Anda di halaman 1dari 12

Perempuan Ingin Dimengerti

Cerpen Yurgo Purab (Pos Kupang, 14 Oktober 2018)


PEREMPUAN selalu lahir dari sepasang air mata. Entah kenapa
setíap kali bertemu seorang perempuan, selalu saya dapati bening
air matanya mengalir tipis di cekung kedua pipinya. Saya jadi
sadar, mungkin perempuan dilahirkan untuk ditindas maupun
dijadikan kuda tunggangan tuk menanggung beban dalam
keluarga. Mulai dari urusan makan minum sampai cuci popok bayi
serta kebutuhan menguras bak WC dan sebagainya. Saya heran
mengapa laki-laki selalu menuding itu pekerjaan seorang
perempuan?
Wajah lebam ibu Lefty belum juga membaik. Sejak pertengkaran biaya sekolah sang buah hati
Dhalia, membuat Ibu Lefty jadi emosi. Saking emosinya ia mengeluarkan kata-kata yang
menyulut pertengkaran hebat keduanya sore itu.

“Laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Selama ini buat apa saja. Uang topi saja tidak bisa kau
beli, kita mau harap apa?”

“Kau tak seharusnya berkata begitu Lefty, saya pusing sana-sini cari kerja buat hidup kita.
Perempuan mata duitan. Tahunya hanya uang saja,” ucap Pak Darno sambil menarik rambut ibu
Lefty dan menggiringnya ke dekat meja kerjanya.

Berkali-kali mereka membahas hal remeh-temeh. Mulai dari soal makan minum sampai ekonomi
keluarga yang dibilang mentok.

Tak hanya itu, berkali-kali Ibu Lefty mendapat tempelengan keras serta tonjokan di pelipis
matanya hingga memar kehitaman. Tak jadi masalah.
Baginya cinta itu penuh risiko. Risiko menghadapi lautan cinta yang maha dalam dan juga
umpatan serta tempelengan yang malang. Inilah yang sering dialami Ibu Lefty.

Pak Darno bekerja sebagai tukang jahit sepatu. Setiap hari ia berangkat kerja dengan sepeda
bututnya menuju pertokoan. Di pinggir jalan, dekat gedung pencakar langit itu, Pak Darno
duduk di bawah teras sambil menyodorkan jasa menjahit sepatu dan sandal. Sudah banyak orang
yang langganan padanya. Mulai dari para pegawai sampai para petani di kampung halamannya.
Namanya cukup favorit di kalangan masyarakat.

Sedangkan Ibu Lefty adalah seorang guru honor di salah satu sekolah swasta. Kurikulum K-13,
yang banyak tetek bengeknya membuat ia lebih banyak fokus pada urusan adimistrasi ketimbang
mengajar dan mendidik. Ilmu didaktik menjadi tak berlaku sebagaimana mestinya.

Tuntutan menjadi guru amat berat. Selain mengajar juga memperhatikan adimistrasi yang kerap
membuat para guru harus berjuang keras demi hal ini. Tragisnya, gaji sebagai gum honor tidak
seberapa.

“Bagaimana saya bisa hidup pak dari gaji sekecil ini dengan adimistrasi serumit itu,” ungkap Ibu
Lefty ketika ditanya oleh kepala Dinas PPO di sekolahnya.

“Begini, Bu, mengabdilah dahulu nanti pasti ada hikmah di balik semua itu,” ujar Pak Bustanto
dengan kelakarnya.

“Saya sudah berkeluarga, Pak. Buat makan sehari saja saya pusing tujuh keliling. Bagaimana
harus sabar. Perhatikanlah gaji kami, Pak. Kami akan perhatikan pendidikan ini dengan baik jika
ditunjang dengan gaji kami yang baik pula.”

“Saya mengerti maksud, Ibu. Tapi kita harus tunggu kebijakan pemerintah lebih lanjut untuk
menanggapi persoalan ini,” tegas Pak Bustanto.
Seharusnya gaji dan perjuangan guru harus lebih tinggi dihargai. Bagimana tidak? Pencerahan
serta perjuangan mencerdaskan anak bangsa adalah tugas pokok mereka. Dari ketidaktahuan,
mereka menghantar anak-anak untuk tahu membaca, berhitung dan juga menulis. Tapi aneh gaji
guru diabaikan begitu saja.

Suatu pagi pertengkaran hebat datang lagi. Dhalia, putri semata wayang lagi berada di sekolah.
Hanya gara-gara menu makan pagi itu. Sayur daun kelor dengan jagung titi seharusnya menjadi
menu paling spesial tentunya. Tetapi tidak bagi pak Darno .

“Aduh, daun kelor lagi, tidak ada menu lain selain ini, Ibu?” bentak Pak Darno

“Pak, pulang sekolah baru mama buatkan lebih enak. Sekarang mama harus ke sekolah. Lihat itu
Dhalia sudah pergi dari tadi,” ucap Ibu Lefty.

“Kamu perempuan model apa. Kerjanya tidak becus. Setiap hari hanya urus dandan saja,” kata
Pak Darno dengan nada emosi.

Keduanya terlibat adu kata. Sampai-sampai tinju dan tempelengan menghujam di otak belakang
Ibu Lefty. Ia jatuh ke lantai bersimbah darah. Selain pelipisnya pecah, juga otak kirinya
mengalami gangguan karena tonjokan keras Pak Darno . Segera para tetangga datang
menghantar Ibu Lefty ke rumah sakit, setelah mendengar teriakan Ibu Lefty minta tolong.

Pak Darno hilang akal. Ia segera ke rumah sakit menghampiri istrinya. Ibu Lefty divonis
mengalami gangguan otak sebelah kiri. Karena itu ia perlu mendapat penanganan medis secara
khusus selama dua bulan. Pak Darno tidak tahu mau buat apa. Biaya hidup saja susah apalagi
biaya rumah sakit. Ia benar-benar stress kala itu. Ia memilih pulang ke rumah karena Dhalia
harus pulang sekolah siang ini
Bagimana saya bisa masak? Dhalia makan apa siang ini. Celetuk Pak Darno dalam hati. Tak ada
menu lain bagi Dhalia. Ia merengek minta dibuatkan ikan asin campur tomat kesukaanya. Tapi
apa daya Pak Darno tidak bisa berbuat apa-apa.

“Nak, makanlah dahulu yang ini. Mama ada keluar sedikit. Sebentar malam baru mama buatkan
yang enak buat Dhalia,” kata Pak Darno memelas.

“Iiiih, tidak mau. Saya tidak mau makan,” ucap Dhalia rewel.

“Ayolah, Nak…nanti kamu sakit.”

“Tidak mau, saya mau ketemu ibu,” ucap Dhalia sambil merengek di lantai.

Dhalia semakin hari semakin memperihatinkan. Apalagi ia tahu bahwa ibunya masuk rumah
sakit. Selalu saja ia menangis dan ngambek di rumah sakit. Bahkan ia tidak mau ke sekolah.
Ayahnya tak bisa menanganinya lagi. Semakin hari keluarga mereka semakin berantakan. Pak
Darno berharap agar semuanya segera teratasi. Ia tidak tahan dengan situasi seperti ini.

Pak Darno baru sadar bahwa begitu sulit menjadi perempuan. Selain bekerja di dapur, juga
menjadi ibu yang harus tahu mau-maunya seorang anak. Banyak hal yang tidak ia pahami dari
Dhalia. Sikap manja dan rewelnya buat Pak Darno jadi pusing. Memang dia lebih dekat dengan
mamanya ketimbang Pak Darno . Uang hasil mengaso sehari dari hasil jahit sepatu bisa ia
dapatkan 200.000 ribu. Tapi sayang hanya 50.000 ia berikan pada istrinya. Sisanya ia habiskan
buat belanja minum-minum dan kebutuhan rokok. Pantas saja istrinya mengamuk dan tidak bisa
membeli bumbu tuk masak yang lebih enak.
Penyesalan selalu datang terlambat. Perempuan selalu butuh dimengerti. Mereka hadir bukan
untuk ditindas apalagi diperlakukan sebagai budak dan suruhan. Lalu untuk apa kamu menikah?
Hanya untuk menindas seorang perempuan? Tentu tidak bukan? Karena itu, tak cukup kau
menikah. Berilah kasih sayang seluas samudra dan petiklah kedamaian di dalam rumah
tanggamu. Cinta kerap tumbuh dari ladang hati yang subur. Tinggal kau merawatnya dan
menyiraminya dengan kasih. Walau tanah di hati itu tandus, tapi kalau kau tetap menyiraminya
dengan kasih ia akan bertunas subur. Tak ada yang diinginkan dari seorang perempuan selain
mereka ingin dimengerti. Jika kau mampu menaklukkan dan menenangkan hatinya. Kau tak
kehilangan cinta darinya.

PEREMPUAN PENCEMBURU
Cerpen Gde Aryantha Soethama (Kompas, 18 Desember 2016)

erempuan pencemburu itu tak pernah lengah sekejap pun mengawasi suaminya. Ia seperti
memiliki seribu mata dan sejuta pikiran yang sanggup memberi laporan ke mana suaminya
melangkah, di mana berada, dan apa yang dikerjakan.

“Jadi kamu ke perpustakaan di balai kota sepulang mengajar tadi?” selidiknya.

“Iya, jadi, kenapa?”

“Benar cuma ke perpustakaan?”


Laki-laki itu terperanjat, curiga. Ia mengambil tas jinjing yang biasa ia bawa ke sekolah
mengajar. Dia rogoh tas kulit itu, mengacaknya beberapa kali. Tangannya terhenti ketika meraba
sesuatu di antara selipan kertas tugas anak-anak. Ia keluarkan benda itu, sebuah GPS tracker.
Seminggu lalu ia mendapatkan GPS di sepeda motor, kini dalam tas. Perempuan itu punya naluri
cemburu sangat kuat dan begitu rinci, seperti seorang detektif bayaran memburu sasaran.

“Aku sempat ke toko buku boncengan bersama teman guru.”

“Guru perempuan kan? Iya kan, perempuan?”

Laki-laki itu beringsut, masuk kamar, merebahkan diri di dipan. Perempuan itu memburunya,
berdiri di pintu. “Jujur saja kenapa sih? Perempuan kan?”

Laki-laki itu menutup kepala dengan bantal. Ia acap bingung, bagaimana akhirnya ia
terperangkap dalam kurungan seorang perempuan pencemburu berat, yang bahkan melarang dia
berbincang berdua dengan murid-murid wanita.

Alangkah sengsara lelaki itu, betapa sedih, perasaannya remuk dari waktu ke waktu, bertahun-
tahun. Pernah ia berpikir, kehadiran seorang buah hati akan menenteramkan kecemburuan itu.
Tapi penerus itu tak kunjung datang, dan kecemburuan itu terus berbiak, melilit, melahap dan
melumat lelaki itu, sampai ia kurus kering, menjadi sosok teronggok tanpa daya, sungguh-
sungguh tak kuasa bergerak.

Setahun pensiun ia meninggal karena radang paru-paru. Orang-orang menduga ia mati karena
disergap kesepian, dikoyak sunyi karena tak lagi berdiri mengajar di depan kelas. Hanya laki-laki
itu yang tahu, ia mati karena tak sanggup melawan kuasa cemburu istrinya. Bahkan perempuan
itu tetap cemburu kendati jasad laki-laki itu diaben, dan abunya dibuang ke laut. Ia yakin, setelah
menjadi atman suaminya akan tinggal di alam Nir, wilayah yang dihuni oleh banyak sekali roh
cantik penuh kobaran gairah, siap menggoda suaminya. Untuk melacak tak mungkin ia minta
tolong sama GPS tracker.

“Aku harus ke sana,” kata hati perempuan itu mendesak-desak. Tapi untuk ke Nir ia harus
menjadi roh. Ia harus mati baik-baik, kalau bunuh diri atmannya akan nyasar ke mana-mana, tak
bakalan sampai ke Nir. Kalau ia panjang umur, alangkah lama menunggu mati baik-baik. Bisa
jadi suaminya sudah dalam pelukan perempuan lain.

Beruntung perempuan itu punya ilmu Batas Tidur, yang ia resapi di pedukuhan Astungkara,
diturunkan oleh Guru Tung. Siapa pun yang menguasai aji Batas Tidur bisa memilih sendiri hari
mati dengan tenang dan sentosa. Dia cukup tidur telentang, kedua tangan di samping badan, dan
berusaha tetap terjaga saat-saat detik tertidur. Ketika itulah atman lepas dari badan, melayang-
layang meninggalkan Bumi menuju Nir. Dia pun akan mati jika memutuskan tidak kembali ke
Bumi, karena roh tak kembali ke badan. *)

Perempuan itu menjalankan aji Batas Tidur setelah suaminya meninggal sebulan. Orang-orang
berujar betapa setia perempuan itu pada pasangannya, sampai-sampai mati cuma empat pekan
setelah ditinggal suami. “Hanya perempuan yang sangat setia bisa menjalankan welas asih
seperti itu,” komentar orang-orang disertai ratap tangis kerabat.

Hujan turun lebat ketika perempuan itu tiba di Nir. Kabut menyelinap di mana-mana di wilayah
yang tak mengenal perbedaan siang dan malam itu. Perempuan itu menerobos hujan mencari-cari
suaminya. Hatinya dag-dig-dug terus, disertai harap jangan sampai suaminya dalam pelukan roh
perempuan lain.
Perempuan itu terus melangkah, hilir mudik, kadang ia tergopoh-gopoh mendekati sosok seperti
suaminya. Hatinya semakin deg-degan, lama sekali dan sudah sangat jauh ia melangkah, tak jua
berjumpa laki-laki yang meninggalkan Bumi baru sebulan lalu. Kepalanya disesaki pikiran
curiga, dijejali syak wasangka.

Cemburu berputar kencang dalam dadanya bagai hendak merontokkan jantung, ketika ia melihat
seorang separo baya menjinjing buku catatan. Pipi orang itu gembul, berkuncir, dengan rahang
bawah terdorong ke depan dan jidat menonjol, sehingga bola matanya tampak masuk lebih dalam
ke ceruknya. Ia mendekati laki-laki itu, mencakupkan tangan di dada.

“Bolehkah hamba menanyakan keberadaan seseorang?” sapanya. “Hamba baru sampai, ingin
tahu keberadaan suami hamba yang datang ke Nir sebulan lalu.” Perempuan itu menyebut hari
kematian suaminya, menjelaskan ciri-cirinya, penyebab kematian, untuk dicocokkan dengan
catatan yang dibawa si pipi gembul.

“Wah… wah… belum sejam lalu suamimu menitis ke Bumi,” ujar si pipi gembul setelah
memeriksa catatan.

Perempuan itu tercengang. “Begitu cepat? Adakah sesuatu yang mengharuskan ia menitis
segera?”

“Dia roh yang baik, belum sepantasnya berada di Nir. Bumi membutuhkannya.”

“Boleh hamba tahu di mana ia menitis, jadi apa?”


“Dia akan menyempurnakan baktinya sebagai guru, di kota yang dihuni berbagai suku dan
bangsa.”

“Mohon ampun hamba lancang, bolehkah hamba segera menyusul dia?”

Si pipi gembul tersenyum. “Ini demi kesetiaan atau..”

“Hamba bersumpah akan terus merawatnya, ke mana pun dia pergi.”

“Merawat atau menjaga? Karena setia atau karena cemburu?” Si pipi gembul terkekeh.
Perempuan itu melengos malu, tapi ia bahagia karena diperkenankan kembali ke Bumi segera,
padahal belum separo hari dia di Nir.

“Tapi, kedudukan dan martabatmu akan berbeda jauh dengan dia.”

“Tidak apa-apa, yang penting kami ditakdirkan selalu dekat dan bersama.”

Terik matahari memanggang ketika perempuan itu lahir di lereng bukit yang gersang, di tengah
gubuk petani miskin. Dia meneruskan sekolah selepas SMP, bertani membantu orangtua,
kemudian seorang kerabat mengajaknya ke kota, menyerahkan dia ke keluarga seorang guru
yang beristri karyawan bank, untuk jadi pembantu rumah tangga, mengurus seorang anak balita.
Si istri terlalu sibuk, berangkat pagi sekali dan pulang paling cepat selepas petang. Perempuan itu
pun menjadi seperti ibu pengganti, mengurus seluruh keperluan rumah tangga. Dan ia selalu
merasa dekat dan berhasrat memiliki laki-laki guru itu. Ia cemburu jika melihat si istri
bermesraan dengan suaminya. Ia sering mengintip jika lelaki guru itu duduk memangku istrinya
di ruang tengah dalam cahaya remang sambil menonton televisi.

“Ibu tak baik kalau bermesraan sama Bapak,” protesnya kepada si istri suatu saat ketika
mempersiapkan sarapan.

Tentu si istri heran dan merasa itu cuma guyonan belaka. “Memangnya kenapa? Kamu iri ya?
Hi-hi-hi….”

Perempuan itu cemberut. “Karena tidak baik saja kalau kebetulan saya lihat,” ujarnya ketus
berlalu menyeret langkah ke dapur. Dia merasa si istri menjadi penghalang untuk memiliki lelaki
guru itu. Dia bertekad melenyapkannya agar dia terbebas dari cemburu. Sudah dia pilih cara
paling jitu: meracun.

Kakek perempuan itu seorang dukun yang sering menolong orang desa penderita muntah darah
karena diracun. Dari si kakek, ia paham bermacam jenis racun yang kasar, yang begitu diminum
membuat seseorang sakit perut, terkapar muntah darah; sampai racun sangat halus, yang enam
bulan baru tampak akibatnya. Korban akan digerogoti maut, kurus kering, lumpuh, mata layu
kosong, napasnya kian sesak, tak kuasa bicara, mati perlahan-lahan. Kakek menyebut racun itu
Cetik Lemuh, terbuat dari serbuk kuningan, dicampur buah lempeni dan abu tulang manusia,
digiling halus.

Perempuan itu dengan mudah memperoleh serbuk kuningan dari bengkel kerja pembuat gamelan
di Desa Tihingan. Tulang dibakar dengan mudah ia curi ketika menghadiri ngaben. Buah
lempeni banyak tumbuh di kampungnya. Racun itu ia tuangkan ke dalam kopi-susu yang ia
hidangkan buat perempuan karyawan bank itu setiap sarapan, dicampur setengah sendok teh
madu untuk menyamarkan rasa.

“Enak banget kopi-susumu,” puji si istri sering kali. Tentu ia tak sadar setiap teguk yang ia
seruput memakan ribuan darah merah dan darah putih di sekujur badan, disertai maut
menggerogoti, sehingga lima bulan setelah tegukan pertama ia cuma terbaring di tempat tidur,
diare tak kunjung berhenti. Tubuhnya tinggal tulang berselimut kulit. Dua bulan kemudian ia
meninggal, dokter mendiagnosis ia menderita kanker pankreas.

Tentu yang paling girang adalah perempuan pembantu rumah tangga itu. Kini ia mencengkeram
nasib sang guru, tapi cemburunya tetap meledak-ledak. Selalu ia bertanya penuh selidik ke mana
saja si guru pergi, apa kesibukannya. Ia juga melarang sang guru berbincang berdua dengan
murid-murid wanita.

Suatu hari perempuan itu bertanya, ke mana lelaki itu pergi seusai rapat guru di kantor Dinas
Pendidikan.

“Jadi Bapak cuma rapat, tidak ke mana-mana setelah itu?”

“O ya ya ya, saya singgah ke Perpustakaan Kota, baca-baca.”

“Dengan siapa ke sana? Dengan guru perempuan kan?”


Laki-laki itu mengerenyitkan alis tidak mengerti mengapa ia dituduh. “Ya ya ya ada guru
perempuan ikut, kami bertiga ke sana.”

“Setelah itu Bapak ke Pasar Kereneng kan, ada apa ke sana?”

Laki-laki itu semakin bingung. “Kami beli soto. Lapar.” Tentu ia tak tahu kalau sebuah GPS
tracker dipasang di bagasi motornya, melacak keberadaannya. “Memangnya kenapa?”

“Tak elok saja Pak, makan bersama perempuan bukan istri, kendati sama-sama guru.”

Di alam Nir, perempuan itu menjadi perbincangan di antara para pencatat atman.

“Ganjaran apa kita berikan buat perempuan pencemburu berat seperti itu, sampai membunuh
pesaing, jika ia datang lagi ke Nir?” tanya si pipi gembul kepada rekan-rekannya.

Tak ada yang menjawab, mungkin karena memang belum ada hukumnya, atau mereka sedang
menimbang-nimbang penuh saksama.

Anda mungkin juga menyukai