Anda di halaman 1dari 12

TATABAHASA SISTEMIK FUNGSIONAL

(Suatu Pandangan)

Noviyanti Putri Makian


noviyantiputrim@gmail.com

Abstrak
Dalam tatabahsa Fugsional, sering merasa bahwa kita sedang berkeliling dalam gelap, belum
pasti apakah kita akan menafsirkan makna dari rangkaian kata dengan tepat, atau
mengidentifikasi perbedaan-perbedaan pada makna antara dua rangkaian kata yang berbeda
secara akurat. Sering kita menyebutkan kasus-kasus yang belum pasti dan belum jelas ketika
dua analisis (atau gabungan dari keduanya) tampak sama, dan pendeskripsian tersebut telah
sering digunakan dalam aturan-aturan yang cenderung digunakan daripada beberapa kategori
yang dipisahkan. Terkadang ada ketidakpastian dalam menganalisis ujaran-ujaran bahkan
dalam struktur utamanya (sebagai contoh, apakah klausa utama yang mendahului klausa
pendukung bisa berdiri sendri atau tidak). Ketika kita membawa isu-isu yang rumit seperti
hubungan antara para penutur dan pengaruh klausa yang mendahuluinya dalam rangkaian
kata sebelumnya.

Keyword: tata bahasa, sistemik, fungsional

Abstract

In Functional grammar, it is often felt that we are traveling in the dark, it is uncertain whether we will
interpret the meaning of a series of words correctly, or identify differences in meaning between two
different sets of words accurately. We often mention cases that are uncertain and unclear when the
two analyzes (or a combination of the two) look the same, and the descriptions have often been used
in rules that tend to be used rather than several separate categories. Sometimes there is uncertainty
in analyzing utterances even in the main structure (for example, whether the main clause that
precedes the supporting clause can stand alone or not). When we bring up complex issues such as the
relationship between speakers and the influence of the clause that preceded it in the previous series
of words.

Keyword: grammar, systemic, functional


PENDAHULUAN

Meskipun ada kemugkinan untuk menambahkan catatan , penulis memilih untuk tidak
memjelaskannya secara eksplisit, sebagai contoh, fakta bahwa kondisi orang biasa pada kaum
kiri secara jelas dihubungkan dengan fakta serangan jantung yang selalu mengikuti.
Analisis mengenai Tema membawa sebagian besar kasus-kasus tersebut di mana
pronomina kohesiv dan demontrativ muncul yang mengindikasikan bahwa kita tidak perlu
terlalu menunjukkan kealamian keterlibatan diri pada kalimat dalam teks. Namun, Tema yang
lain justru menguatkan kesan bahwa teks tersebut berubah secara sistematis melalui seluruh
bagian penting dari situasi tersebut secara terpisah satu persatu. Subjek Tema pertama yang
tidak ditandai , ‘ frozen Shoulder’ (bahu yang membeku), menjadi topic utama, sementara
yang lainnya, terlepas dari empat catatan di atas, seluruhnya merupakan sub-sub topik yang
baru (perlakuan, ‘ Batasan gerakan, radiografi bahu, dan sebagainya), sebagai dua Tema
yang eksistensial. Namun, salah satu Tema yang ditandai sebenarnya memiliki pola dasar
yang sama ‘ dalam…hal (lima kali). Sekali lagi, tanda-tanda ini membedakan bagian-bagian
topik: perhatikan bahwa bagian-bagian tersebut bukan pengelompokan yang kontras dari
kasus-kasus tersebut (‘ dalam beberapa kasus’ vs ‘ pada kasus lain’ ) yang mungkin
kohesiv (lihat 7.2.1, sebagai pembanding tanda kohesi), setiap kasus berbeda dengan lainnya.
Jika akhirnya kita kembali pada makna interpersonal, bentuk tersebut merupakan
modalitas yang berfungsi sebagai tipe utama. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,ada
aturan yang tidak pasti mengenai penyebab maupun perlakuan seharusnya pada ‘ frozen
shoulder’ dan penulis melarang dengan tegas, penggunaan yang lebih dari modalitas sebagai
sumber, meskipun pada kombinasi yang saling menguatkan. Berdasarkan perspektif ini, kata
‘ dalam..hal (in..cases)’ yang disebutkan pada Tema juga dapat dilihat sebagai modal.
hingga mereka membatasai validitas maksud dari penulis. Kesannya bahwa, dalam
mengembangkan kerangka berpikir umum penjelasan konsep-konsep diekpresikan melalui
nominalisasi, namun hal yang belum pasti mengenai konsep-konsep sesuai yang digunakan
dalam kondisi khusus pada kasus ini. Kita bisa mencatat bahwa untuk melalui ketidakjelasan
ini merupakan hal yang tidak biasa untuk buku-buku teks, tidak seperti, katakanlah, para
penulis artikel penelitian, yang diharapkan lebih berhati-hati dalam mengembangkan konsep
mereka pada pengetahuan baru (lihat Meyer, 1989), para penulis buku teks diharapkan agar
topik-topik mereka dipahami dan tidak problematik.
Saya telah mulai analisis teks ini dengan mengatakan bahwa ada sedikt interaksi yang
jelas, namun, tentu saja, tidak ada komunikasi tanpa adanya interaksi dari beberapa orang.
Dalam hal ini, penulis telah membuat pilhan konvensional (dalam konteks ini) mengenai
depersonal interaksi persis seperti dia mendepersonalisasikan topiknya; pernyataan-
pernyataan yang terus dihubungkan dengan kehadiran tujuan secara langsung. Pengaruh dari
pilihan ini muncul dengan jelas ketika kita membayangkan sebuah buku teks pada pengguna
yang sama dalam hal ini, katakanlah, kalimat 2 dirangkai dengan dengan cara yang berbeda.
Anda mungkin akan kesualitan menentukan apa yang sebenarnya dihasilkan oleh ‘ frozen
shoulder’ terhadap pasien tertentu dan anda harus siap untuk menguji beragam bentuk
perlakuan hingga anda menemukan yang terbaik. ‘ (perhatiakn bahwa ‘ interaktivitas) seperti
biasa, memerlukan kecekatan, tidak lain karena dia harus didampingi oleh kongruen-
kongruen yang relatif (seperti rangkaian kata yang tidak beraturan).
Dengan demikian, bagian penting yang telah dimunculkan dari teks ini adalah
depersonalisasi, fokus informasi, ‘ singkatan’ . Penulis menggunakan sejumlah sumber
tersembunyi dibalik informasi dan membuatnya terdengar seperti perintah dan
menyelesaiakannya sebisa mungkin. Tidak seperti seorang dokter dalam sebuah percakapan,
ada alasan untuknya untuk berperan sebagai pengawas keilmuwan yang adil atau tidak
memihak, ketika dia sedang berkomunikasi dengan ahli lain (atau paling tidak orang-orang
yang sedang berusaha untuk menjadi seorang lain) yang tertarik pada topic tersebut adalah
orang yang profesional. dia juga membuat interaksi yang jelas, memproyeksikan siapa
pembaca, seperti dirinya, yang tertarik pada segala sesuatu yang tersusun rapi, transfer yang
efisien terhadap informasi yang perlu dalam sebuah kerangka pikir - gejala-gejala yang
menyebabkan perlakuan – yang mana cukup familiar yang membutuhkan sedikit bahkan
mungkin tidak ada petanda. Mungkin sedikit bisa diprediksi, dia membagi infromasi kedalam
potongan-potongan kecil, Hal ini nampak seperti yang diharapkan yakni keinginan untuk
memadatkan (seperti keinteraktifan, panduan tekstual pada pembaca juga ikut andil), dan
mungkin merupakan kenyataan bahwa bukunya mungkin digunakan sebagai salah satu buku
referensi untuk konsultasi cepat oleh dokter-dokter yang belum bepengalaman dalam ujian
medis. (hal itu merupakan manfaat utama dari buku teks yang juga mungkin memengaruhi
bagian-bagiannya; penulis juga sadar bahwa ujian dalam latihan medis juga mengandalkan
memorisasi – setiap kalimat menjukkan bagian-bagian yang bisa diingat).
Setelah membaca analisis-analisis tersebut, anda mungkin merasa hal itu bermanfaat untuk
mencoba hal yang sama dari tiga dimensi analisis tersebut, yang berhubungan dengan pilihan
leksiko-gramatikal baik itu berlawanan maupun di luar dari konteks. pada tulisan maupun
respon dari kolom saran medis pada sebuah majalah yang diberikan pada Latihan 2.1. (hal.
24). Jika anda ingin mencoba jenis analisis ini pada teks lain, anda mungkin menemukan
bahwa analisis kontrastif dari dua teks yang sama, katakanlah, sebuah topik, namun bukan
penyimaknya yang akan membantu menjelaskan fitur-fitur kunci di setiap bagiannya, Tidak
selalu mudah dalam menemukan pasangan lisan maupun tulisan seperti yang di atas, namun
salah satu sumber yang dapat dijangkau adalah acara-acara televisi dengan tulisan – tulisan
yang muncul – seperti penjelasan tentang Koran dalam wawancara televisi, atau program
masak dengan buku panduannya. Pasangan lainnya yang mungkin adalah: laporan-laporan
dari peristiwa yang sama pada koran yang terkenal dan berkualitas, iklan yang ditujukan
kepada jenis konsumen yang bebeda, teks-teks dari atau untuk para ahli vs teks dari atau
untuk orang-orang baru, seperti, laporan-laporan penelitian atau buku-buku teks dengan level
tinggi, vs buku-buku teks sekolah atau laporan-laporan majalah untuk umum seperti New
Scientist, teks-teks untuk ‘ orang luar’ atau teks-teks untuk‘ orang dalam’ , seperti sebuah
selebaran persuasive untuk rekening bank vs aturan tertulis kontrak untuk rekening bank,;
atau bahkan yang asli, katakanlah, sebuah cerita pendek atau terjemahan.

TATABAHASA FUNGSIONAL
Analisis-analisis di atas belum mewadahi segala yang kita utarakan, sebagai contoh, saya
tidak tersentuh oleh tekanan dan polaritas, yang fungsinya mungkin berbeda dalam dua teks
yang berbeda. Namun, saya berharap bahwa mereka akan menyediakan pengenalan praktis
mengenai fitur-fitur fundamental dari Tatabahasa Fungsional yang saya tekankan pada bagian
pembuka dan telah mendukung semua pembahasan mengenai system tatabahasa secara detail.
Multifungsionalitas dalam sebuah klausa, dan pola penentuan konteks yang telah dipilih.
Perbedaan perspektif memberikan perbedaan namun dengan kata lain aspek=aspek lain dari
konstruksi makna mengenai hal yang sedang terjadi (dan, ketika dikombinasikan, setiap
perspektif menjelaskan yang lainnya).
Intimasi antara bahasa dan konteks juga menjadi poin ketiga yang krusial dalam
Tatabahasa Fungsional yang telah ditekankan dengan jelas, telah dibuat untuk penggunaanya
dalam teks (yakni penggunaan bahasa). Tidak mudah dibatasi dekontekstualisasi dalam
kalimat. Bagian dari makna dalam setiap klausa adalah fungsinya dalam hubungannya
dengan klausa lainnya. (mengambil contoh sebelumnya, hal itu merupakan makna dari
jawaban sebuah pertanyaan), dan gramatika bahasa tersebut merefleksikan hal ini (contohnya,
dengan mengambil jenis-jenis tertentu dari ellipsis sebagai jawabannya, dimana bagian dari
pertanyaan digunakan sebagai dasarnya). Dengan kata lain, klausa hanya menghasilkan
makna, menunjukkan fungsinya dalam mengekspresikan makna, jika kita melihat dari
keseluruhan konteks. kenyataannya bahwa bahasa Inggris memiliki perbedaan struktur
kalimat deklaratif dan interogatif, contohnya, dapat dengan sepenuhnya dipahami melalui
alasan-alasan mengapa penutur perlu untuk membedakan fungsi-fungsi yang ditunjukkan
oleh struktur-struktur tersebut (contohnya, untuk membuat pernyataan atau bertanya, untuk
member atau meminta informasi).
Hal ini juga penting, bagaimanapun, untuk kembali menegaskan bahwa dalam
menganalisis, hal ini bukanlah satu-satunya proses dalam penggunaan konteks. Eksplorasi
dapat dilakukan dengan kedua cara tersebut, kita bisa mempelajari lebih banyak tentang
sumber-sumber tatabahasa yang umum dari sebuah bahasa dengan memerhatikan bagaimana
mereka menggunakannya dalam teks (contohnya, kita mungin melakukan investigasi
mengenai makna pola Subjek dengan menguji banyak contoh-contoh Subjek dalam teks), dan
kita bisa memahami bagaimana teks-teks tersebut berkerja dengan menerapkan apa yang kita
ketahui tentang makna dari sumber-sumber gramatikal (contohnya, kita mungkin menerapkan
definisi yang kita miliki mengenai subjek sebagai entitas dalam mengukur validitas proposisi
– lihat 4.3.3. – pada teks-teks tertentu untuk menunjukkan bagaimana interaksi berkembang.
Keseluruhan pendekatan telah dirangkum dalam definisi yang diutarakan oleh Halliday
mengenai bahasa sebagai sebuah system makna yang potensial, yang hanya bisa
direalisasikan dalam penggunannya. Pemahaman ini bermakna bahwa aturan dalam
Tatabahasa Fungsional diekspresikan sebagai kesatuan pilihan-pilihan yang mungkin, sebagai
system dari banyak pilihan. Dalam berbagai konteks, ada sejumlah makna yang mungkin
diekspresikan oleh penutur dan sejumlah rangkaian kata yang mungkin mereka gunakan
untuk mengespresikannya. Ada juga beberapa faktor yang membuatnya lebih banyak atau
sedikit mirip bahwa jenis tertentu dari makna dan rangkaian kata akan dipilih. Catatlah bahwa
walaupun kita melihat bahasa sebagai sebuah pilihan, tidak ada cara pasti yang mana bisa kita
hubungkan dengan konteks, jika konteks menentukan seperti apa bahasa digunakan,
perbedaan pilihan linguistik harus bisa merefleksikan perbedaan konteks. Seperti yang saya
katakan pada 1.1.2. pilihan bukan berarti pilihan yang disengaja, hal ini seperti halnya bahwa
dokter yang dalam sebuah konsultasi akan sadar mengenai penggunaan qoeklaratif daripada
imperatif. Kita bisa mengidentifikasi sedikitnya faktor sosio-kultur yang membuat rangkaian
kata tersebut lebih pantas muncul pada konteks tertentu dibanding dengan yang lainnya. Kita
juga bisa kemudian beralih pada hipotesis bahwa pada konteks lain yang serupa yang pilihan
tersebut secara statistik lebih pantas untuk muncul sebagai konteks yang paling sesuai dengan
penutur. Kita mungkin, berpikir bahwa para guru mungkin lebih menggunakan queoclarative
dari pada para siswanya, dan kita bisa melihat interaksi dalam ruang kelas untuk melihat
apakah hal ini benar. Catatlah bahwa hal ini bisa dibantah jika kita menemukan pada konteks
lain pilihan linguistic yang sama, kita bisa menghipotesiskan bahwa ada pengaruh fitur-fitur
sosio-kultur pada konteks yang mungkin tidak kita sadari. Sebagai contoh, jika kita
menemukan bahwa dokter dan guru keduanya queclarative , kita kemudian bisa menguji
persamaan aturan dalam kehidupan sosialnya yang memengaruhi mereka membuat pilihan
linguistik yang sama.
Banyak pendekatan mengenai deskripsi linguistic membuat sebuah struktur pandangan
modular semata (sintaksis) berhubungan secara terpisah dari makna (semantik), yang juga
dipisahkan dari penggunaannya (pragmatik). Jadi, para sintaktisan akan mendeskripsikan
dokter tersebut ‘ So it got worse overnight ‘ (Jadi dia memburuk semalaman)’ secara
struktural merupakan deklaratif (dengan semua konstituen dari posisi yang diinginkan); para
semantisan mungkin berbicara mengenai perubahan komparatif yang ditandai pada ‘ got
worse’ ; dan para pragmatisan akan berkomentar pada penggunaan bentuk deklaratif untuk
makna interogatif. Pendekatan ‘ divide (membagi) dan conquer (menggabungkan)’ ini
memiliki banyak keuntungan dalam membuat setiap model, namun juga memiliki
kekurangan, dimana sedikit lebih mudah menggunakan hubungan-hubungan antar setiap
bagian dari deskripsi. Untuk para pengguna bahasa, makna merupakan bagian penting dari
bahasa, dan makna muncul dari hal-hal yang tidak tampak dari rangkaian kata dan konteks.
Tatabahasa Fungsional berusaha untuk menghadapi kenyataan-kenyataan buruk yang
menghadang dan untuk membangun sebuah model bahasa yang dalam prinsipnya
memungkinkan hubungan-hubungan tersebut dibuat dalam deskripsi yang sama.

11.3. Penggunaan Tatabahasa Fungsional


Langkah yang telah saya rangkum mengenai Tatabahasa Fungsional di atas berimplikasi
menyeluruh bahwa hal itu didesain untuk diterapkan. Hal itu, tentu saja diharapkan
membantu kita untuk memahami lebih banyak tentang isu-isu teoritis mengenai bagaimana
bahasa itu sendiri disusun, namun secara eksplisit melakukan hal ini dengan meningkatkan
investigasi terhadap isu-isu praktikal yang lebih luas sehubungan dengan penggunaan bahasa.
Dalam hal ini, saya ingin mengindikasikan beberapa area yang mungkin anda temukan
manfaat dari penerapan Tatabahasa Fungsional.
Sebagai sebuah pendekatan, sangatlah jelas kesesuaiannya dengan tujuan analisis wacana.
Halliday (1994) menyatakan dengan tegas bahwa ‘ analisis wacana yang tidak berdasarkan
pada tatabahasa bukan merupakan analisis yang sesungguhnya’ dan pandangan ini telah
sepenuhnya diterima. Tidak semua analisis wacana menggunakan Tatabahasa Fungsional
seperti yang dijelaskan di sini, namun sebagian besar menggunakan model bahasa yang sama.
Seperti versi sebuah pendekatan fungsional yang berorientasi pada teks yang telah banyak
dikembangkan. tatabahasa Fungsional memiliki keunggulan yang lebih besar dimana dia
telah siap digunakan oleh para analis yang fokus utamanya mungkin pada perbedaan aspek
seperti struktur teks pada editorial majalah. fungsi-fungsi istilah pada artikel akademik, atau
tema umum yang digunakan pada syair.
Seperti yang disarankan pada contoh terakhir, Tatabahasa Fungsional dapat diaplikasikan
pada cabang- tertentu dari analisis wacana yang dikenal dengan stilistika, yang cenderung
berpusat pada teks sastra. Sastra merupakan hal yang paling jelas dari ‘ konstitutiv
penggunaan bahasa (melalui definisi, sastra hanya dapat direalisasikan melalui bahasa,
sebaliknya, sebagai contoh, pemberian contoh secara langsung/tatap muka, bahasa mungkin
memiliki aturan tambahan, membantu para penggunanya melakukan segala hal namun tidak
mendasari seluruh perilaku social. Namun, sangat jelas bahwa interpretasi dari teks sastra
harus berdasarkan sebuah pemahaman tentang apa yang sedang terjadi pada level tatabahasa-
leksikon, semua pengaruh sastra dihasilkan oleh penggunaan bahasa.
Tujuan penting dari stilistikan bukan hanya mendeskripsikan namun juga mengevaluasi
teks; menunjukkan mengapa dia berharga atau tidak. Untuk menghargai hal tersebut, banyak
hal biasa dilakukan dengan menguji, menilai tampilan bahasa, menentukan; sebagai contoh,
apakah tugas mahasiswa cukup baik untuk dikatakan lulus, atau seorang dokter harus
memiliki kemampuan berintreaksi untuk menangani konsultasi-konsultasi secara efektif dan
penuh simpati, atau seorang manajer bisnis dapat merespon surat-surat komplein secara
persuasif. Karena tatabahasa fungsional mengharuskan kita untuk mendeskripsikan secara
objektif pola-pola yang sesuai dari penggunaan bahasa pada situasi tertentu, hal tersebut
dapat membantu mengklarifikasikan kriteria intuitif dan subjektif yang mendasari penilaian
(yang termasuk dalam teks sastra).
Dengan kata lain, Tatabahasa Fungsional dapat membantu dalam menentukan bahasa apa
yang diajarkan; hal tersebut dapat menjadi landasan ketentuan-ketentuan dalam pendidikan,
mengenai apa yang mahasiswa, dokter, serta manejer bisnis harus tahu perihal kesuksesan
dalam berkomunikasi dalam bidangnya. Hal tersebut juga diaplikasikan pada siswa yang
mempelajari bahasa ibu dan bahasa asing. Salah satu area yang mendapat pengaruh luar biasa
dari Tatabahasa Fungsional adalah TEFL (pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing).
Hal ini bukan berarti bahwa, para pembelajar bahasa diajarkan untuk memahami tiga
metafungsi tersebut, namun keseluruhan pandangan terhadap bahasa berdasarkan perspektif
Tatabahasa Fungsional memengaruhi peningkatan Pembelajaran Bahasa Komunikatif, dan,
dalam banyak hal pemahaman pada bagian tertentu seperti kohesi, modalitas dan pemilihan
Tema benar-benar telah diadaptasi penggunaannya dalam pembelajaran.
Dalam jangkauan yang lebih luas, para Linguis menggunakan cara kerja Tatabahasa
Fungsional, khususnya di Australia, telah melakukam investigasi mendalam terus menerus
terhadap bahasa dalam pendidikan itu sendiri. Mereka berangkat dari pemahaman bahwa
proses dalam pendidikan merupakan sebuah proses belajar tentang bagaimana menangani
aturan-aturan tertentu dari bahasa dimana pendidikan tersebut dilaksanakan, sebagai contoh,
bagaimana memahami buku-buku teks atau bagaimana menulis esai. Selain itu, aturan-aturan
tersebut telah dibuat eksplisit yang memungkinkan untuk baik melatih anak-anak secara
linguistik menangani masalah pendidikan lebih tepat, juga memberikan kejelasan pada
asumsi-asumsi ideologi yang tidak diutarakan yang membawahi proses pendidikan, dan juga,
jika memungkinkan, untuk memberi mereka tantangan.
Hal ini mengantarkan kita pada bagian final penerapannya yang ingin saya sebutkan:
analisis wacana kritis. Lebih dari lima belas tahun, ada peningkatan ketertarikan pada
pencarian ideologi yang sering tersembunyi (yakni direfleksikan, diperkuiat dan dikontruksi)
oleh teks. Seperti halnya teks-teks edukasi, penggunaan bahasa dalam media telah menjadi
fokus perhatian khusus, namun skalanya diperluas untuk memasukkan banyak jenis latihan-
latihan dalam keilmuan dan pengobatan, bisnis, hukum, politik dan sebagainya. Sejak
Tatabahasa Fungisonal dibuat secara tidak sengaja untuk menjangkau lebih jauh dari bagian-
bagian yang spesifik dari pemilihan bahasa terhadap sosio-kultur, dan bahkan factor-faktor
ideology yang memengaruhi kemunculan dan penggunaannya, analisis wacana kritis
merupakan kemunculan alamiah yang bisa diterapkan.
Daftar aplikasi yang mungkin masih jauh dari sempurna serta daftar yang lebih panjang
diberikan oleh Halliday (1994). Namun, saya berharap bahwa seperti yang telah disarankan
rangkaian penelitian yang mungkin dapat anda ikuti lebih detail, mengeksplorasi diri sendiri
mengenai putusan penting bahwa Tatabahasa Fungsional merupakan tatabahasa yang dapat
digunakan.

PENUTUP
Saya akan menutup. Seperti halnya saya membuka, dengan lelucon lama. Hari itu pada
pertengahan malam yang gelap, seorang polisi mendatangi seorang lelaki yang tengah
merangkak mengelilingi kaki tiang lampu dan bertanya apa yang sedang dilakukannya.
‘ saya kehilangan kunciku’ . Polisi itu mulai berlutut dan mencari kunci tersebut
bersamanya. Beberapa menit kemudian, ketika mereka tidak menemukannya, polisi tersebut
bertanya ‘ Apakah anda yakin telah menjatuhkan kunci-kunci anda di sekitar sini?’ ‘ Tidak,
namun ada di seberang jalan sana’ . ‘ Lalu mengapa anda mencari di sini? ‘ Karena di sana
tidak ada lampu’ .
Dalam tatabahsa Fugsional, anda pasti sering merasa bahwa anda sedang berkeliling
dalam gelap, belum pasti apakah anda akan menafsirkan makna dari rangkaian kata dengan
tepat, atau mengidentifikasi perbedaan-perbedaan pada makna antara dua rangkaian kata
yang berbeda secara akurat. Saya telah sering menyebutkan kasus-kasus yang belum pasti
dan belum jelas ketika dua analisis (atau gabungan dari keduanya) tampak sama, dan
pendeskripsian tersebut telah sering digunakan dalam aturan-aturan yang cenderung
digunakan daripada beberapa kategori yang dipisahkan. Terkadang ada ketidakpastian dalam
menganalisis ujaran-ujaran bahkan dalam struktur utamanya (sebagai contoh, apakah klausa
utama yang mendahului klausa pendukung bisa berdiri sendri atau tidak). Ketika kita
membawa isu-isu yang rumit seperti hubungan antara para penutur dan pengaruh klausa yang
mendahuluinya dalam rangkaian kata sebelumnya. Ada dua jawaban untuk hal ini. anda bisa
membatasai investigasi anda pada bagian-bagian yang mudah yang anda rasa bisa
mendeskripsikannya dengan jawaban pasti ya atau tidak, pelabelan yang terbatas,
dekontekstualisasi bagian kecil dari bahasa, menghindari sejauh mungkin kebingungan
bahwa makna dan fungsi dikenalkan, atau anda bisa menerima ketidakjelasan seperti fitur
pokok dan khas sebuah bahasa, yang mana hal tersebut tidak bisa befungsi secara efektif
sebagai system komunikasi, dan mengkonstruksi hal tersebut dalam deskripsi bahasa seperti
yang anda harapkan dan bisa mengeneralisasikan sebuah cara yang mungkin. Seperti yang
telah anda lihat, para penganut Tatabahasa Fungsional memilih bagian yang akhir. Mereka
tahu bahwa kunci ada di seberang jalan dalam gelap, situasi pencariannya mungkin lebih
buruk daripada di bawah tiang lampu, namun akan lebih dihargai.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan et al. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Anderson, L. W & David R. Krathwohl. (2010). Terjemahan. Kerangka Landasan Untuk


Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen. Revisi Taksonomi Bloom. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Susiati, S. (2020). Semantik: Teori Semantik, Relasi Makna, Marked, Dan Unmarked.

Jannah, Almaidatul, Wahyu Widayati, Kusmiyati. (2017). “Bentuk dan Makna Kata Makian
di Terminal Purabaya Surabaya dalam Kajian Sosiolinguistik”. Jurnal Ilmiah Fonema.
Vol. 4, No. 2.

Susiati, S. (2020). Fenomena Tuturan Emosi Verbal Bahasa Indonesia Suku Bajo Sampela.

Kisyani. (2004). Bahasa Jawa di Jawa Timur Bagian Utara dan Blambangan. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Susiati, S. (2020). Kaidah Fonologi Bahasa Indonesia.

Moleong, Lexi. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Susiati, S. (2020). Makian Bahasa Wakatobi Dialek Kaledupa.

Sibarani, Robert. (2004). Antropolinguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi.


Medan: Poda.

Susiati, S. (2020). Fenomena Tuturan Emosi Verbal Bahasa Indonesia Suku Bajo Sampela.

Sumarsono. (2007). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda dan Pustaka Pelajar.

Susiati. (2018). “Hominimi Bahasa Kepulauan Tukang Besi Dialek Kaledupa”. Jurnal
Totobuang. Vol. 6, No. 1.

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. (2006). Sosiolinguistik: Kajian Teori dan
Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Susiati, S. (2020). Kaidah Fonologi Bahasa Indonesia.

Winarsih, Tri. (2010). “Pisuhan dalam ‘Basa Suroboyoan’ Kajian Sosiolinguistik”. Tesis.
Surakarta: UNS.

Susiati, S. (2020). Nilai Budaya Suku Bajo Sampela Dalam Film The Mirror Never Lies
Karya Kamila Andini.
Abidin, Zainal. 2007. Analisis Eksistensial, Sebuah Pendekatan Alternatif untuk Psikologi dan
Psikiatri. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Susiati, S. (2020). Eksistensi Manusia Dalam Film" Aisyah Biarkan Kami Bersaudara" Karya
Herwin Novianto.

Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Susiati, S. Bahan Ajar: Psikolinguistik.

Dila, Putri Andini Kusumawardani. 2017. “Gambaran Eksistensi Tokoh Sandra dalam Film
Deux Jours Une Nuit Karya Jean-Plerre Dardenne dan Luc Dardenne: Kajian Psikologi
Eksistensial”. Thesis. Universitas Brawijaya.

Susiati, S. (2020). Kaidah Fonologi Bahasa Indonesia.

Djojosuroto, Kinayati. 2007. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book.

Susiati, S. (2020). Morfologi Kelas Kata Dalam Bahasa Indonesia.

Klarer, Mario. 1998. An Introduction to Literary Studies. London: Routledge.

Susiati, S., & Iye, R. (2018). Kajian Geografi Bahasa dan Dialek di Sulawesi Tenggara:
Analisis Dialektometri. Gramatika: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, 6(2),
137-151.

Iye, R., Susiati, S., & Karim, K. (2020). Citra Perempuan dalam Iklan Sabun Shinzui. Sang
Pencerah: Jurnal Ilmiah Universitas Muhammadiyah Buton, 6(1), 1-7.

Moleong, Lexi. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Susiati, S., Iye, R., & Suherman, L. O. A. (2019). Hot Potatoes Multimedia Applications in
Evaluation of Indonesian Learning In SMP Students in Buru District. ELS Journal on
Interdisciplinary Studies in Humanities, 2(4), 556-570.

Kartono, Kartini. (1980). Pengantar Metodologi Research Sosial. Bandung: Alumni.

Susiati, S. (2020). Pengaplikasian Multimedia Hot Potatoes Dalam Evaluasi Pembelajaran


Bahasa Indonesia Pada Siswa SMP Negeri 9 Buru.

.Amanto, B. S., Umanailo, M. C. B., Wulandari, R. S., Taufik, T., & Susiati, S. (2019). Local
Consumption Diversification. Int. J. Sci. Technol. Res, 8(8), 1865-1869.

Susiati, S. (2020). Kesantunan Imperatif Bahasa Melayu Ambon.

Harziko, H., Said, I. M., & Darwis, K. (2018). FOLLOW THE EVENTS IN THE
INDONESIAN LANGUAGE EXPRESSIVE SAID TRANSACTION IN THE
TRADITIONAL MARKET TOWN OF BAUBAU. JURNAL ILMU BUDAYA, 6(1).
Susiati, S. (2020, June 18). Eksistensi Manusia Dalam Film "Aisyah Biarkan Kami
Bersaudara" Karya Herwin Novianto.
https://doi.org/10.31813/gramatika/7.1.2019.173.50--63

Iye, R., & Susiati, S. (2018). NILAI EDUKATIF DALAM NOVEL SEBAIT CINTA DI
BAWAH LANGIT KAIRO KARYA MAHMUD JAUHARI ALI (Educative Values in
Sebait Cinta di Bawah Langit Kairo by Mahmud Jauhari Ali). Sirok Bastra, 6(2), 185-
191.

Susiati, S. (2018). Homonim bahasa kepulauan tukang besi dialek kaledupa di kabupaten
wakatobi [the homonymon of tukang besi island languange in kaledupa dialect at
wakatobi regency]. Totobuang, 6 (1), 109, 123.

Nurhayati, N., & Said, I. (2019). Emosi Verbal Suku Bajo Sampela. Sosial Budaya, 16(2),
114-126.

Susiati, S., & Iye, R. (2018). Kajian Geografi Bahasa dan Dialek di Sulawesi Tenggara:
Analisis Dialektometri. Gramatika: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan, 6(2),
137-151.

Andini, K. NILAI BUDAYA SUKU BAJO SAMPELA DALAM FILM THE MIRROR
NEVER LIES KARYA KAMILA ANDINI.

Susiati, S. (2020). Nilai Budaya Suku Bajo Sampela Dalam Film The Mirror Never Lies
Karya Kamila Andini.

Said, I. EMOSI VERBAL SUKU BAJO SAMPELA.

Susiati, S. (2020). Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia: Sosiodrama.

Tahir, S. Z. B., Atmowardoyo, H., & Dollah, S. (2018). BELAJAR BERBICARA


MULTIBAHASA UNTUK SANTRI PESANTREN. Yogyakarta, Deepublish.

Susiati, S. (2020). Morfologi Kelas Kata Dalam Bahasa Indonesia.

Susiati, S. (2020). Fenomena Tuturan Emosi Verbal Bahasa Indonesia Suku Bajo Sampela.

Tenriawali, A. Y. (2018). Representasi korban kekerasan dalam teks berita daring tribun
timur: analisis wacana kritis [the representation victims of violence in tribun timur
online news text: critical discourse analysis]. TOTOBUANG, 6 (1), 1, 15.

Susiati, S., & Iye, R. (2018). Kajian Geografi Bahasa dan Dialek di Sulawesi Tenggara:
Analisis Dialektometri. Gramatika: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan. 6 (2),
137-151.

Djamudi, N. L., Nurlaela, M., Nazar, A., Nuryadin, C., Musywirah, I., & Sari, H. (2019,
October). Alternative social environment policy through educational values in Kafi’a’s
customary speech to the kaledupa community of Wakatobi Island, Indonesia. In IOP
Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 343, No. 1, p. 012118). IOP
Publishing.

Susiati, S. (2020). Gaya Bahasa Secara Umum Dan Gaya Bahasa Pembungkus Pikiran:
Stilistika.

Susiati, Y. T. Risman Iye. A. Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia Suku Bajo Sampela:
Balai Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2018. Kongres Bahasa Indonesia (No. 12,
pp. 1-6). Report.

Susiati, S. (2020). Kesantunan Imperatif Bahasa Melayu Ambon.

Mufidah, N., & Tahir, S. Z. B. (2018). Empowering E-Learning As An Interactive Teaching


For Arabic Learners. Lisanudhad, 5(2), 57-72.

Susiati, S. (2020). Gaya Bahasa Secara Umum Dan Gaya Bahasa Pembungkus Pikiran:
Stilistika.

Yusdianti, A. (2020). THE REPRESENTATION VICTIMS OF VIOLENCE IN TRIBUN


TIMUR ONLINE NEWS TEXT: CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS.

Susiati, S. (2020). Tuturan Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia Suku Bajo Sampela.

Nacikit, J. PENTINGNYA MELESTARIKAN BAHASA DAERAH.

Susiati, S. (2020). Wujud Morfologi Bahasa Indonesia.

Taufik, T. (2019). Strategi AMBT untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman


Interpretatif Siswa Kelas IV SD Negeri 3 Namlea Kabupaten Buru. Sang Pencerah:
Jurnal Ilmiah Universitas Muhammadiyah Buton, 5(2), 53-62.

Susiati, S. (2020). Morfologi Kelas Kata Dalam Bahasa Indonesia.

Susiati, S. (2020). PENTINGNYA MELESTARIKAN BAHASA DAERAH.

Susiati, S. (2020). Rekontruksi Internal Bahasa Bugis dan Bahasa Makassar: Linguistik
Komparatif.

Susiati, S. (2020). Embrio Nasionalisme Dalam Bahasa dan Sastra.

Leja, W. NILAI PEMBENTUK KARAKTER MASYARAKAT WAKATOBI MELALUI


KABHANTI WA LEJA.

Susiati, S. (2020). Teori dan Aliran Linguistik: Tata Bahasa Generatif.

Susiati, S. (2020). Semantik: Teori Semantik, Relasi Makna, Marked, Dan Unmarked.

Susiati, S. (2020). Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia: Sosiodrama.

Susiati, S. PERWUJUDAN SIMILE OLEH MERARI SIREGAR DALAM NOVEL AZAB


DAN SENGSARA.
Susiati, S. (2020, June 21). Bahan Ajar: Psikolinguistik. https://doi.org/10.31219/osf.io/9hveb

Susiati, S. (2020). The Concept Of Togetherness In The Films" Aisyah Biarkan Kami
Bersaudara" By Herwin Novianto.

Susiati, S. (2020). Konsep Pertentangan Dalam Film" Aisyah Biarkan Kami Bersaudara" Karya
Herwin Novianto.

Susiati, S. (2020). Konsep Kebersamaan Dalam Film" Aisyah Biarkan Kami Bersaudara" Karya
Herwin Novianto.

Anda mungkin juga menyukai