Anda di halaman 1dari 11

PENGALAMANKU DI MASA SEKOLAH SMA

“Uhuk-uhuk.”

Asap metromini yang keruh akan campuran gas karbondioksida ini berlomba-
lomba masuk kedalam dua lubang hidungku. Ah, aku benci ini. Tapi gimanapun
juga, mau tidak mau aku harus mau. Memang tidak biasanya aku menaiki
angkutan umum. Aku selalu menunggu jemputan ojek pribadiku yang selalu
setia mengantarkanku kemana-mana termasuk ke kampus. Tapi, kini beliau
sedang sakit. Jadi, terpaksa aku harus menerima keadaan ini dengan menaiki
metromini yang ramai dan panas. Memang sih, tidak jauh beda dengan motor
tua yang selalu kunaiki bersama ojek pribadiku. Tapi, seenggaknya kan lebih
aman dan cepat sampai, tempat duduknya juga tidak berdempetan, huh.

Hasyuuu.

Suara bersin yang mengganggu orang-orang yang duduk disekitarku,


pandangan tertuju padaku. Memalukan, ini sungguh memalukan.

“Nih, tutup pakai masker”. Seorang pria bertubuh tinggi dan berkulit putih
dengan sweater biru muda nya memberiku sebuah masker yang katanya untuk
menutup area hidungku. Siapa dia? Berani sekali mengajak bicara sosok Abilla
Kayra yang anti sekali dengan yang namanya cowok? Perlu dipertanyakan.

Tanpa basa-basi menjawab dengan ucapan terimakasih atau semacamnya lah,


aku mengambil masker itu dan langsung kukenakan. Tanpa sadar, aku belum
memencet bel tanda berhenti padahal sudah sampai didepan sekolah.

“Eh pak, pak.. berhenti!!!”

Sopir metromini tersebut mengerem secara mendadak. Otomatis tubuh para


penumpang melesat kedepan dan berusaha untuk ditahan agar tidak jatuh. Aku
bergegas turun dan membayar. Sungguh, saat itu aku bisa dibilang
menyusahkan banyak orang, ribet.

Oh ya, kenalin. Namaku Sisca Abilla Kayra, panggil saja Sisca. Seorang siswa
dari jurusan IPA. Kalian mau tahu mengapa aku bisa masuk jurusan itu? Ya,
hidupku terlalu banyak berimajinasi, berkhayal, dan semacam itu. Tidak perlu
ditanya, aku juga bingung. Sudah? Itu saja ya perkenalannya, nanti juga kalian
tahu tentang aku, jangan kepo.

---

Aku cepat-cepat lari menuju kelas, dan syukurlah kelas belum dimulai. Sebuah
keberuntungan setelah hal-hal menyusahkan tadi, sungguh.
Di kelas aku hanya memiliki satu teman, Azzahra namanya. Ia bisa dibilang
manusia yang paling mengerti sosok Sisca yang sulit mendapatkan teman ini,
selalu menyendiri dan sudah terlalu asik dengan dunia khayalannya. Apalagi
mengenai persoalan cinta, cinta itu ribet. Hanya Azzahra memang yang
mengerti, serius.

“Kenapa sih ngos-ngosan gitu, sini deh” ajak Azzahra.”

“Gue tadi naik metromini”.

“Eh tumben nih neng Sisca yang juteknya minta ampun ini betah naik metromini
di antara kerumunan orang” ledek Azzahra.

“Apaan sih”.

“Eh, tuh lihat guru nya sudah dateng”.

Materi berlangsung, membosankan. Aku tidak memperhatikannya sedikitpun,


aku ingin pulang. Andai ada pintu ajaib seperti doraemon, aku sudah cabut dari
tadi.

---

“Sendirian?”

Saat aku sedang menunggu metromini yang lewat, tiba-tiba suara yang kukenal
ini mengahmpiriku. Perlahan kuputar kepalaku mencari asal suara. Oh, ia
dibelakangku. Tak disangka, ia adalah makhluk yang tadi pagi memberiku
masker. Kok bisa sih?

Aku mengacuhkan pertanyaannya. Lagi-lagi ia melontarkan kata.

“Bentar lagi hujan, nunggu apa?”

“Bukan urusan kamu!” aku memberanikan diri untuk berbicara, walau aslinya sih
males banget berurusan dengan laki-laki itu.

“Aku dijemput bentar lagi, mau bareng gak? Daripada kamu disini sendirian,
mau hujan lagi”.
Apaan sih, aku itu gak butuh bantuan kamu! Aku bisa sendiri

Ketusku dalam hati. Bisa-bisanya laki-laki itu sok akrab padahal kami belum
saling kenal. Yang ada aku harus semakin hati-hati.
Nanti kalau aku bareng sama dia terus aku diculik gimana?
“Udah tenang, kamu aman denganku. Dari pada disini sendirian kalau ada yang
macem-macem gimana?” tawarnya lagi.

Kok bisa sih, nih orang baca suara batin gue

“Gak makasih, gue bisa pulang sendiri”.

“Yakin?”

“Yakin”.

“Oke, kamu hati-hati”.

Bodoamat sih ya.

---

Tapi setelah dipikir-pikir memang menyeramkan juga tempat itu bila tersisa aku
sendiri. Siswa layaknya bocah. Bertubuh kecil mungil dan memiliki tinggi kurang
lebih 150 cm. Sangat tidak lucu kalau diculik dan dijadikan pengemis seperti di
televisi pada umumnya. Aku mengejarnya, lalu menyamai langkahnya dan
memulai bicara.

“Eemm aku aaku..” ih kok gugup sih.

“Apa? Katanya berani?”

“Berani kok, cuman keburu pulang hehe” kataku sambil nyengir tanpa rasa
bersalah.

“Keburu pulang karena takut di sana sendirian?” ledeknya sambil ketawa kecil.

“Enggak...” ih ngeselin banget sih nih orang.


“Udah ngaku aja kali”.

“Iya deh ngaku hmmm”.

“Hahaha.. dasar bocah gitu aja gengsi”.

Sungguh. Bila saat itu tidak hujan, dan bila saat itu ada metromini yang berlalu-
lalang, aku tidak akan ngikutin orang ini, huft ngeselin.

Mobil berwarna putih dengan suara klaksonnya datang menghampiri kami


berdua. Sang sopir membuka kaca, dan mempersilahkan laki-laki itu untuk
segera menaiki mobil.
“Yuk naik”. Kami sudah ada di dalam mobil. Hujan turun sangat deras, untung
saja orang nyebelin ini menawarkanku tumpangan. Kalau tidak, yaaahhh kalian
pasti tau nasibku bagaimana.

“Rumahmu di mana?” seketika laki-laki itu membuka obrolan yang sedari tadi
sunyi diiringi alunan angin dan hujan yang terdengar dari dalam mobil.

“Jalan Delima, No. 76”.

---

“Hah? Kita tetanggaan?”

“Eh yang bener aja lo”.

“Beneran rumahku di Jalan Delima No. 69”

“Ih bodo amat.”

Tetangga? Sejak kapan aku punya tetangga kayak dia? Ah bodo ngapain aku
jadi mikir berat.
“Udah berhenti di sini aja” ujarku sambil menunjukkan arah yang dituju.

“Udah?”

“Apanya”

“Gini aja?”

“Maksudnya?”

“Hati-hati ini ya bawa payungnya, di luar hujan”. Aku hanya mengangguk


mengiyakan ucapannya. Lalu, berjalan menuju rumah.

---

“Maaa.. mamaa...” teriakkan Sisca terdengar sampai dalam rumah. Ia


bersemangat sekali. Semangat dalam hidupnya hanyalah ketika melihat
spesialnya seorang mama, tiada duanya. Seringkali ia memanggil dan mengajak
bicara ibunya itu. Namun, ibunya tidak akan pernah bisa normal untuk
membalas tiap rangkaian kata yang dilontarkan Sisca. Sisca tahu itu, namun ia
tetap akan selalu terlihat bahagia di depan perempuan yang sudah
membesarkannya selama kurang lebih 17 tahun.
Mamanya mengidap penyakit kejiwaan sejak Sisca kelas 3 SMP. Penyebab di
balik ini semua adalah tragedi tabrak lari saat sang mama akan pergi untuk
membeli makanan. Ayahnya pergi meninggalkan Sisca seorang diri untuk
merawat mamanya. Abil menangis dikala pertama mengetahui bahwa mamanya
mengidap penyakit kejiwaan. Ia seperti seorang gadis remaja yang tidak
memiliki masa depan cerah seperti teman-teman lainnya yang didukung dan
diperhatikan oleh masing-masing orang tuanya. Ia terpuruk. Sejak saat itu, ia
berpikir bahwa kehidupan yang paling penting adalah mamanya, ia tidak peduli
masa depannya. Inilah penyebab Sisca sulit berkomunikasi dengan banyak
orang, ia membiarkan dirinya seperti orang aneh.
Ia melihat mamanya sedang tidur. Tidak berani mengganggu, ia langsung ke
dapur untuk menghampiri bi dea, orang yang sangat berjasa membantu
keluarga kecil Abil.

“Bi mama tidur dari tadi ya?”

“Eh bibi jadi kaget, iya neng”.

“Hehe, mama udah makan belum bi?”

“Udah tadi neng”.

“Tadi kambuh lagi gak bi?”

“Nggak kok”.

Fyuh. Agak puas denger mama gak kambuh kejiwaannya, syukurlah.

Ia melentangkan tubuhnya pada kasur. Teringat kejadian tadi sore. Ia jadi


berpikir dua kali mengapa laki-laki tadi bisa baik sekali padanya. Jadi PR deh
buat mikir.

“Sebenarnya dia siapa sih? Memberikan masker, meminjamkan payung? Ada


maksud tertentu? Bahkan kami belum sempat berkenalan, heran”.

Sebuah PR untuk Risca. Ia paling tidak suka bila ada seseorang yang diam-diam
ingin menjelajahi kehidupannya, apalagi seperti laki-laki misterius itu. Ia tidak
ingin ada satupun orang yang terjerumus mengikuti alur kehidupannya yang
jelas-jelas tidak terjamin menurutnya, termasuk Azahra sahabatnya sendiri.

“Tidak, ini semua tidak boleh terjadi. Aku tidak boleh membiarkannya
menjelajahi hidupku. Ya benar, aku harus lebih tegas” gumam Risca dalam hati.

---
Keesokan harinya Risca berangkat sekolah dengan ojek pribadinya, Bang Rudi.
Ia sudah akrab dengan Bang Rudi sejak kelas 3 SMP saat ayahnya pergi
meninggalkannya dan ibunya.

“Udah siap neng?”

“Udah, yuk berangkat”.

Suatu kebiasaan. Kebiasaan yang mungkin buruk menurut pandangan orang


lain. Ia tidak seberuntung anak remaja lainnya. Bila aku jadi Risca, mungkin aku
akan benci pada Tuhan karena telah mengubah takdir hidupnya 180 derajat
berbalik dengan kehidupan wajar pada umumnya. Risca hanya punya mamanya
sebagai tujuan hidupnya, tak ada lagi.

“Makasih ya pak”. Bang Rudi menurunkan Risca seperti biasanya, di warung nasi
dekat kampus.

“Bu, saya nasi uduk satu ya kayak biasanya”.

“Siap nona cantik, duduk dulu ya”.

Dilihat dari percakapannya, memang Risca sudah sangat akrab dengan penjual
nasi uduk tersebut. Yang ia kenali di kampus hanyalah penjual nasi uduk,
Azahra, dan para guru yang mengajar di kelasnya. Selebihnya? Jangan tanyakan
lagi. Tahu sendiri kan? Hehehe.

Saat Risca berjalan menuju kelasnya, ia menabrak tubuh laki-laki yang


menurutnya sudah tak asing lagi. Ya, laki-laki yang kemarin. Yang membuatnya
berpikir dari sabang sampai merauke. “Menyebalkan” gumamnya.
“Kalau jalan itu lihat-lihat dong” ucapnya memulai pembicaraan.

“Apaan sih”.

“Jangan jutek terus, nanti nyesel”.

“Ih”.

“Riskaa kan?”

Kok bisa sih tahu namaku?

“Sok tahu” sahutku.

“Kalau iya?”
“Kalau enggak?”

“Kalau iya?”

“Ih terserah deh”.

“Kalau iya, besok Minggu kamu ikut aku”.

“Gak”.

“Kesepakatan”.

“Tanpa persetujuanku?”

“Kamu harus setuju”.

“Memaksa?”

“Bukan paksaan”.

“Lalu?”

“Pelanggaran yang harus dipatuhi jika kamu salah”.

“Huh”.

“Jangan menawar”.

“Iya iya”.

Menyebalkan.

Mau tidak mau, sosok Risca harus mengikuti permintaannya. Laki-laki itu
semakin lama semakin ingin menjelajahi hidupnya. Rasa ingin tahu semakin
lama semakin tumbuh dalam jiwa laki-laki itu. Dan sampai saat ini, Risca tidak
tahu namanya. Lucu kan?

Di dalam kelas, bayang-bayang Risca penuh tentang dia. Dia yang perlahan
memasuki hidupnya. Mengetahui namanya tanpa disangka-sangka. Bertemu
tanpa direncanakan. Heran, kalian jangan bingung deh biar Risca saja.

Risca berjalan menuju kelasnya sambil berpikir 360 derajat. “Maunya apa coba?
Ngeselin banget. Siapa coba berani-beraninya kasih tahu nama gue?” cerocos
Risca di sepanjang koridor menuju kelasnya. “Azahra?” tiba-tiba muncul satu
nama dalam benaknya, sahabatnya sendiri. “Tapi mana mungkin sih Azahra?”
Sampai di kelas Azahra menyapa Risca dengan sapaa riangnya “Rriscaa”. “Hm
tumben banget kamu kangen sama aku?” tanyanya balik sambil cekikikan.
“Hah? Ogah banget dih”.

“Ya udah sih ngaku aja, dasar”.

“Eh ngomong-ngomong tadi ada yang tanyain nama kamu Siss”.

“HAH SIAPA!? EH KAMU JANGAN NYEBELIN DEH RA GUE TUH GAK SUKA
DIKENAL BANYAK ORANG!!!” teriak Risca sambil mengacak-acak rambut Azahra
membuat seluruh maha siswa di kelas itu menoleh pada mereka berdua. “Eh
bisa tenang gak lo” sahut salah satu siswa lainnya. “Iya maaf deh” jawab Risca
sambil nyengir. Walaupun gurunya belum datang, namun kegaduhan mereka
berdua memang mengganggu publik, seperti Tom&Jerry.

“Tuh kan elo sih Ris”.

“Siapa yang tanya nama gue nyebelin!!!” bisik Risca sambil mencubit perut
Azahra.

“Aduh, sakit tau Ris”.

“Bodo amat, yang penting kamu kasih tahu dulu ke aku siapa orang itu!!!”

“Hm Rama namanya, dari jurusan IPA”.

“Rama siapa sih?”

“Yah kamu gak bakal tahu deh, kamu kan asing banget sama orang di kampus
ini kayak alien aja” ledek Azahra.

Rama? Rama siapa lagi sih. Mendingan aku mati aja deh dari pada dikenal
banyak manusia, nyebelin.

Kalian jangan bingung. Seperti itulah sosok Risca Kayra yang akrab dipanggil
Risca itu. Cuek dengan siapapun, dan hanya mengenal satu teman
dikampusnya. Bahkan, untuk bercintaan pun menurutnya adalah hal yang
sangat membuang waktu. Ia menemukan kebahagiaan hanya dirumah, sang
mama. Bidadari yang mungkin menurut Risca tidak pernah sedikitpun menyakiti
hatinya.

Saat ingin pulang, lagi-lagi Risca bertemu dengan laki-laki tadi pagi yang
menurutnya sangat menyebalkan. Kalian bisa banyangin kan gimana wajah
jutek si Risca?

“Hm kamu lagi kamu lagi, bosen aku”.

Laki-laki itu menatapnya dengan ledekan. Lalu, ia mulai membuka pembicaraan.

“Aku tahu nama kamu dari Azahra, kamu kalah. Besok ikut aku ya”.

Oh jadi kelakuan Azahra!!! Huh ngeselin banget.

“Iya iya jam berapa? Di mana? Aku harus tunggu di mana? Mau apa? Awas
kamu macem-macem”.

“Aku jemput, masa aku yang ngajak ngebiarin kamu berangkat sendiri sih”.

“Terserah, udah ya aku cabut dulu”. Laki-laki itu hanya geleng-geleng melihat
tingkah laku Risca. Ngeselin banget kan si Risca? Masa ngobrol belum dapet 1
menit udah ditinggal duluan? Udah ya Risca emang gitu orangnya hehehe.

Sampai di rumah, seperti biasa ia memanggil mamanya seperti anak kecil. Bila
didepan sang mama, Risca ingin menjadi putri kecil yang selalu bahagia
mendapat kasih sayang. Ya, walaupun mamanya tidak bisa komunikasi
dengannya secara normal, tapi Risca sangat bersyukur Tuhan masih
memberikan ia hidup bersama dengan mamanya. Ia tidak pernah menganggap
Tuhan tidak adil. Karena menurutnya rencana Tuhan akan selalu terbaik.

Keeokan harinya, terdengar suara klakson mobil dari luar. Risca keluar
memastikan siapa yang datang. Ternyata, yang datang adalah laki-laki yang
kemarin mengajaknya keluar.

“Eh elo, masuk”. Abil mempersilahkan laki-laki itu masuk ke rumahnya untuk
menunggunya ganti pakaian. Laki-laki itu duduk di sofa, tepat di sebelah mama
Abil. “Tante” perlahan, laki-laki itu berbisik memanggil dan memegang tangan
mama Abil. “Te ini Raka. Tante ingat nggak? Te aku Raka teman kecil Abil yang
dulu selalu tante suruh buat jagain Abil, tante ingat kan? Te maaf aku baru
jenguk tante sekarang, aku baru kembali dari London, dan rasanya syok sekali
melihat tante berubah seperti ini. Raka seperti orang yang gagal menjaga putri
tante.Sekarang Abil sangat berubah te. Ia tidak mengenali dunia sosial. Dia
tumbuh menjadi wanita cantik yang kemarin Raka tidak mengenali kalau Raka
tidak tanya ke temannya,...” ingin melanjutkan ucapan, tiba-tiba Abil udah siap
untuk berangkat. “Yuk”.

Di dalam mobil mereka seperti pohon dan daun, bersama namun saling diam.
Hanya terdengar semilir angin dari kaca mobil sampai akhirnya Abil
memutuskan untuk memulai pembicaraan. “Mau ke mana sih?”

“Beli ketoprak Bang Ujan”.

Bang Ujan?

“Nih udah sampai, turun yuk Bil”.

Mereka berdua turun menuju ketoprak Bang Ujan yang dimaksud tadi. “Bang
dua ya” ucap Raka memesan. Kini keduanya duduk menunggu pesanan. Sambil
menunggu, Raka memulai obrolan.

“Bil”.

“Hmmm”.

“Ingat aku?”

Mendengar Raka berkata seperti itu, ia semakin kebingungan. Siapa dia? Apa
maksudnya bicara begini?Padahal kan kita baru saling kenal. Bahkan, aku pun
tidak tahu namanya. Ada apa ini Tuhan?

“Ada-ada aja kita kan baru kenal” ujar Abil mencairkan suasana.

“Bil aku Raka”.

“Oh jadi kamu Raka yang tanya nama aku ke Tiara”.

“Bil aku Raka, teman kecilmu”.

“Jangan bercanda deh, kita kan baru kenal” ucapnya sambil nyengir.

“Bil kita dulu sering ke sini waktu SD kelas 5”.

Perlahan, Abil mengingat segalanya. “Raka? Kamu?”

“Aku Raka Bil”.

Tanpa Abil sangka masa lalu yang sangat ia rindukan kini kembali. Tepat
dihadapannya. Bodonya, Abil selama ini bersikap acuh tak acuh. Air matanya
jatuh. Abil tak bisa mendeskripsikan dengan kata-kata. Ia sangat merindukan
Raka, teman kecilnya. Sosok yang paling mengerti gimana pun situasi Abil.
Sosok yang selalu menemani Abil kemanapun ia pergi. Sosok yang paling
mengalah dan tidak ingin ia sedih.
Abil memeluk Raka, seakan-akan tidak percaya dengan semua ini. Raka pun
membalas pelukan Abil. “Raka.. maafkan aku yang asing untuk mengenalimu,
maaf”.

“Tidak apa-apa, yang penting kamu ingat”.

“Kamu kemana aja?”

“Aku melanjutkan pendidikan di London, ikut ayahku karena dines disana, aku
merindukanmu Bil”.

“Dan aku melebihi ucapanmu ka”.

Kini mereka seperti bulan dan bintang yang merindukan sang malam. Mereka
yang lama berpisah kini saling melepas rindu. Jangan bertanya, bagaimana
bahagianya mereka.

“Bil aku sedih melihat keadaan keluargamu”.

“Hancur seperti yang kamu lihat”.

“Kamu yang sabar ya bil rencana Tuhan lebih indah”.

“Aku percaya itu”.

“Udah yuk dimakan”.

Mereka berdua mengulang masa-masa beberapa tahun yang lalu dimana sering
makan ketoprak disana, Abil sangat bahagia begitupun juga dengan Raka.
Masalalu yang paling berhaga dalam hidupnya, kini kembali. Walaupun tidak
mengembalikan keutuhan keluarganya, yang penting Abil sudah tidak sendiri
menghadapi ini.

Anda mungkin juga menyukai