keamanan bumi perkemahan bersama
beberapa "jagoan" yang selama ini menguasai dunia anak-anak SMA. Kino sendiri bukan termasuk jagoan, ia belum
pernah berkelahi sepanjang sekolah menengah atas. Terakhir berkelahi, ia masih kelas dua SMP, dan lawan
berkelahinya kini adalah salah satu jagoan itu. Tetapi, walau tak suka berkelahi, Kino dikenal tegas dan dihormati,
terutama karena dua sahabatnya, Dodi dan Iwan, sering bercerita membual tentang kehebatan Kino bermain pencak-
silat. Nah,.. itulah gunanya memiliki dua sahabat tukang bual!
Perkemahan dilaksanakan di kaki sebuah bukit, kira-kira 10 kilometer dari kota. Mereka naik truk pinjaman dari
kesatuan zeni Angkatan Darat, yang juga meminjamkan dua tenda raksasa untuk ruang P3K dan dapur umum.
Selebihnya, masing-masing regu membawa sendiri atau meminjam tenda-tenda parasut. Ramai sekali bumi perkemahan
yang bersebelahan dengan hutan karet itu dihuni anak-anak SMA. Berbagai acara berlangsung semarak, termasuk
beramai-ramai mendaki bukit dan berenang-renang di bawah air terjun.
Kino sibuk mengatur keamanan, termasuk membantu beberapa anak-anak kelas dua yang jatuh sakit akibat terlalu
bersemangat. Ruang P3K ramai oleh suara batuk dan orang muntah. Para "perawat" amatir tampak sigap melayani si
sakit, dan Ibu Murni, ibu guru olahraga dan kesehatan, tampak letih memimpin mereka. Untunglah, beberapa di antara
perawat amatir itu sudah terlatih sebagai anggota regu palang merah remaja.
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 5
Di tengah kesibukan dan keceriaan bumi perkemahan, tentu saja cinta remaja berkembang tak kalah meriah. Kino dan
Alma mendapat begitu banyak kesempatan untuk berduaan, terutama ketika acara api unggun, di mana semua anak
duduk melingkar menyaksikan berbagai pertujukan oleh masing-masing wakil regu. Pada umumnya adalah menyanyi
dengan iringan gitar yang tentu saja lebih banyak false-nya.
Percumbuan antar remaja juga tak terelakkan, walaupun para guru sudah memperingatkan anak-anak gadis agar berhati-
hati dengan "milik" mereka. Kino adalah anggota keamanan yang juga ditugasi mengawasi kemah-kemah peserta, agar
setiap malam tidak ada "pelarian" atau "penyebrangan" dari wilayah anak laki ke wilayah perempuan (atau sebaliknya!).
Tetapi, siapa yang mengawasi Kino? ... Ha! .. tidak ada. Bahkan "jagoan-jagoan" pun pura-pura tidak tahu, ketika suatu
malam Alma minta Kino menemaninya ke sungai untuk "sebuah urusan".
"Kamu membuat saya serba-salah...," bisik Kino sambil mengiringi langkah Alma menuju sungai. Beberapa anggota
keamanan tersenyum saja ketika Kino melambai minta ijin.
Alma menahan tawa, lalu balas berbisik, "Tetapi saya memang perlu ke sungai!"
"Untuk apa?"
"Pipis!"
Kino menggeleng-gelengkan kepalanya. Apakah ia nanti minta diceboki pula? gerutunya dalam hati. Walaupun tentunya
menarik, kalau Alma nanti sungguh-sungguh minta itu!
"Saya juga ingin berdua dengan kamu..." bisik Alma lagi ketika mereka sudah melewati pintu gerbang bumi perkemahan
yang dijaga dua "jagoan" berjaket parasut hijau. Kepada kedua penjaga itu, Kino cuma tersenyum, dan keduanya cuma
mengangkat muka sebentar lalu kembali menekuni sebuah majalah. Kino tahu, itu majalah untuk orang dewasa yang
diam-diam diselundupkan oleh salah seorang peserta untuk menyogok para penjaga!
Akhirnya mereka tiba di sungai, dan Alma memang benar ingin buang air. Kino menunggu di pinggir, membelakangi
sungai dan Alma yang sedang berjongkok. Sepi sekali malam itu, hanya terdengar gemercik air dan desiran angin.
Selesai buang air kecil dan membersihkan diri, Alma merengkuh tangan Kino untuk mengajaknya pulang. Berdua
mereka menyusuri sungai kembali ke bumi perkemahan. Tetapi, pada sebuah pohon besar di tikungan pertama, Kino
menghentikan langkah mereka. Ditariknya Alma minggir, ke bawah bayang-bayang gelap pohon, lalu dilumatnya bibir
gadis itu dengan gemas. Alma segera membalas, dan nafasnya segera mendesah-desah cepat, karena ia memang sudah
menunggu-nunggu inisiatif kekasihnya ini sejak tadi!
Cepat sekali ciuman mereka berubah menjadi pagutan-kecupan yang menggelora. Alma merengkuh leher Kino dan
menyambut setiap serbuan penuh gairah dari pemuda itu. Gadis ini telah pula membuka resleting depan jaketnya,
mengundang Kino untuk melakukan remasan-remasan yang sangat disukainya itu. Kino pun tak hendak mengecewakan
Alma. Cepat-cepat ia menelusupkan tangannya ke balik jaket, lalu ke bawah kaos. Ah, Alma tidak mengenakan beha!
Kino menemukan dua bukit kenyal di dada gadis itu telah siap diremas-remas gemas. Hangat sekali rasanya kedua
gumpalan yang hanya sedikit lebih besar dari telapak tangan Kino itu. Kenyal dan lentur dan halus. Kedua tangan Kino
meremas-menekan, menyebabkan Alma mengerang, semakin mempererat rengkuhannya di leher pemuda itu dan
semakin bernafsu menciumi bibirnya. Untunglah suara air sungai masih cukup keras, dan gesekan daun-daun yang ditiup
angin menyembunyikan desah nafas mereka.
Sejak percumbuan pertama mereka di ruang tengah di rumah Alma, gadis ini sudah dua kali mencapai orgasme di tangan
Kino. Sekali, sewaktu pulang dari rumah Dodi dan hari telah malam, Kino mengajak Alma masuk ke sebuah gang
kosong dan gelap di dekat bioskop. Di sana, sambil berdiri seperti malam ini, Kino meremas-mengurut kekasihnya
sampai mencapai klimaks. Kedua, di belakang rumah Alma, ketika untuk kesekian-kalinya ibunda harus keluar kota
untuk membantu orang melahirkan, gadis ini juga mengalami orgasme yang melenakan. Bahkan di belakang rumah itu
pula Alma pertama kali membantu Kino mencapai klimaks dengan tangannya.
Kini, di bawah pohon yang gelap, di malam yang dingin, Alma dengan cepat terbakar birahi. Tubuhnya sangat sensitif
terhadap setiap sentuhan Kino. Sepertinya, apa pun yang dilakukan Kino dengan tangannya, pasti menyebabkan getaran-
getaran nikmat yang menjalar ke seluruh tubuh. Tak bedanya kali ini, walau sambil berdiri di bawah pohon yang
sebenarnya berkesan angker, Alma dengan mudah merasakan orgasmenya terpicu oleh usapan dan remasan jari Kino di
payudaranya. Apalagi Kino melepaskan ciumannya, kemudian agak menurunkan tubuhnya, menunduk dan
membenamkan kepalanya di balik jaket Alma. Oh, nafas Kino yang hangat segera mengalahkan dingin malam,
menyerbu dada Alma yang kini terbuka karena kaosnya telah terangkat setengahnya. Kedua payudaranya yang putih
mulus tampak tegak-terpampang-menantang, dengan dua puting hitam yang terasa berdenyut bergairah. Alma menjerit
tertahan ketika salah satu putingnya tertangkap mulut Kino. Tak kuasa ia mencegah suara erangan parau keluar dari
kerongkongannya ketika Kino mulai menghisap sambil menjilati putingnya dengan ujung lidah. Sementara telapak
tangan Kino telah pula menutupi dan meremas payudara yang satu lagi, membuat Alma menggelinjang kekiri-kekanan
dengan gelisah.
Inilah kali pertama Alma merasakan perlakuan seperti itu dari seorang pemuda terhadap dadanya yang ranum dan yang
rasanya semakin membesar saja. Kenikmatan tiada tara segera memenuhi dadanya, dan sebentuk orgasme segera

6e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000


meletup menggetarkan badannya. Alma mengerang-erang merasakan kewanitaannya tiba-tiba sangat basah dan
berdenyut liar disertai geli dan nikmat yang berkepanjangan. Ia melingkarkan satu kakinya ke kaki Kino, menambah
rapat menempelkan bagian bawah tubuhnya ke tubuh pemuda itu. Ia juga tak sadar menggerak-gerakan pinggulnya,
menggesek-gesekkan selangkangannya yang terlindung jeans ke paha Kino. Bahkan gesekan itu semakin lama semakin
cepat dan liar, sejalan dengan semakin gemas dan bernafsunya Kino mengulum puting payudara Alma. Di tengah angin
yang mendesir dan suara air sungai yang begemercik keras, gadis ini menikmati kilmaksnya yang sangat kuat mendera
tubuh. Kino terpaksa melepaskan pagutannya pada dada Alma, kembali menegakkan tubuh dan merengkuh gadis itu erat
dalam dekapan, karena tubuh gadis itu berguncang hebat sambil merapat sangat erat di pahanya. Kino juga harus
membungkam mulut Alma yang mengerang semakin kencang, karena ia khawatir ada orang yang mendengarnya.
Insting Kino ternyata juga benar. Ketika Alma tengah menikmati klimaksnya, terdengar suara langkah-langkah orang di
kejauhan, dari arah bumi perkemahan. Cepat-cepat Kino mendorong Alma yang masih menggeliatt-geliat itu,
menyenderkan tubuhnya ke pohon, sehingga mereka berdua semakin terlindung gelap malam. "Sst.. ada orang..." bisik
Kino ke telinga gadis itu, lalu ia melumat bibirnya yang hangat dan basah, membungkam erangannya. Alma berdiri
tegang, menahan geli-nikmat yang memenuhi pangkal pahanya, memeluk leher Kino erat-erat. Berdua mereka berdiri
saling merapat, menunggu siapa yang akan lewat.
Suara orang berbincang sambil berjalan terdengar semakin mendekat. Lalu lampu senter tampak diarahkan ke tanah, dan
sebentar kemudian tampak dua orang "jagoan" berjalan ke arah Kino dan Alma bersembunyi. Tetapi, karena mereka
mengarahkan senter ke bawah, kedua pasangan itu tak terlihat. Ah, ternyata mereka adalah "patroli" malam yang
tampaknya sedang mengecek wilayah sungai, atau mungkin juga sambil mengambil air, karena salah seorang dari
mereka tampak menenteng jeriken (tempat air).
Setelah patroli berlalu, sambil menahan tawa, Alma dan Kino keluar dari persembunyian dan setengah berlari kembali
ke bumi perkemahan. Tak lupa Alma mengancingkan kembali jaketnya dan merapikan rambutnya yang berantakan. Ia
sebenarnya menyesal harus berhenti "di tengah jalan" seperti ini, tetapi ia tahu Kino tak akan mengambil risiko lebih
jauh. Berdua mereka masuk ke bumi perkemahan dengan wajah tak bersalah. Kino melambai ke para penjaga gerbang,
yang masih asik dengan majalah mereka. Alma kembali ke kemahnya, sementara Kino menuju posko keamanan.

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 7


Musim Berderap Berlalu (2)
Pengumuman kelulusan 100% membuat anak-anak SMA di kota kelahiran Kino bersuka-cita. Walaupun sebenarnya
SMA ini sudah sejak tiga tahun silam selalu meluluskan semua siswanya, tetap saja berita tersebut ditanggapi agak
berlebihan. Anak-anak kelas tiga saling menandatangani baju mereka, melakukan arak-arakan di sekitar sekolah, atau
menceburkan diri ke sungai kecil di belakang lapangan voli. Suasana serba ceria ini menular ke adik-adik mereka di
SMP dan SD, lalu juga merembet ke seluruh penduduk kota yang jumlahnya memang tidak banyak.
Pak Camat bahkan membuat hajatan khusus, mengundang sebuah band dari sebuah kota besar untuk manggung di depan
kantornya. Pasar malam segera digelar di sekitar panggung, dan para pedagang berlomba-lomba memberikan potongan
harga. Semarak sekali suasana kota, nyaris menyerupai suasana hari raya.
Malam itu, Kino duduk bersebelahan dengan Alma menonton berbagai acara di atas panggung. Dodi dan Iwan entah
kemana, masing-masing dengan pacar mereka. Kino mengajak pula Susi, adiknya. Tetapi, gadis kecil ini kemudian lebih
suka ikut Ayah dan Ibu yang berkeliling pasar malam.
"Mau sekolah ke mana?" tiba-tiba Alma bertanya di tengah acara tarian daerah.
"Aku ingin jadi arsitek,.... mungkin di institut teknologi di kota B atau kota S," jawab Kino, tersadar bahwa keceriaan
lulus sekolah ternyata akan segera disusul dengan ketegangan baru: masuk perguruan tinggi.
"Aku ingin jadi dokter,.. mungkin ke ibukota," ucap Alma sambil memainkan dompet di pangkuannya.
Kino terdiam. Kalau mereka diterima di masing-masing perguruan tinggi yang mereka lamar, berarti keduanya akan
berpisah. Cukup jauh jarak antara kota-kota tujuan Kino dengan ibukota.
"Kenapa kamu tidak ke ibukota juga?" tanya Alma dengan suara pelan, nyaris tenggelam oleh suara gamelan di
panggung.
"Ayah dan Ibu mengatakan, biaya hidup di ibukota terlalu mahal," jawab Kino.
Alma menghela nafas panjang dan menghembuskannya dalam desah, "Yaaah..., aku beruntung punya paman yang
tinggal di ibukota dan bersedia menampungku. Setidaknya, Ayah dan Ibu tidak perlu membiayai indekos."
Kino juga punya seseorang di ibukota. Seorang penari yang sedang meniti karir. Tetapi saat ini, menyebut namanya pun
ia tak berani. Ia takut menyinggung perasaan Alma.
"Bagaimana kabarnya Mba Rien?"
Kino tersentak. Justru Alma yang memulai menyebut nama itu. "Tidak tahu," jawab Kino cepat. Ia memang tidak pernah
mendengar kabar dari wanita itu.
Keduanya terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Acara silih berganti dengan cepat dan lancar. Lalu, band
pop dari kota M naik ke panggung disambut tepuk tangan riuh dari anak-anak muda yang sudah tak sabar menunggu.
Kino dan Alma pun tenggelam kembali dalam keceriaan, mengikuti lagu demi lagu dengan bersemangat. Sejenak,
mereka lupa akan perguruan tinggi dan perpisahan.
*******
Seusai pertunjukan band, masih ada satu pertunjukan lagi, yaitu wayang kulit sampai pagi. Tetapi kebanyakan anak-anak
muda tidak lagi menyukai medium tradisional ini. Apalagi timing-nya juga kurang tepat. Sehabis jejingkrakan
menikmati musik rock, mana mungkin mereka mau duduk-diam mendengar tutur-cerita dalang dalam bahasa daerah!
Kino mengajak Alma pulang, terpisah dari teman-teman yang lain dan dari kedua orangtua mereka yang masih ingin
menonton wayang. Berdua, pasangan ini berjalan pelan-pelan sambil mengobrol kiri-kanan. Perbincangan menyerempet
pula masalah masa depan dan kemungkinan perpisahan. Mereka sama-sama mulai menyadari bahwa hidup ternyata
masih sangat panjang di depan sana, masih berliku dan mendaki. Alma banyak menunduk mencoba memikirkan
skenario apa yang akan mereka berdua mainkan di masa mendatang. Apakah mereka akan tetap bisa berhubungan walau
terpisah ribuan kilometer?
Kino mengusulkan mengambil jalan pintas, menyusuri pematang sawah. Bulan hampir purnama, awam hujan tidak
tampak, sehingga malam tak terlalu gelap. Pematang bahkan jelas terlihat, seperti lintasan-lintasan bersinar membentuk
aneka kotak hitam yang adalah sawah-sawah tanpa padi. Ini baru musim tanam, padi belum lagi muncul dari air yang
tergenang. Bayangan bulan dan bintang-bintang tampak di permukaan sawah, bagai lampu-lampu penunjuk jalan.
Berdua mereka berjalan beriringan, lalu masuk ke perkebunan kopi yang memisahkan persawahan dan areal perumahan
kota. Pohon-pohon kopi tidaklah terlalu lebat berdaun, sehingga sinar benda-benda langit malam tetap bisa menerobos
menerangi tanah. Bagai lampu-lampu sorot, membentuk beraneka tuas sinar, seperti pilar-pilar putih yang menjulur ke
bawah dari langit. Indah sekali malam ini.

8e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000


Kini Alma bisa berjalan sambil memeluk lengan kekasihnya, terbebas dari kekhawatiran dilihat orang banyak. Berjalan
di tengah kota, tak mungkin bisa bergandengan mesra begini. Biar bagaimana pun, kota kecil belumlah siap menerima
sepasang kekasih yang saling memperlihatkan perasaan di tengah orang ramai.
Tampaknya tidak ada orang lain melintas di kebun kopi. Mereka pun bisa berciuman sambil berjalan pelan, terutama
jika jalan sedang lurus. Alma tinggal memalingkan dan mengangkat muka, membiarkan Kino mengecup ringan bibirnya.
Nafas mereka yang hangat berpadu-satu, terkadang menimbulkan uap tipis yang segera bergabung dengan embun
malam. Semakin jauh mereka masuk ke dalam kebun kopi, semakin romantis suasananya.
Lalu mereka tiba di sebuah pondok yang agak terpencil, dan bagai sudah bersepakat, mereka berhenti di halamannya. Di
sini keadaan jauh lebih gelap, karena ada pohon-pohon lain yang berdaun lebat. Kino mendorong Alma ke arah beranda
pondok yang tak berpenghuni, yang kalau pagi hari digunakan untuk istirahat para petani. Di beranda itu Kino melumat
bibir kekasihnya lebih bergairah lagi. Alma menerima pagutan kekasihnya dengan tak kalah bergairah. Ia senang sekali
dicium Kino yang bisa menggabungkan gairah dan kemesraan dalam takaran yang tepat. Ciuman pria ini tidak terburu-
buru, tetapi tidak pula terlalu perlahan. Tidak memaksa-maksa, tetapi justru mengundang. Alma terutama senang sekali
merasakan bibir bawahnya dihisap-dikulum perlahan, ditelusuri oleh lidah Kino yang hangat. Sebentar saja, nafas gadis
ini sudah terengah-engah.
Sejak mengenal percumbuan yang menggairahkan ini, Alma berani pergi dengan Kino tanpa beha. Ia cuma mengenakan
kaos, dan untuk menyembunyikan puting-putingnya, ia selalu memakai jaket. Dengan begitu, Alma memberikan
keleluasaan kepada kekasihnya untuk bermain-main dengan payudaranya yang ranum. Kino tak perlu repot membuka
beha, yang kadang-kadang seperti tidak mau dibuka itu!
Malam ini pun Kino segera menelusupkan kedua tangannya ke bawah kaos Alma, meremas-remas kedua bukit
menggairahkan itu, perlahan membangkitkan bara birahi di antara mereka berdua. Dengan kedua ibu jarinya, Kino
mengusap-usap kedua puting Alma yang menegang-mengenyal. Halus-lembut rasanya kedua puncak payudara itu di jari-
jari Kino. Nafas Alma semakin menderu, menyebabkan dadanya turun-naik semakin cepat, dan puting-putingnya bagai
meronta-ronta di bawah telapak tangan Kino.
Di beranda pondok ada sebuah bangku panjang dari kayu. Ke sana lah Alma perlahan-lahan mendorong kekasihnya agar
duduk. Kino pun menurut, membiarkan dirinya terduduk. Alma cepat-cepat mengangkat tubuhnya, duduk di pangkuan
pemuda itu dengan kedua kaki direntangkan. Oh, ini lah posisi yang sejak dulu diimpikan Alma! Ia senang sekali
dipangku seperti ini, dengan rok tersingkap sampai ke pangkal pahanya, dan dengan selangkangan yang terhenyak lekat
di pangkuan Kino. Ia merasa terkuak-terbuka bebas, siap menerima sentuhan-sentuhan kenikmatan dari setiap gerakan
Kino. Ia mengerang perlahan, merasakan serbuan gairah tiba-tiba muncul dengan cepat dari dalam tubuhnya yang
semakin hangat.
Kino melepaskan ciumannya, menelusuri leher Alma yang harum sabun wangi (dia belum mengenal parfum, tentu saja!).
Kedua tangannya tetap meremas-remas payudara gadis itu, yang kini terasa semakin kenyal dan keras saja. Puting-
putingnya semakin tegak dan panas pula, seperti menyimpan arang-bara yang masih menyala. Alma mengangkat kedua
tangannya agak ke atas, memeluk kepala kekasihnya. Jaketnya terpampang-terbuka, dan kaosnya sudah terangkat
setengahnya, menampakkan dua bukit putih-mulus menggairahkan. Dalam suasana remang-remang, tubuh Alma tampak
indah sekali, bagai lukisan seorang maestro.
Bibir Kino kini menelusuri pangkal leher Alma, dan gadis itu mengerang pelan merasakan geli yang menimbulkan
nikmat menjalar-jalar sepanjang perjalanan bibir pemuda itu. Dengan tak sabar, ditunggunya bibir Kino menuju ke
bawah, semakin mendekati dadanya yang dipenuhi debur jantungnya yang bergelora. Oh,.. cepatlah sedikit sayangku!
jeritnya dalam hati, menanti akhir perjalanan bibir yang terasa terlalu pelan itu. Alma merasa jaketnya telalu menganggu,
maka ia melepaskannya, sehingga kini ia tinggal berkaos, itu pun sudah setengah terbuka. Lalu, ia lebih berani lagi,
meloloskan kaosnya dari atas kepalanya, sehingga kini gadis itu bertelanjang dada, di keremangan malam yang
mempesona.
Kino sebenarnya agak kuatir mereka berdua dipergoki dalam keadaan seperti ini. Tetapi jangkerik ramai berbunyi di
sekitar mereka, menandakan bahwa serangga-serangga itu tidak terganggu. Jika mereka tidak terganggu, berarti tidak
ada mahluk lain di sekitar mereka. Itu lah antara lain pelajaran dasar seorang pencinta alam!
Bbir Kino kini telah tiba di celah di antara dua bukit yang membusung mempesona itu. Oh,.. harum sekali dada Alma
yang mulus dan lembut. Kino berkali-kali menghela nafas, memasukkan keharuman tubuh gadis itu ke dalam tubuhnya,
menjadikan keharuman itu sebagai pembangkit gairah yang memang sudah sejak tadi bergelora. Kedua tangannya
semakin gemas-meremas, membuat Alma merintih pelan. Lalu, Kino pun melakukan sesuatu yang sudah ditunggu-
tunggu gadis itu sejak tadi: ia menghisap salah satu puting Alma, perlahan-lahan saja. Alma seperti tersedak, tubuhnya
terangkat sedikit dari pangkuan Kino, menggeliat-geliat seperti di ulat ditusuk duri. Sebuah kenikmatan tak terkira
memenuhi tubuh gadis belia ini, bagai sebuah siraman air surgawi, membuatnya berenang-renang melayang-layang
mengapung-apung.
Satu tangan Kino meninggalkan payudara yang kini dihisap-hisap oleh mulutnya. Tangan itu meluncur cepat ke bawah,
menelusup ke balik rok, mengusap-usap bagian belakang tubuh Alma yang agak terangkat dari pangkuannya. Telapak
tangan Kino terasa nyaman mengusap-usap bagian itu, yang saat ini masih terbungkus celana dalam nilon tipis dan
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 9
halus. Kino senang sekali mengusap-usapnya, terasa penuh dan padat, dan hangat pula. Sesekali ia gemas meremas,
membuat Alma tersentak lagi, menghenyakkan tubuhnya ke pangkuan Kino. Akibatnya, bagian depan kewanitaannya
membentur keras bagian depan kejantanan Kino yang tentu saja masih tersembunyi di balik celananya. Itu pun sudah lah
mampu membuat keduanya merasakan serbuan kenikmatan.
Alma kini bahkan tanpa sadar menggesek-gesekkan selangkangannya ke pangkuan Kino yang menonjol keras
menyembunyikan kejantanannya yang telah tegak-tegang. Oh,.. nikmat sekali rasanya gesekan-gesekan itu, walaupun
masih diperantarai kain nilon dan jeans. Alma merintih-rintih pelan merasakan kewanitaannya terkuak dan terhenyak di
sebuah tonjolan keras yang panas membara itu. Tonjolan itu tepat terhimpit di antara dua bibir menebal di bawah sana,
menimbulkan rasa geli-gatal yang nikmat. Kino pun mendorong tubuh bagian bawahnya lebih ke depan, mempererat
penyatuan mereka, sementara tangannya menekan bokong Alma ke bawah.
"Aaah,... Kino, geli sekali rasanya....," Alma mendesah, seakan-akan ingin minta penegasan, apakah yang dirasakannya
itu sudah betul, sudah nyata? Gadis ini sungguh tak punya pengetahuan, dan tak bisa menamakan, apa yang sedang
dialaminya bersama pemuda ini? Gerangan misteri kehidupan apa yang kini sedang dijalaninya?
Kino berhenti mengulum puting kekasihnya, lalu berbisik dengan nafas memburu, "Pindah ke dalam, yuk?"
Alma tak bisa lain selain mengangguk cepat. Ia pasrah saja ketika Kino dengan perkasa mengangkat tubuhnya, seperti
seorang kakak menggendong adiknya. Alma memeluk leher kekasihnya erat-erat, melingkarkan kedua kakinya di
pinggangnya, memejamkan mata merasakan tubuhnya seperti dibawa terbang. Mungkin begitulah rasanya dibawa
terbang burung garuda raksasa!
Sambil tak lupa meraih jaket Alma yang tertinggal di bangku, Kino membopong tubuh kekasihnya masuk ke dalam
pondok. Di dalam ada dipan kayu, agak ke belakang dari ruangan yang gelap pekat. Dengan cekatan Kino meletakkan
jaket Alma di dipan, lalu perlahan-lahan menurunkan tubuh gadis itu di atasnya. Alma kini terlentang dengan kaki tetap
melingkari pinggang kekasihnya. Kino menindih tubuhnya, kembali menciumi leher dan lalu segera mengulum puting
payudaranya. Alma mengerang-menggeliat, kini menyerahkan tubuhnya diperlakukan apa-saja. Ia merasakan celana
dalamnya perlahan ditarik, merasakan salah satu kakinya diangkat sehingga celana dalam itu kini lolos terbuka,
merasakan kewanitaannya terpampang-telanjang, dibelai angin malam yang menerobos masuk dinding pondok.
Darahnya mendesir cepat, menunggu dengan tegang, apa yang akan dilakukan Kino?
Sambil tetap mengulum puting Alma dan menindih tubuhnya, Kino mengusap-usap kewanitaan Alma yang telah terbuka
bebas. Ah,.. hangat dan sedikit basah bagian itu. Jari tengah Kino dengan leluasa bisa meluncur licin di antara kedua
bibirnya. Alma menggelinjang merasakan jari itu menelusup menimbulkan rasa nikmat di seluruh selangkangannya.
Tanpa sadar, ia membuka kedua pahanya semakin lebar, dengan kedua kaki kini bertelektekan di atas dipan. Lalu tangan
Kino sejenak meninggalkan kewanitaannya, Alma agak kecewa: kenapa berhenti?
Sebelum bisa memprotes, Alma tiba-tiba tersentak, merasakan sebentuk otot-kenyal menyentuh permukaan
kewanitaannya. Bukan,... itu bukan jari tengah Kino,.. terlalu besar untuk sebuah jari. Terlalu kenyal dan padat dan
panas pula. Oh,... Alma tiba-tiba sadar bahwa yang dirasakannya di bawah sana adalah kejantanan Kino. Ia belum
pernah melihat kejantanan seorang pria, tetapi ia bisa membayangkannya setelah merasakan benda itu menyentuh
kewanitaannya. Ia mengerang merasakan betapa sentuhan kejantanan itu jauh lebih nikmat dibandingkan sentuhan jari.
Lebih penuh-padat-kenyal, terjepit di antara bibir-bibir kewanitaannya, membentur-bentur bagian atasnya. Alma
menggeliat kegelian ketika ujung kejantanan yang basah-hangat itu membentur sesuatu yang terletak di celah atas
kewanitaannya. Oh,... bagian itu terasa sangat geli, dibentur-bentur benda halus-kenyal-tumpul. Oh,... rasanya seperti
gatal yang minta digaruk-garuk. Terus..., terus..., terus...., Alma menjerit dalam hati, merasakan tubuhnya seperti
dipenuhi geli-gatal yang bersumber-utama di selangkangannya.
Kino mengerang pula, merasakan kenikmatan dari kejantanannya yang menelusur celah basah-panas di bawah sana.
Setiap kali ujung kejantanannya membentur tonjolan kecil di antara lepitan bibir kewanitaan Alma, serbuan kenikmatan
memenuhi tubuhnya. Gerakan menggesek-menekan menyebabkan kejantanannya seperti diurut-urut, enak dan nikmat
sekali. Apalagi kemudian Alma mengangkat kakinya, kembali memeluk pinggang Kino, menyebabkan kewanitaaanya
semakin terkuak. Kejantanan Kino kini sempurna terjepit melintang di atas kewanitaan yang semakin lama semakin
dipenuhi cairan licin. Kino pun menggerak-gerakkan pinggulnya, maju-mundur sambil tetap menekan. Alma mengerang-
merintih dengan kedua tangan semakin erat memeluk leher kekasihnya, nyaris membuat Kino tak bisa bernafas.
Dari bagian bawah perutnya, Alma merasakan seperti ada gumpalan yang semakin lama semakin membesar, hendak
meledak. Gumpalan itu seperti dipenuhi kenikmatan, siap menyebarkan isinya ke seluruh tubuhnya. Alma semakin
mengangkangkan kakinya, meletakkan keduanya semakin tinggi di punggung Kino. Bagian belakang tubuhnya bahkan
kini sudah terangkat dari dipan. Oh,.... tiba-tiba ia merasakan gemuruh birahi memenuhi tubuhnya, bergulung-gulung
seperti ombak besar menuju pantai. Dengan punggung tangannya, Alma menutup mulut, mencegah teriakan yang kini
memenuhi kerongkongannya. Kino semakin cepat memaju-mundurkan pinggulnya, menyebabkan kejantanannya
semakin cepat menggeleser-geleser membentur-bentur. Alma menjerit tertahan ..... tubuhnya terasa meledak berkeping-
keping, kepalanya dipenuhi sensasi kenikmatan, pandangannya hilang melayang walau matanya masih terbuka.
Kino mendorong keras untuk terakhir kalinya. Kejantanannya tergelincir lepas dari jepitan bibir kewanitaan Alma, terus
ke atas, ke bagian yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Di sana, di atas rambut-rambut itu, kejantanan Kino seperti
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000
10
bergelegak sebelum akhirnya meregang dan menumpahkan cairan-cairan kental putih. Alma tersentak, merasakan perut
bagian bawahnya dipenuhi rasa panas dan lengket. Oh,... apa yang terjadi?
Kino pun terkaget ketika merasakan cairan-cairan panas keluar dari tubuhnya tanpa bisa dicegah. Alma mengangkat
tubuhnya, bertelektekan di kedua sikunya. Nafasnya masih memburu.
"Kino! ... apa yang terjadi?" sergahnya dengan suara mengandung nada kuatir.
"Aku ... aku...," Kino tergagap, cepat-cepat menegakkan tubuhnya sambil menjauhkan kejantanannya dari tubuh Alma.
Tangan Alma mengusap bagian yang dipenuhi cairan lengket itu. Oh,... tiba-tiba ia teringat pelajaran informal dari
Ibunda. Bukankah ini air mani seorang pria? Bukankah ini yang dapat membuat seorang wanita hamil? Astaga!
"Kino! ... tadi kamu tidak memasukkannya, bukan?" bisik Alma yang kini sudah sepenuhnya terduduk di dipan.
Kekhawatiran telah memusnahkan rasa nikmat yang barusan diterimanya.
"Memasukkan?..... Memasukkan apa?" Kino masih tergagap, sambil memakai kembali celana dalam yang tadi
tersangkut melingkar di pahanya.
"Oooh, Kino!... kita tadi melakukan hubungan suami-istri!" nada suara Alma kini seperti hendak menangis.
Kino tersadar, berpikir cepat. Tidak. Tadi ia tidak memasukkan kejantanannya ke dalam kewanitaan Alma. "Tetapi, aku
tidak memasukkannya, Alma. Hanya menggesek-gesekkannya di bagian luar!" ucapnya, berusaha tenang, walau tak
sepenuhnya berhasil. Sebuah perasaan bersalah memenuhi dadanya.
Alma mengambil saputangan dari kantong jaketnya, menghapus sisa-sisa cairan cinta di bawah perutnya. Cepat-cepat ia
merapikan pakaiannya. Kino duduk di sampingnya, nafasnya masih agak memburu. Alma tak tega melihat kekasihnya
tertegun dengan perasaan bersalah. Setelah selesai merapikan diri, ia memeluk Kino erat-erat, menyembunyikan
wajahnya di pundak kekasihnya, sambil berbisik, "Ooh.., aku yang bersalah, kenapa membiarkan kamu melakukannya!"
Kino mengusap rambut Alma penuh kelembutan, "Kita berdua yang bersalah.." bisiknya.
"Ya..., tempat ini berbahaya," ucap Alma, nada khawatir telah hilang, berganti nada waspada.
"Sebaiknya kita segera pergi," balas Kino sambil bangkit dan menarik kekasihnya keluar.
Dingin malam menyambut keduanya di luar. Orkes malam dari para jangkerik masih menguasai suasana. Dengan
langkah cepat, sepasang kekasih itu meninggalkan pondok, kembali menembus kebun kopi, menuju areal perumahan.
Mereka bahkan lalu berlari sambil tertawa kecil, lega karena merasa telah terhindar dari peristiwa yang masih penuh
misteri bagi mereka berdua. Alma sendiri kini merasa mendapatkan pengalaman sangat berharga tentang cinta dan
birahi. Entah bagaimana ia bisa menggambarkannya, karena semuanya masih samar-samar. Semuanya masih penuh
misteri, menegangkan sekaligus mengasyikkan.
Bagi Kino, ini pengalaman baru pula. Tetapi ia masih kuatir, terutama karena kini ia berhubungan dengan wanita yang
sama-sama belia. Kembali pikirannya menerawang ke Mba Rien. Dengan wanita itu, Kino merasa segalanya terkendali.
Segalanya serba pasti. Sementara dengan Alma, setiap percumbuan adalah petualangan baru, sebuah perjalanan
menembus wilayah asing yang penuh misteri tak terungkapkan.
Mereka tiba di rumah Alma tepat pukul 12.00. Kedua orang tua Alma rupanya masih menonton wayang. Kino mengecup
pipi kekasihnya, menyuruh gadis itu cepat-cepat masuk rumah lewat pintu samping. Lalu ia sendiri juga cepat-cepat
kembali pulang. Ia ingin segera berbasuh dan berganti pakaian dalam!
*******
Pada suatu hari, Ayah memanggil Kino dan mengajaknya berbincang serius.
"Bagaimana persiapan mu masuk perguruan tinggi?" ucap Ayah membuka percakapan. Kino menguraikan secara
singkat rencananya masuk jurusan arsitektur. Ia menjelaskan kepada Ayah bahwa perhatiannya kini difokuskan pada
matematika dan pengetahuan alam.
"Bagaimana dengan bahasa Inggris?"
Kino tersenyum kecut dan menunduk. Ia memang lemah di mata ajaran yang satu ini.
"Ayah dengar, mata ajaran itu diperhatikan pula dalam seleksi. Kalau kamu cuma pintar di matematika dan ilmu alam,
tetapi gagal di bahasa, ya.... kesempatan kamu berkurang."
Kino diam saja. Sebetulnya, ia ingin mengatakan bahwa kelemahannya disebabkan oleh guru yang kurang pandai
mengajar. Juga oleh kurangnya fasilitas di kota kecil ini. Di mana bisa membeli buku untuk latihan bahasa Inggris di
sini? pikirnya.
"Bagaimana kalau kamu kursus di luar kota?" usul Ayah.
"Di mana?" Kino balik bertanya, "Lagipula bagaimana dengan biayanya?

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 11


Ayah tersenyum. "Jangan kuatir soal biaya. Ayah dan Ibu ada sedikit tabungan yang memang kami siapkan untuk
membantu kamu mempersiapkan diri."
"Tetapi di mana Kino bisa kursus? Apakah harus pulang-pergi?"
"Ayah punya teman di kota M, kamu bisa tinggal di sana sambil mempersiapkan diri."
Kino memandang lantai rumah. Kota M adalah kota yang cukup besar dan sering diperbincangkan oleh anak-anak
sekolah. Pada umumnya, kota itu memang menjadi tujuan bagi mereka yang ingin melangkah lebih jauh. Katakanlah,
kota itu semacam tempat mengasah kemampuan, sebelum bersaing di kota-kota besar. Di situ ada berbagai fasilitas
pendidikan yang jauh lebih baik daripada di kota kelahiran Kino, termasuk kursus-kursus yang diselenggarakan sarjana-
sarjana baru.
"Minggu depan, teman Ayah itu akan kemari. Nanti, kamu bisa ikut dia kembali ke M dan tinggal di sana 2 atau 3 bulan.
Lalu, baru ikut ujian saringan perguruan tinggi. Setuju?" ucap Ayah.
Kino mengangkat muka, tersenyum lebar. Tentu saja ia setuju. Ia ingin sekali masuk ke perguruan tinggi, dan segala
dukungan orangtua kepadanya sungguh membesarkan hati. Dengan cepat dan kuat, Kino menganggukkan kepala. Ayah
tertawa sambil mengusap-usap kepala Kino.
******
"Kapan kamu berangkat?" tanya Alma mendengar kabar dari Kino. Pemuda itu sengaja datang ke rumah pacarnya untuk
memberi kabar tentang rencananya. Alma ikut senang, tetapi ia juga tiba-tiba menyadari bahwa akan ada perpisahan.
"Minggu depan. Ah,.. aku tak sabar menunggu hari itu!" jawab Kino riang, tak memperhatikan wajah Alma yang agak
tersaput kekhawatiran.
"Lama sekali di sana...," potong Alma. Tiga bulan bukan waktu yang sedikit. Sekarang, setelah menjadi pacar Kino,
gadis ini merasa satu hari tak bertemu saja sudah menggelisahkan. Bagaimana harus menghadapi 90 hari tanpa Kino?
Dengan siapa aku belajar?
"Aku memerlukan persiapan sungguh-sungguh Alma. Aku ingin sekali masuk perguruan tinggi, menjadi arsitek," celoteh
Kino bersemangat. Ia sungguh tak melihat reaksi Alma. Ia lalu menceritakan impiannya, ingin merancang bangunan-
bangunan yang indah sekaligus kokoh. Bangunan modern tetapi bernafaskan tradisi. Gedung tinggi, tetapi tidak kaku.
Banyak sekali yang diinginkannya!
Alma terdiam mendengar celoteh pacarnya. Kini semakin jelas baginya, perpisahan dengan Kino tak akan bisa dihindari.
Pemuda itu penuh ambisi. Kalau ia belajar dengan tekun di M, Alma pun yakin pemuda itu akan berhasil masuk jurusan
yang diimpikannya. Ia tahu, Kino bukan anak yang menganggap enteng masa depan. Pastilah pemuda ini akan
mencurahkan seluruh perhatiannya. Lalu, apakah ia akan melupakanku?

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000


12
Saatnya Untuk Berpisah
Kota M terletak sekitar 100-an kilometer dari kota kelahiran Kino. Ke sanalah kini pemuda itu menuju, naik kendaraan
umum bersama teman ayahnya, Paman Tingga namanya, yang bersedia menampung Kino selama ia mempersiapkan diri
untuk seleksi perguruan tinggi. Pagi masih basah dan agak berembun ketika keduanya berangkat ke terminal berjalan
kaki.
Sambil melangkah, Kino mengenang perpisahannya tadi malam dengan Alma. Ada kesenduan di raut muka gadis manis
itu, walaupun Kino berusaha menghiburnya dengan bercanda. Lagipula, apa yang dirisaukannya? Toh, mereka hanya
akan berpisah dua bulan. Bagi Kino, tak apa lah berpisah dari Alma, karena ia merasa memerlukan konsentrasi penuh
untuk persiapan masa depannya. Tetapi bagi Alma rupanya agak lain. Gadis itu merasa inilah awal dari sebuah
perpisahan panjang yang tak terelakkan.
Malam itu mereka meminta ijin untuk menonton. Kedua orangtua Alma mengijinkan, dengan perjanjian agar mereka
pulang sebelum pukul 11. Tetapi, mereka membatalkan acara menonton, karena ternyata film yang tadinya mereka akan
tonton telah diganti dengan sebuah film silat. Akhirnya mereka duduk saja di pinggir alun-alun dekat pantai. Ada sebuah
tembok pendek pembatas alun-alun dengan jalan. Di sana lah keduanya duduk berayun-ayun kaki, menghadap ke selatan
ke arah laut yang menghitam nun di sana. Awan hujan tak tampak di langit, tetapi angin terasa mulai dingin. Kino
memeluk pundak kekasihnya.
"Apa rencana kamu setelah kursus?" tanya Alma sambi memainkan kancing bawah jaketnya.
"Mmmm ..., belum tahu. Mungkin langsung ikut test seleksi," jawab Kino. Ia memang membicarakan kemungkinan ini
dengan ayahnya beberapa waktu yang lalu. Ayah dan ibu juga setuju jika Kino ingin ikut test langsung di lokasi
perguruan tinggi yang ditujunya, di kota B. Tetapi, menurut kedua orangtuanya, keputusan ada di tangan Kino setelah
ikut kursus.
"Berarti kamu langsung ke B...," ucap Alma sambil mengibaskan rambut yang menutupi mukanya.
"Ya,.. senang sekali kalau bisa ikut test di sana. Aku ingin sekali melihat kampusnya. Kata orang, kampus itu besar
sekali, berkali-kali lebih besar dari alun-alun ini!" jawab Kino bersemangat. Ia merasa, ikut ujian seleksi di kampus itu
akan menambah motivasi dan kemungkinan lulus.
"Tetapi, itu berarti kita tak akan bertemu lagi," bisik Alma.
Kino menoleh. Memandang kekasihnya yang kini menunduk. Rambutnya yang legam tergerai menutup wajahnya.
Dengan lembut, Kino mencoba menyibak rambut itu. Alma mengelak. Kino mencoba lagi, Alma tetap mengelak, bahkan
melepaskan diri dari pelukan kekasihnya.
"Apa maksudmu?" tanya Kino.
Alma menggeser duduknya menjauh, lalu menghadapkan tubuhnya ke Kino. Wajahnya serius, "Maksudku,... kita akan
berpisah semakin lama. Lalu, kalau diterima di perguruan tinggi,... kamu dan aku akan sama-sama sibuk kuliah.
Kemungkinan, kita tak akan bertemu lagi dalam waktu satu atau dua tahun. Atau mungkin lebih."
"Ya,... agaknya begitu," ucap Kino pelan. Ia memang juga punya dugaan yang sama, tetapi apa yang bisa dilakukannya?
Bukankah sekolah tinggi-tinggi adalah keinginan mereka berdua? Kalau mereka terpaksa berpisah karena keinginan itu,
apa yang bisa mereka lakukan?
"Lalu kita akan saling melupakan...," bisik Alma, matanya berkaca-kaca.
"Kenapa saling melupakan?" sergah Kino.
"Karena kita akan sama-sama sibuk kuliah..."
"Tetapi kita bisa saling menyurati. Kita bisa ... "
"Tetap saja....," Alma memotong dengan cepat, "Kita tetap akan saling menjauh tanpa kita sengaja."
"Kita masih bisa bertemu lagi, Alma. Aku pasti itu!" ucap Kino mencoba tegas, walau ia sendiri tak tahu apakah
suaranya betul-betul kedengaran tegas. Ia sendiri ragu, apakah memang ada kepastian di masa depan? Bukankah masa
depan selalu samar-samar?
Alma menghela nafas panjang, lalu menghempaskannya dalam desah yang keras. "Yah .. pasti kita bertemu lagi, tetapi
mungkin sebagai dua orang yang berbeda..." ucapnya pelan.
Kino terdiam. Tiba-tiba ia sadar, betapa ia tak kuasa mengatur aliran kehidupan. Betapa kecilnya ia menghadapi dunia
yang begitu luas, yang berada di luar batas kendalinya. Ia ingin sekolah dan menjadi arsitek ulung, tetapi untuk itu ia
harus meninggalkan banyak sekali kenangan manis. Tidak hanya Alma, tetapi juga Susi adik satu-satunya, ayah dan
ibunya, teman-temannya, sungai tempatnya berenang, pantai yang menyimpan jutaan memori, hutan kenari, kota kecil
yang damai ..... banyak sekali!

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 13


"Melamun apa?" teguran Paman Tingga di sampingnya membuat Kino tersentak. Tak terasa, mereka sudah sampai di
terminal. Kino tersipu sambil berbohong, mengatakan bahwa ia sedang membayangkan kota M.
Paman Tingga tersenyum, lalu menepuk pundaknya. "Jangan bohong. Kamu pasti sedang melamunkan pacarmu,"
ucapnya sambil tertawa pelan.
"Yah,.. yang itu juga kulamunkan, sambil membayangkan kota M," jawab Kino tak mau kalah. Paman Tingga tertawa
lebih keras.
Mereka naik ke kendaraan umum yang sudah menunggu. Kino duduk dekat jendela, sementara teman ayahnya turun lagi
untuk membeli makanan kecil dan minuman. Kino tinggal di atas mobil, melanjutkan lamunannya.
*****
Setelah bosan duduk di alun-alun, Alma dan Kino berjalan-jalan menyusur pantai. Pada malam hari, terutama di saat
libur sekolah seperti ini, dan jika hujan tidak turun, pantai selalu ramai oleh warung-warung dan orang yang berjalan-
jalan. Anak-anak tampak berlarian main kejar-kejaran. Sekelompok orang tampak duduk mengelilingi sepasang lelaki
bermain catur diterangi lampu petromaks. Di tempat lain, sekelompok remaja bernyanyi-nyanyi diiringi gitar.
Berpasang-pasang kekasih tampak juga berjalan-jalan seperti halnya Kino dan Alma. Sekali-kali mereka berpapasan
dengan orang yang dikenal, saling bertegur sapa, atau sejenak berhenti untuk bercakap berbasa-basi.
Alma dan Kino lebih banyak diam sambil berjalan. Masing-masing tenggelam dalam lamunan, terutama tentang telah
tibanya saat perpisahan. Masing-masing mencoba mencari apa saja kah makna perpisahan itu? Tetapi mereka berdua
hanya menemukan satu: perpisahan itu menyakitkan. Memedihkan. Membuatmu tak berdaya.
Alma menggamit tekan kekasihnya, meremas pelan, lalu bertanya memecah keheningan, "Apakah kamu mencintai ku?"
"Ya," jawab Kino pendek. Sial! Mengapa pendek sekali jawaban itu? umpat Kino dalam hati. Tetapi, lalu seberapa
panjang kah seharusnya? Satu kalimat? Dua kalimat? Satu halaman surat? Seberapa kah?
"Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya?" tanya Alma lagi.
"Kenapa?" malah Kino balik bertanya.
"Aku yang bertanya duluan. Kamu, koq, malah bertanya kembali," sergah Alma.
"Ya. Aku juga bertanya sendiri, kenapa aku tak pernah mengatakannya,"
"Lalu, apa jawabnya?" desak Alma.
"Aku tak tahu. Tetapi kenapa itu jadi persoalan, Alma? Aku memang tak pernah mengucapkannya. Aku tak bisa. Tak
pandai," jawab Kino agak kesal.
Alma menghentikan langkah. Kino terpaksa juga ikut berhenti. Mereka telah berada agak jauh dari keramaian. Suara
ombak berdebur keras. Semakin terdengar keras di tengah keheningan.
Alma memegang kedua tangan Kino, menghadapnya dengan muka tengadah, memandang dengan mata beningnya.
Sebagian rambut menutupi mukanya, melintang di hidungnya yang bangir, di bibirnya yang ranum, di pipi berlesung-
pipitnya. Ah, Kino melihat kecantikan semata di tengah samar-samar malam. Melihat sinar kerinduan di mata itu, bagai
bintang-bintang berpijar lembut. Melihat seraut wajah tempat ia melabuhkan impian-impiannya. Mengapa semuanya
tampak begitu mengesankan saat engkau harus berpisah?
Alma terpejam merasakan nafas kekasihnya dekat sekali menerpa wajahnya. Bibir Kino perlahan menyentuh bibirnya.
Kedua tangan mereka saling meremas. Angin keras mengibarkan jaket-jaket mereka. Ciuman kali ini terasa sangat
lembut, selembut awan putih di langit biru. Sangat hangat, sehangat mentari di pagi yang cerah. Mesra dan manja
mengalunkan kerinduan. Alma membuka mulutnya, mengundang kekasihnya datang merasuki seluruh jiwa-raganya.
Datang lah kekasih, reguk habis rinduku, bawa daku terbang setinggi mungkin.
Keduanya berdiri rapat. Kino mengulum mesra bibir kekasihnya, menghirup harum-sedap nafasnya, menggigit manja
lidahnya yang nakal. Alma membuka sedikit matanya, memandang wajah Kino yang dekat sekali di depannya. Sebentar
lagi ia akan pergi jauh, gumam Alma dalam hati. Sebentar lagi wajah itu hanya akan ada di dompet ku, menjadi sebuah
potret kekasih yang mungkin juga akan segera lusuh karena terlalu sering disentuh. Sambil membalas ciuman
kekasihnya, diam-diam Alma merekam wajah itu sedetil mungkin. Mematrinya di benak. Ah, Kino ..... dahinya yang
selalu serius. Matanya yang tajam-tegas. Tulang pipinya yang mengguratkan ketakmenyerahan. Hidungnya yang
menggemaskan (aku senang sekali mencubit hidung itu!). Bibirnya yang selalu bergairah. Selalu!
Kino melepaskan ciumannya, membuka mata dan menemukan sepasang mata kekasihnya memandang mesra. Ia
berbisik, "Alma, aku ingin bercumbu malam ini. Mari kita pergi dari sini..."
Alma tertawa pelan, "Kemana kamu hendak membawa ku?" tanyanya sambil memeluk leher Kino.
Kino melihat sekeliling. Pantai tampak sepi, tetapi juga terlalu menakutkan di tengah malam seperti ini. Tidak di sini.
Kino memutuskan untuk mengajak Alma ke sebuah tempat yang selama ini menjadi "persembunyian" mereka: sebuah
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000
14
pondok di tengah kebun kopi. Tetapi lokasinya ada di sisi lain dari kota, sehingga untuk ke sana mereka perlu berjalan
cepat.
"Ke sana?" Alma bertanya ketika melihat Kino diam saja. Ah, gadis ini memang bisa membaca pikiran ku, ucap Kino
dalam hati.
"Ayo, kita ke sana...," kata Kino bergairah, menggulung kaki celananya dan menarik tangan Alma untuk meninggalkan
pantai. Alma tertawa kecil, mengikuti tarikan tangan ke kasihnya. Sebentar kemudian mereka telah berlari-lari
menyebrang jalan, menelusuri alun-alun menuju tengah kota. Lalu, di depan kantor camat mereka berbelok, melintasi
persawahan, berjalan beriringan sambil sekali-sekali bercanda. Malam semakin larut....
"Waahhh... melamun lagi!" Paman Tingga telah naik kembali ke mobil. Kino terperanjat dan tersipu lagi. Sialan!
Lamunannya terpotong di tengah jalan.
"Nih,... makan kacang goreng supaya tidak terlalu banyak melamun," ujar Paman Tingga sambil menyodorkan
sebungkus kacang. Kino mengucapkan terimakasih dan mulai memasukkan beberapa butir ke mulutnya.
Paman Tingga lalu mengajak mengobrol, bertanya-tanya tentang sekolah Kino. Terpaksa lah Kino menimpalinya,
menjawab semua pertanyaannya dengan lengkap. Paman Tingga lalu juga bercerita tentang dirinya dan anak-anaknya
yang masih kecil. Tentang kota M yang katanya tumbuh pesat karena menjadi pusat perdagangan bagi kota-kota kecil
sekitarnya. Paman Tingga ini seorang pedagang yang konon sedang naik daun. Ia sering mundar-mandir ke ibukota
mengurus bisnisnya. Kino senang juga mendengar ulasannya tentang lika-liku bisnis, walaupun dunia itu sangat asing
baginya.
Tetapi ketika mobil mulai bergerak, Paman Tingga berhenti bercerita. Bahkan tak lama kemudian ia terlihat terkantuk-
kantuk. Baru 10 menit mobil melaju, Paman Tingga telah menyandarkan kepalanya di jok dan tertidur nyenyak. Kino
masih mengunyah kacang, memandang ke luar jendela, melihat betapa kotanya dengan cepat tertinggal di belakang.
Tanpa sadar, ia melamunkan lagi peristiwa semalam .....
******
Pondok itu tetap sepi dan tetap bagai magnit, menarik kedua remaja itu untuk datang berkunjung, walau setiap kali pula
mereka ingin menghindar. Mungkin juga bagai lampu yang menarik laron-laron terbang mendekat. Kalau terlalu dekat,
pastilah mereka akan hangus terbakar, bukan? Tetapi bagaimana jika laron-laron itu sudah terbakar api asmara sebelum
menghampiri sang lampu?
Alma dan Kino mengendap-endap mendekat, sambil melihat sekeliling, kalau-kalau ada orang melintas. Tampaknya
tidak ada seorang pun di sekitar. Kino menggenggam erat tangan kekasihnya, perlahan-lahan mendekati pondok.
Serangga malam menghentikan musik mereka setiap kali sepasang remaja ini melangkah. Tetapi setelah mereka berlalu,
serangga itu kembali ramai memperdengarkan musik mereka.
Kino langsung mengajak Alma masuk. Pondok itu tentu saja gelap gulita. Setelah beberapa saat, barulah mata mereka
bisa menyesuaikan diri, bisa melihat ruang kosong dengan dipan kayu itu. Kino segera duduk, dan Alma segera naik ke
pangkuannya. Mereka langsung berciuman, tanpa bertukar kata lagi. Nafas Alma sudah memburu sejak tadi, bukan
hanya karena harus berjalan cepat dan setengah berlari, tetapi juga karena ia memang selalu bergairah jika berduaan
dengan Kino.
Ciuman mereka tak lagi lembut-mesra seperti ketika di pantai tadi, melainkan bergelora, saling pagut dan saling
mengulum. Nafas mereka berdua berdesahan, saling menyerobot seperti hendak saling mengalahkan. Kedua pasang
bibir mereka saling menekan memilin, bergantian menghisap-hisap. Kedua lidah mereka bergelut bergelung seperti dua
naga kecil yang bermain-main di taman basah dan hangat yang adalah mulut mereka. Berkali-kali Alma seperti tersedak,
tak tahan diperlakukan begitu bergairah oleh kekasihnya. Tetapi berkali-kali pula ia kembali mengulum bibir pemuda
itu, membiarkan lidahnya bermain semakin jauh ke dalam mulutnya, menyentuh langit-langitnya, menimbulkan rasa geli
dan hangat.
Seperti biasanya, Alma hanya memakai kaos tebal dan jaket, tanpa beha. Dengan leluasa, tangan Kino segera menelusup
menelusuri bukit-bukit indah di balik kaos itu. Bukit-bukit yang naik turun, membusung penuh, kenyal-padat, hangat.
Tangan Kino langsung gemas meremas, memijat, menekan. Jari-jarinya bermain ringan di atas kedua puting yang telah
menegang tegak. Alma pun mengerang merintih merasakan kedua budah dadanya bagai dipenuhi uap panas, bergulung-
gulung seakan badai yang sedang melanda bumi. Sambil memeluk leher Kino, gadis itu membusungkan dadanya,
memajukan seluruh tubuhnya, menghenyakkan kedua payudaranya di tangan kekasihnya. Ia ingin diremas lebih keras
lagi, lebih bergairah lagi.
Mulut Kino meninggalkan mulut Alma, kini menciumi lehernya yang jenjang. Menciumi kulit mulus-lembut nan harum
di bawah telinganya. Menggigit cuping telinga itu, membuat Alma terkejut, tetapi juga sangat senang. Apalagi kemudian
Kino menggigit pula lehernya, pelan-pelan saja. Oh, geli sekaligus nikmat rasanya diperlakukan seperti itu. Seperti
disengat-sengat bara kenikmatan yang membangkitkan api birahi semakin besar.

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 15


Alma memajukan duduknya, mengangkat sedikit tubuhnya, sehingga mulut Kino kini semakin turun. Cepat-cepat Alma
mengangkat kedua tangannya, membiarkan Kino menaikkan kaosnya. Segera dua payudara gadis yang kenyal-padat itu
terpampang, indah sekali dalam keremangan malam, putih bersih bagai bersinar. Hmmm,... Kino menenggelamkan
wajahnya di lembah harum di antara dua bukit indah itu. Hmmm ..., tubuh Alma selalu penuh keharuman sabun wangi,
dan juga bedak yang biasa dipakai bayi. Hmmm ...., sungguh menggairahkan rasanya menciumi dada ranum yang agak
basah oleh keringat itu. Dengan gemas, digigitnya sedikit daging di pangkal salah satu payudara itu. Alma mengerang.
Alma merintih.
"Uuuh ....," Alma merintih ketika mulut Kino naik dan mengulum puting sebelah kiri. Tubuh gadis itu menggelinjang ke
kiri.
"Aaaah ....," Alma mengerang ketika Kino meremas payudara sebelah kanan. Tubuh gadis itu bergeser ke kanan.
Begitulah terus. Ke kiri. Ke kanan. Ke kiri ke kanan. Gerakan-gerakan Alma menimbulkan gesekan nikmat di bawah
sana, di tempat selangkangannya yang terhenyak rapat di pangkuan Kino. Ada cairan bening tipis mengalir pelan dari
dalam tubuhnya, membasahi celana dalamnya. Ada rasa hangat turun bersama aliran itu. Ada rasa geli-nikmat yang
merayap perlahan ke seluruh penjuru tubuh.
Dengan satu tangannya yang masih bebas, Kino menyingkap rok Alma lebih ke atas, sehingga antara dia dan gadis itu
kini hanya ada seutas kain nilon tipis yang telah basah di sana-sini. Setelah itu, tangan Kino masuk menelusup dari
belakang. Alma mengerang merasakan tangan itu membawa kehangatan ke bagian belakang tubuhnya yang penuh-padat
itu. Alma merintih ketika Kino meremas-remas bagian itu, seakan-akan sedang memeras buah hendak mengambil airnya.
Gadis itu semakin memajukan duduknya, semakin rapat menempelkan bagian bawah tubuhnya ke pangkuan Kino.
Malam terasa semakin panas. Keringat muncul di beberapa bagian tubuh keduanya; di ketiak, di punggung, di tengkuk.
Lalu celana dalam Alma terlepas sudah, entah oleh tangan Kino atau oleh tangannya sendiri. Tidak jelas lagi, siapa
melakukan apa dalam pergumulan bergairah yang tak terkendal ini. Kedua tangan Kino kini ada di bawah. Yang satu
meremas-remas di belakang, yang lain menelusup ke depan. Alma mengangkat tubuhnya, tidak lagi duduk di pangkuan
Kino, memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada kedua tangan pemuda itu. Kino pun segera memanfaatkan
keleluasaan itu. Jari-jarinya mengusap-menelusupi kewanitaan Alma yang terasa panas membara. Gadis itu
menggelinjang hebat ketika merasakan ujung jari Kino menyentuh-nyentuh bagian-bagian yang sangat sensitif di bawah
sana. Rasanya, bagian-bagian itu telah berubah seluruhnya menjadi ujung saraf belaka, tidak dilapisi apa-apa. Sehingga
setiap sentuhan, seberapa pun ringannya, sanggup mengirimkan sentakan-sentakan kenikmatan ke seluruh tubuh.
Lalu celana panjang Kino juga telah terbuka. Sekali lagi, entah siapa yang melakukannya. Mungkin Kino, mungkin
Alma, mungkin keduanya. Kejantanan Kino tahu-tahu juga sudah di luar, tegak berdenyut. Alma meraihnya dengan
gemas, tersentak merasakan betapa panasnya otot-kenyal yang menggairahkan itu. Kino mengerang ketika merasakan
tangan halus lembut meremasnya di bagian yang sangat sensitif, di ujung yang telah sedikit basah pula. Lalu tangan
Alma menuntun kejantanan Kino ke depan kewanitaannya. Oh, Alma menggosok-gosok kewanitaannya dengan otot-
kenyal padat panas itu. Oh, rasanya nikmat sekali bagi keduanya. Menggelitik-gelitik, menimbulkan geli nikmat di
mana-mana.
Dengan kedua tangannya yang kokoh, Kino kini menopang tubuh Alma. Kedua telapak tangannya menjadi tumpuan dari
pantat gadis itu, sementara dengan tangannya Alma terus menggosok-gosokkan kejantanan Kino. Pelan-pelan,
kewanitaannya terasa semakin menguak, semakin membuka. Apalagi cengkraman tangan Kino juga ikut merentangkan
bagian bawah itu, membuatnya semakin terbuka. Kejantanan yang kenyal-tegang itu kini menelusuri permukaan
kewanitaan Alma, menimbulkan rasa geli yang sangat nikmat. Membuat liangnya semakin basah dan licin. Berdenyut-
denyut pula.
Sesekali, ujung kejantanan Kino menelusup sedikit ke dalam. Oh,... Alma terpejam merasakan tusukan-tusukan kecil
menyeruak ke dalam tubuhnya. Ahhh ..., Kino juga terpejam merasakan ujung-ujung sarafnya seperti dibelai-belai
mesra. Betapa hangat, basah dan licin permukaan liang kewanitaan itu. Betapa halus, bagai sutra. Alma mengerang-
merintih, terus memainkan otot-kenyal di tangannya, menggosok ke depan ke belakang, memutar-mutar.
Lalu pelan-pelan Kino menurunkan tubuh Alma, ..... cuma sedikit saja, mungkin cuma tiga senti. Tetapi itu sudah cukup
membuat Alma tersentak, mengerang "Aaah...", merasakan sebuah benda tumpul hangat menyeruak ke dalam tubuhnya.
Rasanya sedikit pedih, tetapi juga geli dan nikmat. Bercampur baur. Mengejutkan.
"Jangan, Kino....," desah Alma sambil berusaha mengangkat tubuhnya. Tetapi entah kenapa, ia tak sanggup melakukan
hal itu. Rasa nikmat di bawah sana menahannya untuk bergerak. Maka akhirnya ia cuma menggeliat-geliat.
Kino mengerang pelan. Oh,.. hangat sekali di dalam sana. Ia merasakan ujung kejantanannya dibalut entah oleh apa.
Terasa sempit tetapi juga licin, mencekal erat tetapi juga berdenyut-denyut. Dengan kedua tangannya, Kino
mempertahankan posisi tubuh Alma yang kini bagai mengambang: antara atas dan bawah, antara kenikmatan dan
kekhawatiran.
Alma merasakan nikmat luar biasa datang dari liang kewanitaannya yang kini bagai tersumbat sebentuk otot-kenyal. Tak
sadar, ia menggoyangkan pinggulnya ke kiri dan ke kanan, menyebabkan si sumbat menyeruak dinding-dinding bagian
dalam kewanitaannya, menimbulkan kenikmatan tambahan. Kino tetap menahan tubuh Alma agar tidak melesak lebih ke
e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000
16
bawah. Diam-diam ia khawatir akan apa yang mereka lakukan. Ia takut jika seluruh kejantanannya masuk dan merusak
sesuatu di dalam sana, walau ia sendiri tak tahu, ada apa di dalam sana.
"Aaaaaah!", tiba-tiba Alma mengerang. Orgasmenya datang bagai banjir bandang. Kedua kakinya mengejang, dan ia
ingin merapatkan pahanya, menjepit kejantanan Kino untuk menimbulkan kenikmatan yang lebih lagi. Tetapi tangan
pemuda itu sangat kokoh mencengkram tubuhnya, sehingga akhirnya Alma hanya menyerah saja. Membiarkan tubuhnya
berguncang-guncang ketika ia mencapai klimaks yang sedap itu. Kedua tangan Alma mencengkram bahu Kino.
Tubuhnya meregang. Matanya terpejam erat, mulutnya setengah terbuka, mengeluarkan keluh berkepanjangan,
"Nggggggg....".
Bersamaan dengan itu, Kino merasakan ujung kejantanannya bagai dipilin-diremas oleh daging kenyal hangat yang
bergerak-gerak liar. Sekuat tenaga ditopangnya tubuh Alma yang sedang bergetar hebat. Keringat Kino membasahi
badannya, karena tubuh gadis itu tidaklah ringan. Apalagi kalau sedang meregang-mengejang seperti ini.
Lalu, Kino merasakan klimaksnya datang, ketika Alma masih mengerang-merintih dengan kedua tangan mencengkram
bahunya. Cepat-cepat Kino mengangkat tubuh gadis itu, walaupun Alma terdengar memprotes. Ia masih cukup waras
untuk tidak menumpahkan cairan cintanya di dalam. Dengan satu gerakan, ia menggeser duduknya. Kejantanannya lepas
dari cengkraman permukaan liang yang sebetulnya sangat menjanjikan kenikmatan itu.
Alma pun akhirnya sadar apa yang dihindari Kino. Gadis itu cepat-cepat menggeser ke arah berlawanan. Ia melihat ke
bawah, ke arah otot-kenyal yang masih tegak dan seperti bergerak-gerak menggeliat. Oh,.. cepat-cepat diraihnya bagian
tubuh Kino yang tadi memberikan kenikmatan di tubuhnya itu. Cepat-cepat ia meremas, ingin berpartisipasi dalam
pencapaian klimaksnya.
"Aaaaah!" Kino mengerang panjang, merasakan tubuhnya bagai disentak-sentak ketika cairan-cairan cinta memancar
kuat dari kejantanannya. Tangan Alma yang halus terasa menambah nikmat pancaran itu, sekaligus menampung cairan-
cairan kental panas yang berebut keluar. Alma terduduk di samping Kino, dengan tangan tetap mencengkram, merasakan
getaran-gejolak klimaks kekasihnya. Kino berkali-kali mengerang, dengan tubuh meregang dan kedua tangan
bertelektekan di dipan. Alma merasakan otot-kenyal berdenyut-denyut dalam genggamannya. Menakjubkan sekali!
Betapa kuatnya klimaks Kino kali ini, menyebabkan tubuhnya seperti dioyak-oyak, tulang-tulangnya seperti lepas,
ototnya seperti meledak. Ia menghempaskan tubuhnya di dipan, diikuti Alma yang berbaring di sebelahnya. Keduanya
masih telanjang di bagian bawah, terengah-engah seperti habis berlari sepanjang hari. Tangan Alma tetap menggenggam
di bawah sana, senang bisa menampung tumpahan cinta kekasihnya. Hangat dan licin rasanya.
******
Lamunan Kino buyar ketika mobil yang ditumpanginya membelok tajam, menyebabkan tubuh Paman Tingga
membentur tubuhnya. Lelaki setengah baya itu tetap tertidur, cuma menggumam tak jelas, lalu kembali menegakkan
tubuhnya di sandaran kursi. Kino menghela nafas panjang. Kota kelahirannya semakin jauh tertinggal. Mobil melesat
laju di jalan raya antarkota. Di kiri-kanan jalan, sawah luas terbentang, menghijau bagai hamparan karpet . Langit
tampak biru dibercaki awan putih. Puluhan burung bangau tampak terbang ke arah selatan.
Kino tiba di kota M menjelang sore. Rumah Paman Tingga cukup besar dan Kino mendapat kamar di belakang, dekat
dapur dan gudang. Setelah beristirahat sebentar, Paman Tingga mengajak Kino membicarakan agenda mereka untuk dua
bulan mendatang. Mendengar kata dua bulan, Kino mengeluh dalam hati. Lama sekali rasanya dua bulan itu.
Lalu, keesokan harinya Kino diantar Paman Tingga ke tempat kursus yang telah ramai oleh pemuda sebayanya. Ruang
belajar tampak jauh lebih besar dari kelas di sekolah di kota kelahirannya. Teman-teman barunya juga jauh lebih
banyak, dan jauh lebih banyak tingkah. Sebagian dari mereka bahkan sudah bertingkah seperti layaknya remaja kota
besar, memakai kaca mata hitam segala. Kino tersenyum simpul melihat salah seorang dari mereka memakai kacamata
secara terbalik. Pastilah itu kacamata pinjaman!
Demikianlah, hari-hari berikutnya Kino sibuk mengikuti kursus di kota M dan mulai bisa melupakan hal-hal lain.
Konsentrasinya penuh ke pelajaran, dan hanya sekali-sekali ia teringat akan Alma dan kota kelahirannya. Hari-hari pun
terasa semakin cepat berlalu.

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 17


Selamat Tinggal, Alma!
Waktu dan hari berlalu begitu cepatnya. Kalender di dinding kamar Kino, di rumah Paman Tingga, begitu cepat
dipenuhi tanda silang yang menandai bergulirnya hari ke minggu, minggu ke bulan. Dua bulan terasa seperti dua
minggu.
Ayah dan ibunya datang ke M minggu lalu bersama Susi yang sudah kangen kepada kakaknya. Ketiganya merasa
bersyukur melihat Kino dalam keadaan sehat, dan bahkan bertambah gemuk. Berkali-kali Ayahanda mengucapkan
terimakasih kepada suami-istri Tingga yang sangat baik itu. Ibunda menyerahkan oleh-oleh hasil bumi (setandan pisang
mas, sebutir besar nangka setengah matang, sekarung jagung) sambil memuji-muji Bibi Tingga yang pandai menjaga
kesehatan Kino. Susi memeluk kaki abangnya penuh kerinduan. Suasana menjadi semarak sekali.
Mereka berbicara panjang lebar sepanjang siang: ayah-ibu, suami-istri Tingga, dan Kino. Hanya Susi yang kelihatannya
tidak menikmati hari itu, karena sebenarnya ia ingin segera bermain-main dengan abangnya. Lalu, mereka makan siang
bersama, menikmati ikan gurame dari empang sendiri yang sudah digoreng Ibunda. Sedap sekali, apalagi dengan sambal
terasi buatan Bibi Tingga yang terkenal lezat itu.
Seusai makan, sementara ayah-ibu terus berbincang dengan suami-istri Tingga, Kino membawa adiknya berjalan-jalan.
Senang sekali Susi menggandeng kembali tangan abangnya. Mulutnya ramai berceloteh tentang betapa sepinya rumah
tanpa Kino. Juga tentang dua ekor ayamnya yang mati dimakan musang. Juga tentang sungai yang tidak lagi ramai oleh
anak-anak dan remaja: mereka semua sedang sibuk menyiapkan diri menempuh seleksi perguruan tinggi. Ah, begitu
bersemangatnya penduduk kota ku untuk menjadi lebih berpendidikan, ucap Kino dalam hati. Semua keluarga berbicara
tentang bagaimana mengirim anak-anak mereka ke kota besar untuk bersekolah. Kino tahu, pada umumnya penduduk
kota kelahirannya itu adalah petani yang cukup berhasil, dan sebagian besar tak ingin anaknya terus tinggal di kota kecil.
Bagus sekali pandangan seperti itu, bukan? Tetapi kadang-kadang Kino juga berpikir: kalau semua orang pergi ke kota
besar, siapa yang akan tinggal menjadi petani?
"Oh, ya!!" tiba-tiba Susi berseru sambil merogoh kantong bajunya, lalu menyerahkan sebuah amplop merah-muda,
"Hampir Susi lupa,... ini ada surat dari Mba Alma!"
Sejenak jantung Kino berdegup lebih kencang ketika menerima amplop itu. Sejak tiba di M, hampir tak pernah sempat
ia menulis surat. Setiap hari ia belajar dan belajar saja. Pagi hari ke tempat kursus sampai tengah hari, lalu pulang untuk
makan siang. Setelah itu pergi lagi ke tempat kursus untuk duduk di ruang baca, membaca apa saja yang ada di sana.
Tempat kursus itu sangat modern dibandingkan sekolah Kino, memakai kipas angin segala. Kino betah berlama-lama di
sana, dan selalu pulang ketika hari menjelang senja.
Lain halnya dengan Alma. Setiap minggu pasti menulis surat, bahkan pernah dua kali dalam seminggu. Di laci meja
Kino kini ada sepuluh suratnya, panjang lebar dan selalu penuh kerinduan. Kino baru sempat menulis balasan dua kali.
Yang terakhir baru saja dikirimnya seminggu yang lalu.
Kino mengajak Susi mampir di sebuah restoran untuk membeli es-krim. Gadis kecil itu melonjak-lonjak gembira. Di
kotanya, tidak ada es-krim seperti di M. Kalau pun ada, harganya jarang terjangkau uang sakunya. Di kota M ini, es-
krim nya lezat dan lembut. Porsinya pun besar. Susi memilih rasa coklat dan pisang. Kino memesan minuman ringan,
lalu mulai membaca surat Alma.
Tidak seperti biasanya, surat Alma kali ini cukup pendek (walaupun masih lebih dari dua halaman). Dibuka dengan kata-
kata penuh kerinduan (yang sebagiannya sudah dihapal Kino!), surat itu menceritakan rencana Alma pergi ke ibukota
untuk ikut seleksi masuk perguruan tinggi. Orangtua Alma sangat mengharapkan gadis itu masuk ke jurusan kedokteran
dan mendesaknya agar segera pergi ke ibukota agar persiapannya lebih matang. Menjelang akhir dari suratnya, cukup
jelas terbaca betapa Alma gundah membayangkan perpisahan dengan Kino. Bagaimana kita bisa bertemu lagi sebelum
aku ke ibukota? Begitu Alma bertanya berkali-kali. Apakah Kino akan pulang dalam waktu dekat ini? Kapan? Bisakah
Kino memberi kabar secepatnya, barangkali dengan telepon interlokal? (dan itu berarti harus pergi ke kantor telepon).
Kino menghela nafas panjang. Susi melirik sambil terus menyantap es-krimnya. Gadis kecil ini tahu, abangnya sedang
risau. Ia juga tahu, abangnya tidak ingin diganggu. Ketika akhirnya Kino mengajak Susi kembali ke rumah Paman
Tingga, gadis kecil ini mengurangi celotehnya. Tetapi tangannya menggandeng tangan Kino lebih erat. Ia merasa,
abangnya memerlukan bantuan walaupun cuma dari anak kecil. Tetapi, tentu saja Susi tak pernah tahu, bantuan seperti
apakah yang dibutuhkan Kino saat itu. Cuma naluri persaudaraannya saja yang bicara, sementara akalnya belum lagi
bisa sampai ke persoalan-persoalan remaja yang amat pelik itu.
******
Sebelum kembali ke kotanya, kedua orang tua Kino sepakat dengan Paman Tingga untuk mengirim pemuda itu langsung
ke kota B, tempat institut teknologi yang dicita-citakan. Mereka setuju, kalau Kino bisa tiba di B jauh-jauh hari sebelum
masa ujian seleksi, tentu akan lebih baik bagi persiapan mental.
"Bolehkah saya pulang dulu, Ayah?" tanya Kino ketika berkesempatan berbicara berdua.

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000


18
Ayahnya tersenyum. Lelaki setengah baya ini tahu, kenapa anaknya ingin pulang dahulu. Ia sudah mendengar dari Susi
dan dari istrinya, ada seorang gadis yang menjadi pacar Kino. Ia sendiri tak keberatan, karena ia mengenal keluarga
gadis itu.
"Boleh. Tetapi selesaikan dahulu kursusmu. Masih dua minggu lagi. bukan?" kata Ayahnda.
Kino berpikir cepat. Kalau ia harus pulang dua minggu lagi, mungkin Alma sudah pergi ke ibukota. Maka segera ia
berujar, "Bolehkah pulang Sabtu depan?"
"Kenapa harus Sabtu depan?" tanya Ayah.
"Aku...," Kino menelan ludah, "Aku ingin bertemu Alma sebelum ke B.."
"Ayah tahu," ucap Ayah tertawa kecil, "Tetapi, kenapa harus Sabtu depan?"
"Alma akan pergi ke ibukota...., aku ingin bertemu sebelum ia pergi," kata Kino sambil berdoa dalam hati agar ayahnya
tidak bertanya lebih lanjut.
"Ooo... begitu," ucap Ayah sambil mengangguk-angguk.
"Jadi? Bolehkah aku pulang Sabtu depan?" sergah Kino, tidak sabar melihat ayahnya cuma mengangguk-angguk.
Ayah tertawa kecil lagi, lalu menepuk kepala Kino dengan sayang sambil berkata, "Tanyakan ke ibumu. Kalau dia
setuju, ayah juga setuju."
Kino bersorak dalam hati. Mana mungkin ibu tidak setuju! Wanita bermata lembut itu tidak akan pernah menolak
permintaan Kino untuk pulang!
******
Sabtu pagi itu langit cerah, tetapi angin bertiup agak kencang dan basah menjanjikan hujan. Pohon-pohon bagai para
penari, meliuk-liuk. Seakan mereka sedang menyiapkan tarian penyambutan bagi sang hujan. Kino tiba di kota
kelahirannya pukul delapan pagi, saat pasar sayur masih sibuk menerima pasokan barang dagangan. Beberapa truk
pengangkut sayur-mayur masih parkir di halaman pasar, di seberang terminal antar kota tempat Kino turun. Buruh-buruh
masih sibuk menurunkan karung dan keranjang besar yang tampak sangat berat itu. Bau sayur dan buah segar bercampur
sampah basah memenuhi udara.
Kino bergegas turun dari bis yang ditumpanginya. Kepalanya penuh rencana, yang semuanya berpusat pada perjumpaan
dengan Alma. Ia akan segera menuju rumah gadis itu setelah menemui kedua orangtuanya. Ia sudah menelpon Alma dari
kantor telepon di kota M, mengabarkan kedatangannya hari ini. Alma terdengar gugup di telepon. Ah, tak sabar rasanya
Kino ingin bertemu gadis itu! Cepat-cepat ia melangkah keluar dari terminal, setengah berlari, membelok menuju pusat
kota.
Tetapi baru saja Kino membelok, ia tersentak. Langkahnya terhenti. Di depannya, Alma berdiri dengan rambut
berkibaran. Sebuah tas kecil tergantung ringan di bahunya. Kedua tangan bersidekap memeluk dadanya.
"Alma! Sedang apa kau di sini?"
"Menunggu kamu," sahut gadis itu. Mukanya cerah, senyumnya lebar, sebagian rambut menutupi muka.
Dengan kedua tangan, Kino memegang bahu gadis itu. Mencengkramnya agak keras, membuat Alma meringis. Kino
tidak berani memeluknya di tengah keramaian terminal, walaupun ia ingin sekali. Sangat ingin!
"Hari masih pagi sekali! Apakah kamu di sini sejak fajar?" tanya Kino sambil menyingkirkan sedikit rambut dari kening
Alma. Gadis itu tertawa kecil sambil menggeleng, tentu saja ia di sini sejak tadi. Tetapi tidak sejak fajar yang sudah
berlalu 4 jam silam!
"Hayo, kita pulang dulu. Aku perlu menaruh tas dan bertemu orangtuaku. Kau juga bisa ikut!" seru Kino sambil
merengkuh tangan Alma dan menariknya pergi meninggalkan terminal. Alma membiarkan dirinya ditarik, tetapi ia lalu
berkata,
"Kenapa harus langsung ke rumah?"
Langkah Kino terhenti lagi. Ia memutar tubuh, menghadap Alma. "Apa maksudmu?" tanyanya.
Alma melirik ke arah tas Kino, berucap, "Tas mu tidak terlalu besar. Kenapa harus ditaruh di rumah?"
Kino memandang tangan yang memegang tas. "Ya, memang tidak besar...", ucapannya tak selesai. Ia merasa Alma
hendak mengatakan sesuatu.
"Aku harus berangkat sore ini," ucap Alma pelan.
"Hah? Berangkat kemana?" sergah Kino, sungguh kaget karena gadis itu tak pernah bicara tentang hari keberangkatan.
Mengapa begitu tiba-tiba?

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 19


Alma tersenyum melihat kekasihnya terperanjat dengan wajah bagai orang bego. Tetapi senyum itu sungguhlah sendu,
karena kedua matanya agak basah, menerawangkan sinar kesedihan. Kino tiba-tiba sadar, Alma akan berangkat dengan
bis malam ke kota S, lalu dari sana akan naik kereta api ke ibukota. Tentu saja, bis malam itu akan berangkat pukul 5
dari terminal ini!
"Kalau begitu, kita cuma punya waktu setengah hari ini untuk berjumpa....," bisik Kino, nyaris tak terdengar ditelan
hiruk pikuk pasar di seberang.
Alma mengangguk, masih memandang lekat kekasihnya dengan matanya yang lembut-sendu. Ia sungguh ingin memeluk
pemuda itu, membenamkan muka ke dadanya yang bidang. Menangis di sana sepuasnya.
"Kau bilang apa kepada orangtuamu pagi ini?" tanya Kino. Ia kini punya rencana baru.
"Aku bilang ingin pergi berjalan-jalan dengan kamu, dan semua pakaian sudah kumasukkan ke tas. Tinggal berangkat
saja, nanti sore. Mereka pun sudah tahu aku ke terminal menunggumu," jawab Alma.
"Kalau begitu, ayolah berjalan-jalan!" ucap Kino cepat. Ia tidak ingin pulang dan menghabiskan waktu. Semua
rencananya harus segera diganti.
"Kemana?" tanya Alma, walaupun ia tak peduli ke mana. Ke bulan pun ia akan ikut.
Kino menyebut sebuah kota tempat peristirahatan, tak begitu jauh ke arah selatan. Direngkuhnya tangan Alma, berbelok
kembali ke terminal. Mereka harus naik mini bus ke kota itu. Beriringan mereka masuk ke terminal, lalu naik mini bus
yang masih menunggu penumpang. Kursi di depan, di sebelah supir, masih kosong. Di situ mereka duduk berdampingan
dengan kedua tangan saling menggenggam.
Ketika bus akhirnya berjalan, Alma menceritakan alasan kenapa ia harus segera berangkat sore ini. Ayahnya tiba-tiba
harus bertugas ke S, sehingga ia memutuskan untuk mengajak serta Alma, sekalian mengantarnya ke ibukota setelah
urusan di S selesai.
******
Kota peristirahatan itu terletak dekat puncak sebuah gunung, terkenal karena pemandangannya yang indah dan
pemandian air panasnya yang mengandung belerang. Konon bagus untuk menyembuhkan sakit kulit. Ke kota ini banyak
berkunjung turis domestik maupun internasional. Sebuah taman alamiah terdapat di sana, dilengkapi air terjun cukup
tinggi dan sebuah danau bening yang cukup luas.
Kino dan Alma pernah mendaki gunung ini, maka setelah menitipkan tas di tempat penitipan barang dan membekali diri
dengan sedikit makanan-minuman, mereka menuju puncak yang bisa dicapai kurang dari setengah jam berjalan kaki.
Untunglah keduanya memakai sepatu olahraga dan membawa jaket hangat yang waterproof.
Puncak gunung sangat sepi ketika mereka tiba. Matahari belum lagi tinggi, udara masih sangat dingin. Mereka duduk di
dekat sebuah batu besar dan langsung bercumbu. Keduanya telah dilanda kerinduan sejak pertemuan di terminal. Alma
sudah tak sabar ingin dipeluk-dilumat-diremas. Sebuah gelegak yang amat kuat telah terhimpun di tubuh kedua remaja
ini, sama seperti gelora kawah gunung yang masih aktif di hadapan mereka.
Percumbuan kali agak berbeda. Ciuman-pagutan terasa bagai sebuah campuran antara kerinduan birahi dan kesenduan
perpisahan. Alma terpejam, merasakan air hangat hampir tumpah dari kelopak matanya, sementara bibirnya sibuk
mengulum bibir Kino, bagai tak ingin melepaskannya. Kino pun merasakan getar yang berlainan, tidak melulu birahi
melainkan juga kehangatan kasih. Jauh di dalam lubuk hati keduanya juga timbul sebentuk kekhawatiran terhadap
perpisahan yang kini telah di ambang mata.
Kedua tangan Kino memang meremas-gemas payudara Alma yang langsung mengeras itu. Tetapi kini tidak hanya
kenikmatan yang datang dari remasan itu, melainkan juga kecemasan akan masa panjang yang memisahkan mereka.
Mereka berdua akan segera kehilangan kontak badan yang selama ini menjadi bumbu bagi jalinan batin dan cinta.
Apakah ketiadaan-kontak itu akan melunturkan kasih? Apakah birahi fisik demikian mereka perlukan untuk melanjutkan
percintaan? Sungguh pertanyaan yang sulit!
Alma, seperti biasa, menikmati duduk dipangkuan Kino, membiarkan kedua payudaranya dipermainkan. Rasa nikmat,
seperti biasa, telah menjalar keseluruh tubuhnya, membuatnya mengerang. Tetapi, tidak itu saja yang ia rasakan. Ia juga
merasakan betapa tangan-tangan kekasihnya memancarkan getar yang berbeda. Ada kegetiran di setiap remasannya,
semacam pernyataan tak rela. Seakan Kino tak ingin melepaskan tangan dari tubuhnya. Apakah pemuda ini akan
melupakannya, jika ia tidak lagi bisa meremas-remas dadaku? pikir Alma di tengah gelimang nikmat yang memenuhi
benaknya. Apakah aku akan kehilangan tangan-tangan yang bergelora itu, dan lalu akan melupakannya?
Bibir Kino menjalari leher kekasihnya. Harum khas Alma memenuhi rongga hidung Kino. Ah, senang sekali menghirup
aroma tubuh gadis yang segar itu! Betapa Kino akan kehilangan keharuman-kesedapan wangi Alma yang alamiah.
Betapa ia akan merindukan harum lembut pengikat jiwa itu. Bagaimana kah nanti rasanya, tidak bisa lagi mencium leher
jenjang yang halus ini? tanya Kino dalam hati. Rasa kehilangan seperti apakah yang akan dialaminya?

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000


20
Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kedua kepala dan hati remaja itu, sehingga perlahan percumbuan
mereka menghambar. Perlahan-lahan birahi mereka padam, seperti perapian yang kehabisan bahan bakar. Alma bahkan
perlahan-lahan tersedu, membiarkan air mata tumpah menerobos lentik bulu matanya yang berkerejap. Kino melepaskan
remasannya, dan kini memeluk tubuh Alma erat-erat, mendekapkan kepala gadis itu ke dadanya.
Suara tangis Alma menyelinap ke luar dari dekapan Kino, mengusik keheningan puncak gunung. Tangan pemuda itu
mengusap-mengelus rambutnya yang hitam. Sesekali Kino mengecup pula rambut yang harum itu, mencoba menghibur
kekasihnya.
Lama mereka berpelukan, Alma masih di pangkuan Kino, sesenggukan menumpahkan semua kesedihannya. Dada Kino
kini mulai basah oleh airmata Alma, terasa hangat dan menyakitkan. Pada saat-saat seperti ini, Kino menyesal mengapa
harus mencintai seseorang yang toh juga akan pergi jauh. Mengapa selalu ada saat di mana engkau harus meninggalkan
atau ditinggalkan oleh seseorang yang kau sukai?
******
Tak lama kemudian mereka turun dari puncak gunung, lalu duduk-duduk saja di taman dekat air terjun. Ketika siang
tiba, mereka makan di sebuah warung murah-meriah. Lalu, tepat pukul 1 siang mereka kembali ke kota. Dalam
perjalanan, mereka lebih banyak diam, masing-masing terbenam dalam kerisauan dan kepasrahan. Risau karena banyak
sekali pertanyaan yang belum mereka jawab. Pasrah karena mereka tak punya pilihan lain, selain harus berpisah.
Dan ketika akhirnya Kino mengantar Alma ke terminal sore itu, seluruh hari terasa kelabu belaka. Tubuhnya terasa letih.
Kepalanya terasa pening. Ia juga merasa sangat kesepian, walaupun bus malam belum lagi berangkat dan Alma masih
berdiri di sampingnya di pelataran terminal. Orang-orang ramai bercakap, tetapi bagi kedua remaja ini, dunia terasa
sungguh sunyi. Kedua orangtua Alma mencoba menghibur, mengajak Kino berdiskusi tentang masa depan, mencoba
meyakinkan pemuda itu bahwa kesedihan perpisahan tidaklah seberapa dibandingkan kecerahan masa depan. Dengan
sopan, Kino menyetujui semua wejangan orangtua Alma. Ia tidak punya pilihan lain, bukan?
Lalu bis malam itu berangkat. Alma duduk di dekat jendela, melambaikan tangan dan tersenyum kepada Kino yang
terpaku di pelataran. Selamat tinggal, bisik pemuda itu di dalam hati. Dibalasnya lambaian tangan gadis itu. Dibalasnya
pula senyum sendu itu. Selamat tinggal kekasih. Mari kita tutup babak berikutnya dari kehidupan yang masih terasa
panjang ini. Mari terus berharap akan ada babak-babak selanjutnya.
Selamat tinggal, Alma.

Bersambung … Kisah Kino – Seorang Bidadari dan Sebuah Mimpi.doc

e-book by Crazy Guy (www.cgboy.co.cc) 08/06/2000 21

Anda mungkin juga menyukai