kondisi baik-baik saja. Dua orang dewasa yang fokus mencari jalan keluar untuk semua ini. Ya,
“Mama, apa kita akan baik-baik saja?” tanyaku gusar. Ketika wanita yang sangat aku
percaya itu mengatakan bahwa kami akan baik-baik saja, inilah pertama kalinya dia berbohong.
Aku tahu, anak berusia 6 tahum ini tahu kalau kami dalam bahaya.
“Mama, bukankah Papa pernah bilang kalau tidak akan ada orang yang mau menculik
Terre? Terre itu suka menghabiskan banyak es krim, pasti mereka akan rugi kalau menculik
Air mata ketakutan itu mulai mengalir. Dalam tengah malam yang menurut kami
bukanlah malam yang terlalu gelap bisa terjadi hal gila ini. Ayolah, orang gila mana yang ingin
menculik seorang putri tepat dihadapan orang tuanya? Mereka tidak terlalu bodoh bukan untuk
mencari masalah dengan keluarga kami. Tapi hal aneh yang saat ini aku rasakan adalah
kepasrahan yang hinggap dalam dua sosok pelindungku. Aku tahu mereka sangat berusaha
“Terre, apa Terre akan berjanji satu hal pada Papa?” Pria 30 tahun itu mengatakannya
dengan nada lirih. Dia tetap fokus pada arah depan dan sesekali beralih pada sepion disebelah
kanannya. “Apapun yang terjadi, Terre tidak boleh membenci dan menyakiti diri sendiri.”
“Terre pintar main petak umpet kan?” kali ini Mama yang bertanya. “Nanti kita akan
sedikit bermain petak umpet. Terre harus segera bersembunyi. Jangan sampai tertangkap oleh
orang-orang yang mengejar kita di belakang ya? Terre nanti akan bertemu dengan paman yang
mempunyai liontin milik Terre, paman itu yang akan membawa Terre dan memenangkan
Aku mengiyakan semua yang diucapkan Mama. Hingga detik saat Papa menyuruh kami
berpegang erat. Aku rasakan badanku atau bahkan badan mobil ini seakan jatuh. Dan….
***
“Aku harus sembunyi, aku harus sembunyi. Mama menyuruhku untuk tidak kalah
penyelamatku 10 tahun lalu. “Paman, apa aku menang?” tanyaku sambil terisak. “Mereka…
Mama… Papa….”
“Tenanglah, Sayang. Kalau kamu ingin menang, pastikan rasa takutmu ini segera hilang.
Paman memang doktermu, tapi saat ini paman juga Ayahmu bukan? Jangan khawatir, semua
sudah berakhir.” Rengkuhan itu memang tak sehangat dengan apa yang aku rasakan 10 tahun
lalu, tapi saat ini aku sudah merasa cukup. Sudah sangat cukup.
“Terre,” panggilan itu membuat kami menoleh. “Eh, apa aku mengganggu? Sakitmu
kambuh lagi?” tanya gadis sepantaranku yang seenak jidatnya keluar-masuk rumah ini.
“Yak! Kebiasaanmu itu gak bisa dihilangkan? Ketuk pintu dulu sebelum masuk, Renata
Patrisia.”
“Terresia Ayudia, kan aku sudah pernah bilang kalau benda mati itu bisa merasakan sakit
“Paman, sepertinya gadis ini tertular penyakit gilaku. Paman bisakan mengecek posisi
otaknya apa masih lurus? Lihat, seragamnya saja keluar sebelah, aku takut kalau otaknya juga”
“HEH?!!”
Aku otomatis berlindung dibalik tubuh pria paruh baya itu. Renata dan amukan bukanlah
kombinasi suku kata yang bagus. Bahkan aku kadang heran kenapa kami bisa menjadi sahabat
seperti sekarang ini. Yah, alasan apapun itu aku sudah cukup bahagia bisa memiliki sahabat
sepertinya.
“Sudah, sudah. Kalian setiap hari selalu ribut. Terre, cepat bersiap untuk ke sekolah.
Aku mendengar teriakan Renata sesaat setelah pintu kamar mandi terkunci. God, bahkan
suaranya bisa menembus kamar mandi pribadiku yang notabenenya kedap suara. Dasar gadis
barbar.
Dua puluh menit ritual bersiapku di kamar mandi selesai dengan penampilan rapi khas
anak sekolahan. Tentu saja, aku masih disambut dengan Renata yang duduk bersedekap dan
Sepasang mata gadis itu menangkapku, bisa aku rasakan aura mengintimidasi di sana.
Selang beberapa detik, bibir yang tadi aku lihat maju beberapa centimeter itu mulai terbuka.
“Stop!” kataku sepersekian detik sebelum perkataan tajam Renata meluncur. “Kamu bisa
marah marah nanti karena jika sekarang aku yakin kita akan terlambat oke?" Tawar ku dengan
harapan Renata akan luluh. Dengan raut setengah hati Renata menuruti permintaan ku. "Tapi
“Iya, ini udah rapi,” ucapnya setelah merapikan seragam compang-camping itu. “Oh,
“Tapi, Re….”
Ya, larangan itu bukanlah tanpa alasan. Sesekali aku memang tanpa sengaja berpapasan
dengan mereka, dan entah kenapa feeling buruk selalu tiba-tiba datang, terlebih dengan Jova.
Setiap kali kami berpapasan perasaaan di malam buruk sepuluh tahun lalu selalu kembali. Aku
tidak tahu apakah itu anya sekedar negative thinking atau bagaimana, yang jelas akan lebih baik
Aku sebenarnya adalah sosok yang selalu membebaskan Renata untuk berteman dengan
orang-orang lain, tapi untuk Jova dan teman-temannya aku harus memberikan sedikit
pengecualian. Semua track record yang selama ini aku dengar dari para guru memberiku sedikit
rasa cemas kalau-kalau Renata berteman dengan mereka. I know, pertemanan bukan seratus
persen hal penentu dalam karakter seseorang, tapi faktor itu cukup menyumbang lumayan besar
Something weird in here. Tidak ada percakapan diantara kami sejak ucapan mutlakku itu
keluar. Renata yang biasanya cerewet kini berubah menjadi irit omongan. Aneh. Sangat aneh
malah. Sampai jam pelajaran ke lima pun dia hanya mengatakan, “Re, aku nanti gak bisa pulang
bareng.”
Sayangnya, jam istirahat pertama pun aku tidak bisa menemani Renata di kantin. Ada
buku yang perlu aku kembalikan. Aku sempat mengatakan bahwa akan menyusul karena kukira
ini akan berakhir cepat, tapi sepertinya nasib tidak berpihak padaku. Tidak seperti biasanya, hari
“Hey, mana uang kalian? Kami butuh buat nongkrong pas pulang sekolah nanti.” Suara
itu terdengar tanpa sengaja. Dan setelah aku melihat siapa yang mengucapkannya, aku semakin
yakin bahwa hari ini aku sedang sial. Itu Jova dan semua jajarannya, para trouble makers. Tentu
mereka tidak sendiri, di sana aku juga melihat siswa lainnya. Aku tak kenal pasti siapa mereka,
yang jelas aku tak ingin ikut campur. Dan ya, kakiku berputar balik menuju kelas. Bukan
maksudku tidak ingin menolong, hanya saja aku terlalu malas berurusan dengan para brandal
berseragam itu.
“Re, tadi kenapa nggak nyamperin ke kantin? Udah ditungguin juga?” kesal Renata saat
“Sorry, Ta. Tadi tuh aku mau nyusulin kamu ke kantin terus aku liat Jova lagi malak dua
“Terus terus?”
“Ya aku puter balik lah males cari masalah sama mereka,” ujarku.
“Gak kenal.”
“Serah”
******
Sepulang sekolah
"Ta mau kemana sih? Buru buru banget?" Tanya Terre ketika melihat renata yang akan
meninggalkan kelas.
"Mau ..em... Jalan, anak anak re biasa mereka ngajak ke cafe dulu mau bahas kegiatan
"Eh re,aku duluan ya udah ditunggu tuh." Hindar Renata ketika terre akan kembali
bertanya.
"padahal aku mau ajak kamu ke toko buku ta" gumam terre sambil memandang
punggung renata yang semakin menjauh. Sesampainya di toko buku terre langsung mencari buku
" Kenapa pula harus hujan?" Gerutu terre ketika melihat hujan yang turun dengan deras
nya hingga terre harus berjalan lumayan jauh untuk mencari kendaraan pulang. Lama menunggu
terre pun mulai khawatir karena hari sudah mulai malam. Hingga memutuskan untuk berjalan
Tak lama berjalan " please stop! Jangan jangan ganggu?" Ujar gadis itu sambil menangis.
Terre yang merasa tak asing dengan seragam yang di kenakan gadis itu pun mendekat "hey kamu
"tolong..tolong jangan sakiti aku lagi " ujar nya sambil berusaha untuk menghindar.
Terre yang melihat itu berusaha untuk menenangkan. Hingga akhirnya gadis itu tenang dan dapat
di ajak untuk berbicara.Setelah mengantar gadis itu pulang sambil bercerita terre mendapatkan
satu informasi yang membuat dia makin pusing bahwa gadis itu adalah Abel dia adalah murid di
nada high school dan juga adik dari sang pembuat masalah jova. Namun satu hal yang membuat
terre makin pusing adalah abel di bully oleh jova dan geng nya.
Sesampainya di rumah
"terre dari toko buku paman. Oh,iya paman apa renatta sudah pulang?" Ujar terre
" Belum. Renatta belakang an ini menjadi sedikit aneh re, apa kamu mengetahui sesuatu?
Mungkin dia bermasalah dengan seseorang atau sedang berteman dengan siapa?" Tanya sang
paman
" tidak paman renatta tidak sedang bermasalah dengan siapa pun kalau soal berteman, renatta
memang mengatakan ingin berteman dengan beberapa anak lain di sekolah yang notabene nya
mereka adalah pembuatan masalah. Tapi aku sudah mengingatkan renatta untuk tidak berteman
"aku akan menunggu nya paman lebih baik paman istirahat. Paman pasti lelah setelah seharian
bekerja"
Tak lama berselang " aku pulang " ucap renatta " dari mana kamu ta? Jangan bilang kamu habis
bertemu dengan teman teman ekskul mu karena tadi waktu aku sedang ke toko buku aku bertemu
dengan mereka tapi tidak melihat mu? " Ucap terre dengam tatapan tajam kepada renatta
" em... Aku ..aku baru saja bertemu dengan ..."" Dengan jova dan geng nya iya ra " cerca terre "
" Tapi kenapa re mereka nggak senakal yang kamu kira kok ? " Sanggah renatta " ta jawab jujur
apa kamu tau kalok mereka baru aja bully seseorang apa kamu juga iku mereka untuk bully
orang itu " tuduh terre
" bully? Bully siapa re kamu jangan asal nuduh dan kamu tanya apa ? aku ikut aku aja nggak tau
apa apa " jawab Renata " segitu nggak percaya nya kamu sama aku re sampek kamu nuduh aku
ikut bully seseorang bareng mereka padahal belum tentu juga mereka yang bully." Ujar renatta
sambil berlalu menuju kamar nya
"ta aku belum selesai " tapi renatta yang tengah di kuasai amarah tidak peduli dan terus menuju
kamarnya
*****
" ta aku minta kamu jauh in jova dan geng nya " pinta terre. "Nggak usah ikut campur re aku bisa
jaga diri ku sendiri" jawab Renata Dengan meninggal terre. Terre yang kecewa melihat reasi
renatta hanya diam. Sesampainya mereka di sekolah renatta langsung menjauh dari terre dan
lebih memilih bersama dengan jova dan geng nya.
“ kenapa kamu harus kaya gini sih sama aku Re” teriak Terre dalam hatinya.
“ Re.. ” ucapku pada Renatta. Ternyata ia tak menjawab sampai bel istirahat berbunyi. Renatta
langsung keluar dari kelas dan tidak mengajakku. Aku bergegas menguntit Renata yang menuju
geng Jova. Mereka ternyata sedang berkumpul di pojokan kantin. Renatta terlihat sedang
bercanda dengan mereka semua.
Renata benar-benar tidak mau menggubris peringatan dariku. Sekarang, aku sendirian pun
Renata tidak peduli, entah apa yang ada di pikirannya. Padahal selama ini kita selalu brsama dan
saling mengingatkan.
Saat aku sedang persiapan pulang dengan memasukkan semua bukuku tiba-tiba Renatta
berbicara.
“ Re.. aku sebentar lagi akan keluar dengan geng Jova, kamu pulang saja duluan ”
Aku yang merasa curiga tidak langsung pulang, diam- diam aku mengikuti Renatta pergi.
Ternyata renatta menuju sebuah tempat sepi dan sudah banyak anggota geng jova disana.
Aku yang mengintip di dekat pohon besar, dari kejauhan terlihat Jova sedang menuangkan
serbuk putih dari dalam plastik ke dalam minuman mereka.
“ eh sini sini, lo mau coba gak ? ” kata salah satu temannya menawarkan minuman itu.
“ mau dong haus nih ” ujar Renatta.
***********
Keesokan harinya seperti biasa , namun akhir akhir ini aku tahu bahwa Renatta selalu pulang
larut malam. Ia sepulang sekolah selalu menuju ke tempat yang sama.
“ Re.. sepertinya Renatta sedang sakit, dia dari tadi pagi belum turun dari ranjang ” ucap paman
setelah kita sarapan bersama.
“ oh ya ? baiklah akan aku cek ” aku segera menuju kamar Renatta ternyata dia memang sedang
sakit.
Tiba- tiba Renata bangun dan muntah, aku terkejut segera memanggil paman dan bibi.
Renatta tidak mau dibawa ke dokter oleh orangtuanya. Alhasil dia dirumah sendirian.
“ Paman, Bibi aku ke sekolah dulu ya.. nanti Renatta aku izinkan “
Sesampainya di sekolah aku tidak mendapati geng jova dimanapun. Jangan – jangan mereka
Selama di sekolah aku tidak fokus, karena khawatir dengan keadaan Renatta. Setelah pulang
Sesampainya di rumah aku sudah melihat Renatta terkapar di lantai kamarnya. Lalu aku
tuanya pulang. Sejak awal aku sudah curiga kalau yang mereka konsumsi adalah Narkoba.
*****
Setelah makan malam, aku segera mencuci piring dan bergabung dengan orang tua Renatta di
Ruang Keluarga. Aku ingin menceritakan semua yang terjadi pada Renatta akhir – akhir ini
“ Paman, bibi aku ingin menceritakan sesuatu tentang renata ” Ucapku sedikit gugup.
“ Renatta berubah paman, dia sering pulang larut malam “. “ Dia juga setiap hari selalu bersama
geng Jova saat istirahat, mereka adalah Trouble Makers di Nada High School ”.
“ Lalu apa yang terjadi ? paman dan bibimu khawatir terjadi apa- apa karena kami juga sedang
gusar dengan perubahan tingkah laku Renatta. Katakan apa yang sebenarnya terjadi “ lanjut
paman.
“ Renatta bersama mereka mengkonsumsi Narkoba paman. Akhir akhir ini aku selalu mengikuti
kemanapun Renatta pergi sepulang sekolah “ ucapku sambil terisak “ aku khawatir terjadi
sesuatu pada Renatta, aku sudah mengingatkannya .Namun dia semakin menjauh dariku “.
“ Astaga ! bagaimana mungkin ? ” sahut bibi menangis. “ Apa yang harus kita lakukan pa ?”
“ Besok, kita bawa Renatta ke dokter. Setelah dia sembuh baru kita tangani lebih lanjut” ucap
cepat sembuh dan segera sadar kalau yang dia lakukan selama ini adalah sesuatu yang merugikan
dirinya sendiri.