Anda di halaman 1dari 2

Serigala Berbulu Domba

Aku terbangun pada pagi hari yang cerah dan bersiap – siap untuk berangkat sekolah. Aku turun
ke dapur untuk sarapan lalu lekas berangkat ke sekolah. “Ma! Nini pergi dulu ya!” ujarku kepada
Ibuku. Setiap pagi aku selalu berangkat dengan kawan baikku, Ratna. Kami sudah berteman
sejak kecil, bahkan hubungan kami bisa dikatakan seperti saudara kandung. Aku menunggu di
depan rumah Ratna untuk menjemputnya. Kupanggil Ratna berkali – kali namun, tetap tidak ada
yang menjawab. “Ratna tadi udah berangkat duluan dek” ujar seorang lelaki. Lelaki tersebut
ternyata kakaknya Ratna yang sudah lulus sekolah. “Ooh, baik kak” ujarku. Aku heran kenapa
Ratna berangkat duluan, biasanya kami selalu berangkat sama. “Mungkin dia ada tugas sekolah
kali.” Pikirku. Akupun lanjut berjalan untuk naik angkot ke sekolah.
Setibanya di sekolah aku langsung masuk kelas. Ratna berada di kelas IPA-6, sedangkan aku
berada di kelas IPA-5. Kelas kami samping-sampingan sehingga setiap di sekolah pasti kami
akan berpas-pasan. Aku melihat-lihat ke luar menunggu kehadiran Ratna, namun, dirinya tidak
muncul juga. Setelah beberapa menit, aku kembali duduk di mejaku dan menyiapkan diri untuk
mulai belajar. Ketika waktu istirahat, aku berjalan ke kelas Ratna karena penasaran. Ketika aku
masuk ke dalam kelasnya, aku melihat tas Ratna di mejanya. “Berarti dia sampai lebih duluan
tadi.” pikirku. Biasanya aku dan Ratna akan ke kantin bersama, tetapi pada hari ini untuk
pertama kalinya Ratna tidak mengajakku untuk ke kantin bersamanya. Masih penasaran, aku
turun ke kantin untuk mencari Ratna.
Ketika aku sampai di kantin, aku melihat Ratna sedang duduk bersama murid – murid lainnya.
Aku merasa heran karena sebelumnya aku tidak pernah melihat Ratna bergaul dengan mereka.
Aku berjalan ke arahnya dan menepuk pundaknya, “Ratna, darimana saja kamu?” ujarku,
“Apaan si?” ujar Ratna dengan intonasi yang agak kasar. Seketika aku merasa kaget, “Kamu
kenapa si Rat? Kok kamu kayak nggak kenal sama aku aja.” Ujarku. Tanganku ditepis oleh
Ratna dari pundaknya seakan – akan kami berdua tidak pernah berteman. Dengan perasaan yang
bercampur amarah dan sedih aku meninggalkan Ratna dan kelompok kawan-kawannya itu dan
kembali ke kelas. Ketika aku duduk di meja dan melihat keluar kelas, Ratna bersama kelompok
murid lainnya melewati kelasku. Terdengar olehku percakapan mereka, “Eh Rat, itu tadi siapa
ya? Kamu kenal?” kata seorang murid. “Nggak ah, sok kenal aja kali.” Ujar Ratna dengan
intonasi yang menyindir.
Mendengar percakapan itu hati Nini seperti disayat, perasaannya bercampur aduk antara malu,
sedih, dan amarah. Selama waktu sekolah Nini tidak bisa fokus, percakapan Ratna tadi
membuatnya meragukan pertemanan mereka. “Jangan – jangan selama ini Ratna pura – pura?”
pikirnya.
“Ternyata semua kebaikanmu hanya elusi
kau menggunakan topeng dan membuatku menjadi manusia bodoh.
Aku seakan ditampat realita yang membuka mata.
Tersadar bahwa aku terlalu munafik”
Setelah pulang sekolah aku langsung balik ke rumah. Sekitar jam 5 sore aku berjalan ke rumah
Ratna untuk bertemu dengannya. kuketuk pintu rumahnya, “Iya sebentar!” jawab seseorang.
Ketika pintu dibukakan, ternyata yang membukakan pintu adalah Ratna. Dengan cepat raut muka
Ratna berubah menjadi masam. Kutanya kepadanya mengenai sikapnya di sekolah tadi, “Kamu
tadi kok begitu si?”. “Nini, kamu itu bukan temanku lagi, kamu lihat saja penampilan kamu
seperti apa, kalau mereka tahu aku pernah bertemanan denganmu, nanti aku bakal dijauhi”
katanya. “Kamu kenapa nggak bilang? Kalau kamu sudah tidak ingin berteman lagi?’ tanyaku.
“Yah, aku rasa tidak perlu.” Ujarnya. “Baiklah kalau seperti itu, setidaknya sekarang aku tahu
bahwa selama ini kamu itu teman palsu.” Kataku sambil menahan air mata.
Aku balik ke rumah dan mengunci diri di kamar. Aku berusaha tidur untuk melupakan apa yang
baru saja terjadi. Bertahun – tahun lamanya kami berteman, ternyata aku tidak pernah
mengetahui sifat asli Ratna. Selama ini aku ditipu oleh sikap baiknya, perkataan – perkataan
manisnya. Aku merasa bodoh selama ini tidak menyadari kepalsuan pertemanan kami. Aku
terbaring di tempat tidurku, sedih dan kecewa. “Yah, setidaknya aku bisa mencari kawan lagi”
pikirku seraya senyum kecil untuk mengurangi rasa sedih ini.

Anda mungkin juga menyukai