Anda di halaman 1dari 9

Kamar Dengan Dinding Bercat Putih Pudar

Kamar dengan dinding bercat putih pudar yang buyar kesana kemari warnanya. Sore dengan

hembusan angin semilir, membuat mata mengantuk. Sementara suara-suara iklan, menawarkan barang

dagangan bergema tak henti. Sisa-sisa pembangunan rumah yang belum selesai. Uang untuknya sudah

tidak ada lagi. Dinding-dinding masih banyak kelihatan batu bata dan lapisan semen, sementara sisanya

bercat putih pudar yang dikerjakan asal-asalan sehingga kelihatan buyar kesana-sini.

“Bapaknya Si Zul meninggal”. Sebuah kabar datang dari tamu yang datang dari jauh. Para

penghuni rumah yang biasanya tidak terkejut akan berita-berita, seperti : Pengadilan Tommy,

Mahasiswa menolak Mega, Korupsi dimana-mana. Sekarang ternganga heran. Pemilik rumah pun balik

bertanya :

“Yang benar ?”. Ia adalah seorang pemuda kurus, berkulit coklat muda dengan rambut keriwil.

Berita itu cukup mengejutkan, setelah sekian lama tiada perubahan yang berarti.

“Kau tidak bohong Min ?”. Tanya Abdi si pemilik rumah pada Amin sang tamu.

“Sumpah Di, kalau tidak percaya lihat sendiri kesana. Mana mungkin aku bohong. Aku sendiri

kemarin datang waktu orang disana menujuh hari”. Sementara TV tetap nyala, memberitakan

pengadilan tersangka korupsi Bulog. Ibunya, seorang wanita tua memandang dengan perasaan putus

asa pada TV. Berita terus berkejar-kejaran menawarkan kejutan-kejutan yang tidak mendasar. Apakah

pengadilan korupsi bisa mengenyangkan perut kita yang lapar ?.

Lebih baik beralih pada berita kematian. Ada orang yang dikenal meninggal, sebuah perasaan

yang sama timbul. Teringat dulu bahwa kematian tiang keluarga menyebabkan nasib anggota keluarga

pun kocar-kacir. Wajah-wajah sedih, dengan bekas-bekas air mata dipinggir-pinggir mata. Menangis

dan menangis, sementara yang pergi tak mungkin kembali.

Mereka memang sempat merasakan bahwa hidup ini nikmat. Sang ayah sebagai tiang keluarga

punya kekuasaan dan uang yang bisa dipergunakan oleh mereka. Walau sayang musibah menimpa
keluarga. Sakit jantung diwarnai stroke, dengan tekanan disana-sini. Orang-orang bilang ayahnya

korupsi tapi yang jelas rumahnya masih belum sudah, kecil, dindingnya masih belum di cat, hanya batu

bata berlapis semen keras. Tidak ada mobil pribadi karena sang ayah kebanyakan bersenang-senang

juga dengan lembaran kartu, bersama para sopir kantor.

Para penuduh adalah orang-orang dengan rumah megah dan mobil mewah. Mereka mengajukan

petisi bersama yang membuat ayahnya stroke, kejang-kejang dan mati dalam semua terpaan kehidupan.

Perkelahian dengan anak nomor dua, karena prinsip yang beda dan seorang perempuan dihamili

anaknya. Satu tahun lebih sang anak kabur dari rumah. Hidup bersama teman yang rela menampung,

jadi pekerja bengkel-kebetulan itu adalah bidang yang disukai-. Keluar masuk lintasan balap motor

hingga gigi hancur semua karenanya.

Semuanya (hampir) berubah ketika sang ayah pergi. Tidak semuanya, kemalasan-kemalasan

masih tetap ada, hanya uang yang biasanya bisa menyelesaikan semuanya tidak sebanyak yang dulu.

Abdi-sitengah dalam keluarga- terpaksa kost untuk menyelesaikan SMA. Rumah dinas telah ditarik,

karena orang yang punya otoritas akannya telah tiada. Ia tinggal dirumah penduduk yang juga

temannya. Seorang bajingan yang suka melawak. Walaupun hati marah, perut bisa geli dibuatnya.

***

Kabut pagi yang dingin, orang-orang yang buang air dikali bawah jembatan. Entah tidak

mampu atau tidak mampu bikin kakus sendiri. Kucing kurus di tempat pembuangan sampah yang

menumpuk, mengeluarkan bau busuk. Amin berjalan dengan setengah terhuyung, mata mengantuk,

tidak tidur semalaman, kepindingnya banyak, mendarat dileher gatalnya minta ampun, obat nyamuk

yang merusak saluran pernafasan perlahan.

Semalam, ia lama bercakap-cakap dengan Abdi, mendengarkan keluh kesah, mengeluarkan

umpatan-umpatan dan keluh kesah lainnya. Sampai pagi sampai ayam berkokok pertanda pagi. Lampu

dimatikan dan kepinding-kepinding menghisap darah-darah segar menimbulkan rasa gatal dan pedih.

"Sebenarnya aku sudah di desak ibuku untuk nyari kerja". Kata Abdi dengan suara pelan.
"Lalu kenapa kau tidak kerja ?".

"Terlalu jauh tempatnya, aku malas kalau terlalu jauh".

"Memangnya dimana tempatnya ?". Tanya Amin tidak mengerti.

"Di pedalaman Jambi sana, dalam hutan yang lengang. Tidak ada mobil kesana, disebuah PTP,

ibuku yang punya kenalan disana memasukkan aku kerja".

"Wah, kau ini karena belum punya tanggungan makanya tidak mau kerja berat. Kalau punya

istri maka engkau tidak akan menolak kerja apapun ".

"Iya juga ya".

"Aku sendiri sempat merasakannya tapi...".

"Kalau punya tanggungan maka kita akan gigih berusaha".

"Kau yang malas rupanya".

Percakapan gila itu berlangsung sampai pagi, mata mereka berdua mengantuk dan kemerah-

merahan, ingin tidur tapi tidak bisa dengan beban fikiran di kepala. Mereka terus bercakap-cakap

mengupas-ngupas masa lalu yang abu-abu. Hantaman botol bir dibelakang kepala, tamparan dan

pukulan jagoan kampung.

"Si Andi, sekarang ngojek untuk nyari makan". Abdi membuka kata memecah keheningan.

"Bukannya dia suka ikut balap ?".

"Iya tapi kadang juga ngojek, apa daya dapur mesti berasap kalau tidak bisa gawat tapi kadang

dia masih ikut balap. Sekarang dia punya sponsor untuk itu, dapat hasil juga walau tidak banyak sih.

Dia memang cuek dan gigih, maklum sudah punya istri dan anak".

"Kau sendiri kapan ?".

"Kalau aku masih lama, kerja belum ada, penghasilan tetap belum ada, buat apa cepat-cepat

beristri".

Mereka diam lama sekali. Abdi mengajak pindah kebawah, katanya di kamar atas-tempat

mereka bercakap-banyak nyamuk, ternyata dibawah lebih banyak lagi bertambah para vampire kecil
penghisap darah. Leher ditampar berkali-kali untuk menghalaunya tapi mereka tetap hinggap mencari

makanan yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Ketika lampu dimatikan, para vampire itu lebih

leluasa menerjang, minum darah manusia-manusia yang ada di kamar ini.

Sebelumnya mereka mengitari kota ini dengan mobil ambulans tua, untuk menurunkan dan

menaikkan kacanya perlu tenaga ekstra, otot-otot menegang mengeluarkan tenaga. Untung saja tidak

mogok, para pasangan-pasangan yang belum sah, dimana-mana terlihat saling menyentuh secara fisik

dan non fisik. Di pantai, didalam gelap dibawah kolong jembatan, muda-mudi bermesraan

menghabiskan malam. Tidak tahu kapan mereka di usir oleh masyarakat dan petugas keamanan, dalam

hati terasa iri dan ingin juga merasakannya tapi sekarang bukan waktunya lagi untuk semua itu. Bulan

purnama bundar, ketika Amin menatap langit yang sedikit berawan. Malam terang mobil bobrok ini

berjalan dengan sebisanya tidak bisa kencang nanti mogok kalau dipaksakan.

"Sebenarnya aku sudah mencoba untuk nyari uang dengan mobil ini. Lumayanlah, sekitar Rp

150.000 sehari bersih kudapat. Marnil jadi kondekturnya, penumpang jadi tertawa-tawa dibuatnya.

Pernah suatu kali ketika kami jalan, para sopir mogok, mobil dicegat, dikejar-kejar untung kami bisa

selamat". Abdi menceritakan pengalamannya mencari uang dengan bajingan pelawak dimana ia

menumpang ketika SMA.

"Kenapa kau tidak teruskan ?".

"Kasihan mobil ini, sudah terlalu tua untuknya. Mobil cepat rusak kalau dipenuhi beban berat.

Sekarang aku menyesal menghentikannya ibu terus-menerus mendesakku agar cepat bekerja. Maklum

pensiun ayah tidaklah cukup untuk biaya hidup kami".

Mobil berhenti didepan gerobak penjual sikotang. Malam, kota ini sepi, hanya manusia-manusia

yang biasa berkeliaran di malam hari yang ada. Musik dangdut bergema dari arah bioskop tua dengan

gambar-gambar film-film mesum. Abdi menghilang dibalik gang untuk kencing, Amin duduk sendiri

menatap sikotang yang telah dihidangkan.

"Darimana kau ?". Tanya Amin.


"Kencing, ada cewek kenalanku disana".

Sikotang habis pelan-pelan, rasa hangat akibat jahe menjalari sekujur tubuh. Memang enak

menenggak sikotang di malam yang dingin ini.

Mobil jalan lagi memutar melewati tepi laut, masih saja pasangan-pasangan memadu cinta

ditempat-tempat sepi, dimalam bulan purnama ini cinta dan nafsu seakan bergelora dibuatnya. Banyak

ruangan-ruangan ditepi laut ini disewakan bagi para pasangan yang ingin melakukan apa saja yang

mereka kehendaki.

Setelah puas dan bensin mulai habis, mobil bergerak perlahan menuju rumah, Abdi berteriak-

teriak latihan nyanyi, katanya ia akan ikut festival nyanyi. Perlombaan-perlombaan menawarkan mimpi

untuk dapat uang banyak dalam jangka waktu singkat, dalam lomba balap motor antar kampung

bahkan para pemuda rela mati demi uang, walau badan dan wajah hancur mereka tidak kapok

dibuatnya.

Dipinggir kali yang telah dirubungi sampah yang dilintangi jembatan, mobil itu bergerak masuk

kadang ngebut kadang perlahan. Bau karet dan asap pabrik memenuhi udara, sehingga nafas sesak

sebentar-sebentar menghembus-hembuskan nafas untuk melancarkan saluran pernafasan. Gang pertama

mobil masuk, dengan kerikil dan lubang-lubang berlumpur.

***

Malam yang dingin, puluhan kilometer dari ibukota dan pabrik karet dengan bau tengik.

Serangan air merah pedas mengenai ususnya, berkali-kali kekamar mandi, perut kembung seperti orang

kebanyakan minum air, badan lemas tanpa tenaga. Entah penyakit apa yang menyerang si Amin

sepulang dari Padang. Ia baru merasakan penyakit ini ketika menenggak kopi dengan aroma sabun

mandi, selidik punya selidik ternyata gulanya yang bau parfum, sebelumnya bermangkuk-mangkuk

cairan cabe merah pedas manis melewati kerongkongannya sampai ke perut dan terjadilah apa yang

seharusnya terjadi.
Masih ingat pada malam sebelumnya, caci maki dan kutukan pada masyarakat yang dikeluarkan

Abdi yang awalnya dimulai dari menanggapi berita yang disampaikannya “

“Si Anto kemarin menghajar orang di Pasar kain”. Katanya setelah percakapan mulai

membosankan, di satu-satunya kamar yang setengah sudah dilantai atas rumah dengan dinding bercat

putih pudar itu.

“Apa sebabnya ?”. Tanya Abdi agak heran.

“Ia mabuk alkohol, dipukulinya orang itu bersama temannya polisi berpakaian preman. Orang

itu berdarah-darah akibat hantaman disana-sini. Seorang perempuan menangis memilukan menyayat, si

Zal –teman si Anto- yang memisahkan mereka”.

“Alasan ia memukuli ?”.

“Katanya, anak itu belanja di kedai kakaknya dengan tingkah seperti raja. Si Edi yang kutemui

dibawah, tidak suka hal itu, ia satu daerah dengan orang yang dipukuli. Padahal si Edi temannya si

Anto”.

“Ah, Sosial itu palsu, kau dengar ?! Mereka itu ketika waras bersapaan baik-baik tapi dalam

hatinya memendam dendam. Ketika kurang kewaspadaan mereka akan menyerang, mabuk itu hanya

alasan untuk menumpahkan kekesalan mereka. Dengan mabuk mereka punya dalih : ‘Maaf tadi aku

mabuk’, begitu kata mereka. Padahal mereka sengaja. Sosial itu palsu, makanya aku malas bergaul.

Hanya orang-orang dengan fisik atau otak yang kuat yang bisa bertahan di dalam masyarakat palsu

yang kejam itu”.

Amin, diam mendengarkan pernyataan temannya yang merupakan kritik akan kejamnya

masyarakat itu sendiri. Ia tidak setuju tapi masih mencari-cari ide untuk membantah pernyataan

temannya yang apatis pada masyarakat ini.

“Pernah dulu aku gabung dengan kelompok pengamen, orang-orang yang biasa tersingkir dan

terhina, para jembel-jembel yang dibenci orang karena bentuk fisik mereka yang jelek dan bau. Aku

ikut mengamen dengan mereka, ketika dapat sedikit uang maka kami belikan makanan seadanya,
kadang itu tidak cukup sehingga kami terpaksa menyampurkan seluruh makanan pada satu tempat

untuk dimakan bersama. Juga ketika aku ikut serta dalam barisan buruh yang rally ke DPRD Semarang,

setelah sebelumnya dihajar sampai berdarah-darah dan babak belur, kami menangis bersama, dengan

perasaan luar biasa sedih dan air mata tak henti-hentinya menetes. Maksudku, tidak semua masyarakat

atau sosial itu palsu dan kejam. Hanya orang-orang yang biasa menyiksa dan melukai yang bersikap

palsu. Orang-orang yang jadi korban mereka akan bersikap sebaliknya, saling bantu, kebersamaan

tinggi dan tidak saling membenci”.

Abdi hanya diam mendengarkan, entah merenungi , entah tidak paham pada perkataan

temannya. Agak lama ia diam, sampai kemudian ia mengajak ke lantai bawah, menuruni tangga batu

yang belum dicat untuk tidur disalah satu kamar dibawahnya. Setelah itu mereka bercakap agak lama,

sebelum kemudian Amin minta pulang tidak tahan dengan gerayangan kepinding yang menusuk dan

terasa gatal.

Pagi tadi ia melihat orang-orang terbuang yang diceritakannya malam tadi diseret paksa dengan

tangisan dan ratapan menyedihkan sekaligus mengerikan. Begitulah, kaum yang biasa menyiksa dan

melukai akan menyingkirkan orang-orang yang biasa mereka siksa dan lukai. Teriakan dan tangisan

para perempuan yang dianggap sampah masyarakat, tidak rela kehidupannya yang hanya seujung jari

diambil dengan kekerasan. Mereka hanya mengais remah-remah roti dan nasi di kota metropolis itu,

mereka tidak merampok tidak membunuh atau melukai orang tapi mereka ditangkap dan disingkirkan.

Amin bertanya sendiri, “Apakah dalam kehidupan orang-orang berseragam yang

menyingkirkan mereka ini juga penuh kepalsuan ??”. Pertanyaan itu tidak terjawab olehnya, ia pergi

dengan sedih, mengayuh sepeda tanpa tenaga, melewati jalan kereta api dengan kerikil-kerikil

kehitaman disampingnya. Di mesjid disamping jalan kereta api itu, pendakwah sedang bicara tentang

“perbedaan orang kaya dan miskin dalam mengeluarkan infaq”. Menurut si buya, orang miskin akan

ber infaq dengan ikhlas walaupun sedikit sementara si kaya belum tentu ikhlas bahkan kadang lebih
sedikit dari yang disumbangkan si miskin. Para pekerja bangunan, terlihat mendengarkan khotbah itu

dari sebuah tempat duduk beratap tak jauh dari situ.

***

Siang dengan terik matahari menyilaukan dan memanggang. Orang-orang baru pulang dari

mesjid sehabis melaksanakan ibadah sholat Jum’at. Amin duduk di sebuah warung dibelakang halte

bus, ia belum makan dari pagi, agak segan makan di rumah siang ini, ia tidak ikut sholat Jum’at, agak

segan pada tuhan atau sedang malas. Dipesannya semangkuk mie dan segelas besar es teh. Tampak di

pinggir jalan tidak seberapa jauh dari tempat itu, seorang kuli bengkel tidak tinggi, dengan wajah penuh

jerawat kehitaman, ia baru pulang dari sholat Jum’at, seorang yang rajin melihat beratnya kerja yang

dilakukan ia masih sempat meluangkan untuk sholat Jum’at.

Kuli bengkel itu mengenalinya dan menyapanya :

“Amin, lama tak jumpa, dimana saja kau ?”. Katanya sambil melangkah kearah Amin dengan

menenteng sebungkus nasi untuk makan siang. Amin hanya diam dan membalas dengan sedikit

senyum, sambil tetap mengaduk estehnya.

“Dimana saja kau ? kuliah atau kerja ?”. Tanyanya lagi.

Kali ini Amin menjawab dengan malas :

“Sekarang aku menganggur, belum punya pekerjaan entahlah mungkin nanti kalau aku pergi

lagi”.

“Rajin-rajinlah berusaha, sekarang hidup sudah semakin susah, kalau tidak kuat bisa tergiling”.

Nasehat si Kuli.

“Kau sendiri, kelihatannya cukup mendapat sesuatu, makanmu sehat sekali hari ini Din”.

“Ah tidak juga, apalah yang didapat dari seorang kuli seperti aku ini, sudah dapat makan sudah

senang hati ini”. Jawab si kuli yang ternyata bernama Udin.


Semangkuk mie panas dihidangkan oleh pemilik warung kecil sekaligus pelayan ini. Amin

mulai menyentuh makanan dengan sendoknya. Diminumnya sedikit estehnya untuk memaniskan rasa

mulut.

“Kemarin aku ke tempat si Abdi, tidur disana, kepindingnya banyak, leherku habis digigitnya,

gatalnya minta ampun”.

“Abdi ? bagaimana kabarnya ?”.

“Baik saja, sekarang ia tinggal berdua dengan ibunya sepeninggal ayahnya”.

“Sudah kerja ?”.

“Belum, masih meraba-raba akan kerja apa”.

“Kasihan”.

Solok, 27 Juli 2002

Penulis : Harsa Permata

Pekerjaan : Mahasiswa

e-mail : rinjani@kompascyber.com

telpon : (0755) 22274

Anda mungkin juga menyukai