Anda di halaman 1dari 7

Cerpen karya Iva Avianty

Strawberry Shortcake
Bagaimana bisa aku jadi seperti ini?
Kamu beruntung sekali."
Kontan, aku menghentikan gerak kakiku yang sedang melangkah menuju ger-bang sekolah. Kuta-tap
manik mata orang di sebelahku yang baru saja bersuara.
"Maksudnya, beruntung gimana, sih, La?" tanyaku sejurus kemudian.
Orang itu sahabatku, teman sebangku sejak kelas satu SD, Lila namanya terse-nyum memamerkan
sebaris gigi yang tampak rapi. Cantik. Nggak kayak gigiku yang bagian atas depannya agak maju
sehingga banyak orang menggelariku "Maju Tak Gentar". Hihihi ... Aku nyengir dalam hati.
"Kok, malah senyum doang, La?"
"Kamu juga senyum."
"Kan, biar kamu mau jawab."
Lila menghentikan jalannya. Kucir duanya bergoyang-goyang sejenak saat si empunya kepala berpikir
sambil menggelengkan kepala.
"Kamu, kan, anak orang kaya. Pasti gampang ba-nget dapat apa yang kamu inginkan. Nggak ka-yak
aku. Aku masih harus kerja keras merayu ibu-bapakku untuk membeli satu set alat gambar keren
seperti yang dijual di koperasi sekolah."
"Ha?! Memangnya harus ya, La?"
"Ya, harus, dong! Kamu saja pasti beli, kan? Bagus gitu juga."
"Nggak. Aku nggak mau beli."
Lila menatapku lekat. "Kenapa?"
"Karena aku masih punya krayon bekas tahun kemarin saat kita masih kelas lima. Juga, karena aku
nggak punya alasan apa pun untuk minta krayon baru pada mama-papaku. Lagi pula, aku juga lagi
nggak ketemu cara untuk punya uang sendiri supaya bisa beli itu krayon."
Kontan, Lila melongo.
Aku tersenyum geli. "Kenapa lagi, La?"
"Ya, ampuuun Kamu, tuh, ya! Ngapain pake susah-susah cari alasan segala buat beli krayon bagus
itu? Ya, kamu tinggal bilang kamu mau ...."
"Nggak. Aku nggak mau! Kalau aku nggak mau, ya, aku nggak mau!"
"Bilang aja kamu perlu. Krayon yang dulu itu udah rusak."
"Nggak, ah. Bohong itu, kan, dosa. Aku ngeri, La. Nanti masuk neraka kayak yang diceritain Bu Sri,
guru agama kita."
Lila tertegun-tegun. Mukanya sedih.
"Kenapa, sih, kamu nggak mau nolong aku? Padahal kamu, kan, akan gampang sekali dapat krayon-
krayon itu. Beda dengan aku yang betulan nggak punya duit gumamnya nyaris seperti gerundelan.
Aku cepat berpikir. Ya, harga krayon isi 24 warna itu, tentulah tidak murah bagi orangtua Lila yang
guru SD sore yang satu lokal dengan SD kami. Aku menelan ludah.
Sementara aku? Papaku kaya raya. Seharusnya mudah banget kalau hanya minta dibelikan seko-tak
krayon isi 24 warna yang keren itu. Apalagi, aku anak bungsu. Tapi ..., aku kembali menelan ludah.
Pahit rasanya.
"Kamu jangan hanya bisa minta ini-itu sama orangtua. Kerja keraslah, rajin belajar supaya kamu bisa
dapat apa yang kamu mau. Kalau kebutuhan kamu, sih, itu kami akan penuhi. Tapi, nggak demikian
halnya dengan keinginan kamu.”
Kata-kata papa terngiang terus di telingaku saat aku naik kelas empat SD hampir dua tahun lalu.
Ya, aku memang terbiasa bekerja keras agar orangtuaku mau membelikan apa yang kuinginkan. Aku
selalu berusaha menjadi peringkat satu. Dan berhasil! Maka, aku terbiasa bekerja keras agar tujuanku
tercapai.
Nah, kali ini pun, aku harus berusaha keras! Aku ingin menolong Lila, sahabatku.
Bagaimana caranya? Aku jualan permen di acara Temu Pramuka sekompleks yayasan pendidikan
tempat kami sekolah. Permen-permen itu aku dapat setelah berhasil "melobi" pihak kantin sekolah.
Yes!
Pada hari "H" itu, aku sukses menggelar daganganku. Permen yang kami hias dengan berbagai pernik
kertas warna. Aku dan Lila begadang menger-jakannya. Banyak yang membeli dagangan kami. Lila
terlonjak senang begitu melihat dagangan kami tinggal sedikit.
"Beli permennya, dong?" Sebuah suara mengagetkan kami yang sedang menghitung uang hasil
dagangan. Wah, kayaknya masih kurang sedikit lagi, nih, agar aku bisa membelikan Lila krayon itu.
Kami—aku dan Lila—menoleh ke arah datangnya suara.
Mami! Itu kan, Kang Bayu?!
****
Sedikit tentang manusia bernama Kang Bayu
Dia adalah anak laki-laki kelas satu SMP di yayasan pendidikan ini. Pintar, bintang kelas, aktif di
Pramuka, dan teman les pianoku. Cakep, tentu saja. Sebab, namanya sering kudengar diperbincangkan
gadis-gadis teman sekelasku yang sudah "gede", kayak Haryati, Muliani, Elus, Ferna, hingga Romlah
(yang sudah dua kali nggak naik kelas itu), Nancy, dan Butet yang ukuran badannya sudah kayak
anak kelas tiga SMP itu.
Aku yang belum "gede" saja ngaku kalau Kang Bayu itu terlalu cakep, sekaligus terlalu pendiam. Dia
bisanya ngomong sama buku dan piano. Kalau ngomong sama orang, kayaknya aku jarang lihat, tuh.
Nah, kali ini, dia ada di depanku dan Lila. Mau beli permen!
Ha ?! Kang Bayu suka permen?
Lila mencolek lenganku sambil menunjuk kantong permen yang masih sisa sedikit.
"Berapa? Tinggal segini, nih," kutunjuk kantong itu.
Ia melongok sejenak ke dalam kantong itu. Lalu, mengeluarkan dompet dari dalam saku celana
pramukanya. Menghitungnya sebentar, kemudian mengangsurkannya kepadaku.
Aku bengong. Bukan apa-apa. Uangnya terlalu "besar". Kami nggak punya kembalian.
Lila menjeling sambil lagi-lagi menjawil lenganku. Aku menangkap isyarat matanya, Terima aja,
Phie, itu cukup, kok, untuk menambah kekurangan beli krayon. Aduh, dia sebegitu inginnya, sih,
sama krayon-krayon itu! Aku mengeluh panjang tanpa sadar.
"Kenapa?" tanya Kang Bayu heran.
"Kembaliannya nggak ada. Uangnya kegedean," jawabku nggak enak hati.
"Ambil aja, deh, buat kamu. Ini permennya buat saya semua."
Kembali aku melongo.
Nggak fair dong, namanya. Dia hanya dapat permen sedikit, sementara uangnya jauh lebih besar,
bahkan untuk harga sekantong permen kami sebelum ada yang laku.
Cling! Tiba-tiba, muncul bohlam ide di kepalaku kayak yang ada di komik Lang Ling Lung itu.
Mungkin, kembaliannya bisa kuberikan kepadanya kalau kami ketemu di les piano besok sore.
"Ya, sudah, deh. Gini aja ..., nanti kembaIiannya saya kasih pas les piano aja. Gimana?"
Cowok tinggi kurus berkacamata itu mengangguk.
Transaksi pun terjadi. Aku mendapatkan uang yang cukup untuk menebus harga krayon di koperasi
sekolah itu, sementara Kang Bayu mendapat segenggam permen strawberry berhias yang kalau
kupikir lagi kini, kecil kemungkinannya dia suka. Tetapi sudahlah, aku nggak peduli. Yang kutahu,
mata Lila berbinar bahagia begitu akhirnya ia mendapatkan krayon idamannya itu.
Berbeda dengan aku, bagaimana nasibku?
Begitu acara selesai, aku dikerubuti anggota-anggota fans club Kang Bayu. Haryati cs dan Nancy cs.
Mereka semangat banget mengorek keterangan apa yang terjadi antara kami dan Kang Bayu tadi.
Aku bengong.
Memangnya, ada kejadian apa, sih, antara kami dan Kang Bayu tadi? Begitu istimewakah? Bukannya
tadi hanya jual beli biasa?
Lalu, kenapa, sih, mereka segitu ributnya? seakan-akan, Kang Bayu itu artis siapa gitu!
"Pasti, deh, Kang Bayu naksir kamu, Phie," celetuk Haryati tiba-tiba yang segera diaminkan oleh
yang lain.
Aku masih melongo. Kok, jadi segitu jauhnya, sih?
"Iya, dong. Sama-sama juara kelas dan juara umum!" timpal Elus dengan nada khasnya, penuh unsur
kesirikan.
Tahu apa yang kulakukan?
Aku hanya nyengir bingung!
****
Hari les piano itu
Aku datang agak awal dengan membawa bekal kue buatan mama. Kue favoritku. Namanya
strawberry shortcake. Rasanya enak, manis, asam, dan lembut di lidah. Tak lupa, kubawa uang
kembalian untuk Kang Bayu yang kuambil dari tabunganku di celengan ayam.
Nah, itu dia orangnya!
"Kang! Kang Bayu!" Aku memanggilnya sambil berlari ke arahnya.
Ia menoleh sejenak. Tersenyum samar (Hmmm ..., bener juga kata Nancy cs dan Haryati cs ..., dia
memang cakep! Asli!).
"Ya?"
"Kang, ini kembalian waktu Kang Bayu beli permen pas acara Temu Pramuka itu."
Ia tertegun.
"Ini, Kang."
"Mmm ..., nggak usah, deh. Ambil buat kamu aja."
"Jangan, Kang! Harganya, kan, nggak segitu banyak?
"Nggak apa-apa, kok ngngng ..., Sophia."
Ih, dia tahu namaku? Dia tahu nama Haryati, Elus, dan Nancy, atau Butet nggak, ya?
"Sophie. Panggil saja saya, Sophie."
"Ya, kamu juara umum kelas lima, tahun lalu, kan?"
Ih, lagi-lagi...ih.
"Itu apa, Phie?"
Aku bengong. Apa maksudnya kue ini?
"Ini?"
"Ya. Kue yang kamu makan itu?"
"Oh, ini strawberry shortcake. Kue kegemaran saya. Mama saya yang bikin. Kang Bayu mau?"
Kuangsurkan kotak kue kepadanya. Aku duduk di bangku panjang di depan kelas lesku. Ia duduk di
sebelahku. Lalu, mengambil satu potong kue dan memasukkannya ke mulut.
"Enak, Kang?"
"Ya, enak banget. Kamu bisa bikin kue ini?"
"Belum. Kayaknya agak susah, deh."
"Belajar, Phie. Kali, kalau kamu bisa bikin sendiri, saya bisa pesan ke kamu tiap les."
Aku nyengir sambil menerima kotak kueku yang sudah kosong.
"Terima kasih, ya, Kang?"
"Saya, dong, yang terima kasih."
"Buat apa?"
"Buat kue dari kamu ini."
"Saya, dong. Kang, Kang Bayu sudah beli permen-permen saya?"
Ia tersenyum tipis. Mata di balik kacamata minusnya juga ikut tersenyum. Tiba-tiba hatiku juga ikut
tersenyum, bahkan bernyanyi.
Aku bangkit hendak berdiri. Namun, mendadak kurasakan sesuatu telah terjadi. Memang, sih, dari
tadi pagi aku sakit perut. Nah, barusan waktu duduk sama Kang Bayu, kayaknya ada sesuatu yang
keluar dari ... Aduuuh kok, sakit banget gini, sih?
Tiba-tiba, Kang Bayu ikut bangkit juga. Dicekalnya lenganku.
Aku kaget. Mana sakit pula perutku .... adddduuhhh.
"Kamu nggak kenapa-kenapa, kan, Phie?" tanyanya khawatir.
Aku menggeleng.
"Kamu pucat dan di rokmu, kok, ada darahnya?"
Mami! Dunia berhenti berputar saat itu juga bagiku.
"Kamu .... baru pertama?"
Ya Tuhan, jadikan aku kodok saat ini juga atau aku akan mati sekarang!
"Kata kakak-kakak saya kelima kakak saya perempuan semua itu namanya haid, Phie."
Sudah tahu! Lila sudah dapat tiga bulan lalu. Haryati, Elus, Romlah, Nancy, dan Butet malah sudah
lama, pas kelas empat dan lima!
"Pulang, ya, Phie? Atau, kita beli pembalut dulu?"
Mati!
Dan, satu-satunya cara teraman adalah ... aku pingsan dengan sukses!
****
Hari itu, aku pulang diantar mobil Bu Sukma-guru pianoku—segera setelah aku siuman dan diajari
cara memakai pembalut oleh Bu Sukma. Malunya lagi, Kang Bayu sempat-sempatnya mengucek
kepalaku saat aku akan diantar pulang. Katanya, "Hati-hati ya, Phie, besok kalau masih sakit jangan
sekolahl"
Masa bodoh!
Yang kutahu, aku tak punya muka lagi di depannya!
****
Esoknya, aku nekat sekolah dengan perhitungan nggak akan ketemu Kang Bayu. Lagi pula, aku butuh
cerita pada Lila. Dan, seperti yang kubayangkan, Lila nyaris pingsan mendengar kisah haid
pertamaku.
"Jitak kepala bebek. Pasti, Haryati dan Nancy akan ngiri berat sama kamu!" kata Lila sambil melirik
kiri-kanan, takut yang diomongin didengar kali.
"Kok, ngiri? Apa enaknya haid pertama kali dan ketahuan anak cowok pula, udah SMP pula dianya?"
"Bego, ah! Dia kan, bukan sembarang cowok."
"Hahaha ...." Aku ketawa lepas. Memangnya, Kang Bayu cowok yang gimana, sih?
"La, ntar pulang sekolah jangan ngelewatin anak SMP, ya? Malu, nih!"
"Abis lewat mana, Phie? Terjun bebas? Tetep aja mesti ngelewatin lokal SMP. Kan, lokal kita di atas
lokal mereka ...."
"Lewat mana, kek, asal jangan ngelewatin kelas Kang Bayu. Tengsin, Kuya!"
"Hahaha ...." Gantian Lila yang menertawaiku. Kurasa mukaku saat itu sudah lebih merah daripada
kepiting rebus!
"Sophia?!"
Mati! Mati! Mati!
"Kang Bayu, Phie. Mau ngapain dia?" Lila berbisik kaget.
Aku langsung panik. Kucekal lengan Lila erat-erat.
"Mana aku tahu, La? Aduuuh ngapain, sih, dia?"
"Masih sakit, Phie? Kok, sekolah, sih?"
Iiih Si Lila malah cengar-cengir nggak jelas gitu.
"Eh ..., ngngng nggak terlalu sakit lagi, kok. Ehhh ..., ngapain, Kang?"
“Kata Dudi, teman sebangku saya, dia ketemu kamu di gerbang tadi pagi. Makanya saya heran,
katanya kamu sakit kemarin, kok, sekarang malah sekolah?"
"Ngngng ...."
"Sophie mah sehari nggak sekolah, malah bisa mati dia, Kang," celetuk Lila asal.
"Juara umum, ya, harus gitu. Ya, kan, Phie?"
Tiba-tiba, Kang Bayu kembali mengucek kepalaku dengan lembut, seperti saat aku baru siuman
pingsan waktu itu. Aduuuh ...!
"Udah disisir, Kang! Jangan diacak-acak lagi, dong!" Aku spontan protes dengan galaknya.
Kurapikan lagi rambut pendekku dengan tangan. Lila ngakak, sementara Kang Bayu hanya tersenyum
menatapku. Saat tangannya mulai akan mengacak-ngacak lagi, segera kutangkap.
"Berani ngacak lagi, benjol!" ancamku sadis.
"Lepas, dong, Phie! Sakit, tahu! Kamu kukunya tajam kayak macan!"
Lila masih ngakak saat aku melepas tangan Kang Bayu, yang ternyata jail itu, dengan sentakan keras.
Aku cemberut kesal.
"Maaf, ya, Phie. Bercanda, kok. Saya senang kamu nggak sakit lama-lama."
"Ya, udah, sana minggat ke kelasnya! Nanti saya disirikin banyak cewek kalau Kang Bayu masih
ngetem di sini!" tukasku sambil mendorongnya pergi.
"Emang, kenapa?"
Aku bingung mau jawab apa! Kalau terus terang, nanti dia kegeeran. Bikin repot! Kalau nggak, dia
kayaknya nggak bakalan pergi sebelum diusir, nih! Padahal lagi, aku nggak mau ketemu dia lagi.
Malu, gila!
"Cepetan, sana pergi! Atau tunggu benjol dulu?" usirku judes. Soalnya, fans club-nya sudah mulai
berdatangan.
****
Sejak hari itu, hidupku tidak lagi tenteram dan damai sejahtera karena ada banyak cewek yang sirik
berat kepadaku. Ada Kang Bayu yang hobi banget menemuiku saat datang dan pulang sekolah di
kelasku. Ada gosip di lokal kami berdua bahwa kami pacaran.
Jujur, aku sebenarnya senang bersahabat dengan Kang Bayu. Anaknya baik, perhatian, nggak suka
judes meskipun akunya asli judes, dan enak dijadikan tempat curhat.
Kamu tahu, La, semuanya berawal dari permen permen rasa strawberry yang kita jual itu Permen
serbaguna. Kamu bisa beli krayon, aku dan Kang Bayu bisa bersahabat.

Ketika Mas Gagah Pergi


Karya Helvi Tiana Rosa ( HTR )

Mas Gagah berubah!

Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Masku, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu
benar-benar berubah !

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah di Teknik Sipil UI semester tujuh. Ia seorang kakak yang
sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja… ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu membiayai
kuliahnnya sendiri dari hasil mengajar privat untuk anak-anak SMA.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku
kemana ia pergi. Ia yang menolong di saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di
saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji.

Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku.Saat
memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan
menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film atau konser musik atau sekedar bercanda
bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga
aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar
teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di restoran,
atau bergembira ria di Dufan, Ancol.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua
dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya !

“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih ?”

“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-
bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho ! Gila, berabe khan ?”

“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku ?”

Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem.
Bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya ?

“Mas belum minat tuh ! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran…, banyak anggaran.
Banyak juga yang patah hati ! He…he…he..” kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Ia serba segalanya. Ia punya rancangan masa
depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan sholat !
Itulah Mas Gagah!
Tetapi seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah !
Drastis ! Dan aku seolah tak mengenal dirinya lagi. Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang
kubanggakan kini entah kemana…

–=oOo=–

“Mas Gagah ! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-
keras.

Tak ada jawaban. Padahal kata mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan
pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca
artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!

“Assalaamu’alaikuuum!” seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?”
tanyanya.

“Matiin kasetnya !” kataku sewot.

“Lho emang kenapa ?”

“Gita kesel bin sebel dengerin kasetnya Mas Gagah ! Memangnya kita orang Arab… , masangnya kok
lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.

“Ini nasyid. Bukan sekedar nyanyian Arab tapi dzikir, Gita !”

“Bodo !”

“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai
dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang
tamu, Gita ngambek…, mama bingung. Jadinya ya, di pasang di kamar.”

“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin kaset Air Supply yang baru…, eh tiba-tiba
terdengar suara aneh dari kamar Mas!”

“Mas kan pasang kasetnya pelan-pelan…”

“Pokoknya kedengaran!”

“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Bagus, lho !”

“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” aku ngloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas
Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana kaset-
kaset Scorpion, Wham!, Elton John, Queen, Bon Jovi, Dewa, Jamrood atau Giginya?
“Wah, ini nggak seperti itu, Gita ! Dengerin Scorpion atau si Eric Clapton itu belum tentu
mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau
denger ? Ambil aja di kamar. Mas punya banyak kok !” begitu kata Mas Gagah.

Oalaa !

Anda mungkin juga menyukai