Anda di halaman 1dari 9

Dunia mungkin memang diciptakan terkadang untuk jadi tak bersahabat.

Dengan setiap lubang dan


kerikil tajam yang selalu siap mematahkan setiap langkah yang terlampau mantap. Semua hal tentu
saja bermula dari sebab hingga kemudian memunculkan akibat. Ringan atau berat setiap akibat,
semua tergantung dari mulanya. Ada yang datang tentu saja akan pergi, ada saat bibir
menyunggingkan senyum semanis madu namun ada kalanya mata tak mau kalah lantas menitikkan
setiap tetes penuh kepedihan. Andai saja pertemuan itu tak terjadi tentu saja tak akan ada hari ini.

“Bu, Mas Bara ngambil pensil Dara lagi!”, teriakan melengking seorang gadis kecil yang setiap pagi
selalu menjadi awal keributan dibawah atap ini.

“Mas cuma pinjem sebentar Dek, nih Mas balikin.”, lelaki kecil itu segera menyusul gadisnya keluar
kamar sembari menyodorkan pensil berwarna pink itu.

“Pensil Mas Bara nggak ada ya, kok ngambil punya Adek?”, tanya wanita yang masih bercelemek itu
sabar.

“Tadi Bara cuma mau ngerautin pensil Adek Bu, sekalian sama pensil Bara.”, senyum sekali lagi
tercipta diwajah ayu Lara melihat anak lelakinya yang begitu menyayangi si gadis.

“Lain kali Adek kalau lihat Mas Bara ambil barang-barang Adek, jangan langsung teriak-teriak ya Nak,
Adek harus tanya dulu baik-baik ke Mas Bara, Ok honey?”

“Iya Bu, Adek minta maaf, maafin Adek ya Mas.”, dipeluknya kakak lelaki yang hanya berbeda usia
lima menit itu.

“Nah sekarang siap-siap sarapan ya, Adek tolong panggil Papi ya, Mas Bara tolongin Ibu bawa piring
ya Nak!”

“Siap Bu!”, mereka menjawab bersamaan dan bergegas menjalankan tugas yang sudah dibagi tadi.

Langkah kaki riang si gadis kecil menuju kamar utama di apartemen mewah itu. Diketuknya pintu
sebelum perlahan membuka dan masuk ke kamar lelaki dewasa yang dipanggilnya Papi itu.

“Papi udah selesai belum? Ibu bilang kita sarapan sekarang.”, Bara juga Dara meski terhitung masih
sangat belia benar-benar mengerti tentang sopan santun karena Lara selalu mengajarkan mereka
untuk selalu bersikap sopan terutama dengan yang lebih tua.

“Papi udah selesai sayang, ayo kita sarapan!”, diangkatnya tubuh mungil yang kini telah berusia lima
tahun itu dan membawanya keluar menuju meja makan.

Dewandra melepaskan gadis kecilnya diatas kursi di meja makan dan meraih kursinya sendiri
kemudian duduk dengan gembira.

“Nasi goreng, I like it!”, serunya riang seperti anak-anak.

Larasati dengan sigap menyendok nasi goreng untuk masing-masing anggota sarapan pagi ini. Nasi
goreng kesukaan si Tuan rumah dengan telur mata sapi kesukaan gadis kecilnya, tak ketinggalan
sosis goreng favorit jagoannya. Mereka mulai makan setelah berdoa sejenak. Tak ada percakapan
selama makan karena Lara memang tak suka berbicara saat makan sehingga anak-anaknya pun
mengikuti kebiasaan itu. Setelah selesai sarapan Lara memberekan meja dan memcuci piring kotor
sebentar sebelum Kembali menyiapkan anak-anaknya ke sekolah.

“Dara bekalnya nanti dihabiskan ya Nak, jangan sampai nggak makan, Mas Bara nanti ingetin Adek
ya Mas!”, Lara mengingatkan.
“Iya Bu, nanti kalau Dara nggak habis Bara bantuin ngabisin deh hehe…”, cengiran cowok kecil itu
begitu manis.

“Ok udah ready semua kan? Ayo kita berangkat sebelum macet!”, sekolah mereka memang cukup
jauh dari apartemen, lebih tepatnya Lara dan Andra memang sengaja mencari sekolah yang lebih
dekat dengan kantor sehingga memudahkan untuk mengantar jemput anak-anak itu.

“Ayo berangkat!”

Pagi itu tentu saja seperti pagi-pagi sebelumnya, penuh tawa dan kebahagiaan. Keluarga utuh yang
selalu dirindukan Dewandra meski belum benar-benar jadi miliknya, setidaknya dia diijinkan untuk
ikut menikmati semua kebahagiaan ini. Berada di atap yang sama dengan perempuan
mengagumkan yang telah lama menjadi penghuni di hatinya. Dan kehadiran dua malaikat kecil lima
tahun lalu yang menyempurnakan hidup Andra. Bara juga Dara mungkin masih mengingatkan luka
hati Lara, namun Andra yakin kasih sayang Lara pada kedua anaknya melebihi rasa sakit apapun di
dunia ini.

Andra memasuki area parkir sekolah elit itu. Meski masih di jenjang pra sekolah Andra memang
memaksa Lara untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah itu, sedangkan awalnya Lara hanya akan
menyekolahkan di kembar di sekolah biasa agar dapat bergaul dengan orang-orang biasa juga,
namun Andra tak mau dibantah. Menurut Andra sekolah adalah sesuatu yang penting dan selagi
bisa dan mampu memberi tempat belajar yang terbaik untuk anak-anak kenapa tidak?

Dengan penghasilan Lara saat ini, dia tak mempermasalahkan mengenai biaya sekolah si kembar
yang fantastis, hanya saja yang sempat jadi pertimbangannya adalah pergaulan anak-anaknya di
tengah anak-anak jetset lain. Lara tak ingin anak-anaknya terlena dengan kemudahan yang mereka
miliki sekarang, dia ingin anak-anaknya tumbuh dengan sederhana dan bergaul dengan orang-orang
dari banyak lingkungan, namun disisi lain Lara juga tak bisa menampik bahwa sekolah yang mahal
tentu saja menawarkan fasilitas dan sumber daya pendidik yang lebih baik, jadilah dia menurut
dengan kemauan Andra.

Lima tahun telah berlalu sejak pertama kali Lara memasuki kehidupan Andra. Sejak hari ini rasa
syukur tak pernah putus di hatinya, juga rasa terima kasih pada Andra yang dengan ikhlas
membantunya juga menjaga dia dan anak-anaknya hingga kini.

“Belajar yang baik ya Nak.”, Lara mencium kening anaknya masing-masing setelah mereka mencium
tangan Lara bergantian dan kemudian melakukan hal yang sama pada Andra. Keduanya lantas
memasuki kelas yang telah disambut oleh guru mereka.

Andra dan Lara kemudian bertolak menuju kantor mereka. Ya, Lara bekerja di kantor Andra tak lama
setelah dia tinggal di apartemen Andra lima tahun lalu. Bagi Andra kehadiran Lara di hidupnya
adalah hadiah yang sangat indah dari Tuhan. Setelah sekian lama hidup sendiri sejak kematian
kedua orang tuanya. Meski malam itu bukan pertemuan pertama mereka, bagi Andra sosok Lara tak
pernah bisa dia lupakan sejak dia masih duduk di bangku SMA hingga malam yang membuat Andra
merasa takut juga bahagia sekaligus.

Flashback

Ciiiiiiitt………ciiiiiittt…………..
Andra mendadak menghentikan laju pajeronya di tengah hujan deras di gelapnya malam Labuan
Bajo yang sunyi. Kesadarannya segera kembali saat dilihatnya seorang tergeletak tak sadarkan diri di
depan mobilnya. Bergegas dia keluar dan menghampiri orang yang berwajah pucat itu. Sekilas
dilihatnya wajah ayu yang nampak dia kenali sebelum mengangkat tubuh basah kuyup itu dan
membawanya ke rumah sakit terdekat. Sepanjang jalan menuju rumah sakit Andra mencoba
meyakinkan diri bahwa perempuan yang kini duduk disebelahnya bukanlah perempuan yang dia
kenal meski itu wajah yang sama karena seharusnya pemilik wajah ini ada di Jogja bukan disini.

Setelah sampai Andra menggendong wanita itu bergegas masuk ke IGD yang tampak lengang. Andra
mulai berteriak memanggil dokter karena tak ada yang menghampirinya sedangkan dia mulai panik
karena suhu tubuh wanita di gendongannya tidak normal. Beberapa perawat terlihat mendorong
ranjang diikuti seorang dokter pria yang masih muda.

Setelah mendapat pertolongan pertama wanita itu dipindahkan ke ruang rawat dan Andra diminta
untuk mengurus administrasinya. Sempat bingung harus bagaimana mengisi formulir data pasien
yang dipegangnya kini sebelum dia memutuskan membuka tas selempang yang tadi diambilnya dari
wanita itu. Dicarinya dompet untuk melihat kartu tanda pengenal wanita itu namun tangannya
terhenti melihat sebuah kotak transparan yang tersimpan rapi di kantong bagian dalam tas
selempang itu. Diamatinya sejenak benda dalam kotak itu sebelum membuka dan membaliknya,
seketika mulai muncul takut di wajahnya. Ini adalah sebelah kalung liontinnya, kalung yang dulu
pernah dia berikan pada seorang perempuan di Kota Gudeg. Dia tak mungkin salah karena kalung ini
berisi inisial setengah namanya dan setengah lagi masih dipakainya hingga kini, ini adalah liontin
pemberian ibunya. Liontin yang khusus dipesan oleh ayahnya untuk mendiang ibunya dulu.

“Maaf pak apakah sudah selesai mengisi formulirnya?”, tanya seorang petugas yang duduk di bagian
pendaftaran.

“Oh, maaf sebentar sedang saya isi.”, jawab Andra kaget. Segera dicarinya lagi dompet wanita yang
kini telah membuat hatinya cemas.

Mulai diisinya formular itu setelah menemukan kartu tanda pengenal wanita itu. Sejenak dia
terpaku dengan status si wanita yang tertera di KTP nya namun segera diabaikannya perasaan itu
dan bergegas menyelesaikan urusan administrasi rumah sakit dan kembali ke ruang rawat dimana
wanita itu sedang berbaring. Perlahan dihampirinya ranjang itu, tatapannya lekat ke wajah wanita
itu sejak dia memasuki kamar inap beberapa saat tadi. Ada rasa gembira yang entah bagaimana tak
mampu ditahannya namun sedikit perih ternyata juga tak luput muncul di sudut hatinya. Wajah
yang sudah sepuluh tahun ini dirinduinya. Sosok yang datang menyapanya disaat paling buruk
dihidupnya namun yang sekejap itu meninggalkan kesan terlalu dalam hingga dia tak bisa membuka
hatinya untuk perempuan lain sampai saat ini. Bukan Andra tak mencoba, dengan fisik yang diatas
rata-rata dan kekayaan yang ditinggalkan orang tuanya bukan hal yang sulit untuk Andra menunjuk
perempuan macam apapun, namun setiap kali dia mencoba bayangan wanita yang ditemuinya di
trotoar Malioboro itu muncul lengkap dengan senyumnya membuat Andra kembali tersadar dimana
sebenarnya sebelah hatinya berada.

Tak terbayang di benak Andra apa yang tengah dialami wanita yang kini masih berbaring di
hadapannya. Berbagai macam kecurigaan mulai muncul. Dia, wanita itu telah menikah dan kini
tengah mengandung, tentu saja Andra tahu dari hasil pemeriksaan dokter. Lantas dimana suaminya
sehingga dia berkeliaran dijalanan tengah malam seperti ini dengan membawa koper besar
bersamanya? Apakah lelaki itu berasal dari daerah ini sehingga dia menemukan wanita ini di pulau
yang jauh dari Jogja? Apakah suaminya meninggalkannya? Atau mungkin mengusirnya dari rumah?
Apa yang telah dia lakukan hingga membuatnya diusir? Berbagai pertanyaan mengerikan muncul
dibenaknya hingga dia Lelah dan tertidur di kursi di samping ranjang dimana Larasati terbaring.

Andra terbangun saat perawat jaga membuka pintu kamar untuk mengecek pasien sekitar jam 4
pagi. Ditunggunya perawat hingga selesai mengerjakan tugas rutinnya kemudian berlalu. Andra
lantas ke kamar mandi di dalam ruang rawat inap itu, membersihkan diri seperlunya kemudian
mengambil air wudhu. Setelah selesai menunaikan ibadah subuh Andra masih duduk bersila diatas
sajadah yang digelarnya disamping ranjang. Matanya masih terpaku pada wajah pucat itu. Wanita
itu lagi-lagi adalah alasan dari sujudnya selama ini. Sebelum pertemuannya dengan Lara, Andra
dibesarkan di tengah keluarga yang harmonis namun minim pendidikan agama. Orang tuanya
terlalu sibuk menjalani urusan duniawi dan melupakan kewajiban kepada Sang Pencipta. Mereka
terlena dengan segala kemudahan yang selama ini diberikan Tuhan sehingga Andra muda pun tak
pernah menjalankan semua kewajibannya sebagai seorang muslim. Meski keluarga mereka
harmonis dan hangat namun mereka hanya menjalankan ibadah di saat-saat tertentu seperti
Lebaran yang setahun sekali saja. Namun sejak sepuluh tahun lalu, sejak Andra terjatuh di lubang
paling kelam dihidupnya sendirian, saat itu wanita ini yang mengajaknya kembali bersujud di tengah
kekalutannya. Di sempitnya waktu tunggu pesawat yang akan membawanya pulang ke Jakarta,
wanita ini masih sempat mengingatkannya untuk meminta kekuatan kepada Dia pemilik kehidupan.

Segala hal yang telah berubah di hidup Andra selama sepuluh tahun ini benar-benar dimulai dari
wanita ini. Wanita dengan aura kuat yang muncul sekejap di hidupnya, mengubah cara pandangnya
pada dunia, kemudian hilang membawa separuh dari hati yang dia sodorkan tanpa sadar. Diawal
hidup yang harus dia jalani, Andra sekuat tenaga membangun dirinya, memantaskan dirinya untuk
dapat memiliki apa yang telah orang tuanya tinggalkan. Menancapkan kakinya sekokoh dan secepat
mungkin agar tak goyah, agar dia bisa melakukan apapun sesuai kehendaknya, termasuk mencari
wanita ini setelah tiga tahun berlalu sejak pertemuan pertama mereka. Andra telah menjelajahi
setiap sudut Jogjakarta di tengah kesibukannya sebagai pebisnis muda yang sukses. Tak hanya satu
atau dua detektif swasta yang disewanya untuk mencari Lara. Berbekal sepotong nama dan sketsa
wajah dari ingatannya Andra mencari Lara hingga lima tahun berlalu dan akhirnya dia berpasrah
pada takdir. Dua tahun terakhir dijalani Andra tanpa keinginan yang pasti. Tujuan satu-satunya yang
selama ini menemani perjalannya terpksa dia relakan karena tak mampu lagi menerima harapan
palsu. Hingga malam kemarin saat dia kembali melihat wajah itu. Meski awalnya ragu, Andra tak
bisa membohongi hatinya bahwa dia sangat merindukan wajah ayu yang kini masih terlihat pucat
itu.

Meski wajah Lara nampak lelah dan tak terawat namun gurat ayu tak pernah hilang. Andra mulai
kembali diserang rindu. Dia merindukan tatapan teduh namun ceria dimata itu. Dia merindukan
suara yang merdu dan lembut milik wanita itu. Dan dia sangat merindukan senyum yang telah
sepuluh tahun menemani langkahnya yang sepi. Namun Lara tak kunjung membuka matanya
bahkan setelah matahari mulai nampak dan dokter piket mengunjunginya untuk pemeriksaan pagi.
Meski dalam tidurnya wajah Lara nampak tenang namun cemas tak terelakkan dipikiran Andra.

“Dok kira-kira pasien akan sadar kapan ya Dok?”, tanya Andra tak sabar.

“Seharusnya pasien memang sudah sadar Pak, hanya saja beberapa pasien dengan tekanan yang
berat seringkali tidak sadarkan diri lebih lama, itu semacam cara untuk melindungi dirinya. Nanti
saat alam bawah sadarnya merasa telah aman, pasien akan bangun dengan sendirinya, jadi Bapak
tidak perlu khawatir.”, penjelasan dokter nyatanya membuat Andra memunculkan semakin banyak
dugaan-dugaan yang mengerikan di benaknya.
Sekitar pukul sepuluh pagi Andra beranjak dari sisi ranjang, keluar kamar menuju kantin rumah sakit
untuk sekedar membeli makanan karena lapar yang tak bisa lagi ditahannya. Andra menjalani
hidupnya dengan baik meski ditengah kesibukannya mengurus perusahaan dan studynya. Dia selalu
makan teratur dan tidur yang cukup sehingga ketika ada situasi seperti saat ini dia sedikit kerepotan
untuk menyesuaikan diri. Andra mulai menikmati soto sapi dimeja paling sudut kantin rumah sakit
itu. Ada sebotol air mineral yang isinya tinggal setengah di samping mangkok sotonya. Andra makan
dalam diam, tidak seperti biasanya setiap kali dia makan selalu saja tangan yang lain sibuk dengan
ponselnya, saat ini ponselnya bahkan tergeletak begitu saja di meja. Pikirannya tidak bisa focus
sejak pertemuannya dengan Lara malam kemarin. Selesai dengan sarapannya, Andra segera
beranjak kembali menuju kamar inap Lara.

Suara pintu dibuka mengagetkan Lara yang tengah duduk melamun di sofa kamar inapnya. Seketika
tatapan keduanya bertemu, dan raut bingung jelas sekali terpancar di wajah Lara.

“Kamu sudah bangun?”, tanya Andra canggung. Dia mendekat dan duduk di sisi lain sofa itu.
Sebuah anggukan pelan jadi jawaban yang membuat suasana semakin canggung.

“Apa ada yang kamu rasa nggak enak biar aku panggilin dokter?”, Andra mencoba memulai
percakapan kembali namun hanya direspon dengan gelengan lemah dari Lara. Tak berputus asa
Andra melanjutkan.

“Kenalin, aku Andra, maaf sebelumnya tadi malam kamu hamper tertabrak mobilku dan pingsan jadi
kubawa ke rumah sakit.”

“Terima kasih.”, suara itu masih suara yang sama.

“Oh iya untuk koper mu kusimpan di mobilku, sedangkan tas bahumu ada di nakas sebelah
ranjang.”, Andra benar-benar berusaha keras, entah apa yang membuatnya mau bersusah payah
seperti ini. Lagi-lagi ucapan terima kasih singkat yang diucapkan Lara.

Andra kemudian bangkin menuju nakas yang ada disebelah ranjang kemudian mengangkat nampan
yang berisi paket sarapan Lara dan menaruhnya di meja sofa di hadapan Lara.

“Makanlah, kamu butuh tenaga untuk sembuh.”, Lara hanya terpaku memandangi bubur pucat
dihadapannya.

“Apakah ada anggota keluargamu yang bisa kuhubungi untuk memberi tahu keberadaanmu?”, tanya
Andra hati-hati.

“Tidak ada, tidak perlu.”, lagi-lagi hanya jawaban datar yang singkat. Beberapa pikiran tidak enak
mulai muncul di benak Andra.

“Baiklah, aku ngerti, sekarang bisakan kamu makan?”, pinta Andra sekali lagi, Lara bergeming. Andra
mengambil mangkok bubur itu dan mulai menyendok isinya.

“Makanlah, setidaknya kamu harus bertanggungjawab pada anak-anakmu.”, katanya sebelum


memberi Lara suapan pertama.

“Anak-anak?”, tanya Lara bingung.

“Ya, anak-anak yang masih ada dalam kandunganmu.”, setetes cairan bening lolos dari mata
sendunya. Andra kembali menyodorkan sendok dan disambut dengan semangat yang berbeda dari
wanita di hadapannya. Sambal mengelus perutnya yang masih rata Lara menerima suap demi suap
yang diberikan Andra hingga seluruh isi mangkok itu habis. Andra lantas memberikan obat dan air
pada Lara.

“Sekarang istirahatlah, aku akan menemui dokter untuk bertanya kapan kita bisa pulang.”, kata
Andra sambal membimbing Lara kembali ke ranjangnya.

Setelah satu malam dihari berikutnya dokter mengijinkan Lara untuk pulang. Setelah selesai
berkemas Lara masih duduk terpaku diatas ranjangnya. Raut wajahnya nampak bingung.

“Ayo pulang!”, suara Andra mengagetkannya.

“Aku bisa pulang sendiri, sebelumnya terima kasih sudah merawatku juga maaf sudah merepotkan,
dan bisakah aku minta nomor rekeningmu untuk mengembalikan biaya rumah sakit?”, tanya Lara.

Andra menghampiri ranjang dan berdiri tepat di hadapan Lara dan berkata,

“Aku akan mengantarmu pulan, sttt… tidak menerima penolakan!”, Andra mengarahkan ujung
telunjuknya untuk menahan penolakan Lara.

“Aku tak punya tempat pulang, jadi tinggalkan saja, aku akan mencari tempat tinggalku sendiri.”,
meski Andra telah mempunyai scenario terburuk tapi tetap saja ada perih yang dia rasakan saat
mendengarnya dari Lara.

“Pulanglah denganku!”, tanpa meminta pendapat Lara, Andra segera mengangkat barang-barang
Lara dan menggenggam tangan wanita itu menuntunnya keluar. Lara ingin menolak, tapi saat ini dia
tak punya tempat untuk bertahan, meski dengan bekal yang dia bawa bisa saja dia mencari tempat
tinggal hanya dia tak yakin akan bisa tetap berdiri tegak jika sendirian. Lara mengikuti langkah kaki
Andra menuju parkiran rumah sakit itu. Andra melajukan mobilnya perlahan menuju arah yang
cukup familiar membuat Lara bertanya-tanya. Hingga mobil itu mulai memasuki gerbang Bandara
Internasional Komodo, membuat Lara semakin bingung. Andra hanya tersenyum melihat tatapan
bingung wanita disebelahnya.

“Kita akan pulang ke rumah.”, katanya mantap.

Andra terus menggenggam tangan Lara sejak mereka turun dari mobil. Di lobi bandara sudah ada
seorang bawahan yang menunggu mereka. Andra menyerahkan kunci mobilnya pada orang
tersebut kemudian membawa Lara masuk ke bandara untuk cek in. Lara tak menanyakan apapun
sampai pesawat lepas landas. Entah mengapa dia merasa aman bersama orang yang duduk
disebelahnya saat ini. Pria asing ini terasa sangat familier di benaknya, namun dia tak bisa
mengingat apapun.

Selama penerbangan Lara mengetahui tujuan mereka dari informasi yang diberikan awak pesawat.
Saat ini mereka sedang terbang menuju Ibu Kota. Lara tak ingin protes tak juga ingin bertanya
kenapa Andra begitu mudah mau menjaganya dengan kondisi Lara saat ini yang berbadan dua. Lara
juga tak pernah merasa takut akan terjadi hal buruk selama bersama Andra beberapa hari ini.

Setelah peswawat mendarat, Andra dengan sigap membimbing Lara turun dari pesawat dan menuju
tempat pengambilan bagasi, selama itu pula Andra tak melepaskan genggamannya pada Lara hingga
mereka keluar dari Bandara Soekarno Hatta dan memasuki mobil yang telah menunggu di pintu loby
bandara. Andra masih tak menjelaskan apapun selama perjalanan hingga mereka memasuki area
sebuah gedung pencakar langit yang diketahui Lara sebagai gedung apartemen dari tulisan di depan
area gedung sebelum mereka masuk tadi. Melihat dari ketatnya penjagaan saat mereka masuk, Lara
bisa menyimpulkan bahwa gedung ini bukan gedung apartemen biasa. Supir menurunkan mereka
berdua di depan pintu drop in setelah itu melajukan mobil menuju parker bawah tanah di gedung
tersebut. Andra membawa Lara memasuki lift kemudian menekan tombol bernomor 50 di dalam lift
tersebut. Lift bergerak lembut menuju ke atas, tak lama pintu kemudian terbuka dan Andra kembali
menggenggam tangan Lara membawanya menuju satu-satunya pintu di lantai tersebut selain pintu
lift. Andra membuka akses masuk pintu itu dengan sidik jarinya, pintu besar itu terbuka dan
memperlihatkan isinya yang membuat Lara hamper tidak percaya denga napa yang dilihatnya.

“Masuklah!”, Andra mempersilakan Lara masuk setelah melepas genggamannya. Lara perlahan
melangkah memasuki ruangan besar bernuansa abu-abu itu. Satu set sofa berukuran besar
berwarna senada menyambut setelah Lara melangkah beberapa saat. Dengan hanya melihat saja
Lara tahu bahwa sofa itu pasti sangat nyaman. Lara menghentikan langkahnya, tak berani masuk
lebih dalam karena bagaimanapun dia belum tahu maksud Andra membawanya kemari. Lara
berbalik dan melihat Andra bersandar pada pintu sambal menyilangkan tangannya di depan dada.

“Kamu akan tinggal disini mulai sekarang!”, Andra berkata pelan tapi penuh penekanan.

“Maaf tapi….”, lagi-lagi Andra menghentikan aksi protes Lara seperti saat di rumah sakit.

“Aku sebernarnya sedikit kecewa.”, kata Andra menggantung, dia kemudian berjalan menuju meja
bar yang tak jauh dari sofa itu. Meraih pintu lemari es yang ada disekitar meja dan mengambil
softdrink untuk dirinya dan air mineral untuk Lara. Andra kembali berjalan mendekati Lara dan
menyerahkan botol air mineral itu setelah membuka tutupnya, kemudian memberi isyarat agar Lara
minum.

“Ternyata kamu benar-benar melupakanku.”, kata Andra terdengar sedih. Lara menghentikan
minumnya dan kembali menatap Andra bingung. Andra hanya tersenyum kemudian meraih sebuah
liontin dari dalam kerah polonya. Lara menatap tak percaya pada benda yang kini menggantung di
tangan Andra. Liontin itu mirip dengan yang dia simpan selama ini. Refleks Lara merogoh isi tas
selempangnya dan mengambil sebuah kotak kemudian membuka dan mengeluarkan sebuah benda
yang persis sama dengan yang dipegang Andra. Andra melepas kalung liontinnya dan
menyatukannya dengan liontin yang ada di tangan Lara.

“Aku adalah anak laki-laki yang waktu itu.”, kata Andra sambal menatap mata Lara dalam. Lara
hampir tak percaya hingga menyadari setetes air yang tanpa permisi mengalir dari matanya. Andra
membawa Lara ke dalam dekapannya saat wanita itu mulai terisak.

“Terima kasih.”, kata Lara lirih diantara isakannya.

“Mulai sekarang, aku yang akan menjagamu.”, kata Andra mantap.

Sejak hari itu Lara menempati kamar lain di apartemen mewah milik Andra. Mereka hidup dengan
akur dan saling menjaga seperti keluarga. Meski Lara tahu sejak awal dari tatapan mata Andra
bahwa Andra menyayanginya lebih dari seorang saudara namun hingga saat ini Lara tak berani
membuka hatinya. Terlebih Lara masih berstatus istri orang karena tak pernah ada perceraian
secara hukum dalam pernikahan Lara dengan suaminya. Pun dengan Andra tetap bersikap sopan
pada Lara. Dia menyayangi Lara melebihi apa yang Lara tahu namun Andra tak pernah sekalipun
mengungkapkan perasaannya karena dia juga tahu bahwa Lara belum bisa membuka hatinya. Saat
ini Lara benar-benar hidup hanya untuk anak-anaknya.

Lara mulai bekerja dengan Andra sekitar sebulan setelah dia tinggal di apartemen Andra. Awalnya
dia meminta bantuan Andra untuk mencarikan pekerjaan yang kira-kira mampu dia lakukan dengan
keterbatasan pendidikannya dan kondisi fisiknya. Namun Andra selalu saja menolak permintaan
Lara. Dia tak ingin Lara bekerja apalagi dengan kondisinya yang kini tengah hamil. Andra sanggup
kalau hanya menghidupi Lara dan anak-anaknya bahkan hingga mereka dewasa, tapi Lara bersikeras
ingin bekerja, dia tak suka berpangku tangan dan hanya menerima dari Andra. Dia ingin mandiri
agar anak-anaknya kelak juga tidak terbiasa hidup seenaknya hanya karena ada Andra, lagipula suatu
hari nanti Andra juga akan memiliki keluarganya sendiri dan saat itu tiba Lara tak ingin menjadi
alasan ketidakbahagiaan keluarga Andra karena kehadirannya dan anak-anaknya yang terus menjadi
beban.

Akhirnya Andra memberi Lara pekerjaan di perusahaannya sebagai asisten pribadinya. Andra lagi-
lagi tak mau menerima protes, dia hanya memberi Lara pilihan menerima atau tidak sama sekali.
Lara pun mulai menjalani harinya sebagai asisten pribadi Andra yang mana hamper 24 jam dia akan
bersama Andra selama di kantor dan di apartemen. Tentu saja pada bulan-bulan pertama banyak
suara-suara yang tidak enak tentang Lara apalagi setelah karyawan lain tahu bahwa Lara tengah
hamil. Tudingan-tudingan menyakitkan hampir setiap hari Lara dengar tapi dia selalu berusaha
menguatkan hatinya. Dia membalas semua tudingan buruk itu dengan pekerjaan yang sempurna
meski pendidikannya hanya sebatas SMA. Lara berhasil membuktikan bahwa dirinya layak berada di
posisinya saat ini. Dan tentu saja itu semua membuat Andra semakin kagum pada Lara. Karena
selama ini Andra pun mendengar semua omongan buruk tentang Lara, tapi dia tak ingin peduli
terlebih melihat Lara yang tak pernah menggubris apapun omongan orang.Lara bekerja dengan
sangat baik dan professional. Dia mudah belajar dan sangat teliti. Bahkan dengan tabungan yang
dia miliki selama ini, Lara mulai memantapkan pijakannya di perusahaan Andra dengan mulai
membeli beberapa lembar saham dari perusahaan itu.

Kurang dari setahun Lara telah menjadi asisten yang sangat bisa Andra andalkan, sekaligus
pemegang saham di perusahaan Andra. Hingga tiba waktu Lara melahirkan. Malam itu adalah salah
satu malam yang membuat jantung Andra berdetak begitu cepat. Waktu menunjukkan pukul 1
malam saat dia keluar dari kamarnya untuk minum dan mendengar suara merintih dari kamar Lara.
Tanpa piker panjang Andra langusng memasuki kamar Lara yang memang tak pernah dikunci.
Ditemuimya Lara meringkuk di ranjangnya sembari memegangi perutnya yang besar. Meski sudah
bersiap tetap saja Andra kaget dan sempat bingung harus bagaimana, hingga Lara memegang
pergelangan tangannya Andra kemudian bergegas menelpon rumah sakit tempat biasa mereka cek
kandungan. Andra secepat kilat mencari kunci mobilnya dan membawa barang seperlunya
kemudian mengangkat Lara menuju lobi apartemen dimana mobilnya telah disiapkan oleh petugas
valley apartemen itu. Akhirnya Andra meminta bantuan petugas valley untuk mengantar mereka ke
rumah sakit karena Lara tak mau melepaskan cengkeraman pada lengannya. Tiba di depan pintu
UGD rumah sakit, telah ada beberapa petugas medis menunggu. Andra segera membuka pintu
Ketika mobil berhenti dan petugas dari UGD dengan sigap memindahkan Lara ke ranjang dan
membawa masuk untuk dilakukan tindakan.

Andra mondar-mandir di depan pintu ruang bersalin, sudah dua jam berlalu sejak Lara masuk ke
ruang bersalin dan belum ada kabar apapun dari dalam. Andra semakin khawatir melihat perawat
yang keluar masuk ruangan dengan wajah tegang. Namun dia tak berani bertanya takut akan
mengganggu konsentrasi mereka. Andra mencoba duduk dikursi yang disediakan di dekat pintu
ruangan namun gelisahnya tak kunjung mereda. Tangannya mulai dingin bukan karena malam
sebentar lagi menghilang, bukan pula karena dia hanya mengenakan kaos oblong dan celana
pendek, ini lebih dari sekedar rasa takut.
“Oeeeeeeeeee……….”, terdengar tangis bayi dari dalam ruangan, seketika Andra bangkit dari
duduknya dan menunggu dengan gelisah tepat di depan pintu ruang bersalin. Tak berselang lama
terdengar lagi sebuah tangisan bayi yang lebih nyaring dari yang sebelumnya. Saat melihat perawat
keluar dengan senyum merekah diwajahnya Andra memberanikan diri untuk bertanya.

“Bagaimana Sus?”, tanya Andra gugup.

“Maaf Pak, silakan masuk dulu.”, perawat itu membuka pintu ruangan agar Andra mengikutinya
masuk.

Setelah memakai pakaian steril yang diberikan suster setelah memasuki pintu tadi, Andra dibawa ke
ranjang dimana Lara masih terbaring lemah. Andra melihat wajah pucat Lara yang bersimbah peluh.
Dia terlihat lelah namun juga lega. Lara masih sadar dan tersenyum tipis saat melihat Andra.

“Selamat Pak, anak-anaknya sudah lahir dengan sehat, ibu juga dalam keadaan yang baik.”, kata
dokter yang berdiri di sisi ranjang Lara. Andra mendekati ranjang perlahan, menggenggam tangan
Lara sebelum mengecup lembut keningnya.

“Terima kasih.”, katanya pelan diikuti jatuhnya butiran bening yang tak mampu ditahannya. Lara
hanya tersenyum sebelum menghapus air mata Andra.

“Bisa tolong adzan untuk anak-anakku?”, tanya Lara pelan. Andra tercekat sebelum mengangguk
mantap.

Dihampirinya box bayi yang tak jauh dari ranjang, ditatapnya sebentar dua malaikat yang begitu kecil
itu. Andra mulai melakukan kewajiban yang seharusnya dilakukan ayah anak-anak ini. Ya, Andra
telah bersiap, dia belajar bagaimana jadi seorang ayah muslim menyambut kehadiran anak-anaknya
di dunia. Meski mereka bukan darah dagingnya namun bagi Andra kehadiran si kembar seperti telah
mencuri separuh jiwanya. Dikumandangkannya adzan ditelinga si kembar, pelan tapi jelas dan
merdu hingga membuat Lara menitikkan air mata. Suasana dalam ruangan juga begitu khitmad
hingga Andra selesai melakukan tugasnya. Duo kembar itu pun terlelap sambal tersenyum damai.

Anda mungkin juga menyukai