-Raihanan Sabathan-
Mimpi bagi sebagian orang adalah bunga tidur yang tidak perlu
dirisaukan dan diabaikan saja. Namun, tidak bagiku, justru itu jadi
hal yang aneh dan tidak biasa. Bagaimana tidak? Sedari kecil aku
harus dihadapi oleh kenyataan bahwa mimpi-mimpiku menjadi
nyata dalam kehidupan. Mengganggu? Iya, sangat. Aku sering
bertengkar dan berdebat dengan keluarga karena pendapat yang aku
utarakan tidak masuk akal bagi mereka.
“Tuh kan, Pak. Mirip sama mimpi aku, Pak,” kataku meyakinkan
Bapak.
“Bapak tetep gak percaya. Tidak mungkin hanya karena mimpi kita
harus waswas. Percaya sama Allah, bukan sama mimpi, Tur.
Hiduplah apa adanya, normal saja. Toh kalau kita dapat musibah itu
sudah di atur dari sananya,” kata bapak lebih yakin lagi. Bapak
memang keras kepala dan kekeh pendirian, sepertinya sifatku yang
kekeh dengan pendapatku sendiri sepertinya menurun dari sifat
Bapak.
“Tapi Pak, kejadiaan barusan itu salah satu bukti kalau mimpiku
benar Pak,” aku mengulang kata-kataku.
“Bener Fatur, dengerin kata bapakmu saja sana,” Ibu menimpali dan
selalu mendukung kata-kata Bapak.
“Iya Bu…” aku hanya bisa berkata begitu tidak berani menyanggah
kata-kata ibu.
“Barangkali lo benar Hid, selama ini gue selalu takut akan mimpi
gue. Bapak selalu bilang jangan takut justru setan makin senang dan
Allah makin jauh. Apa ketakutan gue sama mimpi lebih dominan
dibanding takut gue sama Allah ya? Gue jadi ngeri,” kataku sambil
menutup muka dengan tangan.
Namun, seberapa keras aku mencoba saran dan nasihat orang tua
dan teman, tetap saja belum menampakkan hasil yang signifikan.
Sehingga aku lalui saja hidupku apa adanya.
Sampai hari itu tiba, ini tentang mimpiku lagi. Aku sedang berada di
rumah di kampung dan tiba-tiba saja aku mengalami sesak napas
yang penyebabnya tidak aku ketahui karena aku tidak memiliki
riwayat asma atau penyakit paru-paru lainnya.
Lalu spontan aku keluar rumah mencari udara segar, tapi tidak
berefek sama sekali. Justru aku melihat sesuatu yang sangat
mengejutkan dan membuat bulu kudukku berdiri, semua orang
terkapar di tanah basah, ada yang masih bisa meminta tolong, ada
yang sedang sekarat, lebih tragis ada yang sudah tidak bergerak
sama sekali. Anehnya, aku hanya bisa melihat tanpa bisa bergerak
sama sekali seolah-olah aku diserang penyakit lumpuh.
“Ya Allah Tur, malam-malam begini kenapa nelepon, ada apa lagi?
Sekarang jam satu malam loh, Tur.” Timpal bapak dari seberang
sana.
“Ya udah ya udah, coba kamu ceritakan deh,” kata Bapak tanpa
menyanggah, mungkin mendengar suaraku yang mulai berubah.
Lalu aku ceritakan sekelumit mimpi yang baru aku alami. Bapak
mencoba menenangkanku mungkin karena kondisi yang tidak
memungkinkan untuk memulai perdebatan. Aku tutup telepon
dengan gugup lalu mencoba merenung dan alhasil aku tidak bisa
melanjutkan tidurku.
Aku merasa di kampung tidak aman lagi, itu yang ada dalam
pikiranku. Aku seperti orang bodoh, tapi mau bagaimana lagi aku
tidak mau terjadi apa-apa dengan keluargaku.
Namun, itu serasa suatu yang mustahil karena ini berkaitan dengan
sesuatu yang sangat besar dan kompleks. Adikku masih sekolah,
Bapak mesti bekerja di kantor, dan Ibu sebagai istri yang patuh ya
mengikuti apa yang dikatakan Bapak. Kepalaku semakin pusing
karena sebagian keluarga besar di luar keluarga intiku berada di
kampung.