“Uhuk-uhuk.”
Asap metromini yang keruh akan campuran gas karbondioksida ini berlomba-
lomba masuk kedalam dua lubang hidungku. Ah, aku benci ini. Tapi gimanapun
juga, mau tidak mau aku harus mau. Memang tidak biasanya aku menaiki
angkutan umum. Aku selalu menunggu jemputan ojek pribadiku yang selalu
setia mengantarkanku kemana-mana termasuk ke kampus. Tapi, kini beliau
sedang sakit. Jadi, terpaksa aku harus menerima keadaan ini dengan menaiki
metromini yang ramai dan panas. Memang sih, tidak jauh beda dengan motor
tua yang selalu kunaiki bersama ojek pribadiku. Tapi, seenggaknya kan lebih
aman dan cepat sampai, tempat duduknya juga tidak berdempetan, huh.
Hasyuuu.
“Nih, tutup pakai masker”. Seorang pria bertubuh tinggi dan berkulit putih
dengan sweater biru muda nya memberiku sebuah masker yang katanya untuk
menutup area hidungku. Siapa dia? Berani sekali mengajak bicara sosok Abilla
Kayra yang anti sekali dengan yang namanya cowok? Perlu dipertanyakan.
Oh ya, kenalin. Namaku Sisca Abilla Kayra, panggil saja Sisca. Seorang siswa
dari jurusan IPA. Kalian mau tahu mengapa aku bisa masuk jurusan itu? Ya,
hidupku terlalu banyak berimajinasi, berkhayal, dan semacam itu. Tidak perlu
ditanya, aku juga bingung. Sudah? Itu saja ya perkenalannya, nanti juga kalian
tahu tentang aku, jangan kepo.
---
Aku cepat-cepat lari menuju kelas, dan syukurlah kelas belum dimulai. Sebuah
keberuntungan setelah hal-hal menyusahkan tadi, sungguh.
Di kelas aku hanya memiliki satu teman, Azzahra namanya. Ia bisa dibilang
manusia yang paling mengerti sosok Sisca yang sulit mendapatkan teman ini,
selalu menyendiri dan sudah terlalu asik dengan dunia khayalannya. Apalagi
mengenai persoalan cinta, cinta itu ribet. Hanya Azzahra memang yang
mengerti, serius.
“Eh tumben nih neng Sisca yang juteknya minta ampun ini betah naik metromini
di antara kerumunan orang” ledek Azzahra.
“Apaan sih”.
---
“Sendirian?”
Saat aku sedang menunggu metromini yang lewat, tiba-tiba suara yang kukenal
ini mengahmpiriku. Perlahan kuputar kepalaku mencari asal suara. Oh, ia
dibelakangku. Tak disangka, ia adalah makhluk yang tadi pagi memberiku
masker. Kok bisa sih?
“Bukan urusan kamu!” aku memberanikan diri untuk berbicara, walau aslinya sih
males banget berurusan dengan laki-laki itu.
“Aku dijemput bentar lagi, mau bareng gak? Daripada kamu disini sendirian,
mau hujan lagi”.
Apaan sih, aku itu gak butuh bantuan kamu! Aku bisa sendiri
Ketusku dalam hati. Bisa-bisanya laki-laki itu sok akrab padahal kami belum
saling kenal. Yang ada aku harus semakin hati-hati.
Nanti kalau aku bareng sama dia terus aku diculik gimana?
“Udah tenang, kamu aman denganku. Dari pada disini sendirian kalau ada yang
macem-macem gimana?” tawarnya lagi.
“Yakin?”
“Yakin”.
---
Tapi setelah dipikir-pikir memang menyeramkan juga tempat itu bila tersisa aku
sendiri. Siswa layaknya bocah. Bertubuh kecil mungil dan memiliki tinggi kurang
lebih 150 cm. Sangat tidak lucu kalau diculik dan dijadikan pengemis seperti di
televisi pada umumnya. Aku mengejarnya, lalu menyamai langkahnya dan
memulai bicara.
“Berani kok, cuman keburu pulang hehe” kataku sambil nyengir tanpa rasa
bersalah.
“Keburu pulang karena takut di sana sendirian?” ledeknya sambil ketawa kecil.
Sungguh. Bila saat itu tidak hujan, dan bila saat itu ada metromini yang berlalu-
lalang, aku tidak akan ngikutin orang ini, huft ngeselin.
“Rumahmu di mana?” seketika laki-laki itu membuka obrolan yang sedari tadi
sunyi diiringi alunan angin dan hujan yang terdengar dari dalam mobil.
---
Tetangga? Sejak kapan aku punya tetangga kayak dia? Ah bodo ngapain aku
jadi mikir berat.
“Udah berhenti di sini aja” ujarku sambil menunjukkan arah yang dituju.
“Udah?”
“Apanya”
“Gini aja?”
“Maksudnya?”
---
“Nggak kok”.
Sebuah PR untuk Risca. Ia paling tidak suka bila ada seseorang yang diam-diam
ingin menjelajahi kehidupannya, apalagi seperti laki-laki misterius itu. Ia tidak
ingin ada satupun orang yang terjerumus mengikuti alur kehidupannya yang
jelas-jelas tidak terjamin menurutnya, termasuk Azahra sahabatnya sendiri.
“Tidak, ini semua tidak boleh terjadi. Aku tidak boleh membiarkannya
menjelajahi hidupku. Ya benar, aku harus lebih tegas” gumam Risca dalam hati.
---
Keesokan harinya Risca berangkat sekolah dengan ojek pribadinya, Bang Rudi.
Ia sudah akrab dengan Bang Rudi sejak kelas 3 SMP saat ayahnya pergi
meninggalkannya dan ibunya.
“Makasih ya pak”. Bang Rudi menurunkan Risca seperti biasanya, di warung nasi
dekat kampus.
Dilihat dari percakapannya, memang Risca sudah sangat akrab dengan penjual
nasi uduk tersebut. Yang ia kenali di kampus hanyalah penjual nasi uduk,
Azahra, dan para guru yang mengajar di kelasnya. Selebihnya? Jangan tanyakan
lagi. Tahu sendiri kan? Hehehe.
“Apaan sih”.
“Ih”.
“Riskaa kan?”
“Kalau iya?”
“Kalau enggak?”
“Kalau iya?”
“Gak”.
“Kesepakatan”.
“Tanpa persetujuanku?”
“Memaksa?”
“Bukan paksaan”.
“Lalu?”
“Huh”.
“Jangan menawar”.
“Iya iya”.
Menyebalkan.
Mau tidak mau, sosok Risca harus mengikuti permintaannya. Laki-laki itu
semakin lama semakin ingin menjelajahi hidupnya. Rasa ingin tahu semakin
lama semakin tumbuh dalam jiwa laki-laki itu. Dan sampai saat ini, Risca tidak
tahu namanya. Lucu kan?
Di dalam kelas, bayang-bayang Risca penuh tentang dia. Dia yang perlahan
memasuki hidupnya. Mengetahui namanya tanpa disangka-sangka. Bertemu
tanpa direncanakan. Heran, kalian jangan bingung deh biar Risca saja.
Risca berjalan menuju kelasnya sambil berpikir 360 derajat. “Maunya apa coba?
Ngeselin banget. Siapa coba berani-beraninya kasih tahu nama gue?” cerocos
Risca di sepanjang koridor menuju kelasnya. “Azahra?” tiba-tiba muncul satu
nama dalam benaknya, sahabatnya sendiri. “Tapi mana mungkin sih Azahra?”
Sampai di kelas Azahra menyapa Risca dengan sapaa riangnya “Rriscaa”. “Hm
tumben banget kamu kangen sama aku?” tanyanya balik sambil cekikikan.
“Hah? Ogah banget dih”.
“HAH SIAPA!? EH KAMU JANGAN NYEBELIN DEH RA GUE TUH GAK SUKA
DIKENAL BANYAK ORANG!!!” teriak Risca sambil mengacak-acak rambut Azahra
membuat seluruh maha siswa di kelas itu menoleh pada mereka berdua. “Eh
bisa tenang gak lo” sahut salah satu siswa lainnya. “Iya maaf deh” jawab Risca
sambil nyengir. Walaupun gurunya belum datang, namun kegaduhan mereka
berdua memang mengganggu publik, seperti Tom&Jerry.
“Siapa yang tanya nama gue nyebelin!!!” bisik Risca sambil mencubit perut
Azahra.
“Bodo amat, yang penting kamu kasih tahu dulu ke aku siapa orang itu!!!”
“Yah kamu gak bakal tahu deh, kamu kan asing banget sama orang di kampus
ini kayak alien aja” ledek Azahra.
Rama? Rama siapa lagi sih. Mendingan aku mati aja deh dari pada dikenal
banyak manusia, nyebelin.
Kalian jangan bingung. Seperti itulah sosok Risca Kayra yang akrab dipanggil
Risca itu. Cuek dengan siapapun, dan hanya mengenal satu teman
dikampusnya. Bahkan, untuk bercintaan pun menurutnya adalah hal yang
sangat membuang waktu. Ia menemukan kebahagiaan hanya dirumah, sang
mama. Bidadari yang mungkin menurut Risca tidak pernah sedikitpun menyakiti
hatinya.
Saat ingin pulang, lagi-lagi Risca bertemu dengan laki-laki tadi pagi yang
menurutnya sangat menyebalkan. Kalian bisa banyangin kan gimana wajah
jutek si Risca?
“Aku tahu nama kamu dari Azahra, kamu kalah. Besok ikut aku ya”.
“Iya iya jam berapa? Di mana? Aku harus tunggu di mana? Mau apa? Awas
kamu macem-macem”.
“Aku jemput, masa aku yang ngajak ngebiarin kamu berangkat sendiri sih”.
“Terserah, udah ya aku cabut dulu”. Laki-laki itu hanya geleng-geleng melihat
tingkah laku Risca. Ngeselin banget kan si Risca? Masa ngobrol belum dapet 1
menit udah ditinggal duluan? Udah ya Risca emang gitu orangnya hehehe.
Sampai di rumah, seperti biasa ia memanggil mamanya seperti anak kecil. Bila
didepan sang mama, Risca ingin menjadi putri kecil yang selalu bahagia
mendapat kasih sayang. Ya, walaupun mamanya tidak bisa komunikasi
dengannya secara normal, tapi Risca sangat bersyukur Tuhan masih
memberikan ia hidup bersama dengan mamanya. Ia tidak pernah menganggap
Tuhan tidak adil. Karena menurutnya rencana Tuhan akan selalu terbaik.
Keeokan harinya, terdengar suara klakson mobil dari luar. Risca keluar
memastikan siapa yang datang. Ternyata, yang datang adalah laki-laki yang
kemarin mengajaknya keluar.
“Eh elo, masuk”. Abil mempersilahkan laki-laki itu masuk ke rumahnya untuk
menunggunya ganti pakaian. Laki-laki itu duduk di sofa, tepat di sebelah mama
Abil. “Tante” perlahan, laki-laki itu berbisik memanggil dan memegang tangan
mama Abil. “Te ini Raka. Tante ingat nggak? Te aku Raka teman kecil Abil yang
dulu selalu tante suruh buat jagain Abil, tante ingat kan? Te maaf aku baru
jenguk tante sekarang, aku baru kembali dari London, dan rasanya syok sekali
melihat tante berubah seperti ini. Raka seperti orang yang gagal menjaga putri
tante.Sekarang Abil sangat berubah te. Ia tidak mengenali dunia sosial. Dia
tumbuh menjadi wanita cantik yang kemarin Raka tidak mengenali kalau Raka
tidak tanya ke temannya,...” ingin melanjutkan ucapan, tiba-tiba Abil udah siap
untuk berangkat. “Yuk”.
Di dalam mobil mereka seperti pohon dan daun, bersama namun saling diam.
Hanya terdengar semilir angin dari kaca mobil sampai akhirnya Abil
memutuskan untuk memulai pembicaraan. “Mau ke mana sih?”
Bang Ujan?
Mereka berdua turun menuju ketoprak Bang Ujan yang dimaksud tadi. “Bang
dua ya” ucap Raka memesan. Kini keduanya duduk menunggu pesanan. Sambil
menunggu, Raka memulai obrolan.
“Bil”.
“Hmmm”.
“Ingat aku?”
Mendengar Raka berkata seperti itu, ia semakin kebingungan. Siapa dia? Apa
maksudnya bicara begini?Padahal kan kita baru saling kenal. Bahkan, aku pun
tidak tahu namanya. Ada apa ini Tuhan?
“Ada-ada aja kita kan baru kenal” ujar Abil mencairkan suasana.
“Jangan bercanda deh, kita kan baru kenal” ucapnya sambil nyengir.
Tanpa Abil sangka masa lalu yang sangat ia rindukan kini kembali. Tepat
dihadapannya. Bodonya, Abil selama ini bersikap acuh tak acuh. Air matanya
jatuh. Abil tak bisa mendeskripsikan dengan kata-kata. Ia sangat merindukan
Raka, teman kecilnya. Sosok yang paling mengerti gimana pun situasi Abil.
Sosok yang selalu menemani Abil kemanapun ia pergi. Sosok yang paling
mengalah dan tidak ingin ia sedih.
Abil memeluk Raka, seakan-akan tidak percaya dengan semua ini. Raka pun
membalas pelukan Abil. “Raka.. maafkan aku yang asing untuk mengenalimu,
maaf”.
“Aku melanjutkan pendidikan di London, ikut ayahku karena dines disana, aku
merindukanmu Bil”.
Kini mereka seperti bulan dan bintang yang merindukan sang malam. Mereka
yang lama berpisah kini saling melepas rindu. Jangan bertanya, bagaimana
bahagianya mereka.
Mereka berdua mengulang masa-masa beberapa tahun yang lalu dimana sering
makan ketoprak disana, Abil sangat bahagia begitupun juga dengan Raka.
Masalalu yang paling berhaga dalam hidupnya, kini kembali. Walaupun tidak
mengembalikan keutuhan keluarganya, yang penting Abil sudah tidak sendiri
menghadapi ini.