Anda di halaman 1dari 8

Bab 2. Terbangun ditubuh remaja SMA.

"Al.. bangun.. Al.”

Suara seseorang yang familiar terdengar memanggilku, tapi mataku seakan berat terbuka. Apa aku
ini sedang tidak sadarkan diri rasanya nyawaku dengan tubuhku belum dapat menyatu dengan
benar.

“ALVARO BANGUN!” serunya lagi, hampir seperti berteriak mengomel.

Rasanya aku mengingat ia yang memanggil. Tubuhku diguncang-guncangnya sambil terus


meneriakkan namaku, suaranya begitu akrab ditelingaku.

Sepertinya sudah lama sekali tak mendengar suara ini. Rasanya sudah satu dekade aku tak
mendengar suara ini, seiring kematiannya yang meninggal karena sakit sekitar pertengahan tahun
2012.

Apa ia ibuku yang sudah meninggal? Apa kami sekarang bertemu di alam baka?

Perlahan kemudian aku dapat membuka mata. Seolah ada getaran listrik yang menggerakkan
tubuhku untuk sepenuhnya bisa bangun.

Aku terkejut saat membuka mataku. Benar saja ia ibuku. Kemudian langsung melompat memeluk
sosok di depanku.

Rasanya rindu sekali setelah 10 tahun aku kehilangannya. Aku memeluknya sangat erat seolah takut
kehilangan lagi.

"Kamu kenapa Al? Kok aneh sekali?? Cepat mandi, nanti terlambat sekolah."

"Sekolah Bun? "

"Iya ini bukan tanggal merah, lekas mandi. Air panasnya sudah bunda siapkan di kamar mandi."

Apa ini hanya mimpi? Ia menyuruhku sekolah? Apa ia lupa kalau aku sudah menikah dan punya
anak? Batinku bertanya-tanya.

"I....iya, “ kataku pada beliau. Aku iyakan saja perintahnya.

Semua ini seperti nyata sekaligus mimpi. Aku melihat kedua tanganku, lalu meremas kedua pipiku.
Rasanya sakit. Apa mimpi bisa merasakan sakit seperti ini?

Aku lalu berdiri dan berjalan ke kamar mandi, meraih handuk yang tergantung di balik pintu. Entah
apa yang menggerakkanku, tapi seakan aku ingat rutinitas ini, pergi mandi pagi-pagi sekali.

Di kamar mandi, aku berdiri di depan cermin. Kemudian aku berkaca. Betapa terkejutnya aku?

Ini aku. Tapi bukan aku. Aku meraba wajahku, mencubitnya. Kali ini lebih keras, lalu aku mengaduh
karena sakit. Haruskah aku menghantam kepalaku juga ke dinding agar aku terbangun.
Aku yang di cermin adalah aku versi masa mudaku. Teringat jelas dengan wajah culun itu. Itu adalah
aku di masa lalu. Kira-kira seumuran anak SMA.

Aku tiba-tiba teringat ketika ibuku barusan menyuruhku pergi mandi untuk sekolah, aku semakin
terperangah dengan kenyataan itu. Apakah aku kembali menjadi anak SMA sekarang? Batinku
merasa kacau memikirkannya.

Tak ada kerutan di sana, atau pun sehelai uban. Kemana perginya wajah 46 tahunku?

Aku bergeming lamanya menatap cermin. Mencoba mengingat-ingat kejadian terakhir.

Satu menit kemudian aku seakan tersentak hebat. Bukankah aku ini sudah mati? Aku bisa
menyaksikan sendiri tubuhku tergeletak penuh darah di sisi jalan dan tak bernyawa.

Sekarang aku melihat tubuhku sendiri, kemana semua luka itu pergi? Aku seperti dalam keadaan
sehat tanpa cela.

Ini mimpi, pikirku masih bersikukuh. Mungkin aku memang tidak mati. Mungkin aku koma dan
memimpikan semua ini.

Tapi...

"Al, buruan mandinya jangan lanjut tidur disana. Sudah setengah tujuh lewat. Segera sarapan, sudah
ditunggu Ayah di ruang makan."

Ibuku memanggil lagi. Suara itu bukanlah mimpi. Jelas-jelas aku hidup sekarang. Aku bahkan bisa
merasakan sakit dan hangatnya air yang dimasak untukku mandi.

"Ya bun…" sahutku. Segera aku menyelesaikan aktivitas mandiku.

Aku ingin segera mengetahui apa yang terjadi ketika aku merasa ini masih mimpi.

Rasanya aneh memakai seragam putih abu-abu itu lagi. Fisikku memang seperti anak SMA sekarang,
tapi semua ingatan selama umur 46 tahun ini, masih bersamaku. Aku terheran, tapi aku masih ingat
terakhir kalinya, aku ini adalah seorang serabutan dengan status sudah menikah dan punya anak.

Aku sementara tak mau ambil pusing, bergegas saja aku ke ruang makan.

"Makan yang banyak, biar ga banyak jajan. Ini uang seratus ribu, jatah jajan sebulan. Di awet-awet
ya."

Kupandangi uang 100 ribu dengan pecahan dua lembar 50 ribuan itu. Uangnya adalah cetakan persis
di masa aku dulu SMA, kira-kira tahun 1991.

Aku hanya mengangguk saja di depan ibuku, mengambil uang itu tapi tak yakin apa yang harus
kulakukan dengan uang itu.

Di masaku tentu uang itu hanya bernilai kecil. Aku tak mau ambil pusing. Kujalani saja mimpi ini,
akan kuikuti alurnya, pikirku.

"Bunda mau ke pasar dulu, kamu ke sekolah naik sepeda saja. Ayah sudah berangkat duluan,
kelaman nunggu kamu mandi."
"Kunci rumah taruh tempat biasa ya," sambungnya lagi.

"Siap Bun,” ujarku. Kutatap ibuku lagi, rasanya ini bukan mimpi. Ini benar-benar nyata.

“Kenapa kamu? Kok, gak seperti biasanya. Kamu sakit?” Ia berbalik dan menoleh padaku.

Ia segera meraih keningku dan mengecek suhu tubuhku dengan tangannya tapi kemudian ia
menggelengkan kepalanya.

Aku hanya tersenyum. “Aku gak sakit, Bun.”

Dahinya juga ikut berkernyit. “Kamu tadi tiba-tiba loncat peluk Bunda, terus cara bicaramu juga
aneh, kamu sakit apa ya kira-kira?” celetuknya.

“Mungkin aku hanya kangen sama Bunda,” kataku berkaca-kaca.

Ibuku melotot. “Kangen apanya!! Setiap hari ketemu kamu, Bunda saja mau muntah,” candanya.

Ah, itulah ibuku. Ia kemudian ngeloyor pergi ke pasar dan menghiraukanku yang mungkin sudah
terbiasa dikiranya bersikap aneh.

Sekarang, aku benar-benar sendirian di rumah. Kulanjutkan makanku. Aku menikmati makanan ini,
merasa bodo amat dengan pikiran kacauku.

Sambil makan aku melihat koran Kompas yang biasa dibaca ayah tergeletak di meja.

Segera tanganku ini mengambilnya dan hal pertama yang ingin kulihat adalah hari apa, tanggal dan
tahun berapa ini?

Sedetik kemudian aku terkejut karena rupanya hari ini adalah 23 Oktober 1991.

Informasi yang aku ingat, saat ini aku masih duduk di kelas 1 SMA.

Tiba-tiba terbersit pikiranku untuk melihat berita ekonomi. Mengecek pergerakan harga emas dan
nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Menurut informasi di koran harga emas hari ini Rp 13.522,- dan nilai tukar dolar terhadap rupiah Rp
1.997,-. Persis seperti apa yang terjadi di tahun 1991.

Aku agaknya kembali ke masa ini, masa di tahun 1991.

Kulihat kembali uang seratus ribu yang ibuku kasih tadi pagi,

Dengan Rp 100.000,- uang jajan itu bisa menjadi modal bisnis, pikirku. Entah kenapa pikiran bisnisku
muncul tiba-tiba.

Mungkin karena aku memang mempunyai otak bisnis dan rupanya aku bawa ke masa kini.

Masa kini? Masa laluku adalah masa kiniku sekarang. Aku sedang kebingungan sekarang. Tapi aku
berjanji akan menjalani alurnya hari ini. Membuktikan bahwa ini bukanlah mimpi.

Selesai makan aku keluarkan sepeda mountain bike dari garasi, warna biru. Ini sepeda
kesayanganku, kendaraanku untuk pergi kemana-mana.
Aku masih ingat dengan jelas, aku bersekolah di SMA Negeri 2 Cilacap. Kata teman-teman sebuah
sekolah yang mewah. Karena lokasinya yang berada tepat dipinggir sawah. Mewah singkatan mepet
sawah dalam bahasa jawa.

Sampai di gerbang sekolah pukul 07.30. Aku terlambat masuk, gerbang sudah ditutup. Di bagian sisi
dalam gerbang sudah menunggu guru piket. Hari itu jadwal Pak Herman guru matematika kelasku.

"Maaf pak saya terlambat, saya bangun kesiangan"

Seorang guru yang samar kuingat adalah namanya Pak Herman membuka pintu gerbang, dan
memintaku mengisi daftar siswa terlambat. Ada sekitar lima orang yang terlambat datang dengan
berbagai alasan.

"Sekarang kalian temui Ibu Diah di ruang BP"

Setelah memarkir sepeda di tempat parkir khusus siswa. Kami yang terlambat berjalan menuju ke
Ruang BP.

Seperti biasa, ada ceramah pagi untuk para siswa yg terlambat dan hukuman menulis 100 kalimat.
"Saya tidak akan terlambat lagi besok" di kertas HVS bergaris.

Saat aku akan selesai menulis kalimat terakhir. Ada pengumuman dari kepala sekolah lewat
pengeras suara.

"Pengumuman, kepada para siswa sekalian. Tim futsal sekolah kita berhasil memasuki babak final
dalam kejuaraan Futsal piala Bupati Cilacap".

"Dan pada hari ini babak final akan dilaksanakan di GOR Wijaya Kusuma pukul 10.00 WIB."

"Tim Futsal kita akan melawan tim Futsal dari SMA Negeri 1 Cilacap. Kegiatan belajar mengajar
diliburkan".

"Horee.. Asikk Libur"..


Terdengar suara sorak sorai para siswa gembira karena belajar mengajar hari ini diliburkan.

"Walaupun Libur, tetapi Bapak tugaskan kepada para siswa sekalian untuk bisa datang ke GOR
Wijaya Kusuma untuk mendukung tim futsal sekolah kita,” imbaunya melalui pengeras suara.

Karena aku sudah menyelesaikan tugas hukumanku, Guru BP juga membiarkanku keluar ruangan.

"Al.. ayo bareng ke GOR anak-anak kelas kita juga mau ikut nonton." Kata seseorang.

Aku mengingat-ingat sosok itu. Ia adalah Arief teman sekelasku.

"Ayo.. aku ikut,” ucapku begitu saja. Rasanya aku seperti harus ikut menonton pertandingan itu.

"Al, aku bonceng kamu ya. Aku ga bawa sepeda" Kata santo rekan sekelasku juga.

Aku mengangguk mengiyakan.

Aku bersama teman-teman beriringan pergi ke tempat pertandingan final di GOR Wijaya Kusuma.

Suasana di GOR Wijaya sudah sangat ramai penuh dengan siswa dari dua sekolah yang ingin
mendukung tim sepak bola dari sekolahnya masing-masing.

Rombongan sekolah kami menempati disebelah Timur Lapangan Indoor sementara kelas kami
ngumpul di belakang gawang tim futsal kita.

Tim Futsal SMA Negeri 2 diatas kertas lebih diunggulkan dibanding tim Futsal SMA Negeri 1
dikarenakan banyak dari anggota tim yg ikut sekolah sepak bola.

Dari ingatanku, aku ingat betul bahwa pemenangnya adalah Tim futsal SMA Negeri 1 dengan score
2:1.

Mendadak aku memikirkan sesuatu. Aku melihat Arief dan Santo.

"Arief..Santo mau uang ga? Aku punya kerjaan buat kalian."

"Wah mau banget Al.. kebetulan kita lagi bokek nih" seru mereka bebarengan.
"Kita harus kerja apa Al?" Tanya santo

"Begini, kita bikin bandar taruhan. Saya yang tanggung jawab. Catat taruhan kalau menang dikali 2
kali nilai taruhan. Setelah babak pertama selesai taruhan ditutup"

Aku menyeringai. Pikiran nakalku terbersit begitu saja mengajak teman-temanku taruhan. Lagi-lagi
aku merasa bodo amat, toh aku masih menganggap semua ini mimpi, pikirku. Jadi suka-suka aku.

"Ok, siap boss Al." Jawab Santo dan Arief serempak.

Pertandingan berjalan seru, jalannya pertandingan sangat alot. Kedua tim saling serang dengan skill
yg hebat. babak pertama pertandingan dimenangkan oleh tim Futsal SMA Negeri 1.

Riuh sorak sorai pendukung tim futsal dari SMA Negeri 2 melihat tim kesayangannya unggul di babak
pertama sementara dari Santo dan Arief, aku memperoleh laporan catatan 100 orang yg ikut. Variasi
taruhan dari mulai Rp 5.000,- sd Rp 10.000,- . Total uang yang di dapat Rp 850.000,- .

Semua bertaruh SMA Negeri 2 Menang.

Aku tersenyum puas, melihat laporan taruhan itu. 600 ribu bakal ditangan, untuk santo dan arif
masing-masing kuberi 125 ribu.

"Priiiiiiit… " suara peluit yg ditiup wasit lapangan terdengar nyaring. Tanda dimulainya babak ke dua
pertandingan. Tim Futsal SMA 2 masih memimpin pertandingan dengan score 1:0.

Tim lawan berusaha membobol pertahanan, tapi tim futsal sma 2 sangat tangguh. Sampe 3 menit
menjelang pertandingan usai, masih blm bisa tembus gawang tim futsal SMA 2.

2 menit menjelang usai, Bola dibawa penyerang Tim futsal SMA 1. Digiring mendekati gawang SMA
2. Kemudian terjadi pelanggaran, pemain bertahan SMA 2 mentakling dengan sangat keras, hingga
terjatuh di dekat gawang.

"Priiiiiitt.. pelanggaran.."

Wasit lapangan meniup peluit dan menunjuk ke titik pinalti. Dan dari tendangan pinalti itu
membuahkan gol manis. Kedudukan berubah menjadi sama 1:1.
Makin riuh penonton dari pendukung SMA 1. Karena masih ada asa kesempatan untuk menang.
Pertandingan berlanjut ke perpanjangan waktu. Namun sampe 2 kali perpanjangan waktu
kedudukan masih belum berubah. Hingga diambil adu pinalti untuk menentukan pemenang.

Pertandingan berakhir 2:1 untuk tim futsal SMA Negeri 1 lewat adu pinalti yang menegangkan.

Dan benar saja babak terakhir menunjukkan, SMA 1 menang sesuai perkiraanku.

Suasana menjadi riuh, kegembiraan dan sorak sorai pendukung SMA 1 mulai memanaskan suasana.
Beberapa anak SMA 2 yang tidak puas menyerang Anak SMA 1. Pertengkaran yang tadinya hanya
segelintir orang saja menjadi meluas.

Aku, arief, santo dan beberapa anak perempuan kelasku menyingkir dari dalam gedung lewat pintu
keluar yang ada di samping.

Begitu kami keluar pintu, didepan sudah ada anak sma 1 yang mengenali kami.

"Itu supporter SMA 2, ayo kita hajar."

Teman-temanku berhasil lari sedangkan aku terjebak di antara pintu keluar dengan hadangan dari
anak-anak SMA 1.

“Mau kemana kamu? Hajaaar....”

Hasilnya aku dihujani pukulan dan tendangan dari sekitar sepuluh orang.

Jika ini mimpi, kenapa aku begitu merasakan sakit? Sialan, pikirku.

Seingatku, aku tak pernah dipukuli sampai babak belur begini. Semua gara-gara taruhan itu.

Aku tiba-tiba mendengar seseorang berteriak.

"Stop.. hentikan…atau kalian akan ditangkap polisi."

Dan mereka pun bubar, berlarian ke segala arah.

Ia mendekatiku dan membantuku berdiri.

"Kamu baik-baik saja Al ?"

Dahiku berkernyit. Mengingat siapa siswi yang ada di hadapanku ini? Rasanya aku mengingat
wajahnya, mungkinkah ia Rara?

Aku mengaduh, teringat bahwa aku baru saja dipukuli. Aku mungkin sekarang harusnya sudah
bangun, tapi aku tertegun dan mencoba membaca situasi ini, mencernanya. Ini bukan mimpi.

Aku benar-benar terlempar ke masa laluku dan hidup dengan ingatanku di masa depan.
***

Anda mungkin juga menyukai