Anda di halaman 1dari 19

”KETIKA AKU HARUS 

Matahari terbit terang bahkan mungkin teramat terang dibanding hari-hari biasanya. Motor,
becak, mobil dan seluruh corak kendaraan berhulu halang mengitari aktifitas tunjuk jarum di
pagi hari. Kokokan ayam yang biasanya gemuruh menyapa dan membangunkan tidur
malasku pun justru hari itu terasa hilang perlahan satu per satu. Kotaku teramat ramai saat itu
dan bisa dipastikan hari ini mungkin akan menjadi goresan anyar yang menyulam diary
hidup kecilku.Aku bergegas menyingsing barunya catatan tatangan yang tak tertulis sejak
cerita-cerita yang lalu telah habis terputar pada rotasi detik, menit, jam, hari hingga tahun
yang dimakan masa yang benar begitu cepat.Tapi hidup hanya satu hari yakni hari ini,
karena kemarin adalah kenangan dan besok adalah masa depan. Akh, tak ada gunanya
berlama bersandar di atas tempat tidur. Saatnya untukku menjemput peradapan dihari ini.
Aku Vian, salah seorang mahasiswa semester 2. Di sebuah perguruan tinggi swasta di
kotaku. Diluar dari almamater kemahasiswaanku, aku juga menyandang sebagai sebagai
penyiar Radio Swasta. Menjalani Kehidupan seperti ini sungguh sangat melelahkan. Namun,
jika tidak aku jalani mungkin akan menambah daftar hidup yang menjenuhkan. Karena
keseharian kosongku hanya ku habiskan untuk tidur dirumah. Jadi alangkah baiknya jika aku
kelelahan karena aktivitas daripada kejenuhan karena tanpa aktivitas. Keinginan terbesarku
saat ini adalah bisa mendapat Beasiswa belajar di Malaysia. Entah mengapa keinginan itu
timbul dengan sendirinya dibenakku. Untuk itu, aku harus berusaha semaksimal mungkin
untuk mewujudkan impianku itu. Meski aku yakin, aku bukanlah orang yang jenius. Tapi tak
apalah kuletakan harapan itu sebagai motivasi belajarku.

“ Hari ini kuliah sampai pukul 12, jam 13 aku bertugas siaran karena hari ini hari Senin. Wah
aku belum nyusun daftar peringkat lagu nih. Hari inikan aku ada jadwal membawakan Chart
tangga lagu. Akh nanti sajalah aku bisa buat pas diangkot saja sepulang kuliah!” gerutuku
sembari melihat catatan jadwal harianku yang sengaja kutempel di atas pintu kamatku yang
berwarna hijau daun itu.

“ Ibuuuuuuuuuuuuuuu, aku berangkat. Jangan kangenin anakmu yang cakep ini yah!”
godaku ke ibuku,

“Eh nyelonong saja, cium tangan dulu baru berangkat !” jawab ibu,
“Ahhhh Ibu nga’ cocok jadi managerku. Gimana kalau nanti anakmu ini jadi artis. Mau
kemana-mana harus cium tangan dulu!” bercandaku sambil mencium tangannya,Aku
memang suka bercanda, apalagi dengan ibuku sendiri
.*

Sesampainya di Kampus. Pagi itu jam tangan perakku menunjuk 10 menit lepas dari
peredaran jam 7 pagi. Wah mungkin ini hari yang cukup mencetak semangat bagiku. Tak
seperti biasanya aku berangkat sepagi ini. Ya mudah-mudahan saja hari ini akan menjadi
hari yang menggairahkan untukku.

“Selamat pagi semua !.” Ku lontar salam manisku kepada teman-teman didalam kelas.

Salamku hanya dibalas dengan senyum manis mereka. Tapi tidak masalah, itu lebih dari
sekedar cukup.Dikelas aku mempunyai 3 teman dekat. Yang pertama adalah Ridho
Orangnya hitam,kurus, dan logat bahasa jawanya juga masih kental. Ia termasuk anak yang
rapi, royal tapi kalau lagi marah bisa meledak-ledak. Yang kedua adalah Arifin, badannya
tinggi, berkulit hitam manis, suka bercanda, tapi juga sering tersinggung. Yang terakhir
Amin namanya. Orangnya pendek, kecil, gendut dan diantara kami berempat dia yang paling
konyol, susah sekali diajak serius, kecuali pada saat-saat tertentu ia serius Selebihnya
kerjaannya bercanda terus. Namun perbedaan inilah yang membuat kita satu. Kami seakan
telah menjadi keluarga sendiri dalam hubungan ini.

“ Yan, dicari Ridho tuh di Kantin!”, Kata Amin

“ Serius? “ tanyaku,
“Sejak kapan aku serius? Ya nga’ lah!” Jawab Amin sambil tertawa,

“ Ammmmmmmmmiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnn !!! dasar orang gila.” Jawabku meledek.

**
15 menit menjelang pukul 13.00 aku telah sampai ke studio siaran. Wah rasanya tidak sabar
sekali menunggu pukul 13.00 karena aku sudah 1Minggu mengambil cuti kerja.selepas
mengikuti lomba-lomba diluar. Rasanya aku sangat merindukan lagu-lagu kesayanganku,
atensi yang bertumpuk diredaksi siar, deringan telp dari pendengar setiaku, hingga rekan-
rekan siaran yang baik hatinya.

“ Selamat siang Pendengar ! berjumpa kembali bersama saya Vian Aziz dalam Acara
Bincang Remaja Untuk Edisi hari ini Senin, 12 Januari 2009.Nah disiang hari ini kita akan
membahas perbincangan seputar masalah-masalah anda dengan sahabat-sahabat anda
melalui Via telp kita di 374455 sampai pukul 15.00 sore nanti. Karena pukul 15.00 keatas
kita akan memainkan ajang tangga lagu. Baiklah dari belakang perangkat siar yang bertugas
saya mengucapkan selamat bergabung dan selamat mengikuti acara ini!” Demikian
lancarnya saya mengawali pembukaan acara saat itu.

Beberapa jam telah berlalu, banyak sekali cerita-cerita persahabatan yang aku dengar saat
itu. Aku jadi teringat dengan 3 sahabatku. Sedang apakah mereka sekarang. Sosok mereka
seakan membayang di fikiranku. Aku merasa sangat beruntung telah mengenal mereka.

“ Tuhan lindungilah hubungan kami !” doaku,

“ Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiing” telp radioku berbunyi. Oh Tuhan aku sedang melamun rupanya.

“ Bincang Remaja selamat siang! Mohon maaf dengan siapa saya berbicara?” Salamku
mengangkat telp,

“ Dengan Hendra, bang!”

“ Oh Hendra, Anda tentunya sudah mendengar tema masalah yang akan kita bincangkan di
edisi hari ini kan? Silahkan dengan cerita anda!”

“Terima kasih bang, Saya punya 2 orang teman Yanto dan Riki. Awalnya kami Sangat akrab
sekali, bahkan kami sudah seperti saudara sendiri. Namun, akhir-akhir ini hubungan kami
hancur. Lantaran kesibukkan kami masing-masing. Jarang sekali kami ada waktu untuk
berkumpul lagi. Awalnya kami dapat memakluminya. Tapi, setelah masalah ini berlangsung
lama kepercayaan diantara kami saling memudar. Kami selalu menyalahkan si ini dan si itu.
Padahal kalau kita koreksi kita semuanya salah. Tapi, yang jelas sekarang ideologis kami
sudah berbeda. Saya sudah tidak tahu apakah masih bisa kami untuk kembali bersatu seperti
dulu atau tidak? ………….”

Mendengar curhatan si Penelpon, hatiku bak ibarat berlampu kuning. Akankah kami akan
bernasib sama dengan penelpon tadi atau tidak? Hatiku bergetir tak karuan. Aku menitikan
air mata namun aku harus bisa mengkontrol diri. Karena saat ini aku sedang berbicara
dengan masyarakat. Usai berinteraksi dengan Penelpon lantas aku memutarkan lagu
selanjutnya. Kupilih lagu Sindentosca yang berjudul kepompong. Kudengarkan reff lagu itu
melalui earphone yang terpasang di telingaku.

“ ….
Persahabatan sebagai kepompong,
Merubah ular menjadi kupu-kupu
….”

***

Malam ini seperti malam yang sangat membebaniku. Curhatan penelpon diradioku tadi siang
membuat aku terus berfikir, jika hal itu yang ku alami. Sungguh aku tak tahu seberapa
panjangnya 1 menit untuk hidupku, yang ada aku akan merasa terus bersalah karena
membiarkan bola keributan menembus pertahanan gawangku dan mungkin sisitulah aku
akan dinyatakan sebagai penjaga gawang yang tak berkualitas. Tiba-tiba aku ingin berbicara
dengan mereka bertiga. Kuambil handphoneku dan kuketik sms yang kukirim kemeeka
bertiga.

“ Hai jelek lagi ngapain?” ku buka smsku dengan candaan,

“tut.. tut…” bunyi handphoneku. Rupanya mereka bertiga membalas smsku tadi.

“ lagi makan, tumben sms? Kangen ya?” balasan Arifin,

“ Mau tahu aja !!! yang pasti bukan lagi dengan kamu! “ balasan Amin,

“ Lagi bales sms orang jelek… ha..ha..hha !” balasan Ridho,


Sms-sms itu seakan memberi sebuah jawaban dari kegundahanku. Mereka tetap miliku,
mereka tetap sahabat-sahabatku. Lantas sepertinya aku dapat langsung tertidur pulas malam
ini.

“ Dengan namamu ya Allah ! Aku hidup dan aku mati”

****

Aku merasa seakan hatiku terus berdetak tak karuan, tak tahu apa gerangan yang terjadi
padaku. Tapi aku terus tetap berjalan saat itu. Selangkah, dua langkah, tiga langkah dan
seterusnya ku melangkah menuju suatu tempat.dan tempat itu adalah kelasku.

Mataku terarah pada sudut kursi paling belakang dan nampak seorang sahabat yang cukup
dekat denganku disana. Si Ridho, seperti biasanya kulihat dia mempergunakan kemeja rapih
dan tentunya celana hitam katun, ditangannya ia menyibak sebuah pena hitam dan sepertinya
ia sedang menulis diatas kursi itu. Sejenak aku tersipu malu dengan diriku, sebagai seorang
calon guru seharusnya pakaian aku harus lebih di manage seperti Ridho.

“Ah tapi masih ada banyak waktu untuk merubah penampilan. so slow down baby,” tidak
mudah merubah suatu kebiasaan yang sudah melembaga didalam diri. Ya jadi serasa di
ingatkan dan dinasehati oleh chairil anwar dengan larik-larik awal puisinya yang berjudul
aku.”

Aku
Bila datang waktuku,
Tak ingin semua orang kan merayu,
Tak jua kau,
Tak perlu sedu sedan itu,
………..
“Ah pagi-pagi dah ngalntur kemana-mana.” Teriak hatiku mengagetkan
lamunanku.Bergegas kulangkahkan kaki menuju didekat Ridho.

“Hai dho, ada PR ya ?” Sapaku mengawali perbincangan.


“Bukan kok !” Jawabnya singkat

“Jadi apa yang sedang kamu tulis? “

“Aku sedang menu….. “ belum sempat ia menghabiskan jawaban pertanyaanku tiba-tiba


matanya terbelangak melihat si Arifin yang kebetulan juga baru sampai di dalam kelas.
Tatapan Ridho tiba-tiba berubah garang.demikian pula si Arifin. Mata mereka saling
bertemu,
“Apa loe lihat-lihat cari masalah lagi ma aku ?” Teriak Arifin yang saat itu mengagetkan
seluruh kondisi kelas.
“Praaaaakkkkkkk” tangan Ridho memukul meja sembari berdiri menantang.
“Heh saudara yang terhormat, hati-hati apabila anda ingin memulai santapan pagi dikelas
ini !” Jawab Ridho memutuskan gertakkan Arifin.

Aku hanya terdiam linglung. Aku tidak tahu Apa yang sebenarnya telah terjadi. Jujur ini
suasana yang sangat mengagetkan karena Aku, Arifin, Ridho, dan ada 1 rekan kami si Amin
adalah teman yang sangat akrab dan bahkan kami telah menganggap satu sama lain sebagai
saudara sendiri. Tapi, kok tiba-tiba hal seperti ini yang terjadi. Ini telah diluar dari sknario
cerita pesahabatan kami berempat. Tapi, apa yang membuat skenario itu berubah?

Situsi semakin memanas Ketika Ridho beranjak dari duduknya dan ia berjalan dengan
amarah yang terbaca lewat jejak langkahnya yang benar-benar meninggalkan karakter
kesehariannya yang tenang.

“kamu nantangin aku?” teriak Ridho sembari menunjuk mata Arifin

“Uy Berengsek kamu yang nantangin aku.mau cari mati?” balas Arifin.
Mengingat situasi seperti itu benar-benar aku tidak bisa berbuat apa-apa. Pertengkaran
diselingi kekerasan badanpun terjadi. Mereka saling berbalas pukul, dorong, dan lain
sebagainya. Ku ambil sela ditengah pertengkaran mereka. Jikapun badan ini harus jadi
korban figuran dalam bagian inipun aku rela.Aku pisahkan mereka berdua. Suasana kelas
semakin ricuh tidak ada yang berani mendekat ke mereka karena seluruh teman-teman yang
sudah datang semuanya adalah perempuan. Berulang kali badanku harus menahankan sakit
karena aku menjadi korban salah sasaran dalam perkelahian mereka.
“Stop !!! apa-apaan kalian berdua, bukankah kita bersaudara. Dan pertengkaran sampai hal
yang barusan kalian lakukan. itu bukanlah sebuah kata dalam kamus persahabatan … “
leraianku tak membuahkan hasil justru Arifin malah mengretak aku,

“kamu gak tau apa yang terjadi. Jadi mending kamu tidak usah ikut campur urusan kami
berdua. Sekarang kamu pilih antara aku atau si penghianat itu?” kata Arifin,

“Penghianat? Maksudmu? Sakali lagi hati-hati kalau ngomong. Atau ….”

“atau apa? serentak Arifin menyela,

“kamu benar-benar keras kepala!”

“Praaaaaaaaakkkkkkkkkkk” kembali Ridho Menampar Arifin

Serentak Arifinpun kembali naik darah. Ia membalas tamparan Ridho.Suasanapun kembali


memanas..

“ Sudahhhhhhhh…. Apa-apaan kalian” reraiku,

“ku tunggu kau diluar kampus !” ancam Arifin sembari meninggalkan kelas,

“Arifiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnn !!! “ teriakku memanggil,

“Dasar pengecut, lari aja loe !” maki Ridho,

“Udah dong apa-apaan kalian berdua. Malu tau didengar orang banyak. Kalau sampai dosen
tahu juga panjang urusannya. Udah kamu tenangi diri kamu aja dulu !” hiburku sembari
menghantarkan Ridho ditempat duduknya semula. Suasana kelas kembali tenang.

“Yan, kamu pergi aja dulu deh dari sini. Aku pengen sendiri!” ucap Ridho sembari
menghembuskan nafas amarahnya yang ditahannya.
“Tapi dho..”

“Udah kamu pergi aja dulu deh biarin aku nenangi diri” Bentaknya kasar

Aku menghela nafas perlahan, sejenak aku beranjak menjauh dari tempat itu,

*****

“Ya Tuhan apa yang terjadi dengan kedua sahabatku? Penghianat? Pengecut?” ku berusaha
menjawab semua kemungkinan dari pertanyaanku itu sendiri. Aku telah gagal sebagai
penjaga gawang di area pertahanan persahabatan kami,

Teratai-teratai mekar,
Menguncup dipagi hari tanpa sebab,
Mungkinkah layu tapi tak tua,
Ataukah mimpi tapi tak manusia,
Aku gerah melihatnya,
Ingin ku petik tapi tak mengerti,
Hanya diam beribu patri,
Menunggu jawab yang mudah-mudahan tiba.
( Teratai-teratai Mekar. Oleh : Vyan Aziz. Palembang, 3-6-09. 22:33)
Tak selang beberapa lama, Nampak seorang pria berbadan gemuk pendek mempergunakan
baju putih panjang berkerah. Sedikitnya aku merasa ada setitik cahaya yang datang,

“Amiiiiiiiiiiiin?” bibir kecilku berteriak kecil.

“Oy yan, tumben ada diluar pagi-pagi seperti ini. Nyari cewek ya?” Sapanya menggodaku.

Tak sewajarnya aku acuh terhadap godaan Amin, karena diantara yang lainnya si Amin jauh
lebih usil. Dan biasanya juga aku selalu membalas bercandaan Amin, tapi saat itu sepertinya
insting usilku terkunci. Amin pun tersadar. Ia menemukan sebuah situasi yang aneh dari
sikap cuekku hari itu.

“Uy yan, kesambet ye?. Diem aja dari tadi !” Tanyanya penasaran tapi tak meninggalkan
kekonyolannya yang mungkin sudah melekat tak terpisahkan dari sikapnya.

“Iya kesambet pacar kamu. Pacarmu kan setan penghuni kampus ini.” Jawabku membalas
sedikit bercandaannya.

“kurang ajar . Orang Tanya serius!”Jawabnya seraya bercanda,

Aku menarik nafas dalam-dalam. Kuatur Intonasi yang tepat agar aku dapat menjelaskan
kejadian tadi dengan serius. Karena aku yakin berbicara serius sama Amin butuh konsentrasi
yang tinggi.

“Min, dikelas tadi si Ridho sama Arifin berkelahi.” Jawabku sedikit kesel,

“Berkelahi? Uy yan Ultah aku masih bulan Februari nanti. nga mungkin kamu mau ngerjain
aku sekarang. Cari joke yang lain dong, gak lucu kale !”

Huh aku menghembus nafas dalam-dalam,

“Amiiiiiiiiiiiiiiin, mau curhat sama mama dedeh, cape deh ngomong ma loe tuh !” jawabku
sambil menggaruk-ngaruk rambutku tanda binggung.

“ Ha..ha.. bisa aja kamu buat pantun! Beli dimana pak?” Ledeknya,

Wah anak ini benar-benar ngejengkeli sekali. Ingin sekali-kali aku cubit pipinya.Habisnya
susah banget diajak seriusan,

“ Eh… Kolong wewe, aku nih serius!” nadaku meyakinkan


“Serius yan?”
“min, tau kan kalau biasanya siang tuh panas, terus kalau panas tanah kan tandus, terus
ditambah ga ada bus, dan loe mau mampus?, ga kan? Aku nih serius!”jawabku meyakinkan,

“What? Jadi serius ya omonganmu tadi? Duh mana panas, tandus, ga ada bus, mampyus
deh….. kenapa dari tadi nga bilang kalau kamu serius” Celoteh Amin mengakhiri
bercandaannya. Dari raut wajahnya sepertinya peran Seorang Amin telah mulai masuk dalam
cerita ini.

“ Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnn, Kesel ngomong sama kamu tuh!!!”

Sejenak aku ceritakan semua yang telah ku saksikan dan ku ketahui. Dengan tak seindah
mengarang aku mulai menaratifkan peristiwa yang terjadi dari pertama kali aku masuk kelas
sampai aku berada diluar kelas seperti sekarang.Aku juga menasehati Amin agar jangan
mendekati Ridho dulu, karena aku tahu pada saat orang emosi bukan saatnya kita mendekat
pada waktu emosinya memuncak.

“Lalu apa yang bisa kita perbuat?” Tanya Amin,

Aku hanya menggeleng kepala.


******
2 Hari telah berlalu, tapi masalah mereka tidak juga berkunjung reda. Tapi, setidaknya
sekarang mereka tak saling memaki lagi. Sepertinya mereka juga bisa dikatakan cukup
dewasa karena perselisihan tidak harus selalu diperpanjang dengan kekerasan. Tapi alangkah
disayangkan persahabatan yang sudah dibina beberapa bulan terakhir dari pertama kali kami
berada di Kampus baru ini, harus rusak dengan sebuah perkara yang sampai sekarang aku
dan Amin tidak saling mengetahui apa yang terjadi pada mereka. Mungkin aku harus
membenarkan Alfalink pribahasa yang mengatakan Karena nila setitik rusak susu sebelangga
dan itulah istilah yang mungkin tepat sekali dengan peristiwa yang sedang kami alami. Aku
dan Amin semakin merasa tak bisa bergerak, kami tidak mau di cap sebagai sekutu dari salah
satu pihak. Apabila kami harus dekat dengan Ridho tentunya akan menimbulkan praduga
negatif dari Arifin demikian sebaliknya. Tapi alangkah disayangnya kami tidak punya
sebuah takaran timbangan yang akurat untuk menimbang sebuah keadilan dan kenetralan
dari pelik masalah yang melanda mereka.

“Aku bagai bilik yang kosong,


Tertiup angin kecilpun mungkin akan roboh,
Karena tanpa ada tiang,
Tanpa Ada kata,
Hanya diam…
Tapi antara kiri dan kanan,
Kanan dan kiri tak ada yang ku ketahui dimana
tengahnya,
Aku terbelangak diam,
Akankah ini akan menjadi cerita hayat,
Ataukah novel yang akan berakhir dengan catatan
cerita yang Berbeda,
Oh Tuhan Beri aku gerak untuk melangkah !!!”

Besok telah menjadi hari ke-3 dari permasalahan mereka. Aku semakin sedih mengingat
kejadian itu. Bukankah dalam agama membatasi perselisihan hanya sampai hari ke-3.
Tentunya sebagai seorang sahabat aku tidak menginginkan mereka berdosa dan tentunya
juga Tuhan akan mencatatkan dosa kepadaku lewat malaikatnya apabila aku tak bisa
membuat mereka kembali pada hubungan semula. Malam ini akan menjadi malam yang
panjang bagiku. Akankah aku dapat membuai mimpi indah atau sebaliknya?

Sampai saat inipun aku seperti tak mempunyai sebuah semangat bahkan kekuatan untuk
bertindak. Tapi tak ada alasan bagiku untuk tidak kuliah hari itu. Ku awali hariku dengan
Bismillah dan semoga hari ini akan menjadi hari yang berkesan dan bisa menjanjikan
pembelajaran bagiku.

Aku melangkah dalam ribuan ketidakpastian. Tak ada minat yang ku lepas saat itu. Sebagai
seorang penyiar akupun seakan tidak berkompeten. Karena aku tak mempunyai bahasa lagi
untuk dapat menyatukan serpihan-serpihan yang telah tercecer dari makian mereka.
Sampai didepan kampus, sama sekali tak ku pasang senyum dibibirku. Meski puluhan sapa
menegurku. Aku hanya bisa menjawab dengan insyarat tangan saja. Entah sepertinya aku
kehilangan Kekuatan saat ini.Aku menaiki satu per satu tangga-tangga itu, ku biarkan kaki
ini menghantarkan badanku menuju cerita-cerita yang masih tanda Tanya besar. Beban berat
itu seakan ku bopong sendiri. Dulu Ridho, Amin, dan Arifin adalah nama-nama yang
memberi aku kekuatan dikampus itu. Tapi sekarang, semua berbeda aku seakan memainkan
sebuah peran yang tak aku inginkan. Konteks klimaks yang masuk kedalam cerita ini tak
bisa ku terima lewat akal jernih. Aku hanya bisa pasrah. Kekuatanku ada pada Allah dan
apabila niatku telah baik, Insya Allah ia akan Bantu aku lewat perantara tangan-tangan
malaikatnya.
Posisi kelas semakin dekat kutuju.Sebelum ku mengijakkan kaki didalam kelas benar-benar
aku tidak menyangka. Kira-kira 25 langkah sebelum menuju kelas aku telah mendengar
suara ribut yang mungkin itu berasal dari dalam kelasku. Hipotesisku semakin kuat ditambah
dengan ramainya teman-teman kelas lain yang berdesak-desakan memenuhi pelataran
kelasku. Sejenak aku hanya berdiri linglung. Tak ada yang ku pikirkan saat itu.Lalu apakah
dan siapakah yang terjadi dan yang berbuat?

“Ridho? Arifin? Oh Tuhan Apakah mereka?”

Aku berlari cepat mengejar 25 langkah kaki yang membentang didepan. Perasaanku tak
karuhan ada rasa takut, kesal, kecewa semua bercampur aduk menjadi satu. Saat aku sampai
di depan kelas

“Astaga !!!”

Hanya itu yang dapat terucap dari bibirku membahasakan apa yang aku lihat di depan mata.
Sungguh tidak percaya kulihat Ridho dan Arifin sudah berguling-gulingan dibawah lantai
mereka seakan telah diperbudak setan.Mereka seakan saling menganiaya lawan peran
mereka masing-masing. Teman-teman perempuanku hanya bisa melihat dengan ketakutan
dan juga ada yang menangis, Amin kebingungan berulang kali ia menghampiriku dan
bertanya

“kita harus bagaimana yan? Aku sudah memisahkan mereka tapi sama sekali aku tk kuasa.
Justru berulang kali tubuhku terbanting dari perkelahian mereka.Ayo yan lakukan sesuatu ! “
Rengek Amin dengan cemas.

Rengekan itu sama sekali membuatku semakin bergetar. Aku tak tahu harus berbuat apa,
didepan matakupun mereka saling memukul dan saling melukai. Apa yang bisa aku rerai.
Aku bagai sebuah katak dalam tempurung yang mungkin tidak bisa sama sekali untuk
berbuat apa-apa.

Peristiwa semakin genting melihat Widya terjatuh pingsan. Tangisan anak-anak perempuan
tak bisa lagi terbendung.Teman laki-laki dari kelas-kelas sebelahpun juga telah angkat
tangan dengan situasi itu. Suasana saat itu benar-benar tak ku mengerti siapa sutradara yang
sehebat itu membuat sknario cerita yang mendebarkan seperti ini. Aku semakin terdesak, ku
rerai mereka tapi apa daya emosi mereka seakan telah mencapai ubun-ubun kemarahan yang
jauh sangat memuncak, berulang kali tubuhku menjadi korban salah sasaran mereka.
Berulang kali juga tubuhku harus terbanting dilantai. Oh Tuhan, apa yang bisaku lakukan.
Aku takut mereka Kenapa-kenapa, tapi disisi lain aku juga takut kejadian itu diketahui
dosen. Dan tentunya kejadiannya akan rumit bukan cuma di Skorsing bahkan mungkin juga
bisa mengancam pendidikan mereka.

Anak cucu Adam hari ini berbaris,


Tapi bukan berbaris rapih sayang…
Terdesak mereka pada himpitan emosi,
Membahana luka melukai setiap sesempit,
Menjarah salah, tapi tak mau disalahkan,
Aku yang benar…
Tapi dia juga mengaku benar…
Sekali lagi iblis tertawa,
Karena terulang kisah adam-hawa yang salah,
(Biarkan Aku yang benar. Oleh : Vyan Aziz. Pibg, 3-6-2009. 23 :20)

“Kamu fikir aku takut?”

“Heh pengecut seperti kamu juga bisa apa?”

“Daripada kamu.. Paling-paling hanya bisa mengadu”

“Brengsek kau binatang !”

Pertengkaran itu sepertinya tak bisa lagi dilerai. Aku juga telah kehabisan akal.tak ada jalan
lain aku harus keluar. Aku akan meminta bantuan salah seorang dosen. Apapun
Resikonya,karena jika aku diamkan aku akan menjadi seorang yang akan tidak berguna
dalam persahabatan ini. Serentak aku keluar kelas dan Aminpun sempat bertanya,

“Mau kemana yan?”


Aku hanya bisa menjawab “ Kekantor pengajaran !”

“Jangannnnnnnnnnn yan !” teriak Amin,

Entah mengapa Amin malah menghalangiku untuk tidak pergi kekantor pengajaran. Tapi
mungkin saat itu waktu tak tepat untuk sekedar berhipotesis. Melihat dua saudaraku masih
saling melukai dan saling menyakiti aku tak kuasa melihatnya. Aku kembali meniatkan
untuk melaporkannya ke kantor pengajaran. Apa yang terjadi dan konsekuensi yang akan
mereka alami itu bagiku lebih baik dari pada ada diantara mereka harus ada korban. Aku
berlari sekencang mungkin keluar dari kelas, tanggapun seakan menyedot tenagaku. Tapi
aku tetap bertahan untuk berlari sekencangnya sebelum terlambat.dalam larianku yang selalu
ku ingat panggilan Amin yang kelihatan khawatir dengan tindakkan aku tersebut. Entah apa
yang membuat dia sekhawatir ini padahal aku hanya berniat yang terbaik.

Lewat langkah seribuku,sepertinya menjadi catatan panjang menuju Pengajaran.


sesampainya dilantai dasar. Aku berhenti sejenak Ku atur nafasku perlahan ku ambil dan
hembuskan, keringatpun tak henti-hentinya mengucur deras membasahi tubuhku. Pertanyaan
orang-orang yang menyapaku seakan membuat hati ini semakin jengkel. Tapi ku tahan
kejengkelan ini. Aku mulai kembali berjalan dengan sisa-sisa tenagaku.

Dibelakang sana ku dengar Amin memanggilku dari belakang sembari mengejarku.


Sepertinya ada satu hal yang akan disampaikan.

“Yan, tunggu sebentar !” Teriakan itu seakan menjadi lampu merah buat langkahku untuk
segera berhenti.

Sejenak aku berhenti ditengah desahan nafas yang tak karuan lagi. Amin mendekatiku
dengan raut lusuhnya.Apa yang kulihat dari kondisinya sepertinya sama persis dengan apa
yang ia lihat dari kondisiku yang sama-sama lelahnya.Amin mendekatiku dan dengan suara
yang terbata-bata

“Yan, jangan laporkan kejadian ini ke Pengajaran. Aku khawatir mereka bisa dikeluarkan
dari Kampus ini.” Jelas Amin,
“Aku tak bisa membiarkan mereka terus seperti itu. Telah lama kita berdiam diri. Tapi
sungguh tak ada hasilnya bukan?” Belaku,

“Aku tahu maksudmu, nah sekarang kalau seandainya mereka sampai di skorsing atau
sampai dikeluarkan. Imbasnya bukan Cuma di mereka tapi juga bisa di kita juga. Siapa tahu
justru malah mereka dendam gara-gara kita melaporkannya di Pengajaran sehingga kasus
mereka diproses. Kamu mau seperti itu?” Tambah Amin,

Aku hanya terdiam linglung. Tak tahu mana yang harus aku lakukan. Semua serba salah.
Aku bagai Air dalam daun Talas. Sama sekali tak bisa memilih satu pendirian yang
baik.Mendengar Nasehat itu seakan semua telah berakhir, cerita yang aku kira bisa menjadi
sebuah happy ending ternyata harus berakhir dengan Tragedi. Aku seakan seorang penyair
yang tak menemukan lagi inspirasi untuk syair-syairnya.
Diantara batu dan kerikil,
Aku terjulang lemas tak tahukan arah,
Tak ada lembar kosong lagi yang bisa ku jamak,
Hanya seikat kata yang tertanam tapi tak tumbuh
pada karya,
Aku ternista pada langkah yang lambat,
Seribu langkahpun tak mampu mengejar,
Hanya sesal beribu arah,
Yang mampu kehantam lewat cerita.
(Vyan Aziz, Palembang; 11-03-2009; 11:53)

Ku hentakkan kaki perlahan demi perlahan, meski tak kuasa lagi karena beban berat
menyulam didada. Aku berdiri sejenak dan kembali berjalan. Disebelah kananku Amin bak
sebuah tongkat, yang bisa buat aku tetap berdiri meski dengan kepincangan.

“ Kita kembali kekelas saja!” pinta Amin,

“tapi …. “

“Kita berharap saja didalam telah berubah!” Hibur Amin,


Aku hanya diam. Tapi diamku seakan mengiyakan nasehat Amin.Iapun merangkulku dan
kita bersama-sama kembali menuju kekelas. Dalam kepincangan lelah hanya satu harapan
yang bisa kami lihat yakni Mukjizat dari Masalah ini.

Langkah kamipun terus menghentak sampailah kami didepan kelas, ku buka pintu kelas yang
sempat tertutup. Memang agak aneh kelas yang tadinya ramai mengapa tiba-tiba sekarang
berubah sepi. Lantas siapa yang menutup pintu itu. Keadaan ini tak bisa dibenarkan logika.
Kamipun segera masuk.

sungguh tak ku sangka. Suasana hening, deretan tangis tak lagi ku dengar. Seribu mata
memandangku. Tapi tak ada satupun yang berani kubalas pandang. Ku berusaha mencari
sesuatu.Tapi pandangan tak menghasilkan. Ku lihat Widya yang tadi tergeletak , sekarang ia
telah terduduk lemas ditemani Cica, Fitri, Putri, Intan,dan Yuli.

“Dimana Ridho dan Amin?” teriakku kepada teman-teman

Tak ada yang menjawab satupun dari semu yang ada dikelas itu. Hatiku semakin tidak
karuan. Aku berubah garang dan malah memaki

“ Kalian tidak punya perasaan, dimana semangat cinta pertemanan kalian? Kalian tahu teman
kalian sedang berkelahi. Tapi mengapa kalian malah diam dan justru malah menonton
seolah-olah mereka tontonan. Lantas puas kalian semua? Kenapa diam? Jawab !.”
“Yan….!”

Sejenak ku merasakan ada 2 tangan yang menepuk pundakku serta suara yang memanggilku.
Dan yang pasti itu bukan tangan Amin karena aku tahu persis posisi Amin berada
didepanku.Ku putarkan kepala ini mencari jawaban di belakang. Dan kutemui disana senyum
yang merekah dari 2 sahabatku yang hilang bebrapa hari yang lalu.

“Selamat ! “ Ucap Arifin memelukku !


Tepuk tangan meriahpun tak lepas dari situasi saat itu. Mereka bersorak gembira.Aku
semakin tidak mengerti apa yang terjadi, Apa arti kata
selamat dan tepuk tangan itu ?
“ Ada yang ingin kami perlihatkan kekamu yan !” Kata Ridho sekaligus Membuka Isi
tasnya.

Ada Sepucuk surat yang diserahkan Ridho Untukku,

“Surat apa ini?” Tanyaku penasaran,

“Kau bukalah sendiri dan kau akan tahu apa isi surat itu!” Jelas Ridho sembari menyerahkan
surat itu ke aku.
ku lihat bagian-bagian dari amplopnya bertuliskan nama Universitasku.Surat itu sepertinya
resmi. Ku buka surat yang beramplopkan putih besar itu, dan ku baca seksama didalamnya
Ternyata isi surat tersebut menyatakan permohonan pengajuan Beasiswa belajar ke Malaysia
distujui oleh Dekan dan aku akan menjadi satu-satunya perwakilan Universitas ini untuk
mengikuti tes selanjutnya.

Senyumku merekah dan mereka memelukku erat-erat serentak kami melonjak gembira.

“Maafkan kami sobat, kami telah mendapatkan surat ini 4hari kemarin tepatnya sebelum kita
bersandiwara musuhan. Kami ber-3 telah merancang semua ini, dan tentunya salah seorang
Dosen telah menyetujui dan merestui cara kami menyampaikan kabar gembira ini.” Jelas
Arifin,

Ridhopun menyahut; “Kami tak bermaksud untuk membuatmu bersedih. Tai hanya inilah
yang bisa kami berikan kekamu dari prestasi yang telah kamu raih. Sekali lagi Selamat
soba!”

“ Asal kamu ketahui persaudaraan kita jauh lebih bermakna daripada sekedar emosi
semata.Semua yang terjadi beberapa hari terakhir ini hanyalah sandiwara sekali lagi
hanyalah sandiwara” Tambah Arifin,
Kamipun berempat menangis haru, tak ada ucap kata yang keluar dari bibirku kecuali hanya
ucapan terima kasih dengan lafal yang terbata-bata.

“Kalian benar-benar aktor yang sangat profesional. Sialan hampir saja aku depresi gara-gara
memikirkan kalian.” Gurauku,
“Ya sudah sekali lagi maaf yah !” ucap Ridho,

“Eits, jangan cuman tangis-tangisan dong. Yang lagi seneng harus traktir kami-kami disini
bener ga teman-teman !” Celoteh Amin,

“benar.. traktir.. traktir.. traktir …. … … “ teriak teman-teman seluruh kelas.

“Iya.. iya.. besok semua aku traktir deh karena hari ini aku lagi tidak banyak bawa uang!”
teriakku,

“Horeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee “ sorak gembira itu berkumandang,

Ridhopun berkata; “ Satu hal yang bisa menjadi pelajaran bagi kita, saat persahabatan diuji
kesetiaan kawan dan semanagat untuk memperbaikinya adalah kunci utama.”

“dan apa yang kami mainkan tadi tak lain halnya hanya sekedar melatih kamu kelak
bagaimana kamu akan hidup jauh tanpa kami. Karena itu yang akan kamu alami sesaat
lagi !” tambah Arifin.

“ Eh kalau sudah sampai ke Malaysia nanti jangan lupain kami-kami yang disini,terus jangan
lupa cariin kami cewek-cewek Malaysia yang cantik yah!” pinta Amin

“ Enak aja, Cewek Malaysia nga mungkin suka sama kamu. Malu tuh sama muka” Ejek
Arifin ke Amin
“Pokoknya kamu hari ini pulang dulu saja. Dipersiapin semuanya jangan lupa nanti
sebelumnya kamu disuruh bapak Dekan untuk menghadapnya ke Ruangannya. Disitulah
mungkin segudang informasi bisa kamu peroleh,dan ini ada bingkisan buat kamu dari teman-
teman sekelas. Ya hitung-hitung penghargaan atas prestasimu !” Jelas Ridho

Aku hanya tersenyum kecil, sekali lagi aku hanya mampu berucap,”terimakasih..
terimakasih.. terimakasih sobat..” dan kembali kita saling berpelukan dan tiba-tiba
………………..,
“VIaaaannnnnnnnnNNNNNNNNNNN bangggggguuuuunnnnnN !” Suara ibu mengelegar
diniangan telingaku.
“Oh Ternyata, aku sedang Bermimpi !

SYAHRA REZQIE AMALI JAJJI


XII IPA 5

Anda mungkin juga menyukai