Anda di halaman 1dari 5

Percaya dan Tidak Percaya

Oleh Badri Silvina Safitri

Banyak orang mengatakan, “Mereka benar-benar ada!”


Saat itu umurku baru menginjak 9 tahun ketika kami sekeluarga memutuskan untuk
pindah rumah ke kampung mamaku. Awalnya kami mengontrak rumah sebelum akhirnya
orangtuaku membeli tanah untuk membangun rumah di sebuah lahan kosong yang saat itu
memang belum berpenghuni oleh siapapun kecuali adanya sebuah Sekolah Menengah
Kejuruan di depan jalan raya.
“Yah, pohon apa itu?” tanyaku pada ayah ketika menangkap pandangan sebuah pohon
besar yang sepertinya sudah berumur puluhan atau mungkin ratusan tahun. “Oh, itu. Pohon
Beringin itu namanya,” dan akupun termangut-mangut mengerti. Hingga lambat laun ketika
dalam proses rumah sudah hampir selesai, aku telah mengetahui apa itu Pohon Baringin.
Orang sekitar berkata, pohon itu ada pemiliknya, penjaganya, penghuninya, bahkan tiap
tengah malam akan ada yang bergelantungan di ranting pohon besar itu. Yang namanya anak
kecil, ada rasa percaya dan tidak percaya mengenai hal itu hingga aku melihatnya sendiri.
Sore harinya ketika aku bersama yang lain bermain-main di sekitar rumah, seorang temanku
nyeletuk, “Eh, lihat! Ada yang gelantungan di dahan pohonnya!” sontak aku segera menoleh
dan benar, sebuah kepala pria botak putih pucat dengan lumuran darah di sekitar lehernya
bergelantungan seraya tersenyum menatap ke arahku. Spontan, lantas aku mengalihkan
pandangan ke arah lain. Bertanya-tanya, apa aku salah liat atau Cuma halusinasi semata. Kala
aku kembali memandang ke arah sana, kepala pria itu telah tiada. Kupikir itu adalah akhir,
namun ternyata itu adalah awal dari semuanya.
Pindah rumah, iya. Dari rumah kontrakan ke rumah baru kami yang sudah selesai.
Rumah megah hasil desain ayahku yang cukup luas untuk kami berlima. Pada malam
pertama, kakak dari pihak mamaku bersama istri dan juga anaknya menginap di rumah. Kami
semua sepakat tidur di ruang keluarga yang memang cukup luas. Kembali aku melihatnya,
namun tidak serta darah-darah pekat yang melumuri. Hanya wajah pucat dan juga senyum
manis yang diperlihatkan. Aku bergelung dalam selimut, mengintip lewat lubang yang
memang belum tertambal. Raut wajah itu kembali datar, namun saat mataku bertatapan
langsung, rautnya kembali tersenyum. Aku seketika merinding dan memaksa untuk tidur.
“Mas, semalam ada anak kecil perempuan bergaun merah lewat jalan sendirian di
samping rumah. Dari jendela, baju merahnya terlihat jelas.” Aku segera menoleh, memberi
tatapan tidak percaya ke arah mama. Mama yang kuyakini selama ini tidak akan pernah
percaya dengan hal berbau klenik tiba-tiba bercerita seperti itu. Memberanikan diri, akupun
ikut bercerita terkait pengalaman semalam. Ayahku lantas menanggapi dengan santai,
“tenang, ayah sebelumnya bahkan saat proses rumah ini dibangun melihat genderuwo di
belakang rumah.” Dengan santainya seraya menyeruput kopi. Banyak hal yang telah
terlewati, penampakan mbak kunti yang menduduki meja kaca saat listrik padampun pernah
terlihat. Suara derap kaki melangkah, bau bunga melati yang tiba-tiba saja tercium wangi
bangkai, suara keran air di kamar mandi yang suka hidup tengah malam, semuanya terlewati.
Namun meski begitu, aku masih tetap tidak percaya dengan hal-hal yang berbau mistis.
Hingga ketika menginjak usia remaja, dan sudah menaiki jenjang Sekolah Menengah
Pertama, mimpi buruk sesungguhnya menghampiri. Kerasukan dan kesurupan, siapa saja
pasti pernah mendengar dan tahu apa maksud dari dua kata itu. Ya, benar. Ayahku kerasukan
Jin, dan kali pertama Ruqyah dilakukan aku menyaksikannya langsung ketika ayah hampir
saja ingin menyembur ke dalam sumur di belakang rumah. Ustad yang menangani berkata,
jin dalam tubuhnya terlalu banyak, dan yang baru saja bertingkah itu berwujud seperti ular.
Aku seketika merinding sekujur badan, sejak saat itu sumur belakang rumah ditutup rapat-
rapat.
Ruqyah yang kedua cukup lucu, tiba-tiba saja jin dalam tubuh ayah berbicara dalam
bahasa Inggris dan meludahi Ustad yang tengah membaca doa. Disaksikan oleh beberapa
orang yang sontak saja seisi ruangan tertawa melihatnya. Aku mendengar percakapannya dari
luar kamar, “Keluar kamu dari tubuh ini! Tubuh ini bukan milikmu!” disusul oleh seruan
ayah yang aku yakini itu bukan ayah yang berbicara. “I don’t care! Who are you?!”
Lebih lucunya lagi, ayah tidak ingat dengan apa yang terjadi sebelumnya, apa yang
beliau lontarkan, beliau lakukan saat prosesi ruqyah, beliau lupa ingatan. Tak cukup sampai
disitu, mamaku dan juga adik laki-lakiku yang pertama juga ikut kerasukan. Padahal saat itu
kondisi mama sedang hamil anak keempatnya dan beberapa bulan lagi melahirkan,
untungnya tidak terlalu parah dan jin yang diminta keluar menuruti permintaan Ustad. Tak
terasa satu tahun berlalu, bukannya membaik, kondisi ayah semakin memburuk. Tidur dari
pagi hingga pagi lagi, tidak lagi sholat, jarang masuk kantor, dan suka ketawa-ketawa
sendirian tanpa sebab. Pernah satu kali ayah tertidur sangat pulas di ruang keluarga. Mama
mencoba membangunkannya dengan menusuk-nusuk menggunakan sapu. Beliau terbangun,
tapi marah-marah dan terlihat linglung. Mama langsung saja menyiraminya dengan air doa,
seketika ayah melemah dan jatuh terduduk, menatap ke arah aku dan mama dengan mata
merahnya.
Hingga pada suatu hari, puncak dari semuanya. Mama pergi keluar rumah, saat itu
adik laki-lakiku yang kedua sudah lahir ke dunia dan baru menginjak beberapa bulan.
Kondisinya ayah seperti biasa tengah tertidur nyenyak, abangku dan adik laki-lakiku yang
pertama sedang duduk-duduk di ruang tengah juga, begitupun aku dengan adik bayi. Tiba-
tiba saja, adik bayi menangis keras dan tidur ayah terganggu. Aku kaget ketika ayah bangun
dan terlihat mondar-mandir ke depan dan ke belakang rumah. Aku melihat ada yang aneh,
seraya menenangkan adik bayi. Saat itu aku masih belum bisa menggendong bayi dan baru
akan belajar untuk mengasuh bayi. Iya, ayah mengunci pintu depan dan pintu belakang
rumah. Lantas berjalan menuju lemari besar dan mengambil parang di atas lemari. Aku
terkejut setengah mati ketika ayah membuka sarung parang dan berdiri mengangkat parang
seraya tertawa terbahak-bahak, “Hahahahahaha!”
“Abang, adik bayi tidak mau diam. Ayah marah, abang,” ucapku seraya menangis
ketakutan. “Baca Ayat Kursi dan Al-Fatihah,” balasnya singkat. Sembari menangis tersedu-
sedu, tak hentinya aku melantunkan doa sementara adik bayi menangis semakin keras, dan
ayah masih juga tertawa tanpa henti dengan mata melotot. Keajaiban terjadi, adik laki-lakiku
yang pertama tiba-tiba berdiri dan melangkah pelan menuju pintu depan rumah dan membuka
pintu, spontan abang mengambil adik bayi dan mengajakku berlari sekuat tenaga, anehnya
ayah hanya berdiri diam di tempat namun masih dengan posisi yang sama. Parang di tangan,
dengan mata merahnya. Sampai dengan kejadian itu, aku semakin percaya dengan adanya jin,
setan, iblis, dan sebangsanya.
Ruqyah terakhir adalah yang paling berkesan, dalam konteks tak terlupakan.
Pergantian suara antara jin wanita dan jin pria dalam tubuh ayahku membuatku tak mampu
berkata-kata. Bahkan ucapan yang dilontarkan benar-benar membuatku tercengang. Saat itu,
Ustad yang menangani adalah kakak laki-laki dari ibuku, bernama Burhanuddin. Aku
memanggilnya Ea. Aku masih teringat percakapan demi percakapan.
“Mengapa kamu tidak mau keluar dari tubuh ini?”
Jin wanita itu sembari menangis berucap, “Aku sudah nyaman, dan jatuh cinta dengan
pria ini. Jangan pisahkan aku dengannya.” Tiba-tiba bertukar lagi dengan jin prianya yang
tertawa keras hingga menggema di seluruh penjuru ruangan, “Jika pria ini mati, tubuh ini
akan jadi milikku seorang!”
Geram, Ea sontak semakin membakar dan mengancam akan membakar kedua jin itu.
“Keluar! Jika tidak ingin aku bakar kalian dalam tubuh ini!” aku yang berada di ruang
keluarga seraya memeluk guling, mendengar dengan seksama teriakan penuh siksa dari
dalam kamar. Bulu kudukku merinding, aku memeluk erat guling dalam pelukan. Hingga
semuanya tiba-tiba senyap, tidak ada lagi suara teriakan, tidak ada lagi suara bacaan doa,
tidak ada lagi suara grasak-grusuk dari dalam kamar. Dalam sekejap sunyi, namun suara ayah
terdengar.
“Bagaimana?”
Ea menjelaskan, yang banyak menghinggapi tubuh ayah adalah jin-jin yang
sebelumnya memang mengikuti ayah dari awal kami pindahan, ditambah dengan jin-jin
penghuni Pohon Beringin depan rumah. Aku menyarankan, kenapa tidak ditebang saja? Ea
berujar, “Pohon itu ada pemiliknya, dan tidak bisa sembarangan untuk menebang tanpa seizin
pemiliknya.” Lalu aku kembali bertanya, “Kalau begitu, pemiliknya kemana?”
Dengan singkat, padat, dan jelas, ea membalas, “Meninggal,”
Dari sejak itu, aku tidak lagi mengelak bahwa mereka memang benar-benar ada.
Meski kini aku telah beranjak dewasa, aku tetap meyakini bahwa mereka ada di mana-mana,
di manapun itu, di sekitar kita, tanpa kita tahu dan kita sadari.
Bionarasi

Nama lengkap Badri Silvina Safitri, Lahir 28 November, saat ini berusia 21 tahun. Cita-cita
ingin mengunjungi negeri ginseng dan negeri sakura suatu saat nanti. Berbintang Sagitarius,
dan suka sekali baca buku, komik, tapi tidak bisa membaca hati seseorang. Tengah
menempuh bangku perkuliahan Prodi Akuntansi di STIE Kasih Bangsa, dan sempat mengadu
karena merasa dirinya salah jurusan. Berambisi ingin membuka toko buku sendiri.

Anda mungkin juga menyukai