Anda di halaman 1dari 5

Well, Fairy Ending...

Peri, bukan peri kecil bersayap yang ada dikisah dongeng anak-anak. Namun peri
yang berwujud manusia. Peri yang dapat melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan
manusia. Peri-peri yang memiliki kekuatan khusus.
Suatu hari, peri-peri yang tengah bermain ditaman melakukan kesalahan dengan cara
saling mempertontonkan kekuatan mereka. Seperti mengendalikan angin, menciptakan
hujan dan membuat bunga-bunga api. Mereka tidak sadar ada seseorang yang sedari tadi
memperhatikan apa yang tengah mereka lakukan.
Seseorang yang sangat berpengaruh di negri itu, ia memiliki kekuasaan dan harta
serta ia juga dapat mengendalikan segala sesuatu yang ada di negri tersebut,dia adalah
ilmuan jahat. Tentu ilmuan itu terkejut. Dia tidak pernah menyangka bahwa anak-anak
kecil ini mampu melakukan hal-hal yang tidak masuk akal seperti layaknya sihir.

Seorang ilmuan tidak percaya dengan hal-hal mistis, maka dari itu dengan
kekuasaan dan kedudukan yang ia miliki dengan mudah ia bisa menangkap peri-peri itu
untuk dijadikan objek penelitianya. Selama bertahun-tahun ia terus meneliti berharap
menemukan sesuatu yang menyebabkan peri berwujud anak-anak itu dapat melakukan
hal-hal yang tidak masuk akal. Namun ia tidak mendapatkan apa-apa. Organ, aliran darah,
dan gelombang otak yang mereka miliki sangat mirip dengan manusia normal.
Ditengah keputusasaanya akan penelitian yang tidak menghasilkan apapun, sang
ilmuan memiliki sebuah ide yang juga merupakan eksperimen terahkir. Ilmuan jahat itu
mencuci otak para peri kecil itu dan menempatkan peri-peri tersebut ditengah-tengah
masyarakat. Ia ingin tahu, apa yang akan terjadi jika peri hidup berdampingan dengan
manusia.

Seperti itulah kisah yang selalu ibu ceritakan kepadaku. Setiap ibu membahas
peri-peri itu, aku menjadi sangat antusias. Kadang aku bertanya pada ibu, bagaimana
nasib para peri itu apakah mereka berhasil lolos dan bagaimana ahkir dari kisah itu. Dan
ibu selalu memiliki jawaban atas segala pertanyaanku.

“ mereka masih hidup ditengah-tengah kita hingga sekarang.” Ucapnya selalu


sambil tersenyum, mendengar jawaban ibu aku menjadi sangat sedih.

“jadi, peri-peri itu tidak bisa lolos dari si ilmuan jahat ?”

Ibu lagi-lagi tersenyum. “tenang saja, ilmuan jahat itu sudah terlebih dulu mati
sebelum ia bisa mendapatkan apa-apa. Sekarang, peri itu pasti sudah hidup bebas dan
bahagia didunia ini.”

“wah, lalu kira-kira mereka tinggal dimana sekarang ?”

“selama masih bisa melihat bintang, dimanapun peri-peri itu hidup tidaklah
penting putraku.”
Ya, selama masih bisa melihat bintang, dimanapun peri-peri itu hidup tidaklah
penting. Kata-kata yang selalu tersirat dibenaku. Tidak pernah hilang difikiranku
meskipun aku berusaha melupakanya dan hingga aku berdiri disana. Berdiri tepat
disebelah makam ibuku. Berdiri hanya untuk meratapi apa yang sudah tiada. Hanya untuk
mengulang kembali memori lama, memori masa kecil yang justru membuatku sedih.

“Karena itulah ayah benci pemakaman ! karena itulah ayah benci diajak ke
pemakaman ! bukan berarti ayahmu ini tidak menghormati orang yang sudah mati. Ayah
hanya benci harus bernostalgia dengan kesedihan. Kenangan masa lalu harusnya membuat
kita senang. Masa lalu harusnya tidak untuk diratapi, tapi untuk diceritakan kembali
dengan penuh canda tawa bukan ?” Ucap seorang pria tua dikursi goyang dengan berapi-
api.
“Kau tahu Andre, ?” Tanya pria tua itu, ayahkun sendiri. Orang tua dengan wajah
keriput dan rambut yang sudah sepenuhnya berubah warna menjadi putih itu terus
menerus mengulang cerita yang sama. Cerita yang bahkan tidak berasal dari mulutnya
sendiri, namun berasal dari mulut nenekku yang memang seorang pendongeng ulung.
“Saat itu ayah masih berumur lima tahun, jadi ayah sangat antusias mendengar dongeng
dari nenekmu. Ayah sungguh percaya kalau peri-peri itu benar-benar ada.”

“Ya...ya...ya...” ungkapku bosan. “Dan ayah tentu tahu, sekarang aku berumur
duapuluh tahun dan aku tidak tertarik bahkan sudah bosan dengan dongeng itu.”

Ayah mengerutkan dahinya, tampak sedikit kecewa dengan sikapku. “Andre, apa
kau ingat kejadian limabelas tahun lalu ?”

“Maksud ayah kejadian itu, ? Tentu saja aku masih ingat ! saat itupun aku masih
berumur lima tahun !”

Saat itu aku membakar dan membasahi karpet mahal ayah dan ayah sangat
jengkel, ia bahkan mengataiku kurang ajar dan gila karena setelah membuat masalah aku
masih saja bisa tertawa.

“Saat itu, setelah mengomel ayah segera menyeretmu tanpa ampun ke dalam
kamarmu yang sempit. Kau yang semula tertawa menyebalkan mulai menangis ketakutan.
Tubuhmu menatik kuat kebelakang berusaha melawan ayah. Namun seberapa kuatpun kau
melawan, pada ahkirnya ayah tetap berhasil membawamu ke dalam kamarmu.” Lelaki tua
itu menarik nafas sejenak.

“ Ayah memang sangat keras, namun sebenarnya ayah khawatir. Mau jadi apa kau
nanti, Andre ? Berandal yang suka merusak dan membakar properti orang ? Anak kurang
ajar yang tidak bisa menghargai karya orang lain?”

“Tunggu dulu ! Saat itu kan aku masih berusia lima tahun! Ayah tidak perlu
mengingat-ingat kembali hal-hal seperti itu.” Seruku membela diri.
“Tidak Andre, Ayah perlu mengingatnya. Masa lalu sangat penting. Karena masa
lalu-lah yang membentuk kita menjadi seperti saat ini.” Aku hanya diam, dan ayah
kembali melanjutkan. “kukurung kau disana, suara tangismu semakin keras. Ayah bahkan
mendengarmu mengutuki ayahmu sendiri.”

“Ayah mendekat ke pintu kamarmu dan berkata, kau tidak boleh keluar sebelum
kau meminta maaf kepada ayah.” Ayah merapatkan jaket kusam yang ia kenakan. “ Tiba-
tiba kau terdiam, ayah fikir kau sudah mulai tenang. Jadi ayah ketuk pintu kamarmu dan
ayah perlahan membukanya, tapi...”

“Tapi aku tidak ada. Aku melarikan diri kerumah bibi Ana melalui jendela. Padahal
waktu itu kamarku ada di lantai dua.”

“Kau benar-benar masih ingat ya Andre. Pada ahkirnya, ayah semakin keras
padamu dan kau pun tidak pernah mengucapkan sedikitpun kata maaf pada ayah. “ Ayah
menghela nafas. “ Ya, dan sampai saat ini pun kau tak pernah meminta maaf... dan
membuat ayah tersadar.

“Tersadar untuk apa ayah ?”

“Ayah tersadar kau tidak pernah minta maaf karena ayahpun tidak pernah
meminta maaf padamu, Andre.”

“Tapi ayah memang tidak bersalah bukan ? Yang bersalah adalah Andre lima belas
tahun lalu.”

“Sekarang kau berfikir seperti itu, tapi lima belas tahun lalu kau, putraku sendiri
menganggap ayahmu ini sebagai seorang monster yang kejam bukan ?”

“Ya Tuhan, Ayah. Waktu itu aku belum mengerti. Aku minta maaf untuk hal itu.”

“Kau tidak perlu meminta maaf, kau tidak bersalah Andre.” Ayah menarik nafas
dalam dan memandang tajam kearahku. “Kau masih ingat dongeng itu bukan ? Dongeng
tentang peri dan ilmuan jahat. Dongeng yang sering diceritakan nenekmu pada ayah.”

“Ya, tentu saja aku ingat. Bahkan baru saja kau menceritakanya kembali.”

“Bagaimana kalau ayahmu ini bukan ayah kandungmu, melainkan ilmuan jahat yang
menangkap dan meneliti peri-peri sepertimu ?”

“Ayah fikir aku akan percaya bahwa dongeng itu sungguhan ?”

“Dongeng itu mungkin hanya omong kosong, tapi apa yang nenekmu katakan
sangatlah mirip dengan kehidupan kita Andre ?”
“Tidak mungkin ayah. Memang bagian mana yang mirip dengan dongeng aneh
tersebut ?”

“ Kau melakukan kesalahan dengan menunjukan kemampuanmu seperti membakar


karpet ayah yang sangat mahal dengan api lalu membasahinya dengan air maka dari itu
ayah menangkapmu dan mengurungmu dikamar tapi kau menunjukan kemampuanmu
berpindah tempat saat aku mengurungmu .”

“Ya tuhan ayah ! saat itu aku hanya memanjat pohon untuk turun. Sedikit aneh
memang untuk anak seusiaku.”

“Lalu dia-ayah-bahkan menyuruhmu meminta maaf walau pada ahkirnya kau tidak
pernah melakukanya. Dan kau tahu apa yang akan dilakukan ilmuan jahat itu sekarang ?”

“Sudahlah ! hentikan omong kosong ini ayah.”

“Setelah meneliti dan tidak menemukan apapun sang ilmuan jahat akan melakukan
cara terahkir, yaitu menempatkan peri-peri itu ditengah masyarakat.”

“dongeng itu berahkir disitu, tapi masih berlanjut dengan pertanyaan ayah ke
nenekmu. Apa kau ingat pertanyaan ayah ?”

“Ya, bagaimana nasib peri itu ? apa mereka berhasil lolos dan bagaimana ahkir
kisah itu. Begitu kan ?”

“kau pasti tahu jawabanya kan Andre, ?” aku mengangguk menanggapi pertanyaan
ayahku. “ peri-peri itu ahkirnya berada di tengah-tengah masyarakat. Dan kau ingat
jawaban atas pertanyaan ayah pada nenekmu setelah jawaban ini ?”

Aku berusaha mengingat bagian mana yang dimaksud ayah, tapi sepertinya sia-sia.
“Ayah, sepertinya aku melupakanya.”

Ayah tersenyum lemah padaku.“Mendekatlah putraku, tenang saja monster jahat


itu sudah terlalu tua. Dia akan meninggal sebelum menemukan apapun. Dia akan meninggal
sebelum mengetahui hasil dari meletakan peri itu ditengah masyarakat.”

“Apa !” seruku terkejut. “ jangan ngawur ayah, ayah fikir lucu bila orang tua
membuat lelucon seperti itu ?”

Ayah tersenyum, “Andre, apakah kau tau perasaan seseorang saat mengetahui
jika sehelai rambutnya mulai memutih ?”

“CUKUP AYAH !” Ucapku sambil memeluk tubuh ringkih ayahku.


“Dan kau ingat kan Andre ahkir dari si ilmuan jahat...” Ucap ayah sembari
memejamkan matanya.

“Ayah...bangulah ayah. Kau bukan ilmuan jahat, kau akan tahu bagaiman hasil atas
penelitianmu ayah. Tolong bangulah ayah, kumohon. Kau harus tau bagaimana hasil dari
eksperimen terahkir itu ayah... kumohon bangun ayah...”

-end-
udah capek ngelanjutinya bro, yang jelas seberapa buruk orang tuamu tujuan mereka
sama. Mempersiapkan kamu untuk terjun dalam masyarakat sebelum dia pergi ninggalin
kamu.

Anda mungkin juga menyukai