Anda di halaman 1dari 3

Dinda dan Sayapnya

Karya : Puput Aulia Mailindi

Aku Dinda, satu-satunya anak perempuan dari sebuah keluarga dengan prinsip
‘wanita tidak akan pernah melebihi seorang pria’. Apesnya lagi, Aku punya 5 kakak laki-laki
di rumah. Iya benar, Aku 6 bersaudara. Bayangkan bagaimana patriarkinya.
Ayahku adalah seorang pengidap penyakit kardiovaskular atau yang sering dikenal
penyakit jantung. Selain penyakit itu, akhir-akhir ini herpes zoster ayahku juga kambuh.
Sikapnya yang protektif sangat membatasi pergerakanku terhadap segala kegiatan. Apalagi
sekarang, karena penyakitnya itu dia jadi sangat parnoan dan bahkan membuatku sama sekali
tidak dapat bergerak. Diriku bagaikan terjebak dalam ruang sempit di mana kucingku saja
tidak muat jika harus masuk ke sana. Tak ada kata bebas untukku dalam kamus ayah. Tak
sekali tapi sering kali bisa jadi selalu, keinginan dan cita-citaku tergadaikan karena sikap dan
kondisi pria tua itu. Layaknya keinginanku yang satu ini.
Pagi itu, Aku masih dapat mengingatnya dengan jelas. Jam dinding memperlihatkan
jarum pendek menunjuk angka 5 dan jarum panjang tepat di angka 6 yang berarti pukul
06.30. Ya, masih sangat pagi dan masih sangat membekas dalam benak perasaanku kala itu.
Hampa... Kehampaanlah yang kurasa. Perasaan itu terus menggerogoti ragaku hingga habis
tak tersisa. Maka Aku putuskan untuk berlari berharap hampa terganti lelah. Aku berlari
menuju atap rumah, sampai pada salah sudut atap Aku terduduk. Dengan dipenuhi perasaan
yang entah bagaimana caraku menjelaskannya. Sejenak kudongakkan kepala sekaligus
penglihatanku pada samudera angkasa. Langit kala itu begitu indah, gumpalan awan yang
memenuhinya berpendar cahaya merah muda dan jingga. Kicauan burung-burung yang
keluar dari ruko tiga tingkat memenuhi pendengaranku. Spontan hatiku berkata, “Bodohnya
perasaan bangsat ini, setidaknya Tuhan masih memberiku penawar lewat keindahan langit
pagi”.
1 jam lamanya aku duduk di sana, meratapi samudera angkasa hingga perasaan
bangsat tadi berganti pada kerinduan. Tak sadar air mataku jatuh ke pipi, tangisku pecah.
Dengan terisak tangisan, Aku berkata, “Kak Marco, kak Agatha, Dinda juga ingin ke sana”.
Pagi itu berlalu begitu saja, sudah terlalu lama Aku duduk di atas sana. Aku mengusap
wajahku yang penuh dengan air mata mencoba senatural mungkin berusaha untuk
menghilangkan bekas tangisanku 5 menit lalu. Setelah kurasa siap, Aku putuskan untuk
beranjak dari dudukku dan turun ke bawah. Sampainya langkah kakiku pada 5 anak tangga
terakhir, tiba-tiba bunda bertanya dari bawah tangga, “Din, ngapain di atas sana?” “Ngga
bun, lagi pengen cari udara segar aja.” jawabku sambil menuruni beberapa anak tangga
terakhir. “Kamu ke kamar ayah deh sana, ayah pengen curhat tuh katanya.” lanjut bunda.
“Tumben banget, ada apa bun?” tanyaku. “Kamu langsung tanya aja deh sama ayah di
kamar.” tutur bunda. Tanpa perintah kedua, aku langsung berlari kecil menuju kamar ayah.
Di kamar ayah, aku lihat kondisinya yang terkulai lemah, tampak lebih rapuh dari
sebelumnya. Ia menyadari kehadiranku di kamarnya, Ia memandangku sendu, dan berkata,
“Sekarang Dinda sibuk banget ya, sering pergi rapat ga ada di rumah”. Aku hanya
menanggapi dengan senyuman tipis di wajah. Tak sampai 10 menit perbincangan antara
seorang ayah dan anak perempuannya itu pun berakhir. Aku lalu keluar dari kamar kayu itu,
dan meninggalkan ayah agar Ia bisa istirahat dengan nyaman di kasurnya. Awalnya, aku tidak
begitu memikirkan perkataan ayah, aku kira ayah hanya sedang curhat ngobrol santai saja.
Hingga malam tiba, di sinilah konflik itu bermula.
Tak terasa, matahari telah berganti bulan purnama saja. Cuaca malam ini terlihat
begitu cerah dengan disinari cahaya purnama dan beberapa bintang yang membentuk rasi
Scio pun ikut menghiasinya. Malam indah dan tenang itu sedikit membuatku berpikir bahwa
malam ini akan menjadi malam terdamai dalam sejarah hidup seorang Dinda. Namun Tuhan
tak membiarkan pikiranku itu menjadi nyata, membiarkannya untuk menetap lebih lama saja
pun tidak. Jam digital kamarku menunjukkan pukul 7 lewat 3 menit. Terdengar suara ketukan
pintu kamarku dari luar sana. Kubuka pintu itu dan menyadari, ternyata bundalah pelakunya.
Bunda membawaku keluar kamar menuju ruang keluarga. Saat itu hanya ada Aku, bunda, dan
kelima kakak laki-lakiku. Seorang wanita paruh baya itu pun membuka pembicaraan yang
terasa aura keseriusannya, “Bunda mengajak kalian berkumpul di sini karena ingin
membahas tentang kesibukanmu baru-baru ini Dinda”.
Jadi, 1 Minggu lalu, Aku memiliki keinginan besar untuk menjadi bagian dari OSIS
sekolah. Awalnya aku tahu keluargaku tidak akan pernah merestui keinginanku tersebut, ya
tak lain karena mereka menganggapku tak pantas untuk mengemban peran itu dikarenakan
aku seorang wanita, ‘wanita kodratnya ya menjaga rumah’ lagi-lagi stereotip itu. Walaupun
begitu, Aku tetap bersikeras untuk mengikuti jalannya keinginanku dan berusaha dengan
sekuat tenaga demi meyakinkan keluarga bahwa Dinda bisa, dan tak selamanya Aku harus di
rumah saja menjadi seorang petugas keamanan gedung. Akhirnya Aku berhasil untuk
pertama kalinya meyakinkan manusia-manusia rumah. Mereka mengizinkanku untuk menjadi
bagian dari organisasi sekolah. Bahagia yang luar biasalah yang kala itu kurasa, sungguh tak
ada dua. Namun, kenapa tiba-tiba malam ini bunda malah membahas topik itu lagi?
Perasaanku tidak enak, kurasa akan ada hal menakutkan menantiku di depan sana.
Dari pernyataan bunda, Aku terkaget dan dengan spontan bertanya, “Kesibukanku?
Ada apa dengan kesibukanku bun?” “Bukannya tadi siang kamu sudah bertemu ayah? Kamu
tidak sadar juga maksud dari ayahmu itu apa?” jawab bunda dengan menaikkan sedikit nada
bicaranya. “Maksud apa bun? Aku sama sekali tidak mengerti apa yang sedang bunda
bicarakan.” tuturku dengan wajah kebingungan. “Ayah kamu itu sudah sakit-sakitan,
penyakitnya semakin parah ketika kamu sibuk dengan kesibukanmu yang tidak tentu arah
itu.” tambah bunda. Aku jadi tambah kebingungan, kenapa sekarang kesibukanku dijadikan
sebagai boomerang bagi diriku sendiri, bukankah pada awalnya merekalah yang menyetujui
hal tersebut. Dalam posisiku yang masih diam, salah satu kakak laki-lakiku berkata, “Ayah
bisa mati tegak karena lihat kamu ini Dinda! Kamu seharusnya bisa berpikir dan
mempertimbangkannya sendiri. Kamu ini memang tak pernah bisa berguna.” dengan
perkataannya itu, Aku jadi tersulut emosi yang selama ini selalu kupendam dan yang tak
pernah kuutarakan sebelumnya pada mereka semua. Kuberdiri dari dudukku sambil berseru
di depan mereka yang katanya disebut keluarga, “Tahu apa kalian tentangku? Tidak berguna?
Lalu apa yang kalian ingin lihat dari perlakuanku? Kakak tak tahu apa saja yang harus
kukorbankan demi kalian dan ayah! Cita-cita dan keinginanku tak pernah bisa kugapai karena
kalian semua! Aku selalu menuruti semua kemauan kalian dan ayah! Apa salahnya terlahir
sebagai seorang wanita? Apakah selamanya Dinda hanya akan menjadi pelayan kalian?
Kenapa kalian berkata bahwa penyakit dan kematian ayah seolah-olah akulah yang menjadi
penyebabnya?” Kuberhenti sejenak. Kepalaku pusing, penglihatanku berpendar, perutku
bagaikan diobrak-abrik, mual. Tak sadar air mataku telah terjun dengan deras dari tempat
asalnya. Dengan perasaan yang campur aduk, Aku melanjutkan pernyataanku dengan isak
tangis yang luar biasa “Tidakkah kalian berpikir kalau Dinda juga bisa mati duluan
ketimbang ayah? Bunda... Dinda tidak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai seorang
wanita. Dinda bahkan tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia. Apakah Dinda tidak
bisa menggapai keinginan Dinda sendiri layaknya kakak? Kenapa selalu Dinda yang harus
mengalah?” “Dinda!” teriak bunda yang melihatku pergi. Aku berlari dari ruangan itu menuju
tempat yang sama di mana samudera angkasa bisa dengan jelas aku tatap keindahannya,
namun kali ini berbeda. Kemarin Aku tiba kala Ia berpendar merah muda dan jingga,
sekarang aku tiba kala atap rumahku diterpa cahaya sendu menyejukkan mata dari sang
purnama. Mereka yang melihatku pergi menuju atap, secara tak langsung meresa gelisah dan
mencoba mengejarku, namun Aku telah mengunci pintu dari luar sehingga mereka tak bisa
masuk mengikutiku. Andai kak Marco dan kak Agatha ada di sini, mungkin merekalah orang
yang akan mengerti diriku, walau mereka bukan bagian keluarga kandungku, tapi kakak-
kakak organisasi itu benar-benar memiliki tempat spesial di hatiku ini. “Perasaan yang kini
merambat dalam dada seakan ingin mengambil alih raga dan jiwa Dinda kak.” tutur batinku.
“Kenapa kalian terbang bebas tidak bersamaku? Kalian meninggalkanku dengan penderitaan
dunia yang Ia beri. Tapi tak apa, aku akan segera menyusul kalian. Aku yakin kalian pasti
akan bahagia melihat kehadiranku di surga kediaman kalian itu”.
Saat itu, sejenak hanya sejenak, perasaan euphoria yang luar biasa kurasa hingga
Kebisingan dari balik pintu pun tak lagi terdengar di gendang telinga. Yang teringat,
punggungku tumbuh sayap yang Aku pun tak tahu dari mana asalnya, dan langkah kakiku
yang terus-menerus melangkah maju bagai mengejar sesuatu. pandanganku begitu cerah
tertuju pada sang purnama yang begitu megahnya, sesekali terdengar bisikan suara “Dinda,
kamu tak akan sendiri lagi, kakak akan selalu bersamamu, melihatmu tumbuh dari atas sini
bersama kak Marco menanti” Aku sadar, kak Agathalah yang mengatakannya. 3 detik berlalu
dengan perasaan euphoria yang sama. “lihat kak, Dinda bisa terbang layaknya kalian
melakukannya.” Pada detik berikutnya yang kudengar hanya teriakan bunda dengan luar
biasa mengagetkannya diikuti kesadaranku yang menghilang. Hanya tertinggal rasa sakit,
remuk, detak jantuk yang perlahan tak lagi terdengar denyutnya. Benar-benar bagaikan
berada pada ruang sempit di mana kali ini hampa pula. “kak Marco, kak Agatha, maafkan
Dinda tak bisa bertahan lebih lama dari yang kalian kira”.

Anda mungkin juga menyukai