Anda di halaman 1dari 6

Yang kutahu, aku mencintaimu.

Secarik kertas di genggaman gadis itu berubah wujud tak karuan. Ia meremas kertas bertuliskan
permintaan maaf dari seorang teman lama. Tidak! Ia tidak akan memaafkan penulis surat itu. Ia
lemparkan kertas itu sembarangan. Itu merupakan kertas yang entah keberapa berakhir tragis.

Namanya Hana, Ia memiliki masa lalu yang tidak mengenakkan akibat perbuatan si penulis
surat. Hanal akhirnya berhasil membuat orang itu benar-benar merasa bersalah. Kini, ia kerap
kali menerima ucapan-ucapan permintaan maaf darinya. Namun ibarat pintu gerbang yang
tertutup rapat dan terkunci yang mana kuncinya tidak adalagi, hatinya benar-benar tertutup.
Tertutup untuk memaafkan orang itu.

Hana melanjutkan aktivitas ksehariannya dan membuang jauh-jauh kenangan menyesakkan itu.
Ia harus melanjutkan hidupnya. Tak baik jika ia terlalu berlarut-larut menyesali sesuatu yang
sudah terjadi.

Satu hal yang Hana lupakan, pintu gerbang yang terkunci pun masih bisa dibuka paksa.
Barangkali kedepannya pintu Angel juga begitu.

xxx

“Han, aku akan menjadi orang pertama yang mendukungmu dalam banyak hal, termasuk
hubunganmu dengan dia.”

Hana menoleh ke arah temannya itu dan terkekeh. “Yakin kau tidak memiliki rasa dengki atau
keinginan untuk merebutnya dariku?” tanya Hana tiba-tiba. Ia sendiri sedikit terkejut dengan
apa yang ia lontarkan.

Temannya tertegun sejenak, lantas menjawab,”Tidak! Untuk apa aku dengki atau pun ingin
merebut kepemilikan sahabatku. Bukankah itu jahat sekali, Han?”

Hana mengangguk. Kemudian ia remgkuh temannya itu dalam pelukan. “Terima kasih banyak,
sar. Kamu memang teman terbaikku.”

“Yakin cuman teman? Bukannya sahabatmu?” Sara bertanya menggoda. “Aaah, kamu!” Hana
berseru tepat di dekat telinga Sara. Hal itu membuat Sara berontak melepaskan pelukan Hana.

Bagai diputar di sebuah layar, kenangan itu muncu di depan mata Hana. Ia berulang kali
mencoba mencegahnya, tapi apa daya semua itu seperti diputar otomatis dan tidak bisa
dihentikan.

Omong kosong! Maki Hana dalam hati. Semua itu omong kosong Tak ada bukti kongkrit yang
mendukung ucapan Sara. Justru Sara lah yang menjadi orang pertama yang menjegal
kebahagiaan Hana. Ia merebut posisi untuk duduk di kuri pelaminan bersama kekasih Hana. Itu
sungguh memuakkan.

Meski sudah berlalu kurang lebih satu tahun sejak pernikahan mereka, Hana masih merasakan
perih saat mendengar nama mereka. Pernikahan itu adalah hal paling buruk sepanjang sejarah
kehidupannya. Kemudian Hana memilih untuk pergi meninggalkan tempat iru dengan alasan
mengembangkan bisnis yang sedang ia jalankan. Hana pindah ke kota lain dengan tujuan
mengembangkan bisnis keluarga yang telah diserahkan kepadanya.

Bisnis kue yang menggeliat dengan pasti itu menjadi tempat Hana melarikan diri dari rasa sakit.
Kue-kue itu menjadi pelipur duka yang efektif baginya. Ia lebih suka berkutat dengan clemek
dan adonan kue.

Sudah berkali-kali Sara meminta maaf padanya tapi Hana tetap tidak perduli. Namun sampai
kapankah Hana akan terus tidak peduli? Hana sendiri juga tidak tahu pasti. Mungkin suatu saat
ada sesuatu yang mampu meruntuhkan benteng ketidak peduliannya.

xxx

Bunyi telepon genggam membuat Hana menggeliat dari tidurnya. Ah! Ia mengeluh sambil
mencari-cari sumber suara tersebut. Mata yang masih setengah terpejam membuat tangannya
tidak mudah menemukan posisi telepon. Baru sedetik kemudian ia dapat menjangkau telepon
genggam itu. Namun tepat sebelum ia mengangkatnya, dering telepon itu berhenti. Ia sudah
berniat untuk melemparkan kembali teleponnya, tapi benda itu kembali berbunyi. Dengan sedikit
malas-malasan ia menempelkannya ke telinga.

“Ya, halo, selamat pagi,” gumamnya sedikit tidak jelas. Namun, demi mendengar suara isak
tangis di seberang sana, matanya sempurna terbuka. Kantuknya lenyap seketika.

“Han, Sarah,…”

“Sara kenapa?” Hana bertanya dengan tidak sabar.

“Datanglah ke rumah, aku tunggu,” jawab orang itu. Telepon dimatikan dan menyisakan Hana
yang masih terbengong. Ia lants mengecek pesan masuk di telepon. Oh tidak! Ia bergegas
menyingkap selimut yang membalut tubuhnya dan meluncur ke kamar mandi. Mandi seadanya
dan mencomot sembarang pakaian di kemari. Lantas berseru-seru tidak jelas sambil keluar
rumahnya.

“Aku mau pulang pak,” katanya kepada pak Martin, orang yang membantunya merawat rumah
itu.

“Oh, iya, mbak Diva hati-hati di jalan,” kata pak Martin sambil membuka pintu gerbang. Hana
mengucapkan terima kasih sambil berlalu dengan mobilnya. Ia mengemudi seolah kesetanan.
Tujuannya satu, segera sampai kerumah orang tuanya.
xxx

Cepat pulang, nak. Sara dini hari tadi meninggal dunia saat melahirkan.

Pesan dari ibu yang sempat ia lirik sebelum bergegas ke kamar mandi membuat Hana tersentak.
Luluh lantah semua benteng kemarahannya. Sara sahabatnya yang pernah berhianat meninggl
dunia. Ini sungguh suatu tamparan keras. Hana tak mengerti kemana lenyapnya semua
kemarahan di hati. Ia meninggalkan semua itu dan bergegas meluncur dengan mobilnya.

Di sepanjang jalan berulang kali ia mengusap air mata. Bagaimana pun Sara adalah teman
seperjuangannya. Kenangan suka duka bersama kembali menghiasi pandangannya. Bagaimana
ini? Ah, bagaimana pula dengan bayinya. Apakah bayi itu baik-baik saja? Oh Tuhan, mengapa
Engkau tega membiyarkan bayi itu menjadi piatu sejak lahirnya?

Berulang kali Hana melanggar lampu merah. Ia tak peduli dengan teriakan pengemudi-
pengemudi lain. Ini darurat! Pekiknya dalam hati. Ia harus segera sampai tujuan.

Satu jam berselang, ia akhirnya sampai di depan rumah. Ia parkirkan mobilnya sembarangan.
Kemudia berlari menyebrangi pagar samping rumah menuju rumah Sara. Rumah mereka
memang bersebelahan. Dan tadi pagi ibunya mengatakan bahwa jenazah Sara sudah dibawa
kerumah. Air mata Hana sudah tak mampu dibendung. Sebenci apapun ia kepada Sara, ia akan
tetap kehilangan saat Hana pergi selamanya.

“Maafkan aku, Sara,” bisiknya saat ia merengkuh tubuh Sara yabg sedingin dan sepucat pualam.
Ia cium kening sahabatnya. Aemerbak wangi menusuk indera penciumannya. “Tenanglah di
sana.”

Hana lantas menemui orang tua Sara dan mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Sara. Sisa-
sisa tangis masih Nampak jelas di mata ibunda Sara. Dan ia memeluk Sara begitu erat. Seolah
ingin membebritahu Hana bahwas emua ini sangat berat baginya.

Hana menamni ibu Sara sampai jenazah di berangkatkan ke peristirahatan terakhir. Namun ia
tidak ikut ke pemakaman. Ia memutuskan pulang dan mengurung diri di kamar. Merenung.

xxx

Ada sesal yang terbit di hati Hana. Ia menyesal belum sempat berucap bahwa dirinya memaafkan
Sara. Tapi apalah daya, waktu tak kan berputar kembali. Hana hanya bisa mendoakan yang
terbaik untuk Hana dan keluarganya.

Desakan air mata di pelupuk mata Hana tak mau berhenti bahkan hingga seminggu kemudian. Ia
tahu semua ini salah. Tidak seharusnya dia menangis terus menerus. Namun dirinya seolah tak
kuasa menatap cerahnya mentari tanpa dapat berjumpa lagi dengan Sara.
Barangkalo begitulah perasaan sayang. Saat seeorang yang disayangi masih ada, tidak terucap
kata sayang bahkan terkadang yang nampak hanya kebencian. Namun, tak kala kesayangan itu
telah pergi, rasa kehilangan menghantui tak terperi. Semua telah terlambat. Dan seberkas sesal
menumpuk di hati.

“Hana sayang, sudah nak. Tak perlu disesali.” Suara lembut ibunya membuat Hana menoleh.
Tak ada kata yang terucap dari bibirnya. Ia hanya bergerak pelan untuk mendekap ibunya. Ibu,
wanita bersahaja yang selalu menenagkan baginya. Ibu mengusap punggu Hana, seolah
membesarkan hatinya.

“Kamu mau bertemu bayi Sara, Han?” tanya ibu dengan lembut. Hana mengangguk.

“Ayo!” ajak ibu. “Sebentar, bu.”

“Baiklah, ibu tunggu di luar ya,” Hana kembali mengangguk. Mencuci muka sebentar dan
mengeringkannya lantas melapisi wajah dengan bedak tipis. Ia oleskan lipstick di bibirnya,
kemudia berangkat.

Mereka menemui bayi itu di rumah Sara. Tante ismi, ibunya Sara, menyambut dengan hangat
dan membawa mereka ke kamar si bayi. Saat itu, si bayi tengah ditimang-timang oleh Andi, sang
ayah. Andi membawa bayi itu mendekat kea rah mereka. Ibu Hana sudah berseru-seru riang khas
ibu-ibu saat bertemu dengan bayi yang menggemaskan. Sementara itu, Hana sedang mencoba
menenangkan hatinya yang bergejolak sejak ia melihat Andi.

“Kamu mau menggendong bayinya, Han?” ibu bertanya.

“Eh, emh, okelah.” Hana menjawab tergagap. Hana memang terbiasa dengan bayi dan anak-anak
karena semenjak kecil ia terbiasa mengasuh adik-adiknya. Jadi ia pikir tak ada salahnya
menggendong bayi itu.

Andi mendekat dan menyerahkan bayi itu. Sehati-hati apapun, tanpa sengaja tangan Hana
bersentuhan dengan Andi. Sentuhan sekilas itu membuat hatinya kembali bergejolak.
Mmemuncul kata andai di hatinya. Andai bayi ini anakku dan Andi. Andai Andi adalah suamiku.
Tidak, tidak, tidak. Hana menepis kata hatinya. Tidak ada pengandai-andaai seperti itu.

Hana meniman dengan penuh kasih. Hana,lihatlah bayimu. Ia secantikdirimu. Dan lihatlah,
Andi harus membesarkan ia tanpamu.

Memangtak ada yang tahu garis kehidupan manusia kecuali sang pencipta. Kehidupan, kematian,
dan jodoh sudah ditentukan. Manusia hanya perlu menjalani dengan usaha dan berserah diri
kepada Tuhan. Dan begitulah garis kehidupan Hana. Ia telah ditakdirkan untuk menjalani semua
ini. Kini ia menjadi saksi kisah menyedihkan milik sahabatnya. Bayi tak berdosa itu dan Andi
yang harus melanjutkan hidup tanpa seorang terkasih. Hana saksinya.
xxx

Kehidupan kembali berjalan normal meski sisa-sisa kepedihan masih bergelayut di mata Hana.
Namun apapun yang terjadi, kesedihan tak boleh berlarut-larut. Ada banyak hal yang masih
harus diselesaikan. Toko kue milik Hana salah satunya. Pesanan datang silih berganti. Dari yang
jumlahnya sedikit hingga yang berjumlah ratusan. Semua itu penting sekali untuk diurus. Sedikit
banyak mampu menjadi pelipur lara.

Siang itu, saat Hana tengah berkutat dengan pesanan kue dari walikota, Andi datang mengetuk
pintu tokohnya sekaligus mengetuk pintu hatinya. Andi datang menawarkan kembali kisah
mereka yang tertunda.

“Aku yang menghancurkan kisahmu, izinkan aku kembali memperbaikinya. Aku tidak berjanji.
Tapi aku akan berusaha. Ingatkan aku jika aku mulai lalai. Berikan kesempatan padaku untuk
kembali meluki senyum di wajahmu.” Kalimat itu yang Andi ucapkan saat mereka duduk berdua
di pojokan toko. Hana meremas cangkir cokelat panasnya. Matanya menatp lurus seolah ingin
memindai ketulusan di mata Andi. Ya, laki-laki itu tulus mengucapkan kalimat itu. Namun
apakah semudah itu bagi Andi untuk meminta memperbaiki kembali kisah yang ia hancurkan.

Bagaimana Hana bisa bersama Andi tanpa terbayang wajah sahabatnya? Wajah Sara akam
menghantui setiap kali ia bersama Andi. Saat ia memeluk Andi, akankah ia tidak terbayang
bahwa itu pernah Andi lakukan dengan karibnya? Berjuta tanya melayang di benak Hana.

“Tak perl dijawab sekarang, Han. Aku tahu tak semudah itu memaafkab kesalahanku.” Ucapan
Andi memecah tanya di benak Hana.

“Bukan masalah memaafkan, Andi. Aku bisa memaafkan semua yang telah terjadi. Namun,
bagaimana dengan melupakan? Apakah aku dapat melupakan semua kenangan menyakitkan itu?
Itu bukan perkara yang mudah, Andi. Saat aku bersamamu, apakah ada jaminan aku tidak
teringat masa-masa bahagiamu dengan Hana? Bagaimana jika itu menjadi momok menakutkan
setiap aku bersamamu?” tanya itu akhirnya terlontar dari mulut Hana.

Andi termenung sejenak. Wajah sendunya kembali lagi. “Aku memang tidak layak mendapatkan
kembali kish bahagia itu bersamamu, Han. Maafkan aku. Aku pamit,” kata Andi sambil berlalu.

Di luar toko hujan deras menyelimuti. Andi berjalan menyusuri tortoar dengan pikiran kacau. Ia
merasa dirinya adalah laki-laki paling bodoh sedunia. Bagaiaman ia bisa merusak kebahagian
orang yang begitu ia cintai? Merusak kisah bahagia milikbya, bahkan membahayakan hubungan
persahabatannya. Ia sungguh bodoh. Tuhan, beri aku lebih banyak waktu untuk membahagiakan
orang yang aku cintai. Ia berbisik di tengah guyuran hujan. Kemudian Andi tersentak saat
menyadari ada seseorang yang menyentuh lengannya/ Ia berbalik dan menemukan wajah itu
dihadapannya.

“Hana!” serunya mengalahkan suara hujan.


Tak ada kata yang terucapdari gadis itu. Ia hanya bergerak untuk memeluk laki-laki
dihadapannya. Aku mencintaimu. Itu yang aku tahu. Biar sisanya diurus belakangan. Diva
menuruti kata hatinya.

Anda mungkin juga menyukai