Anda di halaman 1dari 7

Antagonis dalam Cinta / Yang Bertaut

Hayara Ayundapati
Dinanggar Dannu
Fajar Agin Pradipta
Renina Avitasari

Blurb
“Bisa nggak? Putusin dia terus pergi sama aku?”
Ketika Haya sudah muak dengan kehidupannya, dan memilih menjadi sosok jahat di kala yang ia anggap
akhir dari cerita kehidupannya.
Dan.. Haya merasa, dosanya tidak terlalu besar, (ya) untuk ia tanggung.

-
Prolog
Bantingan vas bunga oleh Nina, putri bungsu di keluarga Pradipta membuat penghuni
menghampiri suara tersebut. Ada Nina di kamarnya sendiri dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Mama langsung berlari menghampiri Nina dan membawanya kedalam pelukannya.
Isak tangis Nina teredam di pelukan mamanya. “Tenang, sayang. Tenang.. ada mama.” Katanya
seraya mengusap lembut punggung anaknya.
“Buk… tolong telpon Fajar.” Kata Mama ke Buk Ida. Perawat yang menjaga Nina sejak kondisinya
seperti itu.
Sudah tidak tahu yang keberapa kalinya ini terjadi sejak pernikahannya rusak lima bulan yang lalu.
Pernikahan Nina dengan pria bernama Dannu harus hancur lima bulan lalu dengan si pria yang
menghilang di gedung yang akan menjadi tempat seharusnya pria itu ijab qobul. Dannu menghilang, saat
itu hanya ada orang tuanya yang berujar berulang kali meminta maaf.
Fajar hadir di ambang pintu. Tangis Nina semakin menjadi saat matanya menangkap sosok Fajar.
Ia berjalan menghampiri Nina yang masih di ada di pelukan mamanya.
Nina bersuara di tengah isaknya, “Salah, mas!”
Dan akan masih sama, Nina yang menyalahi Fajar. “Dannu nggak akan pergi, kalo mas kasih
kesempatan kedua untuknyaa!!” Jeritnya, suaranya terdengar serak.
Jika ditanya, apakah Fajar lelah? Tentu, iya.
Meski begitu, apakah Fajar menyesal kala itu? Tentu, tidak. Sekalipun, tanpa Nina ketahui Fajar
pun sakit. Mereka sedang merasa hal yang sama.

Satu
19 September 2021
Suara getaran memecah konsentrasi gadis berkalung id card yang bertulis nama Hayara
Ayundapati tim Editor satu. Nama Fajar terpampang di layar, Haya menyentuh warna hijau dan
menggesernya lalu memilih opsi speaker.
“Halo, Ya.” Yang hanya dijawab dehaman oleh Haya. Matanya kembali fokus kearah komputer
pada naskah yang sedang ia kerjakan untuk persiapan di layout.
“Bakal lembur?” Haya menghentikan aktivitasnya sesaat. Matanya menatap layar ponselnya, lalu
kemudian melihat kalender di meja kerjanya. Tanggal 19 September yakni hari ini ia lingkari, ada tulisan
kecil disana sebagai keterangan terkait hari ini.
Makan malam dengan keluarga Fajar
Begitulah tulisannya. Ia menulis itu sekitar tiga minggu yang lalu. “Aku lupa. Maaf.” Kata Haya.
Terdengar suara kekehan kecil dari Fajar. “Nanya apa, dijawabnya apa.”
“Jam berapa si?”
“Jam delapan, aku jemput.”
Haya menimbang-nimbang. Takutnya ada rapat dadakan nanti sore sehingga ada tugas yang
mengharuskannya lembur. “Aku belum bilang ke mama, kamu bisa nggaknya. Jadi…. Nggak usah
terbebani.” Seolah tahu yang sedang Haya pikirkan, sehingga Fajar berucap seperti itu di sebrang sana.
Dan… Haya merasa bersalah. Ini sudah dua kalinya makan malam dengan keluarga Fajar harus
batal karena pekerjaan Haya. Sebagai editor membuatnya kerap kali harus lembur, saat hari libur tiba
maka menyiapkan pekerjaan lainnya.
Seolah tiada habisnya tugas Haya sebagai editor.
“Aku usahain.”
“Jadi nggaknya, kamu nanti.. jam delapan aku tetep ke kantor kamu. Kangen..”
Haya tersenyum. Untung kolega nya sedang keluar karena ini jam istirahat, sehingga suara Fajar
yang ia speaker hanya terdengar olehnya.
“Udah makan?”
“Harusnya aku dulu bukan sih yang nanya gitu.”
Haya tersenyum, “Aku udah..” ia membawa sandwich buatan Ali, abangnya.
“Aku juga. Dianter Nina bekal tadi. Btw, udah dulu.. aku ada jam masuk kelas bentar lagi.”
“Okee.”
Panggilan berakhir, dengan Fajar yang mematikannya. Haya menyenderkan punggungnya ke
badan kursi dan merenggangkan badannya yang dirasa pegal. Ia bangkit dari duduknya, berjalan menuju
ruang istirahat karyawan. Ia mengambil sebungkus kopi instan dan menyeduhnya di cup. Saat hendak
berbalik, ia terkejut dengan hadirnya rekan kerjanya. “Ngagetin, anjirr!” Umpatnya.
Dina nyengir dan mengucap kata maaf. “Ya, tadi ada yang nyariin lo dibawah. Katanya penulis
baru yang editor naskahnya lo. Gue telponin tadi, lo lagi telponan kata whatsapp nya. Akhirnya gue bawa
keatas, tuh… gue suruh nunggu di ruang rapat.” Terangnya Dina seraya menggedikkan dagunya kearah
luar
“Oke.. makasih Din.”
“Yoi.”
Haya hanya menemukan satu nama yang ia duga memiliki nama pena Aksara. Ia tidak tahu itu
adalah nama aslinya atau bukan. Haya mengambil map hitam yang bertulis Aksara di depannya yang
berisikan naskah beliau. Lalu berjalan menuju ruang rapat. Tangannya mendorong pintu tersebut, dan ada
dua pria disana. Satunya duduk, satunya sedang menatap kearah luar jendela.
Haya kira hanya ada satu orang.
“Hai.. maaf lama.” Sapa Haya dengan nada ramahnya setelah menaruh map itu di meja. Yang
sedang duduk menjawab, lalu mata Haya bertemu dengan satunya.
“Mbak Haya, kan?” Suara si yang duduk membuyarkan pandangan Haya ke yang satunya.
“I..iya.” Haya langsung kembali menatap si satunya yang kini mengambil tempat duduk disamping
yang sedari duduk.
“Saya Aksara.” Yang bersuara itu masih sama dengan orang sebelumnya. Tentu, Haya tahu
karena yang satunya, yang sedari tadi menyita penglihatannya Haya sungguh mengenalnya.
-
“Tunggu di parkiran aja, ini aku bentar lagi turun.” Pikir Haya saat itu untuk menghemat waktu,
karena Haya menyudahi pekerjaannya tanpa mengharuskan lembur yang artinya ia bisa menyanggupi
ajakkan Fajar.
Namun, ternyata tidak. Sepertinya Haya harus menarik kata „bentar‟ tadi yang ia ucapkan ke Fajar.
Dia kembali setelah beberapa jam yang lalu pamit dengan temannya. Pintu lift yang terbuka menampilkan
sosok itu didalam. Haya yang hendak masuk terhenti langkahnya.
“Apa kabar, Haya?” Suara yang kembali memunculkan debaran gila itu yang setelah tadi sore
berhasil padam.
Menemuinya lagi hanya untuk menanyai kabar? Batin Haya bersuara.
“Aku rasa tadi bukan waktu yang baik ya? Untuk Mas Aksara tahu kalau kita udah saling kenal.”
Haya menemukan fakta bahwa Aksara dua tahun diatasnya, sehingga tadi Haya memilih untuk memanggil
Mas sebelum namanya.
Dannu tersenyum lalu mengangguk pelan. Haya akhirnya berjalan masuk kedalam lift, dan
menyentuh tombol basement parkiran. “Aku baik.”
“Enam tahun ya? Kita ketemu lagi setelah kamu mutusin aku.”
Tangan Haya mengepal. Ucapan Dannu membuatnya terlempar kejadian beberapa tahun yang
lalu. Saat Haya meminta putus dengan Dannu tanpa ia beri alasan yang jelas.
“Aku masih sama yang dulu, sewaktu kamu minta putus….” Haya tahu ini masih ada lanjutannya.
Cukup lama Dannu untuk kembali bersuara.
“Berharap kamu nggak sedang baik-baik saja. Seperti aku.”
Haya merasakan sesak. Ia sangat paham akan ucapan Dannu barusan, dan sangat mewajarinya.
Bentuk balasan yang menunjukkan, sejahat itu Haya enam tahun yang lalu kepada Dannu.
-
Makan malam seharusnya berjalan dengan baik-baik saja. Namun itu hanya kelihatannya saja,
karena setiap makanan yang masuk ke mulutnya terasa hambar. Senyum yang sedari tadi ia munculkan,
adalah berupa senyum palsu.
Harapan Dannu menjadi nyata, yang bahkan jika Haya mampu untuk jujur ia sudah hancur tepat
dengan terpaksa Haya mengucap putus saat itu.
“Haya nggak suka ya makanan laut?” Suara Mama Fajar terdengar menyadarkan Haya dari
diamnya.
“Suka, tante.”
“Tuhkan, Jar.. Tuh! Susah banget Haya manggil mama pake mama aja gitu.”
Fajar terkekeh, “Sayang, panggil mama ajaa. Umur mama udah nggak cocok juga kalau dipanggil
tante.” Kata Fajar dengan nada bercandanya.
“Huss! Kamu ya!”
“I..iyaa, ma. Maaf Haya belum terbiasa.”
“Berarti kita harus sering-sering ketemu, Ya? Biar terbiasa.” Sahut Mamanya, Haya mengangguk
dan menampilkan senyum sopannya.
“InsyaAllah, Ma.” Jawabnya.
“Ini, Nina nggak dateng, Ma?” Fajar bersuara.
“Nina lembur skripsi di apartemennya, Jar.”
Renina Avitasari yang kerap dipanggil Nina, adik perempuan Fajar yang tengah menempuh kuliah
S1 Kimia Murni nya di kampus yang sama dengan Fajar. Hanya saja Fajar bukan seorang mahasiswa
melainkan Fajar menjadi dosen di program studi sastra Indonesia.
“Okee… Jadi Haya kapan ajak tante ketemu sama kakak-kakak Haya?”
Haya sedikit terkejut, namun kemudian mampu ia tutupi. “Kapan ya… Ma. Haya juga bingung
menyesuaikan waktu luangnya mereka.” Haya menjawab jujur.
“Iya sih… mama sih kapan aja luang, asal lagi nggak ada klien aja sih.” Sahut Mama. Mama Vita
seorang desainer butik yang sudah membuka sekitar tiga cabang di daerah Jakarta.
“Haya aja sibuk banget, Ma. Coba ini udah batal berapa kali, Haya baru bisa ketemu mama.” Kali
ini Fajar yang bersuara dengan suara pura-pura kesalnya. Haya tak luput mengucapkan maaf kembali.
“Lhoo ya nggak papa. Mama tuh seneng ngelihat perempuan yang fokus dengan karirnya.
Sebenarnya perempuan yang gimana aja mama suka, apalagi kalau sama perempuan yang disukai anak
mama.”
Ini bukan kali pertama Haya bertemu dengan Mama Vita. Dan selalu, Haya selalu berterimakasih
banyak sudah dipertemukan dengan sosok Mama Vita, mamanya Fajar.
“Jadi nggak sabar kan pengen Haya sah jadi menantu mama.”
“Ma..!” Fajar berseru pelan. Ia bertemu mata dengan Haya yang kemudian memasang senyum
canggung.
“Iya-iya, mama kan nggak bakal ngeburu-buruin juga toh…” Fajar menghela nafasnya, “Aku ke
toilet sebentar.” Selanjutnya Fajar berjalan keluar menuju toilet berada.
Haya berdehem, “Ma…” Haya memberanikan diri untuk memanggilnya.
“Iya sayang?”
“Maaf, Ma…”
“Lhoo kenapa?”
“Haya kelihatan nggak bersyukur banget, ya?”
“Eh?”
“Fajar pernah cerita, Mama udah pengin banget untuk Fajar nikah. Fajar juga udah sering banget
ngode Haya untuk „ayo menikah‟. Tapi berulang kali, Haya takut. Takut sama diri Haya sendiri.”
“Haya… astaga sayang…”
Mama Vita tahu yang kemungkinan menjadi alasan Haya seperti ini, yakni kakak sulungnya. Haya
dengan trauma yang dialami kakaknya.
“Mama malah nggak suka kalau Haya begini nih…”
Haya tersenyum. Ia sedang berandai-andai, jika saja Mama Vita memiliki sifat yang sama dengan
mertua Mbak Tara.
Tentu, hari-hari akan bahagia.
-
Dua
24 September 2021
Nina mengambil kantung plastik besar untuk mengumpulkan bungkus-bungkus snack yang
berserakkan di meja tadi malam. Sudah menjadi rutinitas setiap pagi, Nina akan membereskan apa yang ia
perbuat di malam hari.
Dan sudah tiga hari ini berjalan, selama itu ada yang berbeda. Bukan hanya bungkus snack dan
minuman, baju-baju ikut tercecer di lantai. Penghuni yang biasanya hanya ada Nina, kini ada satu lagi.
Yang pastinya, jika Mama ataupun Mas Fajar tahu, Nina akan habis.
Tapi bagaimana? Nina menyukainya.
Ini yang sesungguhnya Nina tunggu, hanya saja dengan cara yang berbeda. Dan… terdengar
suara pintu kamar terbuka.
Sosok itu keluar dengan kaos putihnya dan celana longgar selutut, rambutnya masih acak-
acakkan. Dan Nina jatuh cinta, bagaimanapun sosok itu tampil didepannya.
“Nin…”
“Hm?”
“Kuliah. Kamu ada jam pagi kan, hari ini?” Nina menghentikan aktivitasnya. Lalu kantung plastic
yang ada ditangannya kini beralih tangan. “Ini biar saya beresin.”
Nina menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya. “Udah tiga hari.” Ujarnya.
“Hmm?” Sama sekali tanpa menoleh.
“Aku tetap masih harus panggil pake Pak, kalau hanya sedang ada kita berdua?” Perkataan itu
mampu membuatnya menatap Nina. “Nggak, Nin.”
“Kalau gitu, saya-nya diganti aku, oke?” Pintanya.
Dannu mengangguk, “Satu minggu ke depan aku ada konferensi dosen

Anda mungkin juga menyukai