Anda di halaman 1dari 11

Contoh Cerita Inspiratif

Kentang, Telur, dan Biji Kopi

Suatu masa, terdapat anak lelaki yang sering mengeluh kepada Ayahnya yang seorang petani. Dia lelah
harus berjuang pergi ke sekolah puluhan kilo meter dengan jalan kaki. Lalu, Sang Ayah mengajaknya ke
dapur, menyalakan kompor, lalu mendidihkan air dan memasukan kentang, telur, dan biji kopi secara
bergantian.

Setelah selesai memasak ketiga benda tersebut, Sang Ayah memasukannya ke tiga mangkuk yang
berbeda.

“Nak, apa yang kamu lihat di depanmu?” tanyanya

“Kentang, telur, san kopi, Yah”

“Lihat tekturnya lebih seksama. Apakah ada yang berubah?”

“Kentang berubah menjadi lembut, telur berubah jadi keras, dan biji kopi berubah jadi kopi. Apa
maksudnya, Yah?”

Ayah pun tersenyum dan menjelaskan bahwa kentang, telur, dan kopi menghadapi tantangan yang sama,
yaitu air mendidih. Namun, masing-masing bereaksi dengan berbeda. Kentang yang keras berubah
menjadi lemah dan lembut, telur yang rapuh dan mudah pecah berubah menjadi keras, dan biji kopi justru
mengubah air menjadi sesuatu yang baru. “Yang mana kamu?” tanya Sang Ayah kepada putranya. “Saat
tantangan dan kesulitan mengetuk pintumu, bagaimana tanggapanmu? Apakah kamu kentang, telur, atau
biji kopi?”

Anak lelaki itu pun terdiam mendengar penjelasan dari ayahnya. Ia mulai mengerti bahwa hal-hal yang
terjadi menimpa kita, kita sendiri lah yang menentukan akan menjadi apa. Bisa menjadi lebih lemah, lebih
kuat, atau menjadi sesuatu yang baru.
Botol

Riana menangis tersedu-sedu ketika pulang dari sekolah. Ia memasuki rumah dengan muka merah, tanpa
mengucapkan salam, dan berjalan tergesa menaiki tangga tanpa memedulikan mama yang bertanya.
Biasanya, ia selalu pulang sekolah dengan gembira, namun tidak pada hari ini. Mama bertanya-tanya, hal
apa yang membuat putrinya merasa marah dan kecewa seperti itu.

Selang beberapa menit, mama memasuki kamar Riana. Tangisan Riana sudah mulai mereda. Ia kini
menjadi lebih tenang. Bersama dengan dibawakannya jus mangga, mama mulai mencoba mendekati
Riana.

“Yuk minum ini dulu, Na” awalnya Riana enggan, tetapi akhirnya ia meminum jus mangga kesukaannya.

“Kamu kenapa, sayang?”

“Aku dibilang jelek sama Rangga, rambutku keriting, Ma, kayak Papa. Terus aku diledekin sama anak
laki-laki satu kelas pas pulang sekolah” masih terlihat jelas kekesalan paada mata Riana.

“Na, kamu tahu gak bahwa sebenarnya manusia  sama seperti botol kosong itu?” tanya Mama ramah
sambil memperlihatkan botol kosong yang berada di meja belajar Riana. Riana pun menggeleng.

“Begini, kalau botol ini di isi dengan air mineral harganya bisa Rp5.000, lalau botol ini diisi jus harganya
bisa Rp10.000,  kalau botol ini diisi dengan isi parfum terkenal, harganya bisa jutaan rupiah, dan jika diisi
air got justru botol ini tidak ada harganya sama sekali. Walaupun berbeda harga, bukankah fisiknya tetap
botol bukan?”

“Iya, Ma, tetap botol. Lalu?” Riana menghapus sisa-sisa air matanya dan menyimak penjelasan Mama.

“Begitulah manusia di mata Tuhan, hanyalah seperti botol kosong. Yang membedakan ialah isi dari botol
tersebut. Tuhan tidak melihat fisik atau rupa dari manusia, tetapi ialah ketulusan jiwa, kebaikan, dan
kebijakan yang ia tempuh selama di dunia. Jadi, biarkan saja Rangga atau yang lainnya meledekmu.
Terpenting, tunjukan kemampuanmu dan tidak perlu merasa rendah diri, okay, cantik?”
Riana mengangguk dan langsung memeluk mamanya. Masa SMP memang cukup rumit untuk mulai
mencari jati diri. Namun kini, Riana mengerti bahwa setiap manusia tentunya akan selalu sama, yang
berbeda ialah kebaikan yang ada dalam hatinya.

Tania

Biolaku seolah tidak mau bersahabat denganku hari ini. Padahal konser musikal sekolah sebentar lagi. Aku
sudah berjanji kepada diriku sendiri untuk tampil memukau pada konser nanti. Aku berada di kursi depan
dan menjadi sorotan. Sesuai dengan mimpiku sejak pertama kali belajar biola. Namun, sepertinya aku
mengalami kesialan, benang dawainya putus ketika aku dan timku sedang berlatih.

Terpaksa aku pun perlu keluar dari panggung sementara. Mendengus kesal dan pergi ke kantin. Saat aku
berjalan menuju kantin, tiba-tiba,

“Doorr!” Suara Tania mengagetkanku “Kenapa kesel gitu si La, yaampun!” Aku pun menjelaskan mengapa
aku bisa kesal hari ini. Ia mendengarkan dengan seksama, sambil menunggu bakso, seperti biasa ia pun
mulai bertanya-tanya yang selalu membuatku bingung.

“La, ketika kita mau pergi naik pesawat dan memilih tiketnya itu kendali kita atau bukan?”

“Ya, kendali kita lah, milih naik pesawat apa dan pukul berapa” jawabku singkat

“Kalau pesawat yang kita pilih terlambat, apa itu juga kendali kita?” Tanya nya lagi

“Yaaa, bukan, sih.”

“Nah, sama kayak kejadian kamu dan biola hari ini. Sesuatu di luar kendalimu, mau bagaimana pun juga
tidak akan bisa kamu ubah. Kamu kan sudah mengendalikan kemampuan biolamu, sedangkan hal yang
terjadi di luar kemampuan kamu yaitu biola rusak, itu bukan berasal dari diri kamu. Jadi, biarin aja, gak
perlu ngeluh, okay?”

“Habis ngeluh itu enak sih” aku terkekeh. Tania menjitak kepalaku pelan. Aku pun semakin tertawa.
Aku menyadari, ceramah dia bukan hanya sekadar ceramah seperti Aa Gym atau Mama Dedeh. Ia
menyarankan dan menjadi inspirasi saat aku menghadapi keadaan-keadaan yang sulit dengan gaya
pembicaraannya yang bersahabat. Satu hal pelajaran yang kudapat dari hari ini, fokuslah terhadap apa
yang ada di kendali kita. Dan tidak perlu berlarut dengan hal-hal yang di luar kendali.

Penulis dan Pelukis

Kata-kata yang kutulis mulai mengalami kebuntuan. Aku mandek menuliskan ide cerita pada kertas yang
akan kukirimkan kepada penerbit melalui pos surat untuk besok. Sejenak aku meninggalkan meja kerjaku
dan memutuskan untuk bersepeda keliling komplek.

Pada saat di perjalanan, aku melihat seorang pelukis laki-laki yang digerumuni oleh banyak orang.
Orang-orang melihat kepiawaiannya menggoreskan cat pada kanvas dengan menggunakan kaki. Ya, kaki!
Pantas saja mengundang banyak perhatian orang, batinku. Ia melukis tentang rectoverso bayangan
seorang perempuan. Setelah selesai, ia pun mulai berpresentasi terhadap apa yang sudah ia lukis.

Ia mendekati seorang gadis dan bertanya “Apa kah kamu melihat gambar ini dengan jelas?” tanyanya
ketika ia menunjukan lukisannya yang berjarak lima senti di hadapan wajah gadis tersebut. Lalu gadis itu
menggeleng.

Pelukis itu pun mundur beberapa langkah dan bertanya kembali “Apa kah kamu sudah bisa melihat
gambar apa ini?”

“Ya, gambar gadis berambut panjang di bawah pohon” ujar gadis itu.

“Begitulah ketika cara kamu ingin melihat mimpi. Kamu melihat mimpi terlalu dekat jadinya malah buta dan
tidak melihat jelas. Cobalah sebentar untuk mengarahkan padangan ke tempat lain dan memberikan jarak
kepada mimpimu, maka kamu akan tetap bisa fokus.” Pelukis itu mengakhiri presentasi karyanya lalu diberi
tepuk tangan yang riuh. Tak lupa juga beberapa orang menaruh uang di kotak silver yang ada di depannya.

Melihat pertunjukan tadi, aku kembali mengingat mimpi dan ambisiku menjadi penulis. Mungkin, saat ini,
aku melihat mimpi terlalu dekat sehingga aku kesulitan menulis dan kehilangan arah. Aku segera kembali
ke rumah dan akan kuubah ambisiku bukan hanya sekedar ambisi yang menyesatkan, tetapi juga
mengarahkan.

Gajian Pertama

Hana sangat senang hari itu karena ia bisa merasakan gaji pertamanya dari perusahaan multinasional
yang sudah ia idam-idamkan sejak kuliah. Ia mengajak sahabatnya Wina untuk ikut bersamanya makan
malam di restoran mewah. Sebelum memasuki restoran, Hana pun memasuki ATM Centre terlebih dahulu
di depan restoran.

Setelah keluar dari ATM, tiba-tiba ada seorang adik pengemis yang meminta uang kepadanya. Tanpa pikir
panjang, Hana pun segera mengeluarkan Rp5.000 untuk diberikan kepada adik penegemis itu. Betapa
kaget Hana ketika adik pengemis itu memegang tangan Hana dan menciumnya sambil mengucapkan
terima kasih.

“Terima kasih banyak, Kak. Semoga rejekinya lancar selalu. Ini ialah uang pertama saya yang saya dapat
dengan jumlah yang besar. Terima kasih, Kak…” Hana tersentuh, ia pun mulai mengajak berbincang adik
pengemis tersebut.

“Iya sama-sama, semoga bisa membantumu, ya”

“Saya bersyukur, Kak dapat segini, lumayan untuk membantu membeli obat untuk Ibu”

“Ya ampun, semoga Ibunya juga cepet sembuh, ya”

Adik pengemis itu pun mengangguk lalu pamit dan melangkah pergi. Wina pun sudah datang
menghampirinya. Mereka pun melangkah memasuki restoran. Sementara dalam diam, Hana terharu,
padahal ia hanya memberikan uang selembar Rp5.000 kepada adik tersebut. Tapi rasa syukur adik
tersebut sangatlah besar, bahkan ia mendoakan Hana pula.
Hana mengingat masih ada gaji beberapa juta di ATM-nya yang ia dapati dari kerja keras. Sudah saatnya
ia bersyukur dengan amat sangat terhadap apa yang telah ia peroleh. Hana berjanji, ketika bertemu adik
pengemis itu lagi, Ia akan mengajaknya makan malam atau sekedar berbincang tentang kehidupan.

Sebelah

Suatu masa, ada dua kakak beradik yang rumahnya bersebelahan. Walaupun bersebelahan, seringkali
mereka bertengkar hanya karena hal sepele. Pekerjaan dua kakak beradik itu ialah sama-sama petani. Si
kakak yang bertubuh besar menjadi seorang petani kentang. Sedangkan si adek yang memiliki janggut
menjadi petani beras.

Pada malam yang sedang berbintang, si Kakak mendapatkan panen kentang yang berlebih. Tanpa
memberitahu si Adek, diam-diam ia menaruh sekarung kentang ke rumah si Adek. Ia meredam emosinya,
namun tetap mengingat adeknya yang mungkin butuh kentang. Keesokan paginya, si Adek bingung.
Siapakah yang menaruh sekarung kentang di muka rumahnya?

Sampai si Adek berkesimpulan bahwa yang menaruh sekarung kentang itu ialah kakaknya. Malam itu juga,
ia diam-diam menaruh dua karung beras ke depan rumah kakaknya. Keesokan paginya pun Sang Kakak
terheran, mengapa ada dua karung beras di rumahnya? Malamnya, Sang Kakak pun menaruh dua karung
kentang di rumah Adeknya.

Begitulah terus berhari-hari, mereka saling memberikan hasil panennya secara diam-diam tanpa berbicara.
Sampai suatu ketika, mereka papasan saat sedang menuju ladang. Mereka tersenyum dan saling
merangkul.

Seperti itulah kehidupan kakak beradik yang kita alami di dunia. Walaupun bertengkar, sudah seharusnya
tetap memiliki kasih sayang antar sesama. Karena, hanya keluarga lah yang akan saling membantu apa
pun yang terjadi.
Pak Sukardi si Tukang Sayur

Di sebuah desa, terdapat pasar lokal yang menjual berbagai macam kebutuhan hidup. Ada yang menjual
sayuran, daging, makanan ringan, dan lain sebagainya. Di pasar tersebut ada pedagang sayuran yang
sangat tersohor. Pak Kurdi namanya. Pak Kurdi ialah seorang yang ramah kepada pedagang lain dan juga
pembeli. Itulah alasannya ia menjadi tersohor di pasar tersebut.

Di hari Minggu, pasar sedang ramai-ramainya. Pedagang sibuk meladeni pembeli karena saking
banyaknya. Hanya saja, berbeda dengan kios Pak Kurdi. Hanya segelintir orang yang mengunjungi
kiosnya. Dibanding kios sayur yang ada, justru kios Pak Kurdi lah yang paling sepi. Tiba-tiba ada seorang
ibu-ibu yang melihat sayur-sayurannya.

“Terong dan kangkung berapa, Pak”

“Terong sekilo Rp10.000 dan Kangkung seikat Rp5.000, Bu” jawab Pak Kurdi tetap ramah

“Tumben banget yak, Pak, kiosnya sepi.”

“Namanya juga dagang, Bu.” Pak Kurdi hanya menanggapi seadanya


“Tapi, warung sebelah sedang ramai-ramainya, Pak. Apa Bapak gak curiga?” Ibu yang berdandan ala
pejabat itu seolah mengompori Pak Kurdi. Pak Kurdi hanya tersenyum, lalu menjawab.

“Kecurigaan hanya membuat hati kita panas, Bu. Segalanya sudah diatur. Ada bagian saya, ada bagian
pedagang lain. Yang harus kita lakukan hanya bersyukur dan merasa cukup, Bu.”

Si Ibu pun ternganga, lalu menjawab kembali, “Bapak memang sangat bijak. Terima kasih, Pak. Ini
uangnya” Si Ibu memberikan uang Rp100.000. Pak Kurdi sempat menolaknya dan memberikan kembalian.
Namun, si Ibu itu menghilang di tengah kerumunan.

Pak Kurdi memberikan saran kepada kita untuk selalu sabar dan berbaik sangka kepada orang yang lain.
Dengan selalu berbuat baik dan membersihkan hati dari kedengkian di setiap segala keadaan, maka
keberuntungan justru akan memperlihatkan jalan kepada kita.

Bu Diana dan Rumus Ikhlas

Guru Bimbingan Konseling di sekolahku pernah berpesan waktu dahulu. Saat itu, jam kosong, dan kelasku
sangat gaduh. Sampai Wana  berselesih dengan Tiyas gara-gara nilai matematikanya kecil dibandingkan
dengan Tiyas, padahal Wana sudah memberikan hadiah kepada guru tersebut.

Tiba-tiba Bu Diana, guru BK yang selalu menggunakan kerudung panjang sampai perutnya itu memasuki
kelas. Ia  memasuki kelas dan sontak membuat anak-anak duduk di bangkunya masing-masing. Ia
menanyai kejadian antara Wana dan Tiyas. Lantas menulis sesuatu di papan tulis.

“Beri: Harap = Hasil”

“Coba Kania, ketika kamu mengharapkan nilai Matematika mu bagus lalu memberi hadiah kepada Pak
Sonya, maka kamu akan mendapatkan berapa?” Aku sontak kaget, karena Bu Diana menanya padaku

“1:1= 1, Bu”
“Kalau kamu memberi hadiah kepada Pak Sonya, tetapi juga kamu mengharapkan nilai Matematika yang
bagus dan bisa bersekolah mendapatkan beasiswa, rumusnya bakal seperti apa?”

“1:2=0,5, Bu”

“Kalau kamu memberi hadiah kepada Pak Sonya, lalu tidak mengharapkan apapun, maka hasilnya akan
berapa?”

“1:0= tak terhingga, Bu”

“Nah begitulah rumus ikhlas anak-anak. Ketika kamu tidak mengharapkan apapun dari apa yang kamu
beri, maka kamu akan mendapatkan manfaat atau rejeki yang tak terhingga. Sangat berbanding terbalik
jika kamu mengharapkan banyak imbalan dari apa yang sudah kamu beri. Jadi, mengerti juga ya Wan?
Tanya hatimu, apakah benar-benar ikhlas memberikan hadiah kepada Pak Sonya?”Saat itu, kulihat Wana
hanya menunduk malu.

Aku mendapatkan pelajaran yang berarti yang kubawa sampai hari ini. Di tempat ini, ketika aku menjadi
manager di perusahaan multinasional, hanya karena aku ikhlas dan kuat pada saat menghadapi berbagai
tes wawancara yang pernah kulalui, tanpa pernah mengharapkan lebih kepada kebaikan-kebaikan yang
pernah kulakukan.

Kambing dan Sapi

Kakek berusia 70 tahun itu sudah siap-siap dengan kedatangan cucu-cucunya dari luar kota. Ia duduk di
teras depan sambil meminum teh hangat di sore hari. Selang menit berjalan, mobil anaknya pun memasuki
halaman. Dan terlihat kedua cucunya, si kembar Aje dan Afi menghambur kepadanya kegirangan.

“Kakek ayok dongeng dong, Kakek” Si Kakek memeluk cucuknya gemas. Sementara kedua orang tuanya
salam dan langsung masuk ke ruang tamu.

“Baikla. Kakek akan mengisahkan tentang binatang di peternakan kakek, yaitu Kambing dan Sapi” Anak
lelaki kembar itu pun antusias mendengarkan.
Si Kakek mengisahkan bahwa di perternakan terdapat sekumpulan kambing dan sapi hanya saja
kandangnya terpisah, namun tetap berhadap-hadapan. Sekumpulan kambing merasa senang jika Kakek
memberikan banyak rumput, begitu pula dengan para sapi.

Hanya saja, sapi tersebut terkadang merasa tidak terima, seharusnya Kakek memberikan lebih banyak
rumput kepada Sapi. Karena sapi memberikan lebih banyak susu dibandingkan dengan kambing.
Otomatis, sapi Kakek sering merengek. Kakek pun mencoba untuk memberikan lebih banyak rumput
kepada sapi, tetapi selanjutnya kambinglah yang menjadi iri. Saat itu, kakek berhenti memberikan rumput
kepada keduanya. Kambing dan sapi pun berhari-hari hanya diberikan sisa makanan.

“Maksudnya apa ya, Kek? Terus si sapi dan kambingnya sekarang masih hidup gak, atau mati?” tanya Afi

“Maksudnya adalah ketika kita bertaruh hidup kepada Tuhan, tidak perlu iri hati dengan pemberian atau
rejeki Tuhan yang diberikan kepada orang lain. Semua ada porsinya dan disesuaikan dengan kebutuhan
kita masing-masing.”

Afi dan Aje mengangguk-angguk paham. Di usia mereka yang menginjak 12 tahun, mereka sudah tidak iri
lagi apabila Afi dibelikan ice cream rasa coklat sedangkan Aje diberikan rasa strawberry. Karena, mereka
yakin dan selalu menerima yang diberikan kepada mereka ialah yang terbaik.

Arah Mata Angin

Pengembara dengan pakaian lusuh itu sedang beristirahat  di sebuah pohon rindang. Ia sudah
mengembara lebih dari dua tahun. Ia sudah memasuki Wilayah Selatan, Hutan Utara, Tanah Tenggara,
dan Bukit Timur. Namun, pada suatu sore itu, ia beristirahat di pondok kecil di wilayah Sungai Barat.

Saat ia sedang mengambil air di sungai dan memasukannya ke kendi miliknya, tiba-tiba seorang nenek
pun mengambil air di sungai tersebut. Refleks, si Pengembara pun membantu mengangkat air Nenek
tersebut dan membawanya ke rumah saung di dekat sungai. Si Pengembara ditawari ubi ungu rebus yang
masih hangat. Sambil berkenalan dan berbincang, Nenek tersebut bertanya kepada si Pengembara.

“Nak, mengapa kamu mengembara, dari mana asal mu?”

“Jika ditanya seperti itu, saya berasal dari Wilayah Barat Laut, Nek. Entah mengapa, saya merasa itu
bukan tempat asal saya. Sejak dua tahun lalu entah mengapa saya mencari rumah.”

“Nak, rumah itu berasal dari dalam diri. Hati kamu. Di mana kamu tinggal itulah rumahmu. Tak perlu
mencari terlalu jauh, kamu hanya perlu melihat yang sudah dekat”

Si Pengembara itu tertegun. Pencariannya selama ini memang terkesan sia-sia. Tak pernah ia temukan
tempat yang nyaman untuk dijadikan rumah. Namun, kali ini entah mengapa, Ia merasa arah mata angin
menunjukan rumahnya, yaitu tempat ini.

Referensi:

Kosasih dan Endang Kurniawan. 2018. Jenis-jenis Teks (Fungsi, Struktur, dan Kaidah
Kebahasaan). Bandung: Penerbit Yrama Widya.

Trianto, Agus dkk. 2018. Bahasa Indonesia Kelas IX. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang,
Kemendikbud.

Anda mungkin juga menyukai