Anda di halaman 1dari 5

PALASIK

Karya : Ade Chandra S.Pd

“Ngowak...ngowak...ngowak...! Suara tangis bayi Minah memecah kesunyian Kampung


Talogondan.

“Minah kita bawa saja Rehan ke dokter. Sudah tiga malam ini kita tidak bisa tidur. Rehan
selalu rewel. Ia mencret dan muntah. Badannya kurus.”

“Sudah kubawa siang tadi Rehan ke Puskesmas. Kata Pak Mantri, ia terkena muntaber.
Sudah dikasih obat, tapi masih tetap mencret, Da Madi. Buang airnya sangat busuk. Tidak seperti
buang air biasa.”

“Jangan-jangan anak kita terkena palasik Minah. Apa kau bawa Rehan ke Balai Kudu?”
Suara Madi meninggi, seolah nada cemas menggerogoti hatinya.

“Minggu kemaren aku memang membawa Rehan ke Balai, Da. Aku cuma membeli alat-alat
dapur sebentar.”

“Apa Kau bertemu wanita bersugi? Wanita yang air liurnya warna merah, karena memakan
sirih?” Madi mengintrogasi istrinya, seakan-akan ia membaca suasana di Balai Kudu.

“Benar Uda. Aku bertemu wanita itu. Tapi aku tidak mengenal dia, siapa dia, Da?”

“Hancur Minah...Hancur anak kita. Dia itu palasik! Dia penghisap darah anak-anak bayi.
Apalagi Rehan umurnya baru tiga bulan, sudah kau bawa ke balai.”

“Tapi Aku tidak tahu Uda, kalau wanita itu palasik.”

“Minah kita harus cepat-cepat ke dukun palasik. Kalau tidak, anak kita akan mati! Kau tahu
wanita itu bernama Uniang Solmi. Jarang anak-anak yang selamat, apabila lebih dari sebulan tidak
berobat ke dukun palasik. Dokter pun tidak mampu mengobatinya karena ilmunya tidak sampai ke
arah yang magis.”

“Baiklah Uda, kita bawa anak kita ke dukun Ujang. Karena kata Amak, di desa kita ini
hanya Ajo Bujang yang mampu menangkal penyakit seperti ini,”

Suami istri tersebut bergegas membawa anaknya ke rumah dukun Ujang yang tinggal di
sebelah kampung Talogondan. Mereka menembus pekat malam tanpa rasa takut. Demi anak mereka
satu-satunya, Minah dan Mardi membawa Rehan dalam tetesan rinai yang hinggap di daun kelapa dan
memercik ke wajah mereka. Dengan kain panjang sebagai gendongan Rehan, dan payung hitam yang
menepis rinai malam, mereka bergegas menuju rumah dukun Ujang. Hanya cahaya senter yang
membulat yang menerangi jalan mereka. Hati mereka berharap cemas. Moga-moga Rehan dapat
sembuh.

***

“Assalamualaikum...Ajo...Ajo Bujang. Ini saya Madi dari Kampung Talogondan.”


“Waalaikumussalam. Masuk Madi. Ada apa malam-malam begini?”

“Maaf mengganggu Jo Bujang. Ini si Rehan kena palasik, Jo.”

“Sudah berapa lama?”

“Tiga hari Jo Bujang, Si Marni pergi ke balai, lalu bertemu dengan Solmi perempuan
palasik. Setelah itu Rehan, mencret dan mengurus badannya.”

"Berarti anakmu memang sedang dihisap darahnya oleh perempuan itu. Kau harus
minumkan air mantra ini. Air ini sudah aku berikan anti palasik. Minum selama tujuh hari, lalu usap
ubun-ubunnya dengan air ini, lalu setiap senja hari kau harus mengunyah ramuan sembur ini yang
telah dicampur bawang putih. Kau semburkan di samping jendela kamar. Mudah-mudahan palasik itu
akan pusing tujuh keliling, dan tidak berani datang untuk menghisap darah anakmu."

“Terima kasih Jo Bujang. Ini sedikit syaratnya." Mardi menyelipkan uang kertas limapuluh
ribu ke tangan Ajo Bujang.

***

SUAMI istri tersebut bergegas pulang. Mereka melakukan suruhan Ajo Bujang. Rehan, bayi mungil
diberi jimat oleh Ajo Bujang sebagai penangkal palasik. Jimat tersebut berbentuk pilinan tali dua
warna, hitam dan merah yang menggantung di baju Rehan. Bentuknya mirip bawang putih. Setiap
palasik yang mendekat akan merasa pusing.

Malam hari tidak lagi terdengar tangis Rehan. Bayi itu telah sembuh. Tubuhnya yang kurus
berangsur berisi. Marni merasa senang bayinya telah sembuh. Kejadian ini menjadi perbincangan ibu-
ibu di Kampung Talogondan. Setiap bayi yang terkena palasik, mereka pergi ke rumah Ajo Bujang.
Hingga Ajo Bujang kebanjiran job. Ibarat dokter sepesialis anak, rumahnya selalu kebanjiran tamu
anak-anak. Orang tua antre memesan jimat anti palasik. Walaupun anak mereka tidak terkena palasik,
tapi mereka ingin mendapatkan jimat untuk antisipasi agar anaknya tidak terkena palasik.

"Kurang ajar si Bujang! Ia telah menghambat dahagaku. Setiap bayi diberi jimat. Ia tahu
kelemahanku adalah bawang putih. Kalau begini terus aku bisa mati haus darah."

Solmi geram yang pada dukun tua yang telah menghalanginya. Biasanya, bila ia berhasil
menghisap darah bayi sampai bayi tersebut meninggal, maka ia akan tahan tidak makan selama enam
bulan. Maka secara ekonomi ia hemat tidak makan nasi dan sambal. Cukup darah saja, karena
makanan yang dimakan juga menghasilkan darah. Jadi darah membuat ia awet muda dan tahan tidak
makan. Apalagi saat ini semua kebutuhan pokok mahal. Mulai dari beras, cabai, bawang dan lauk
pauk sebagai sambalpun ikut melonjak. Jadi jalan satu-satunya Solmi harus menghisap darah bayi.
Ilmu palasik ini diwarisi oleh nenek moyangnya.

Solmi adalah perempuan yang mewarisi ilmu palasik. Ia anak perempuan tunggal pewaris
ilmu hitam. Ibunya, Uniang Karani. Sebelum meninggal Uniang Karani berpesan agar ilmu ini dapat
diturunkan pada putri satu-satunya. Bila tidak diwarisi, maka Uniang Karani tidak dapat bertemu ajal.
Antara hidup dan mati menanggung sakit sakaratul maut. Untuk itu jalan satu-satunya untuk menutup
mata, maka Solmi harus menjilat lidah ibunya. Awalnya Solmi tidak mau, akhirnya karena tidak tega
melihat ibunya Uniang Karani yang mata dan lidahnya terjulur, ia pun menjilat lidah ibunya.
Akhirnya ilmu palasik tersebut pindah pada dirinya.
Gara-gara ilmu palasik ini juga Solmi bercerai dengan suaminya. Solmi yang memiliki anak
perempuan semata wayang bernama Anis, terpaksa ia sekolahkan jauh dari dirinya. Solmi merasa
cemas kalau anaknya dekat dengannya. la tidak ingin anaknya tahu kalau ia seorang palasik. Mati pun
Solmi tidak ingin anaknya mewarisi ilmu palasik ini, karena cukup ia saja yang jadi pewaris terakhir
ilmu palasik. Ia tidak ingin melihat masa depan anaknya suram, dibenci banyak orang dan susah dapat
suami. Untuk itu Solmi menyekolahkannya di kota.

***

ANIS telah berhasil di perantauan. Ia jadi wanita karier yang hebat. Semua jabatan penting pernah
dipegangnya. Ia selalu menghisap uang rakyat. Tidak heran rekeningnya gendut di bank-bank yang
ada. Uang merah darah jadi santapannya setiap hari. Ia menjadi wanita miliar dan wanita triliun.
Hartanya menyebar ke seluruh pelosok nusantara. Ia lihai. Semua kasusnya selalu menang. Tidak ada
yang pernah mengalahkannya.

Pernah suatu ketika Anis mengajak ibunya ke kota. “Mak, sebaiknya Amak tinggal bersama
Anis. Di sini semua serba ada, Amak tidak usah repot-repot cari uang di kampung. Kita nikmati
semua yang ada di kota. Di kampung sekarang banyak orang yang hidup susah, jadi pengangguran,
ibu-ibu suka mengurusi urusan orang lain alias ngegosip. Sementara di kota ini orang sibuk mengurus
urusan sendiri. Kepentingan sendiri. Untuk itu lebih baik Amak pindah ke kota.”

“Tidak Nis, Amak tidak bisa meninggalkan rumah di kampung. Rumah itu warisan keluarga
kita. Amaklah yang mengurus rumah itu. Selain itu Amak lebih senang hidup di kampung. Kampung
penuh ketenangan, jauh dari hiruk pikuk.”

“Tapi Mak, tidak enak hidup sendiri di tempat sunyi. Apalagi Amak sudah tua.”

“Biarlah Nis, Amak sanggup hidup sendiri, yang terpenting Amak senang bila melihat kau
telah sukses dirantau. Hati-hati Nis, jaga diri di kota, karena di kota banyak orang jahat.”

“Baiklah Mak, kalau itu keputusan Amak, Anis tidak dapat memaksa.”

Alangkah naifnya, Solmi dan Anis bicara tentang kebaikan. Padahal, mereka anak dan ibu
yang sama-sama jahatnya. Yang satu palasik kampung yang satunya lagi palasik kota. Yang satu
penghisap darah bayi dan yang satunya lagi penghisap uang rakyat. Anak dan ibu saling
menyembunyikan kejahatan masing-masing.

***

“Kita bunuh saja wanita palasik itu Ajo Maran. Supaya kampung kita aman. Kalau begini
terus habis uang kita untuk berobat ke Ajo Bujang!”

"Sabar Madi, kita buktikan dulu kejahatannya. Baru kita tangkap. Tidak boleh main hakim
sendiri. Kan negara kita negara hukum."

"Habis aku kesal Jo Maran. Jimat yang diberikan Ajo Bujang hanya mampu bertahan
sebulan. Lalu kita berobat kembali padanya. Sementara untuk makan saja kita di kampung ini sudah
sukur. Untuk berobat saja, terpaksa aku jual TV di rumah. Kalau begini terus mungkin tanah pusaka
kita akan tergadai!"

Begitulah setiap kepala keluarga merasa kesal dan marah dengan keberadaan Solmi, wanita
palasik itu hanya menghentikan aksinya sebulan ketika semua bayi pakai jimat. Namun jimat yang
dipakai tidak tahan bila tidak diganti dengan jimat yang baru. Kampung Talogondan menjadi rusuh,
setiap bayi yang terkena palasik mengalami sakit dan sembuh setiap bulan.

***

"Bujang keluar kau, hadapi aku. Gara-gara kamu, aku mengalami kesulitan untuk
menghisap darah!"

"Tenang Uniang Solmi, kita sama-sama palasik. Kau untung aku pun untung. Karena hanya
palasik-lah yang bisa menangkal ilmu palasik."

"Ooo begitu rupanya ya. Kau menangguk di air keruh. Kau manfaatkan kesalahanku untuk
mencari kekayaan. Aku hisap darah hanya untuk menyambung hidup dan mempercantik diri.
Sementara kau untuk memperkaya diri, berkedok sebagai dukun palasik. Aku dibenci kau disanjung.
Tidak bisa. Aku tidak terima hal ini."

"Jadi apa maumu. Apakah kita tidak bisa berdamai. Aku sanggup menyediakan darah
untukmu. Berapa orang bayi yang darahnya kau inginkan?"

"Baiklah aku hanya butuh lima orang bayi, tapi ingat kalau kau mungkir. Rasakan
akibatnya!"

Persekutuan dua orang palasik menambah kacau Kampung Talogondan. Setiap bulannya
ada saja bayi yang meninggal. Dokter hanya dapat menafsirkan bayi yang meninggal kurang gizi atau
tidak melakukan imunisasi. Sementara banjir airmata mengenangi hati para orang tua yang ditinggal
anaknya. Mereka makin geram atas sepak terjang palasik. Madi telah kehilangan anaknya Rehan.
Padahal pasangan suami istri itu susah mendapat keturunan. Anak satu-satunya telah pergi menghadap
Ilahi dengan cara yang tidak wajar menurutnya.

"Kita bakar saja palasik itu. Termasuk Ajo bujang. Rupanya dukun itu palasik juga. Kita
telah ditipunya. Mereka berdua bersekongkol. Karena aku telah melihatnya. Ajo Bujang pergi ke
rumah Solmi menyerahkan bingkisan hitam. Dan aku dengar sendiri mereka bersekutu. Kita ditipu!"

Madi berteriak seperti orang kesurupan di balai Kampung Talogondan. Para orang tua
berteriak setuju.

"Ya kita, setuju. Kita bakar mereka, saat kepalanya terpisah dari badannya. Ya mereka
palasik kuduang. Biasanya palasik itu kepalanya berpisah dengan badan pada malam Jumat saat
purnama bersinar. Kita bisa membakar raganya yang tinggal di rumah mereka masing-masing, jadi
membuktikan mereka palasik atau bukan adalah pada saat itu." Irwan salah seorang pemuda memberi
komentar pada penduduk yang hadir saat itu.

***

MALAM purnama, Jumat Kliwon yang ditunggu telah datang. Rencana pemuda Kampung
Talogondan dijalankan dengan rahasia. Sampai rumput pun enggan berbisik. Mereka menyebar ke
dua rumah. Rumah Solmi dan rumah Ajo Bujang telah mereka kepung. Pintu didobrak. Ternyata
benar. Tubuh Solmi dan Tubuh Ajo Bujang tanpa kepala. Mereka langsung membakar dua tubuh
tersebut. Tanpa ampun tubuh tersebut melepuh, sementara dua kepala yang pulang mencari tubuhnya
masing-masing merasa bingung dan cemas karena tubuhnya telah hangus. Penduduk melempari dua
kepala yang bergentayangan sampai jatuh ketanah dan membakarnya tanpa ampun. Mereka
melampiaskan dendam atas kematian anak mereka. Kabar ini terdengar oleh Anis, anak Solmi. Ia
hanya dapat menangis di jeruji besi, karena ia pun telah tertangkap tangan me-malasik negara.*

Pariaman

palasik : makhluk dedemit penghisap darah

balai : pasar

Anda mungkin juga menyukai