Anda di halaman 1dari 5

Sesal

Oleh: Yuriska Dewi

Deru mesin mobil memecah keheningan malam itu. Sebuah mobil Honda Jazz
terparkir di samping lapangan merdeka. Jam sudah menunjukkan pukul 01.45 dini hari. Dua
orang yang berada di dalam mobil tidak berbicara satu sama lain. Hampir sepertiga malam,
tapi di lapangan masih ada orang . Ramai dalam keheningan masing-masing. Penjual kacang
rebus yang sedari tadi melirik ke arah mobil Honda Jazz membuat si supir sadar. Mungkin si
penjual berharap si supir keluar dan membeli dagangannya. Sadar akan diperhatikan, si supir
bertanya pada penumpang di sebelahnya.
“Kamu mau kacang?”, tanya si supir yang dibalas dengan gelengan kepala si
penumpang.
“Kalau roti?”, masih dengan respon yang sama.
“Mau apa? Itu ada tukang sate, kamu kan suka sate Padang. Aku beliin ya?”
“Enggak mau”, gumam si penumpang.
“Aku belikan yang kamu mau, setidaknya ada sesuatu yang masuk ke perutmu.”
“Aku sudah makan”, jawab si penumpang.
“Jangan berbohong!”, tegas si supir.
“Kalaupun aku makan, aku tidak bisa menelan!”, jawab si penumpang sambil
berkaca-kaca.
Si supir yang menyadari dirinya terlalu memaksa mencondongkan badannya ke arah
penumpang dan menariknya dalam pelukan. Sesaat kemudian si supir merasa basah di sekitar
dadanya, dan merasakan tubuhnya ikut terguncang. Si supir melepaskan pelukan dan
memegang pipi si penumpang dan menatapnya penuh rasa sedih dan iba. Mengapa jadi
begini sih Dara? Pikir si supir. Ia kemudian meraba bibir Dara si penumpang. Memeriksa
wajah Dara dengan seksama. Wajahnya semakin khawatir, ia pun tiba-tiba membuka paksa
kaus Dara. Dara tak merasa kaget sedikitpun, Dara seperti orang yang pasrah dengan
keadaan. Seperti mati rasa untuk peka melindungi diri. Si supir kaget dengan apa yang ia
temukan di sekujur tubuh Dara dan segera menutup kembali tubuhnya.
“Ra, lebamnya banyak banget!”, kata si supir penuh cemas. “Dari yang masih biru
sampai yang udah kuning, kamu udah dipukuli berapa lama sih? Bibir kamu juga ada luka!”
Dara yang tak bisa menjelaskan apapun hanya mampu memeluk dan menangis kepada si
supir. Ia terisak sejadi-jadinya, memeluk erat Senja, si supir yang sudah dari tiga jam lalu
menahan seribu pertanyaan.“Irfan yang pukul?”, tanya Senja. Dara semakin kuat
mencengkram punggung Senja. Sepertinya cengkraman itu adalah sebuah jawaban.
Bagaimana mungkin seorang wanita yang sudah bersuami pergi sendirian di tengah malam
begini.
Tiga jam lalu, Dara menelpon Senja yang tengah bekerja di sebuah acara. Senja
meminta Dara menunggu karena ia belum selesai memotret, tapi suara isak di ujung telepon
sana membuat Senja amat khawatir. Ia memohon pada bos tempat ia bekerja untuk pulang
lebih awal. Ia memacu mobilnya dengan kencang menuju sebuah stasiun kereta. Di lorong
kedatangan ia melihat seorang wanita lusuh, dengan kaus yang ditutupi jaket jeans, celana
kulot, dan sendal jepit. Rambutnya ia biarkan tergerai dan di kanannya ia menggenggam
sebuah smartphone yang sudah retak layarnya. Dara, wanita yang sembilan bulan lalu ia
temui dengan keadaan sangat cantik. Berpakaian pengantin adat minang, bersama suaminya
Irfan yang terlihat sangat bahagia. Kini pengantin cantik itu seperti orang yang melarikan diri
dari hal mengerikan.
“Mau aku antar ke rumah Mamakmu?”, tanya Senja.
“Enggak, enggak mau! Aku takut!”, jawab Dara penuh rasa takut.
“Jadi sekarang kamu mau aku harus apa?”
“Kemana saja, asal tidak pulang”
Jadilah Senja memutar mobilnya sepanjang kota dan berakhir di lapangan merdeka.
Senja tak berani bertanya sepatah katapun. Tiga jam sudah ia didiamkan oleh Dara. Dara
tinggal cukup jauh dari sini, lima jam perjalanan jika naik kereta. Semenjak ia menikah
dengan Irfan suaminya, ia sudah tidak tinggal di kota ini. Kota tempat ia dan Senja
menghabiskan masa sekolah dan pernah bekerja di tempat yang sama, kampung halaman
mereka.
Dara masih nyaman berada dalam dekapan Senja, ia seperti orang yang baru
melepaskan diri dari hewan buas.
“Ja, maaf ya ngerepotin kamu!”, kata Dara lirih.
“Gak apa-apa, udah lama juga ga kamu repotin!”, jawab Senja.
“Kamu apa kabarnya?”, pertanyaan Dara membuat Senja kaget. Bagaimana mungkin
ia menanyakan kabar orang lain sesantai itu, padahal lima menit yang lalu ia baru menangis
terisak. Aku tak perlu tanya kabarmu, kau sungguh tidak baik-baik saja. Pikir Senja.
“Alhamdulillah baik, sehat juga.”
“Kok kabarku ga ditanya?”, tanya Dara heran.
“Ga usah ditanya juga aku udah tau jawabannya!”, balas Senja.
“Aku malu mau pulang ke rumah mamak!”, jawab Dara jujur.
“Kamu bertengkar ya sama Irfan?”, Senja bertanya yang dibalas dengan anggukan
Dara. “Kamu sampai dipukul, sebenarnya ada apa? Sedari kamu memperkenalkan Irfan, Aku
melihat tidak ada hal yang aneh. Keluarganya juga kita kenal baik”, kata Senja panjang lebar.
“Iya, dia baik seperti yang kamu tahu. Keluarganya juga baik.”
“Terus?”, tanya Senja penuh heran.
“Senja, di saat pertunanganmu dengan Farhan kandas kamu mengalami trauma yang
cukup dalam. Bahkan sampai saat ini kamu masih enggan memiliki komitmen dengan orang
lain.”
“Lalu? Hubungannya dengan itu?”
“Apakah kamu tidak berpikir bahwa itu pertanda Tuhan amat sayang padamu?
Memisahkan dirimu dengan orang yang tidak baik sebelum semua terlanjur lebih dalam.”
“Entahlah Dara, Farhan sudah menikah dengan Nafisah teman kerja kita dahulu.
Entah kamu mengenalnya atau tidak karena ia masuk dua minggu sebelum kamu resign.
Nafisah aku dengar juga sudah hamil. Tanda-tanda mereka bahagia, jadi aku juga ga bisa
menyimpulkan Farhan itu tidak baik, atau akunya yang memang bukan wanita baik sehingga
Tuhan memisahkan Farhan dari orang sepertiku”, jawab Senja. Sesungguhnya Senja pun tak
menyukai pembahasan ini lagi. Tapi ia sendiri tak mungkin bisa marah, Senja sekarang harus
hadir sebagai sosok yang membuat Dara aman.
“Makanya kamu juga ikut resign? Ga nyaman ya pasti kerja bareng mereka. Tapi
Senja, sampai kapan kamu mencap diri sebagai orang bodoh? Sebagai orang jahat? Farhan
hanya mencari alasan untuk berpisah darimu, sesungguhnya dialah yang jahat. Beralasan
dirimu pernah menjalin hubungan dengan Kemal, tapi hubungan itu sudah kandas jauh
sebelum kalian bertunangan. Ia laki-laki pengecut! Tak punya harga diri, menghancurkan
komitmen yang ia sudah buat sendiri. Tak menutup kemungkinan Nafisah akan merasakan
apa yang kamu rasakan, bahkan rasa sakitnya akan jauh lebih perih!”
“Dara cukup! Aku sebenarnya tidak ingin mengungkit ini kembali, aku sudah
berdamai dengan diriku!”, balas Senja dengan nada meninggi.
“Berdamai dengan lari dari masalah?”
“Lalu apa bedanya dengan dirimu?”, balas Senja yang membuat Dara tertegun.
Senja sedikit menyesali perkataannya, harusnya ia lebih bersabar. Ia ingin mengutuk
dirinya sendiri, ia wanita yang memang cepat meledak, sumbunya pendek, tapi jauh di lubuk
hatinya paling dalam ia tak bermaksud menyakiti hati sahabatnya itu. Dara menyentuh tangan
Senja dan menatapnya.
“Hei! Tidak usah merasa bersalah, hahaha!”, tawa Dara memecah keheningan malam
itu. Senja sejujurnya sedikit takut. Dara, kamu kenapa sih?
“Lihatlah Tuhan! Di sini ada dua perempuan menyedihkan yang lari dari masalah!”,
teriak Dara. Senja tertawa melihat Dara, ia pun tak mau kalah. “Terima kasih Tuhan! Kau
sudah mengirimkan orang gila untuk menghibur hidupku yang menyedihkan”, kedua wanita
itu tertawa terbahak-bahak. Penjual kacang rebus yang sedari tadi memperhatikan mereka
merasa sedikit ngeri akan tingkah laku dua wanita di malam sunyi ini. “Owalah, ternyata
kayapun tak menjamin bahagia”, pikir si penjual kacang.
“Aku menyesal menikah terlalu cepat!”, kata Dara memecah keheningan.
“Umur 24 bukan umur yang terlalu cepat kok! Itu pas!”, balas Senja.
“Aku rindu masa-masa bekerja denganmu dan Limbong!”
“Tak perlu kau sesali, kita tak bisa memprediksi masa depan! Apa yang kau lakukan
juga bukan sebuah kejahatan, kau menikah! Bukan mencuri! Bukannya menikah itu
menyempurnakan separuh agamamu?”, tanya Senja. Dasar Dara, bisa-bisanya berkata
menyesal. Apakah dia tidak peka terhadapku sedikitpun, ia kira enak apa-apa harus
dilakukan serba sendirian?
“Aku tau kau akan tersinggung dengan ini, tapi aku benar-benar merindukan masa
kesendirianku. Aku tau aku tidak bisa memprediksi masa depan, tapi bukan berarti aku tak
boleh menyesal? Aku tahu itu kesia-siaan belaka, tapi meratapi penyesalan terkadang
memuaskan diri sendiri”, balas Dara yang seperti mampu membaca pikiran Senja.
“Sebisa mungkin aku mengenal Irfan dengan baik, sesungguhnya aku cukup ragu
ketika ia mengajakku menikah! Tapi kau dan Limbong meyakinkanku.”
“Lalu, kau menyalahkan kami?”
“Tidak, kalian benar dia memang baik. Tapi tidak di atas ranjang!”
“Maksudmu?”, tanya Senja yang menebak-nebak maksud Dara.
“Menurutmu, apakah semua orang mencapai kepuasannya dengan cara yang waras?”
“Oke, aku sudah tahu arah pembicaraan ini. Kau tak perlu melanjutkan! Lalu sekarang
kau mau apa?”, tanya Senja.
“Aku juga tidak tahu”, jawab Dara dengan santai.
“Aku sudah mematikan handphone-ku sesuai maumu. Kau yakin Irfan ataupun
keluargamu akan menelponku. Lalu bagaimana aku harus menjelaskan pada mereka
nantinya?”, tanya Senja penuh khawatir.
“Aku tidak tahan Senja”, balas Dara dengan suara sedikit mengiba.
“Apa kau meminta cerai?”, tanya Senja.
“Entahlah, mau ditaruh di mana wajah keluargaku?”
“Ya kau harus berterus terang!”, tegas Senja.
“Aku tidak sanggup mengatakannya pada Ayah dan Mamak! Pernikahan anak mereka
bahkan belum sampai satu tahun. Aku sudah membuang segalanya untuk pernikahan ini, aku
sudah resign, aku sudah melepas beasiswaku, bahkan aku merelakan berjauhan dengan orang
tuaku!”, kata Dara berterus terang.
“Kalau begitu bicaralah baik-baik kepada Irfan. Dia pasti sangat
mengkhawatirkanmu, kalian bisa memperbaikinya, mungkin seorang seksolog dapat
membantu!”, balas Senja. Seketika Dara terdiam, wajahnya menyiratkan kebingungan. Senja
juga tidak bisa menyalahkan kepergiannya dari rumah suaminya. Jika Senja di posisi Dara,
mungkin Irfan juga akan mengalami lebam yang sama. Dara dan Senja berbeda, Senja akan
membalas jika disakiti, tapi tidak dengan Dara yang menerima dengan lapang hati.
Dara kembali memeluk Senja, dan berkata dengan lirih “Maaf melibatkanmu dalam
kekacauan rumah tanggaku! Di saat terpuruk, aku mengisi semangat diriku sendiri dengan
mengingat masa-masa sekolah kita dahulu. Aku ingin kembali ke masa itu! Masa di mana
hanya pr matematika masalah terbesar dalam hidup kita!”
“Gapapa, kalau itu membuatmu sedikit tenang”, balas Senja sembari membelai kepala
Dara.
“Orang tuamu pasti khawatir, si bungsunya belum pulang jam segini!”, kata Dara
sembari melepaskan pelukan.
“Tak mengapa, mereka sedang perjalanan umroh. Aku sedang sendiri!”
“Mengapa kau tak mengatakan sedari tadi? Aku sangat ingin berbaring!”, rengek
Dara.
“Makanya, sedari tadi kalau ditanya jawabannya jangan ‘entahlah’, ‘terserah’!
Jawabannya perempuan banget!”, balas Senja kesal.
Senja melajukan mobilnya, sambil menggenggam tangan Dara dalam hati ia
bergumam. Tenanglah, esok pasti lebih baik. Mari menikmati penyesalan di sisa malam ini.

Anda mungkin juga menyukai