Anda di halaman 1dari 8

Mimpi dan Takdir

-Raihanan Sabathan-

Mimpi bagi sebagian orang adalah bunga tidur yang tidak perlu
dirisaukan dan diabaikan saja. Namun, tidak bagiku, justru itu jadi
hal yang aneh dan tidak biasa. Bagaimana tidak? Sedari kecil aku
harus dihadapi oleh kenyataan bahwa mimpi-mimpiku menjadi
nyata dalam kehidupan. Mengganggu? Iya, sangat. Aku sering
bertengkar dan berdebat dengan keluarga karena pendapat yang aku
utarakan tidak masuk akal bagi mereka.

Pernah suatu hari aku bermimpi melewati jalan di kebun-kebun


yang biasa aku lalui saat berangkat dan pulang sekolah. Lalu aku
kaget karena tiba-tiba seekor ular menggigitku tanpa ampun.
Keherananku tenggelam oleh rasa sakit dan takut bahwa aku akan
mati sebentar lagi. Ditambah lagi Fahmi, adikku, yang biasa
bersamaku entah mengapa tidak bersamaku saat itu.

Ah … lalu aku terbangun dengan keringat dingin sambil ketakutan


dan membuat terbangun semua orang di rumah, bapak, ibu dan
adikku. Mereka bertanya mimpi apa dan aku ceritakan bagaimana
kejadian yang aku alami. Hanya mimpi, begitulah kata bapak dan
ibu. Namun, tidak dengan adikku, dia sedikit terpengaruh dan tidak
mau melewati jalan itu untuk sekolah besok pagi.

“Ini semua gara-gara kamu, Bapak harus ngantar kalian berdua ke


sekolah pake motor. Jadi telat ngantor deh Bapak. Kenapa sih harus
percaya sama mimpi segala?” Kata bapak sambil bersungut-sungut.
“Kan udah sering dan terbukti, Pak. Sekali ini aja percaya, Pak,”
kataku memelas.

Ternyata terbukti, pada sore hari kami mendapat kabar yang


menggemparkan, ada seorang anak sekolah jatuh pingsan
ditemukan oleh warga di jalan yang biasa aku lalui tersebut. Setelah
dianalisis penyebabnya ditemukan gigitan seperti gigitan ular. Dia
dibawa ke rumah sakit dan alhamdulillah selamat.

“Tuh kan, Pak. Mirip sama mimpi aku, Pak,” kataku meyakinkan
Bapak.

“Bapak tetep gak percaya. Tidak mungkin hanya karena mimpi kita
harus waswas. Percaya sama Allah, bukan sama mimpi, Tur.
Hiduplah apa adanya, normal saja. Toh kalau kita dapat musibah itu
sudah di atur dari sananya,” kata bapak lebih yakin lagi. Bapak
memang keras kepala dan kekeh pendirian, sepertinya sifatku yang
kekeh dengan pendapatku sendiri sepertinya menurun dari sifat
Bapak.

“Tapi Pak, kejadiaan barusan itu salah satu bukti kalau mimpiku
benar Pak,” aku mengulang kata-kataku.

“Memang seberapa persen mimpimu jadi nyata. Semuanya? Tidak


kan? Kita harus berpikir logis karena hidup di dunia nyata, bukan
dunia mimpi.” Bapak menasihati.

“Bener Fatur, dengerin kata bapakmu saja sana,” Ibu menimpali dan
selalu mendukung kata-kata Bapak.
“Iya Bu…” aku hanya bisa berkata begitu tidak berani menyanggah
kata-kata ibu.

Aku tetap mendongkol dalam hati, seandainya Bapak berada pada


posisiku, apa Bapak akan tetap berpendirian seperti itu. Apakah
akan sepertiku dihantui perasaan waswas dan gelisah akan apa yang
akan terjadi. Lebih baik jika itu adalah mimpi yang baik, alih-alih,
aku selalu mendapat mimpi buruk dan tidak mengenakkan.

“Udah berdoa sebelum tidur belum, kalau enggak kan mimpinya


datang dari setan yang ingin menggoda kita, Tur,” kata Wahid
temanku.

“Sudah, tapi tetap saja bermimpi. Harus bagaimana lagi, Hid?

“Mungkin kamu kurang yakin dengan doamu. Allah kan sejalan


dengan pikiran kita. Jika kita berprasangka baik pada-Nya, tentu ia
juga berprasangka baik pada kita. Ini gue dengar dari ustaz ya, salah
satu penyebab doa terkabul adalah keyakinan kita bahwa doa akan
terkabul. Begitu sih yang gue denger,” kata Wahid dengan
bijaksana.

Dia satu-satunya teman yang aku percaya karena terkenal di


kalangan teman-teman sebagai orang yang sabar sekali.
Beruntungnya aku bisa dekat dengan dia.

“Barangkali lo benar Hid, selama ini gue selalu takut akan mimpi
gue. Bapak selalu bilang jangan takut justru setan makin senang dan
Allah makin jauh. Apa ketakutan gue sama mimpi lebih dominan
dibanding takut gue sama Allah ya? Gue jadi ngeri,” kataku sambil
menutup muka dengan tangan.
Namun, seberapa keras aku mencoba saran dan nasihat orang tua
dan teman, tetap saja belum menampakkan hasil yang signifikan.
Sehingga aku lalui saja hidupku apa adanya.

Waktu terus berjalan tak terasa umurku sudah memasuki masa-masa


kuliah. Untuk mencari suasana baru dan wawasan yang lebih luas
aku lebih memilih untuk kuliah di Jawa di sebuah universitas
impian ku. Lagi pula aku laki-laki, hidup jauh dari kampung bagiku
adalah tantangan yang mampu menambah pengalaman hidup dan
akan sangat berguna bagi masa depanku kelak.

Sampai hari itu tiba, ini tentang mimpiku lagi. Aku sedang berada di
rumah di kampung dan tiba-tiba saja aku mengalami sesak napas
yang penyebabnya tidak aku ketahui karena aku tidak memiliki
riwayat asma atau penyakit paru-paru lainnya.

Lalu spontan aku keluar rumah mencari udara segar, tapi tidak
berefek sama sekali. Justru aku melihat sesuatu yang sangat
mengejutkan dan membuat bulu kudukku berdiri, semua orang
terkapar di tanah basah, ada yang masih bisa meminta tolong, ada
yang sedang sekarat, lebih tragis ada yang sudah tidak bergerak
sama sekali. Anehnya, aku hanya bisa melihat tanpa bisa bergerak
sama sekali seolah-olah aku diserang penyakit lumpuh.

Ya Allah, tiba-tiba aku teringat orang tua dan adikku. Bagaimana


ini? Bagaimana keadaan mereka? Kenapa aku tidak melihat
mereka? Aku hanya bisa berteriak, Bapak … Ibu … Fahmi … ah
lalu aku terbangun dengan bermandikan keringat dingin. Seketika
aku syok dan aku langsung mengambil handphone untuk
menelepon rumah karena aku sedang berada di Jakarta.

“Assalamualaikum Bapak. Bapak, Ibu, dan Fahmi, semua ada di


rumah kan? Tidak terjadi apa-apa kan? Bagaimana keadaan di
sana?” bertubi-tubi pertanyaan aku lontarkan ke Bapak.

“Ya Allah Tur, malam-malam begini kenapa nelepon, ada apa lagi?
Sekarang jam satu malam loh, Tur.” Timpal bapak dari seberang
sana.

“Fatur mimpi lagi Pak. Kali ini lebih mengerikan dibanding


sebelumnya. Fatur bukannya mau percaya, tapi Fatur merasa bahwa
ini benar-benar akan terjadi,” kataku hampir menangis.

“Ya udah ya udah, coba kamu ceritakan deh,” kata Bapak tanpa
menyanggah, mungkin mendengar suaraku yang mulai berubah.

Lalu aku ceritakan sekelumit mimpi yang baru aku alami. Bapak
mencoba menenangkanku mungkin karena kondisi yang tidak
memungkinkan untuk memulai perdebatan. Aku tutup telepon
dengan gugup lalu mencoba merenung dan alhasil aku tidak bisa
melanjutkan tidurku.

Tanpa berpikir dua kali, aku langsung pulang ke kampung


halamanku. Dalam perjalanan aku sibuk berpikir apa yang harus
aku lakukan karena aku merasa ini akan terjadi untuk kesekian
kalinya. Orang tua dan adikku kaget akan kepulanganku yang tanpa
kabar itu. Sontak aku meminta maaf karena tidak menelepon
sebelumnya.
Lalu, aku ceritakan kegundahan dan beban pikiranku dengan alasan
yang sama dengan sebelum-sebelumnya. Aku bercerita dengan
membabi buta dan lebih meyakinkan keluargaku lebih tepatnya
sedikit memaksa mereka mengikuti keinginanku. Tentu saja mereka
tidak mengikuti saranku untuk pindah sementara ke Jakarta.

Aku merasa di kampung tidak aman lagi, itu yang ada dalam
pikiranku. Aku seperti orang bodoh, tapi mau bagaimana lagi aku
tidak mau terjadi apa-apa dengan keluargaku.

Namun, itu serasa suatu yang mustahil karena ini berkaitan dengan
sesuatu yang sangat besar dan kompleks. Adikku masih sekolah,
Bapak mesti bekerja di kantor, dan Ibu sebagai istri yang patuh ya
mengikuti apa yang dikatakan Bapak. Kepalaku semakin pusing
karena sebagian keluarga besar di luar keluarga intiku berada di
kampung.

Baik, aku berjanji dalam hati untuk bertahan selama sepekan di


kampung halaman, selama itu aku akan terus meyakinkan
keluargaku. Aku tidak boleh menyerah dan mengeluarkan segenap
tenagaku agar ini berhasil walau tampak mustahil.

Perdebatan hebat tak bisa dihindari. Sebagai anak, aku mengalah


dan memutuskan kembali ke Jakarta. Berat rasanya kaki ini
meninggalkan rumah bak beratnya perpisahan seorang yang sedang
sekarat menunggu malaikat maut menjemputnya. Semoga ini hanya
mimpi bunga tidur tak lebih dari itu, hiburku dalam hati.

Di Jakarta aku telah disibukkan kembali dengan aktivitas


perkuliahan dan sedikit lupa dengan dua hari yang lalu saat aku di
kampung. Ketenanganku terusik saat mendengar kabar dari
kampung halamanku bahwa telah terjadi gempa berkekuatan besar
sekitar 7 skala Richter.

Jantungku langsung berdegup kencang dan dengan segera


menelepon ke rumahku di Palu, Sulawesi Tengah. Aneh telepon
tidak terhubung, ah mungkin sinyal pikirku. Lalu, aku telepon
kembali, tapi tetap saja tidak terhubung. Kemudian aku telepon
semuanya, Ibu dan adikku, tapi tetap sama. Begitu pun dengan
keluara yang lain.

Hati ini semakin cemas dan kalut dengan berita di TV yang


menginformasikan semakin banyak korban jiwa dan banyak rumah
yang hancur dan roboh. Ingin pulang pun tidak bisa karena
penerbangan ke Palu masih terkendala. Bahkan, sampai seminggu
pun penerbangan masih diprioritaskan untuk pengirman bantuan.

Di tengah kekalutanku, tiba-tiba ponselku berbunyi dan ada pesan


yang masuk. Begini redaksinya,

“Kak Fatur, apa kabar kakak di Jakarta? Mungkin kakak sudah


mendengar berita bahwa terjadi gempa dan tsunami di kampung
kita Kak, di Palu tercinta. Aku sedikit bingung untuk
menciritakannya, tapi alhamdulillah aku sangat bersyukur pada
Allah bahwa aku, Ibu, dan Bapak selamat dari bencana itu Kak.
Pada awalnya kami semua terpisah, tapi Allah menakdirkan kita
bertemu di rumah sakit yang sama. Keadaan kami di sini sedikit
tidak biasa, tapi kami dirawat dengan baik oleh dokter di sini.
Keluarga-keluarga yang lain baru sebagian yang bertemu dengan
kami dan ada sebagian yang sudah mendahului kita kak. Kita
doakan saja mereka agar amal ibadahnya diterima Allah. Fahmi
hanya bisa Whatsapp karena keterbatasan pulsa dan ini juga
meminjam handphone dari orang di rumah sakit. Salam dari Bapak
dan Ibu, mereka berpesan agar kakak tidak perlu juga merisaukan
mimpi-mimpi kakak selama ini. Jika terjadi bencana dan musibah
itu sudah ketetapan yang di atas dan pun jika ada yang meninggal
dari keluarga kita itu pun juga sudah suratan dan memang ajal yang
bisa datang kapan, di mana pun dan kondisi apa pun. Mohon doa
agar keadaan Fahmi, Bapak, dan Ibu cepat pulih. Kakak tidak perlu
khawatir dan jika sudah memungkinkan sebaiknya kakak cepat
pulang. Fahmi."

Aku langsung terduduk dan bahagia dengan kabar tersebut.


Berbagai macam pikiran berkecamuk dalam kepalaku tentang
kepercayaan dan keyakinan pada Allah tentang takdir dan nasib
masing-masing ma nusia yang harus aku percayai sepenuhnya,
tentang kepercayaan dan ketakutanku akan mimpi yang harus
dihilangkan tanpa sisa dalam otakku. Inilah titik balik dalam
hidupku.

Anda mungkin juga menyukai