Anda di halaman 1dari 6

Tugas Kelompok KMO Batch 35

Nama: Enkhalien

Kelompok: 6 (Carta Penna Troops)

Jenis Karya: Cerpen

Ide: Keluarga

Tema: Adventurous Journey

Judul: Orek Tempe

Kubalik halaman demi halaman buku batik merahku. Penampakannya saat ini
sudah lusuh, robek disana-sini, bahkan cover bukunya sudah tak mnempel pada
tempatnya lagi. Entah sudah berapa tahun buku ini bersamaku sebagai saksi bisu
perjuanganku menggapai mimpi-mimpi yang kutorehkan dengan bermacam-macam
warna tinta.

Beberapa kalimat sudah kucoret, tanda kalau target itu sudah kucapai. Namun
banyak juga yang masih utuh. Kelopak sakura beterbangan tertiup angin, beberapa jatuh
kepangkuanku. “Konnichiwa!! Ii, tenki desune?1” Seorang gadis berlari kearahku,
Rambut hitam panjangnya yang terurai bergerak melawan gravitasi seiring langkahnya.

“Konnichiwa! Ne, ii tenki desune … Amaya san, chotto 2 …” bingung dengan apa yang
ingin kujelaskan, tanganku langsung bergerak mengambil kelopak sakura yang terjatuh
di kepalanya. Sepertinya aku harus latihan berbahasa Jepang lebih banyak lagi.

“Ah, terimakasih! Oh iya, mamaku membuat ini untuk Raina!” Kata Amaya sambil
menyerahkan kotak bento berisi onigiri dan mochi.

“Aku jadi tidak enak dengan keluargamu, Amaya.”

“Loh, kan kamu juga bagian keluarga kami. Jangan sungkan, Raina. Mama juga sangat
terbantu karena kamu bantu bersih-bersih rumah, lalu Hiroki juga jadi pandai berbahasa
Inggris karena diajari kamu.”

1 Selamat siang! Cuacanya bagus, ya?


2 Selamat siang juga! Benar, cuacanya bagus, ya … Amaya san, sebentar …
Aku hanya membalas perkataan Amaya dengan senyuman, “kamu berlebihan,
Amaya.” Sejenak aku teringat akan sesuatu setelah melihat mochi di kotak bento.
“Amaya san, aku ingin menceritakan suatu hal konyol padamu, hehe.”

“Apa itu? Ayo cerita!”

“Kau tahu? Dulu saat aku tinggal di sekolah berasrama aku pernah membayangkan
pergi ke Jepang dan makan mochi bersama temanku. Saat itu, aku membayangkannya
sambil memakan es krim mochi di pinggir jalan.”

“Pada akhirnya Raina san juga sampai di Jepang, kan? Aku dan keluargaku sangat
senang dengan kedatangan Raina san, loh. Saat tahu papa membawa seorang teman
untukku dari Indonesia aku sangat senang sekali!”

“Aku sangat senang kalau kalian juga senang. Aku akan berusaha keras supaya tidak
menjadi beban.”

“Oh iya, sepertinya akhir-akhir ini kamu tidak menghubungi keluarga di Indonesia, ya?”

Aku terdiam sejenak. Aku bukannya tidak mau, tapi rasanya kalau belum bisa
apa-apa aku tidak bisa menelpon begitu saja. Kukeluarkan ponselku dari saku. Ah, aku
lupa kalau tidak punya kuota.

“Beberapa hari yang lalu papa dapat pesan dari ibumu menanyakan kabarmu. Katanya
kamu tidak bisa dihubungi. Papa minta aku untuk menyampaikannya pada kamu karena
kelihatannya akhir-akhir ini kamu agak jarang dirumah untuk baito3,” kata Amaya
sambil memegang pundakku.

“Ah, maaf sepertinya aku agak keterlaluan, ya? Mungkin, malam ini aku akan
menghubungi mereka.”

***

Ponsel hitamku kini tergeletak dihadapanku, waktu menunjukkan pukul 19.45


JST. Setelah menyelesaikan makan malam dan membantu beres-beres aku izin ke kamar
untuk menelpon orang tuaku. Yah tapi sekarang disana baru maghrib. Tidak bisa bila
kuhubungi sekarang.
3 Kerja sambilan
Pikiranku mulai kacau, batinku berkelahi,

“sudah, telpon saja! Wifi ada, telpon ada, tinggal tekan nomor telpon ibu saja apa
susahnya?”

“Maghrib bodoh!”

“Cuma alasan, kan itu! Bilang saja takut mewek.”

Batin, oh batin tolong jangan bertengkar. Ego, akal dan hati nuraniku kapan bisa
akur, sih? Kepalaku kini kutempelkan ke atas meja belajarku. Oke, 30 menit lagi aku
telpon ibu.

Kuambil kertas dan pulpen untuk mencoret-coret random. Ah, rasanya tak kuat
kalau harus melihat ibu menangis. Apalagi ini berkilo-kilo meter jauhnya. Dulu, kalau
di pondok tiap minggu melepon ibu pasti disertai selembaran pesanan yang diminta
untuk dibeli saat penjengukan. Hahaha … kalau sekarang sepertinya mustahil.

30 menit berlalu. Akhirnya aku menekan tombol dial.

Tuutt … tuuut … tak menunggu waktu lama, telponku dijawab. Namun sayang
seribu sayang, orang yang mengangkat adalah adik laki-lakiku.

“Inget emak, lu kak?” itulah kalimat yang kuterima begitu wajah Reza, adikku
terpampang.

“Ibu mana?” Tanyaku tanpa basa-basi.

“Lagi diluar, udah ngobrol dulu sama gua. Kapan lagi ngobrol sama orang ganteng,
coba? Lu kenapa baru telpon sekarang? Bukannya jepang internetnya bagus, ya? Wifi
juga bertebaran dimana-mana, gak usah alasan gak ada kuota lu!”

“Dih! Narsis, muka kaya perkedel gitu juga. Ada sih … cuma agak sibuk ajaa …”

“Dih, sibuk lupa emak. Durhaka lu!”

“Et dah, baru 5 hari gak nelpon, di pondok aja 1 bulan emak biasa aja.”

“Ya kan beda … dan noh, emak noh.”


Layarku kini terarah pada wajah teduh ibuku. Diapun tersenyum dan menyapaku, “Eh
Kak Raina! Assalamualaikum, gimana kak disana?”

“Waalaikumussalam, Alhamdulillah baik. Cuma ya gitu, belajarnya agak susah bu. Tau
sendiri bahasa Jepang tulisannya melingkar-lingkar kaya ular diatas pagar, hehe ….”

“Solat sama hafalannya jalan, kan? Tuh ayahnya bawel banget soalnya kamu di negara
nonis gitu takut gak kepegang.”

“Wuih, jalan doong! Mau ditunjukkin laporannya, nih?” Jawabku sambil menunjukkan
pocket book berisi jadwalku tiap hari.

“Syukur, deh kalo gitu. Pokoknya dimanapun itu jangan ditinggal ya. Oh iya, jangan
lupa doain Ayah biar rezekinya lancar, biar bisa kirimin kamu uang.”

“Loh, kan Raina udah bilang jangan kirim uang! Disini juga dapat uang jajan. Simpan
aja untuk sekolah Reza, bu.”

Sejenak, rasanya aku ingin menangis. Namun aku mencoba mengalihkan topik,
“eh iya, kemarin aku nyoba bikin orek tempe kering, bu. Eh gulanya kebanyakan
jadinya oreknya nempel ke piring bu! Masa pas piringnya dibalik aja oreknya gak jatuh,
bu?”

“Hahaha … lagian ibu suruh belajar masak gak mau, sih. Jadi gitu, kan?”

“Kalau sekarang nggak bisa kayak dulu, ya bu. Dulu pas mondok aku minta ibu bawain
macam-macam sampai 2 kresek gitu haha … jadi kangen, deh.”

“Kemarin ibu nitip ke teman ayah yang ke Jepang untuk kirimkan orek tempe ke kamu.
Kayanya besok sampai, deh. Oh iya udah dulu ya! Ibu mau keluar dulu.
Assalamualaikum!”

“Waalaikumussalam!” telepon malam itupun berakhir ditengah malam Osaka yang sepi.

***

Syurr!! Air dari selang mengguyur bunga bunga cantik di pekarangan rumah.
Pagi ini matahari bersinar dengan hangat, semua anggota keluarga Amaya pergi
tamasya hari ini, dan aku bertugas untuk jaga rumah. Setelah menyiram bunga, aku bisa
rebahan, yeaaayy!!

“Kozutsumi!4” Sebuah suara yang berasal dari kurir di gerbang membuatku menoleh.

“Hai! Shooshoo omachi kudasaimasu!5” Sahutku.

“Yamaguchi Tohiro sama?6”

“Arigatou gozaimasu!7” Jawabku sambil menunduk hormat. Setelah kulihat paketnya,


ada note kalau itu untukku. Hatiku rasanya sangat berbunga-bunga. Refleks, aku
berjingkrak kesenangan setelah sang kurir pergi. Tanpa basa basi, kubuka paketnya, dan
kutemukan setoples orek tempe kering dan sepucuk surat dari ibu,

“Semangat belajarnya kak! Makan yang benar, ya! Jangan lupa balik lagi ke
Indonesia ya … buat ilmu kamu bermanfaat di negara sendiri juga.”

Ah, akhirnya air mata yang kutahan sejak kemarin pecah juga. Terimakasih ya
bu, aku pasti akan belajar giat supaya bisa membanggakan kalian yang dirumah dan
mengharumkan nama Indonesia.

🌻Catatan untuk Penulis

Terima kasih sudah mengirimkan naskah hebat ini. Pesan yang tertulis sederhana namun
bisa mengingatkan akan memori kecil atau kenangan indah bersama keluarga.
Walaupun hanya dari makanan sederhana.

Alur cukup baik. POV kesatu yang digunakan masih terdapat banyak serangan -ku.
Silahkan dibaca kembali dan dicoba kalimat yang lebih pas dengan mengurangi
serangan -ku.

Setting tempat tergambar jelas. Sapaan, istilah bahasa asing yang tidak ada di KBBI di
italic.

4 Paket!
5 Baik! Tunggu sebentar!
6 Tuan Yamaguchi Tomohiro?
7 Terimakasih!
Sapaan dalam POV1 menggunakan huruf kapital. Dicek kembali penggunaanya di
dalam naskah. Jangan lupa dibaca kembali setelah selesai menulis untuk meminimalkan
tipo.

Tetap semangat menulis. 🎉

Anda mungkin juga menyukai