Anda di halaman 1dari 8

Ayo Jangan Malas!

“Kamu udah di sekolah?”


“Belum, nih. Jalan Ki Hajar Dewantara macet banget. Kayaknya baru sampai di sekolah lima belas menit lagi. Maaf, ya.”
Seseorang yang tersambung panggilan teleponku menyahut.
“Gapapa, kok. Ini aku juga baru sampai. Aku tunggu di warung Bu Rika, ya.”
“Siap. Aku tutup dulu. Dah.”
Panggilan diakhiri.

Aku segera melangkah menuju warung Bu Rika yang terletak di depan SMP Merdeka, sekolahku. Membeli pisang goreng
dua dan es teh, lalu duduk di bangku kosong. Menghabiskan pesananku itu sembari menunggu Caca, sahabatku.

Aku menatap rindu sekolahku. Baru setengah tahun aku menuntut ilmu disini. Tapi, pandemi COVID-19 memaksa kami
untuk melaksanakan pembelajaran dari rumah, atau istilahnya daring (dalam jaringan). Hal yang menyebabkan selama satu
tahun, aku bersekolah dari rumah.

Dugaan Caca tepat. Sekitar lima belas menit setelah terputusnya sambungan telepon, Caca sampai di sekolah. Kami bersama
sama masuk ke sekolah, lalu mengumpulkan tugas dari guru matematika kami, Bu Rena.

Meski pembelajaran dilaksanakan secara daring dan mayoritas tugas dikumpulkan lewat internet juga, kadang kala ada tugas
yang diminta mengumpulkan langsung di sekolah.

“Hai, Abel!”
Panggilan itu membuatku menileh ke sumber suara. Tania. Teman sekelasku saat kelas 7. Kami cukup dekat, tapi tak sedekat
aku dengan Caca.
“Hai, Tan. Udah lama?” Sapaku balik.
“Baru selesai ngumpulin nih. Btw, jangan panggil ‘Tan’ dong. Kayak manggil tante tante aja.” Cerocos Tania diakhiri wajah
cemberut.
“Siap, Tan.” Godaku dengan menekan kata ‘Tan’.
“Terserahlah.” Kesal Tania.

“Tan, ke warung Bu Rika dulu, ya. Kita ngobrol ngobrol. Sama si Caca juga. Dia lagi ke toilet.”
“Oke.”
Begitu Caca kembali dari toilet, aku dan dua kacungku itu melangkah menuju warung Bu Rika.

“Bakso tiga, campur. Es jeruk satu, es teh dua.”


Selesai memesan, kami duduk di bangku panjang. Mulailah cerita mengalir dari mulut kami masing masing.

“Huh. Aku kangen sekolah offline, deh. Sekolah online gak seru.” Ujarku memulai percakapan.
“Iya, sih. Sebenarnya, aku males banget sekolah online. Aku juga sering bolos meeting online. Belajar juga jadi malas.”
Tanua menambahi.
“Betul, tuh. Liat buku bentar aja udah pusing. Gak paham sama pelajarannya. Susah dimengerti.” Keluh Caca.
“Iya, hehe. Kalo ulangan juga tinggal nyontek buku atau internet. Itu guru juga gak ada yang tau.” kata Tania.
Aku menggelengkan kepalaku heran. Lalu sampai pesanan kami habis, aku hanya menyahut beberapa kali.

“Kalian buru buru gak?” tanyaku.


“Enggak. Emang kenapa?” Caca menjawab. Sedangkan Tania hanya menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaanku.
“Aku mau ajak kalian ke suatu tempat. Mau gak?”
Kening Caca dan Tania berkerut. “Kemana?” tanya mereka bersamaan.
“Suatu tempat. Nanti juga kalian tau. Ca, kamu aku bonceng pake sepedaku. Tania bawa sepeda sendiri, kan?”
“Iya, aku kesini naik sepeda.”
“Oke. Lets go! Kamu ikutin aku ya, Nia!”
“Siap, bosku!”

Aku pun segera menaiki sepedaku, disusul Caca yang naik di belakangku, sembari menempatkan tangannya di pundakku.
Tania menyusul di belakang kami dengan sepeda biru tuanya.

Setelah mengendarai sepeda kurang lebih dua puluh menit, aku mengerem sepedaku di depan sebuah tempat perbelanjaan.
Pasar tradisional lebih tepatnya.
“Ngapain kita kesini? Belanja?” Tanya Caca.
“Ikut aja dulu.” Jawabku sambil tersenyum misterius.

Karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, pasar itu tidak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang yang
berbelanja. Beberapa pedagang juga sudah membereskan dagangannya.

Langkah kakiku berhenti di depan salah satu kios. Diikuti Caca dan Tania yang masih terheran heran.

“Kak Abel!” Panggil seorang anak kecil.


Senyumku terulas. “Hai, Sheva. Yang lain mana?” tanyaku.
Belum sempat Sheva menjawab, sekumpulan anak kecil memanggil namaku dan mengelilingi tubuhku.
“Kak Abel kesini sama dua orang itu? Siapa, Kak?”
“Ini Kak Caca.” Aku menunjuk Caca yang segera menampilkan senyum ramah dan melambaikan tangannya.
“Kalo ini Kak Tania. Mereka teman teman kakak.” Tania tersenyum lebar dan mengelus rambut beberapa anak kecil
tersebut.
“Eh. Kak Ninda mana?” Tanyaku. Ninda itu gadis yang usianya satu tahun dibawahku.
“Kak Ninda masih ada meeting online, Kak.”
“Sebenarnya, Aldo juga ada kelas online, tapi karna ponselnya dipakai Kak Ninda, Aldo ngalah, deh. Kasihan kalo Kak
Ninda absennya kosong.”

Aku, Caca, dan Tania menatap anak anak itu prihatin. Inilah tujuanku membawa Caca dan Tania kemari. Supaya mereka
bersyukur, bisa memiliki ponsel dan bisa memakainya kapanpun itu. Harapanku, mereka bisa memanfaatkan ponsel mereka
sebaik mungkin. Salah satunya dengan mengikuti kelas online dan rajin mengerjakan tugas.

“Yang lain, tugasnya udah dikerjakan?” Tanya Tania.


“Belum. Tugasnya di ponsel, jadi harus gantian, Kak.”
“Kalau ulangan gimana dong? Harus gantian juga?” Kini Caca yang bertanya.
“Iya, Kak. Walaupun risikonya kami telat mengumpulkan. Tapi yang penting kami harus berbagi.”

Aku, Caca, dan Tania menatap kagum akan ketabahan anak anak itu. Setelah mengobrol sejenak dan memberikan mereka
makanan, kamu bertiga pulang.

“Kasihan ya, mereka.” Caca membuka percakapan sembari memakan camilan yang tersedia di ruang tamu rumah Tania.
“Iya. Seharusnya aku lebih bersyukur lagi. Aku punya ponsel tapi jarang kumanfaatkan dengan baik.”
“Iya juga, ya.”

Aku menatap mereka lembut. “Sekarang kalian paham kan alasan aku mengajak kalian kesana?”
“Iya, Bel, kami paham. Makasih banget udah nyadarin kita. Tanpa kamu, kami pasti masih tersesat dalam kemalasan.”
“Iya, Bel. Makasih banyak, ya.”
“Berterimakasihlah kepada Allah. Dia lah yang telah membuka hati kalian. Telah menyadarkan kalian.”
Caca dan Tania mengangguk. “Alhamdulillah.” Ucap mereka kompak.

“Setelah ini, aku akan rajin mengerjakan tugas dan ulangan dengan jujur.”
“Aku juga. Aku akan memanfaatkan ponselku sebaik baiknya.”
Aku menatap Caca dan Tanua dengan sorot bangga. “Alhamdulillah. Mereka mau berubah.” Ujarku pelan.

Cerpen Karangan: Almira Ramadhani


Butiran Debu
Tak kusangka hari-hari seperti ini akan datang. Hari dimana menyendiri menjadi kegiatanku sehari-hari. Saat itu, kalau saja
aku sedikit berusaha… mungkin tidak jadi separah ini. Tapi sudah terlambat untuk menyesalinya, karena manusia yang sama
sekali bukan tokoh penting di dunia ini tak akan bisa melakukan apapun. Apapun yang kulakukan tidak mengubah kenyataan
bahwa aku adalah sampah masyarakat.

15 tahun yang lalu


“Budi… belajarlah dengan giat agar bisa melampaui ayah…” ucap lelaki bertubuh besar yang berstatus duda. Ibuku
meninggal sesaat setelah melahirkanku.
“ya…” begitulah suara yang keluar dari mulutku, tapi… pemikiranku berkata lain
“untuk apa aku berusaha? Bahkan tanpa belajarpun aku bisa mendapat harta warisan ayah karena aku keluarga satu-satunya”
begitulah pemikiranku waktu itu. Namun, disitulah letak kesalahanku. Aku memelihara kebodohan yang suatu saat akan
menggerogoti masa depanku.

10 tahun yang lalu


“ayah… ayah… jangan tinggalkan aku…” ucapku dengan air mata yang tengah diperas.
Di umurku ke 17 tahun, ayahku meninggal dunia. Bahkan dari situ pun aku belum memiliki rasa khawatir sama sekali.
“selama aku mewarisi harta ayah, semua akan baik-baik saja.”

Hari-hariku dipenuhi dengan gaya hidup yang boros, tanpa takut harta ayahku akan habis. Aku semakin terlena dengan gaya
hidup mewahku. Aku bahkan tidak sempat bersosialisasi dengan warga setempat.

Akhirnya sampai di cerita klimaksnya. Sebelum kusadari, uangku sudah habis tanpa sisa. Setelah itu aku menjual semua
barang-barang berharga milik ayahku untuk mencukupi kebutuhanku. Yang tersisa hanyalah rumah dan satu motor. Aku
mulai menghemat pengeluaranku, hari yang dipenuhi kemewahanpun berganti dengan kesederhanaan.

20 juta. Itulah yang kudapat dari hasil penjualan semua barang yang tidak kuperlukan. Jumlahnya, seperti yang kalian
ketahui memang sangat besar. Tapi aku hanya mengenal tanda kurang. Berkat kebodohanku, aku tidak tahu bagaimana
caranya membuat uang berjumlah 20 juta tersebut bisa bertambah dan memenuhi kebutuhanku seumur hidup.

Aku memang sangat payah, mau bagaimana lagi, selama ini hidupku selalu bergantung pada ayah. Tidak seperti aku, ayahku
sangatlah hebat. Hanya bermodalkan uang pinjaman, dia bisa mengembangkan usahanya hingga memperolah harta sebanyak
ini. Namun aku menghabiskannya tanpa mengetahui cara memperbanyak uangnya.

Dulunya ada banyak orang yang membantuku setelah kepergian ayahku, dan aku pun berharap sekarang juga demikian. Tapi
sekarang bahkan tak ada seorangpun yang melirik ke arahku. Aku sangat mengerti alasannya. Dulu, setelah kepergian
ayahku, banyak yang memberiku makanan. Namun, aku membuang semua makanan yang mereka berikan karena tidak
sesuai dengan seleraku. Sebagai gantinya aku memesan makanan mewah lewat ponselku. Mungkin ada beberapa orang yang
mengetahui hal itu hingga suatu saat satu persatu orang mulai berhenti untuk berusaha membantuku.

Aku mungkin sempat menyesali hal yang kulakukan dulu, tapi sekarang tak ada yang bisa kulakukan soal itu. Yang bisa
kulakukan sekarang adalah bertahan hidup semampunya, sambil mendekatkan diri kepada tuhan. Ayah… tak bisa
kupungkiri, engkau memang ayahku, tapi kau benar benar makhluk yang berbeda. Aku bagaikan debu yang menempel pada
sebuah permata. Benar… tanpamu aku hanyalah butiran debu.

Cerpen Karangan: Lamda


Blog / Facebook: Ghulam Dzamar
Pentingnya Membaca
Cerpen Karangan: Eka Pujagita
Kategori: Cerpen Pendidikan
Di Terbitkan pada: 18 March 2021

Semakin lama semakin melemah. Semakin lama semakin malas. Tidak ada yang (ingin) tau apa gunanya. Harta karun yang
disia-siakan. Entah mereka malas atau sengaja, tetap sama saja. Kondisi yang sangat memprihatinkan. Betapa sedihnya Ibu
Fina setiap menyusuri koridor sekolah di jam istirahat, anak-anak hanya bermain gadget masing-masing dan bercanda.
Hanya sebagian kecil muridnya yang membaca buku di jam istirahat, bahkan perpustakaan sangat sepi. Semakin lama Bu
Fina merasa bahwa muridnya sangat sulit untuk konsenterasi pada pelajaran. Diberi pertanyaan atau soal, tidak ada yang
mengerti. Tugas juga tidak dikerjakan hanya karena malas dan “lupa”.

Inilah akibat kurangnya minat membaca masyarakat Indonesia, terlebih dikalangan anak muda. Jika diumpamakan, hanya
ada satu diantara seribu masyarakat Indonesia yang minat membaca. Melihat keadaan yang sungguh memprihatinkan ini, Bu
Fina mulai menerapkan cara pengajaran dengan membaca buku paket/pelajaran sekurangnya 20 menit sebelum dibahas
bersama-sama dalam kelas. Selain itu Bu Fina juga menghimbau siswa siswinya untuk pergi ke perpustakaan saat jam
istirahat. Tidak hanya untuk ngadem, tapi juga untuk membaca buku, baik buku cerita, novel, maupun ensiklopedia.

Bu Fina juga tidak lelahnya menjelaskan betapa pentingnya membaca. Membaca bukan sekedar membaca saja, ada banyak
hal yang perlu dipersiapkan agar isi bacaan dapat dimengerti dengan baik. Salah satunya adalah konsentrasi, hal ini sangat
diperlukan ketika seseorang yang akan membaca. Meningkatkan daya konsenterasi bisa dilakukan dengan melakukan hal
positif sehari-hari dan mengurangi pemakaian gadget. Semakin malas kita membaca, maka semakin besar kemungkinan
untuk menjadi seorang yang pelupa, pelajaran pun sulit untuk dimengerti.

Upaya yang dilakukan Bu Fina ternyata tidak sia-sia. Rupanya nasihat yang setiap hari ia sampaikan kepada murid-muridnya
menampar dan mendorong mereka untuk lebih senang dan rajin membaca dan mengurangi melakukan kebiasaan buruk
mereka. Muridnya kini terlihat lebih segar. Mereka sudah mampu menerima materi yang disampaikan dengan lebih baik,
semakin sedikit tugas yang dikumpulkan terlambat, dan nilai rapot dan peringkat mereka meningkat. Kelas sudah hidup
kembali, muridnya lebih berkualitas dan tidak malas, terutama malas membaca.

Membaca adalah kunci kesuksesan. Untuk apa sekolah jika ujung-ujugnya malas membaca. Rugi sekali hidup kita jika malas
membaca. Mari, bersama-sama kita bangkitkan jiwa senang membaca untuk Indonesia yang semakin maju kedepannya,
karena kita lah sebagai generasi penerus yang akan menentukan arah dan nasib kehidupan bangsa Indonesia di masa yang
akan datang. Mari kita persiapkan ini bersama-sama. Perlahan tapi pasti, kita pasti bisa.

Cerpen Karangan: Eka Pujagita


Halusinasi Harapan
Sebuah biola baru saja diletakkan di atas ranjang tepat depan seorang gadis yang mengenakan baju tidur dengan ekspresi
tanpa minat.

“Biola kamu sudah Mama perbaiki,” ujar seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibu si gadis itu.
Selanjutnya, ibu melemparkan formulir yang dilipat menjadi dua bagian tepat jatuh ke pangkuan gadis itu. “Besok ke Berlin,
biar Mama yang urus semuanya. Kamu cuma perlu siapin diri kamu dan turuti apa kata Mama.”
Kata itu keluar begitu saja menimbulkan luka sayatan pada hati si gadis. Si ibu pergi menutup pintu kamar gadis itu.

Kanaya Keisya, gadis SMP yang sama sekali tak punya harapan. Lagipula apa yang diharapkan dari seseorang yang lemah
dan penyakitan sepertinya. Namun, sang ibu tetap saja menjatuhkan harapan kepadanya, ia dipaksa bermain biola meski ia
enggan.

Ia tak pernah sekolah. Penyakit mematikan sejak kecil yang dideritanya membuat sang mama tak berniat menyekolahkan
seperti kebanyakan anak seusianya.
Kanya tak keberatan, ia mengiyakan kemauan ibunya jika ia tak harus sekolah. Namun, mamanya memberikan kewajiban
padanya yang tak bisa dibantah.
Dari kecil, ia sudah dipaksa belajar biola. Hingga saat ini, dan besoklah puncaknya ia akan dikirim ke Berlin untuk sekolah
khusus biola.

Sejak papanya meninggal, mamanya memang banyak berubah. Jiwa penyayang milik mamanya emndadak lenyap entah
kemana berganti dnegan sosok yang egois dan cuek.

Kanaya bangkit dari posisi duduknya, ia menyimpan biola di atas meja belajarnya. Kali ini, ia tahu apa yang harus ia
lakukan. Satu kali saja, ia ingin memberontak.

Keesokan harinya, Kanaya sudah siap lengkap dengan barang-barangnya. Mobil yang akan membawanya sampai bandara
pun sudah siap di depan rumah.

“Berangkatlah.” Kanaya menurut, mencium tangan mamanya dan masuk ke mobil.


Kanaya menurunkan kaca mobil. Begitu mobil perlahan mulai meninggalkan rumahnya bersamaan dengan mamanya yang
menghilang dari oandnagannya, saat itulah Kanaya melambaikan tangan.

“Pak, belok ke kanan.”


“Tapi, Non. Kita mau ke bandara, kan?” Spir itu tak mengindahkan ucapan Kanaya dan tetap membelokkan stir mobil ke
kiri.
Kanaya menghela napas panjang. “Kalau begitu berhenti.”
Supir menurut, meski dalam hati ia bingung mendengar permintaan Kanaya.
Tanpa kata, Kanaya turun dari mobil. Sukses membuta si sopir terkejut dan langsung mengikuti arah perginya Kanaya.

“Non, kita harus ke bandara,” ujarnya setelah berhasil mencegah Kanaya.


“Saya capek, Pak. Kali ini saya nggak mau nurutin apa kata mama.”
“Tapi ini perintah, Non. Atau mau saya adukan ke Nyonya?”

Sebelum sopir mendekatkan ponsel ke telinga, Kanaya sudah ambil ancang-ancang kabur pergi.
Kanaya sekuat tenaga berlari menjauhi sopirnya, berlari tak tentu arah karena yang ada di pikirannya adalah bagaimana
supaya ia bisa kabur sejauh-jauhnya.

Kanaya berhenti tanpa sadar karena napasnya serasa berada di ujung, ia memgangi lututnya sambil mencoba mengontrol
kembali napasnya. Satu tangannya meremas erat bajunya, karena jantung yang tak bisa diajak kompromi telah kumat di
situasi tak tepat.
“Akhh,” rintihnya. Kini ia jatuh terduduk lemas di jalanan yang sepi, hanya kendaraan yang berlalu tak mengindahkan
keberadaan Kanaya, padahal ia jelas terlihat di tengah-tengah jalanan.

“Hei, apa yang kau lakukan di tengah jalan seperyi itu, Bocah?” teriak salah satu pengendara karena hampir saja ia menabrak
Kanaya, tapi setelahnya ia pun berlalu seperti para pengendara lainnya.

Tubuh Kanaya semakin melemas, tak mmeperhatikan dari arah barat sebuah mobil melaju tepat di mana ia terduduk.
Detik itu juga, Kanaya merasa tubuhnya melayang. Terpental jauh hingga ia dapat merasakan tubuhnya meringan, ia mulai
kehilangan kesadaran. Meski samar-samar ia merasa perih di area matanya, juga keadaan sekitar yang mulai ramai.

Sudah satu jam berlalu sejak sadarnya Kanaya. Gadis itu menangis sejak tadi, merutuki penyesalan juga kebodohan yang
susah ia perbuat.
Belum juga masalah satu datang, muncul masalah berikutnya. Padahal ia pikir dengan ia memberontak seperti ini, ia merasa
lebih lega setidaknya. Namun, pemikiran ia sepenuhnya salah.

Pintu ruangan terbuka dari luar. Wanita paruh baya masuk dengan teeburu-buru, menghampiri Kanaya dengan air mata
berlinang.
Kanaya pun sadar itu adalah mamanya, meski kedua matanya kini hanya melihat kegelapan tak menampilkan cahaya
sedikitpun.

Plaak!
Tamparan keras mendarat tepat di pipi kiri mengejutkan Kanaya. “Apa yang baru saja kamu lakukan, Kanaya?”
Nampak penyesalan hadir di benak begitu melihat Kanaya hanya mampu menunduk. Ia lantas memeluk anak satu-satunya
itu, mendekapnya erat. “Mama cuma ingin kamu melakukan setidaknya satu saja, hingga nanti banyak orang yang
mengenangmu.”

Kanaya paham sekarang, mamanya memaksanya belajar biola hanya demi Kanaya. Kanaya tahu, hidupnya tak tahu kapan
akan berakhir karena penyakitnya.
Jika diawal ia mengatakan memang hidup tanpa harapan sedikitpun, kini ia meralatnya. Harapannya adalah bertahan hidup,
dan membahagiakan mamanya. Setidaknya, itu saja untuk saat ini.

Satu bulan berlalu, kondisi Kanaya sdmakin membaik membuatnya sangat bersyukur karena satu bulan penuh itulah dia
benar-benar berharap. Setidaknya hanya membaik meski penyakit itu enggan pergi dari tubuhnya.
Dengan matanya yang tak bisa menangkap cahaya lagi, Kanya bertekad bulat belajar biola. Kemantapan hati membuatnya
lama-kelamaan pandai atau bisa dikatakan mahir untuk anak seusianya.

Hari itu juga, Kanaya berdiri di depan ruangan mamanya.


“Kanaya mau ke Berlin, belajar biola.”
Sang mama mengernyitkan kening. “Dengan kondisimu yang seperti itu?”
Kanaya mengangguk mantap tak ada keraguan sama sekali. “Iya, kemarin Kanaya sudah belajar banyak. Kanaya yakin kalau
Kanaya mampu dan bisa.”

Gadis itu mendekat, memluk dari samping mamanya. “Nanti Kanaya akan membawa nama mama sebagai orangtua yang
sangat luar biasa karena sudah membuat Kanaya berdiri memegang piala besar di negera orang.”
Mama tersenyum lebar mendengar itu, lantas ikut memeluk Kanaya penuh dnegan kasih sayang.
“Ya sudah, tidur ya. Besok pergi, biar mama yang urus semuanya.”
Kanaya mengangguk patuh. Sebelum melanhkah pergi, ia meraba wajah sang mama dan mencium pipi seolah mengatakan
jika ia sangat mencintainya.

Suara riuh tepuk tangan meriah terdengar begitu gesekan terakhir dari biola seorang wanita yang berdiri di atas panggung
sembari tersenyum manis itu. Lain dari peserta yang lain, penampilan Kanaya memang luar biasa.

Kanaya membungkuk hormat, sampai pembawa acara mengumumkan bahwa nama Kanaya Keisyalah yang membawa piala
kejuaraan, Kanaya sungguh bahagia bukan main.

Tepat hari ini juga, ia akan pulang ke Indonesia. Ia akan berteriak bahagia pada mamanya, ia sangat ingin mendengar
mamanya bisa mengakatakan jika ia bahagia memiliki Kanaya.

Sampailah Kanaya di sebuah rumah mewah bergaya eropa dnegan gerbang rumah menjulang tinggi dan halaman luas, di
tengah-tengah halaman terdapat taman kecil. Tak jauh berbeda dari terakhir kali ia menginjakkan kaki di sini, hanya saja
dulu lebih hijau dan asri.

Seorang satpam membuka gerbang, membuat Kanaya mengerutkan kening.


“Maaf, siapa ya? Ada yang bisa saya bantu?”
Kanaya terkekeh ringan. “Ah, mungkin Bapak baru bekerja di sini ya?”
Satpam itu terdiam, tapi mengangguk mengiyakan.

“Maaf, Pak. Ini rumah saya. Rumah orangtua saya.”


“Setahu saya, Tuan dan Nyonya tidak memiliki anak.”
Kanaya mencoba maklum, ia tetap tersenyum tulus. “Kalau begitu, biarkan saya masuk.”
“Tidak bisa.” Satpam itu memahan Kanaya yang selangkah maju masuk.
“Tapi, Pak. Saya adalah anak dari pemilik rumah ini, kenapa Bapak ngelarang saya?”

“Ada apa ini?” Kanaya dan satpam itu menoleh ke sumber suara.
Kanaya membeku, kakinya seakan melemas tapi entah darimana kekuatan hingga menahan kedua kakinya agar tetap berdiri.
“Ini, Nyonya. Ada wanita yang mengaku-ngaku.”
Sampai wanita paruh baya itu memiringkan kepalanya menatap Kanaya. “Siapa ya?”
Tidak, tidak mungkin! Kanaya ingat betul inilah rumahnya. Ia juga ingat betul saat ia pertama kali menginjakkan kaki di sini.

Kanaya tak menjawab, sibuk menatap kepingan hatinya yang melebur meski telah berusaha diperbaiki.
Dengan kakinya yang seakan melemas, ia berlari. Tujuannya saat ini adalah ke rumah neneknya, satu-satunya tempat yang ia
ingat selain rumah tadi.

Begitu Kanaya turun dari taksi, seorang wanita tua menyiram bunga di halaman mendongak. Wanita tua itu menyipitkan
mata, mencoba menajamkan pandangannya.
Kanaya mendekat, langsung berlari memeluk erat neneknya. “Nek, ini aku Kanaya.”
Beberapa detik wanita itu terdiam, entah karena terkejut atau berusaha mempercayainya.

“Mama mana, Nek? Kenapa tadi aku ke rumah yang salah?”


Sang nenek mengurai pelukannya. Dipegang bahu Kanaya, lalu merambat ke pipi seolah sedang mengenali kembali wajah
cucunya yang sudah lama tak ia lihat.

“Nek, Mama dimana?” Nada agak tinggi itu terdengar lirih karena bergetarnya suara Kanaya.
“Mama?” Sang nenek mengerutkan kening yang terlihat semakin berkerut. “Sadar, Kanaya! Dia sudah mati karenamu!”

Seakan ada suara pistol ditembak tepat terdengar memekakkan telinga, menyadarkan Kanaya. Seluruh kehidupan seakan
terhenti, padahal bumi masih berputar. Suara burung-burung sekitar juga seakan berhenti ikut mensunyikan keadaan.
Napasnya tercekat, dengan tenggorokan yang mengering seiring mata yang mulai mengembun.

Nenek menggoyangkan bahu Kanaya. “Sadar, Kanaya! Kamu masih halusinasi, mau sampai kapan kamu seperti ini,
Kanaya!”
Suara sentakan itu tak ada apa-apanya dan tak berefek sama sekali bagi Kanaya.

Terdengar suara anak kecil yang terjadi tiba-tiba untuk Kanaya, dua anak kecil itu turun dari taksi sambil berlari tertawa
bahagia.
“Lihat, itu anakmu!” Kanay mengikuti arah tunjuk neneknya. Benar saja, ia juga melihatnya.
Saat itu juga, dunianya seakan hancur dan bangkit disaat bersamaan.
Penyesalannya sendiri seakan menghukumnya, memenjarakannya dan membuatnya berhalusinasi hingga menyakiti kedua
anaknya.

“Jangan seperti itu, Kanaya! Penyesalanmu membuatmu menderita sendiri, jangan sampai kamu juga ikut menyesal untuk
kedua kalinya karena anakmu. Dia membutuhkan kamu …”

“Ma, aku lapar,” rengek si anak kecil, rambutnya diikat dua membuatnya terlihat menggemaskan. Semnatara satu anak kecil
laki-laki juga ikut mengangguk.
Saat itu juga, dunia Kanaya seakan hancur dan bangkit disaat bersamaan.
Rasa Syukur Naya
Cerpen Karangan: Tika Yuliana
Kategori: Cerpen Nasihat, Cerpen Slice Of Life
Di Terbitkan pada: 25 March 2021

Pagi ini Naya terlihat sangat sibuk di dapur rumahnya lantaran banyaknya pesanan kue yang harus segera ia antarkan.
Tangannya dengan cekatan menghias kue-kue yang baru saja dikeluarkan dari oven. Sesekali punggung tangannya
mengusap keringat yang menetes. Setelah semuanya selesai, dia menaruh pesanan kue yang tidak sedikit itu ke dalam wadah
untuk ia antarkan kepada Bu Rena.

Perjalanan menuju rumah Bu Rena yang lumayan jauh membuatnya merutuk dalam hati.

Musim kemarau ini membuatnya lagi-lagi mengeluh karena cuaca yang sangat panas dan jalanan yang berdebu. Terlebih dia
tidak memakai helm untuk melindungi wajah dan matanya dari debu-debu itu.

Di tengah perjalanan, handphone di sakunya bergetar menandakan adanya panggilan. Naya pun memberhentikan sepeda
motornya di pinggir jalan untuk mengangkat panggilan itu.

“Halo”, ujar Naya setelah mengangkat teleponnya.


“Halo, Naya. Ini saya Bu Rena yang memesan kue kemarin”, sahut Bu Rena di seberang.
“Ada apa Bu?”
“Maaf Naya, teman-teman saya tidak jadi datang. Jadi pesanan kuenya saya batalkan saja ya”.
“Tapi Bu–“. Naya ingin melayangkan protesnya, namun panggilan itu telah terputus.

Naya ingin sekali berteriak saat itu juga. Tenaganya sudah terkuras untuk membuat pesanan itu, dia bahkan rela bangun
sangat pagi agar tidak terlambat mengantar. Tapi apa yang dia dapat? Kerja kerasnya bahkan tidak dihargai sama sekali.

Naya pun memutuskan untuk istirahat sebentar saat melihat bangku panjang di bawah pohon akasia. Naya menyandarkan
kepala dan memejamkan mata sejenak, merenungi nasibnya yang hari ini terasa sial sekali.

Matanya perlahan terbuka kala mendengar suara isakan tangis anak kecil. Diedarkan pandangannya ke sekeliling. Naya
mendapati seorang ibu tukang sampah sedang menenangkan anaknya yang menangis kelaparan.
Dilihatnya sang ibu yang terlihat kelelahan dengan peluh bercucuran. Bekerja keras di bawah terik mentari untuk
menghidupi seorang anak. Hatinya terenyuh melihat pemandangan itu. Mengingkatkan dirinya yang masih sering mengeluh
hanya karena hal-hal remeh yang tidak sebanding dengan penderitaan mereka.

Seharusnya ia bersyukur atas apa yang ia dapatkan. Ia masih menjadi satu dari sekian banyak orang beruntung yang masih
bisa merasakan tidur di kasur yang empuk dan nyaman, juga memakan makanan yang enak. Tidak seperti ibu dan anak itu
yang harus meringkuk di pinggir jalan atau memakan sisa-sisa makanan yang mereka temui di tempat sampah.

Kaki Naya melangkah menghampiri ibu dan anak itu. “Selamat pagi, Bu”, sapa Naya sambil tersenyum.
Ibu itu membalas senyum Naya. “Pagi, Nak”.
Naya menyodorkan wadah berisi kue-kue pesanan Bu Rena pada ibu itu. “Ini untuk ibu dan anak ibu”.
Tangan kurus ibu itu terulur mengambil kue-kue itu. “Terima kasih banyak Nak. Terima kasih”. Ucap ibu itu sambil
menyalami tangan Naya dan membungkukkan badannya berkali-kali.

Terkadang kita mengeluh dan menyalahkan takdir atas apa yang menimpa kita hari ini, tanpa menyadari bahwa apa yang kita
miliki belum tentu dimiliki orang lain. Ibu dan anak itu mengajarkan banyak hal pada Naya. Tentang kepedulian,
kemanusiaan dan rasa syukur yang seringkali ia lupakan.

Cerpen Karangan: Tika Yuliana

Anda mungkin juga menyukai