Anda di halaman 1dari 5

DUA LEMBAR UANG SERATUS RIBUAN

Cerpen N Mursidi

LELAKI itu membangun rumah entah untuk siapa. Kalau untuk anak-anaknya kelak,
kenapa ia tak sempat menulis sepucuk surat wasiat? Sebelum kematian tiba, dia
hanya meninggalkan dua lembar uang seratus ribu rupiah di almari tua, yang penuh
debu dan dendam.
Uang itu, secara kebetulan, aku temukan seminggu selepas dia dikebumikan. Aku
bergetar, nyaris pingsan dan sampai kini masih terus dihantui pertanyaan; apa salah
dan dosaku sampai uang itu tidak sempat ia sentuh untuk membeli obat di saat
kematian mau menjemput?
Aku terpaksa pulang hari itu seusai ibu menelpon dan bercerita kalau ayah sakit,
terbaring di rumah sakit. Ritmis napasnya mirip gerimis yang turun di suatu senja,
murung, dan tak bergemuruh ketika aku tiba di rumah sakit petang itu. Kening ayah
yang penuh dengan kerut-marut, tanpa aroma, seperti menguapkan kesedihan tatkala
aku mendekat dan duduk di ujung ranjang.
Aku termangu, menatap tubuh renta ayah yang sudah tak berdaya. Aku tahu ayah tak
punya harapan hidup lagi dan air mataku seketika mau tumpah. Sebuah air mata
penantian seorang anak yang pulang disambut dengan kebisuan karena ayah tak
sadarkan diri, terbaring seperti patung. Karena itu, ibu sengaja membiarkanku
terpaku menatap wajah ayah.
Duduk bersidekap sedih di ujung ranjang ayah yang terbaring koma, kembali
mengingatku retak kisah sepanjang malam ketika aku masih remaja dulu. Ia nyaris tak
pernah keluar malam sampai aku setengah mati membenci ayah. Dia nyaris hanya
menghabiskan malam, selepas dari mushalla untuk menunaikan shalat jamaah, lalu
mendengarkan radio tua, menutup koran usang, lalu beranjak tidur. Hari-hari ayah,
selalu berlalu dengan ditemani radio tua yang berderak, koran bekas dan sisa napas
yang tersengal di ambang malam saat ia terbangun untuk menunaikan shalat tahajud.
Saat itu aku masih remaja. Tapi aku nyaris tak mampu melupakan malam yang
melukai kalbu, sewaktu tuntutanku pada ayah untuk masuk STM tak dipenuhi. Aku
kemudian menghabiskan malam-malamku di luar rumah, pulang tengah malam atau
menjelang pagi. Aku selalu gemetar mengetuk pintu, karena ibu yang selalu
membukakan pintu dan bertanya, "Dari mana saja kamu?"
Aku tak pernah merasa perlu untuk menjawab pertanyaan ibu. Aku kemudian
menerabas ke kamarku dan menutup pintu dengan rapat. Malam-malamku selalu
berlalu dengan kepulanganku yang menyedihkan. Untung kegelapan membuatku
berani menatap langit dan tak lagi sakit-sakitan. Jadi, aku tak lagi takut pada malam
dan selepas es em u (SMU), aku memutuskan pergi dari rumah.

Dengan doa ibu, aku kemudian kuliah dan bisa lulus. Dan selepas kuliah, aku
kebetulan mendapat pekerjaan yang cukup layak di Jakarta. Tetapi, aku seperti anak
hilang yang lupa jalan untuk pulang. Aku baru pulang saat ayah sudah terbaring,
setelah hampir dua setengah tahun tak menginjakkan kaki di beranda.
Kepulanganku itu bermuasal dari sebuah peristiwa yang tidak mengenakkan. Aku tibatiba terjerat rasa iba, tepat pada hari aku menerima gajian di bulan pertama kerjaku.
Aku lalu mengirimkan uang dua ratus ribu rupiah lewat wesel buat ayah karena aku
dengar ayah sudah mulai sakit-sakitan.
SEMINGGU setelah aku mengirim uang itu, ibu menelponku. Aku kaget, karena ibuku
nyaris tak pernah menelpon. Aku pikir ibu akan bertanya soal kiriman uang itu. Tapi
dugaanku ternyata salah. Ibu justru memintaku untuk segera pulang, karena ayah
jatuh di kamar mandi. Pingsan.
"Cepatlah pulang!" pinta ibu dengan suara getir yang kudengar dari gagang telepon,
serasa menguraikan air mataku di ujung kelompak mata untuk segera tumpah.
Setelah minta izin dari kantor, aku segera pulang. Tahu kalau ayah dirawat di rumah
sakit, aku merasa tak perlu mampir ke rumah melainkan langsung ke rumah sakit.
Ada rasa hampa tatkala aku memasuki halaman rumah sakit, menyusuri bangsal demi
bangsal dan kemudian sampai di ruang ICU, di mana ayah dirawat.
Saat memasuki ruang ICU itu, rasa cemas membuatku gemetar. Aku merasa sedih,
dan dalam hatiku tiba-tiba tebersit pikiran jika sampai ayah meninggal dan aku belum
sempat meminta maaf, tentu aku akan menjadi anak durhaka.
Aku terus berjalan mencari kamar ayah yang terbaring tak berdaya dan desah nafas
ayah sudah aku rasakan seperti naik turun di dadaku. Salah satu tangannya tertusuk
jarum infus, sungguh serasa menyiksa urat nadiku. Ayah yang dulu gagah seketika
seperti tak berarti lagi di depan anaknya yang sedang berjalan mau menjenguk.
Aku dengar pula ritmis napas ayah mirip gerimis yang turun di suatu senja, murung,
sedih dan tidak bergemuruh ketika aku tiba-tiba menjumpai sebuah ruangan saat aku
longokkan kepala dan menjumpai ayah sedang terbaring tidak sadarkan diri. Kening
ayah penuh dengan kerut-marut, tanpa aroma, menguapkan kesedihan saat aku
masuk dan duduk di ujung ranjang.
Aku termangu, menatap tubuh renta ayah yang sudah tak berdaya. Aku tahu ayah tak
punya harapan lagi, dan air mataku serasa hampir tumpah. Setitik air mata penantian
dari seorang anak yang pulang disambut dengan kebisuan karena ayah sudah tak
sadarkan diri, terbaring mirip patung ketika aku datang mau menjenguk setelah nyaris
dua setengah tahun tak pulang. Karena itu, ibu membiarkan aku terpaku meneliti
wajah ayah.
Tetapi, tiba-tiba aku tergeragap setengah detik kemudian karena ibu berucap, "Kalau
bisa, kamu jangan balik ke Jakarta dulu sampai ayahmu sadar dari siuman!"

Aku berpaling ke arah ibu, "Ya, Bu! Semoga ayah segera sadar."
"Untung kakak sepupumu, Ahsanudin mau menanggung semua biaya rumah sakit.
Aku tak lagi memikirkan dari mana kau mendapatkan uang!" lanjut ibu pelan,
membuatku lega.
Lalu malam turun. Dari celah jendela, kulihat ada secercah cahaya yang merekas dari
daun pohon akasia di halaman rumah sakit yang mulai gelap. Aku kemudian pamit
kepada ibu untuk pulang ke rumah dan berjanji akan besuk kembali esok hari.
HUBUNGANKU dengan ayah, bisa dikata cukup unik. Aku anak kedua dari tiga
bersaudara yang tidak ubahnya anak tiri. Ah, mungkin aku cukup sentimentil untuk
menyebut anak tiri. Tetapi, aku tak memiliki ungkapan lain untuk menyebut hubungan
musykilku dengan ayah. Mengharap perhatiannya, aku seperti menanti kematian saja.
Aku tak berdaya.
Mungkin ayah tak salah. Dari cerita orang-orang kampung, dari pernikahan ayah
dengan ibu memang tak segera dikarunia anak. Di usia empat tahun perkawinan yang
nyenyat, siapa yang tak sedih tatkala lahir bayi yang ditunggu-tunggu, ternyata justru
menghembuskan nafas tatkala ibu mengejan kesakitan. Anak pertama meninggal,
anak kedua ayah pun bernasib serupa. Lalu, kakakku lahir ketika harapan ayah untuk
menimang putra itu terkabulkan. Jadinya, kakakku dimanja ayah sampai setengah
mati.
Ayah merasa ia sebagai lelaki tulen dan berjanji akan memenuhi setiap permintaan
kakakku. Keberkahan itu juga membuat aku lahir lalu disusul adikku. Jadi kami tiga
bersaudara, semua laki-laki. Tapi aku nyaris tumbuh tanpa perhatian. Kasih ibu dan
ayahku hampir sepenuhnya jatuh pada kakakku dan adikku. Kakakku menjadi
lambang penyelamat keluarga karena setelah nyaris ayah tak dikaruniai anak dan
adikku, karena ragil, juga selalu mendapat perhatian lebih. Aku terbengkalai, kalah.
Apalagi kakakku jadi lambang kegagahan ayah dan adikku jadi lambang kasih sayang
ibu.
Aku terjepit. Ayah selalu membela kakakku meskipun setiap kali bertengkar
dengannya, aku yang benar. Jika bertengkar dengan adikku, ibu selalu berdiri di
belakang ragil busuk itu. Aku? Jadi terbuang. Selalu kalah. Tidak ada pelindung,
membuatku tidak betah hidup di rumah. Karenanya, saat aku beranjak remaja, aku
menghabiskan malam di luar rumah. Aku pulang untuk makan siang dan tidur.
Ayah gusar. Aku cuek karena aku menemukan kehidupan yang membahagiakan di
luar rumah meski penuh bahaya. Tapi hidup di luar rumah telah mendewasakanku
sebagai lelaki yang tak gampang menangis. Dan, aku jarang diberi uang jajan oleh
ayah, kecuali dengan cara yang menurutku tidak adil.
Agar betah tinggal di rumah, ayah mengajariku ketrampilan menjahit pakaian. Aku lalu
digaji dengan uang sepadan dengan pekerjaanku yang tak seberapa. Berbeda dengan
kakak-adikku, mereka tinggal menengadahkan tangan, tiba-tiba segalanya terpenuhi.

Lalu kakakku lulus SMU. Ayah melihatku bak anak durhaka. Sampai aku kemudian
lulus dari SMU. Tak juga mendapat simpati ayah. Jadi, aku benci ayah setengah mati
karena aku tidak mendapat perhatian. Tapi tiba-tiba semua berubah. Saat temanteman mulai kerja dan menikah, aku melanjutkan kuliah, setelah menganggur satu
tahun.
Lambat laun, menjalar rasa simpati ibu kepadaku. Apalagi, aku bisa kerja sambil
kuliah di tahun kedua. Juga saat aku mendapat pekerjaan layak setelah lulus kuliah
sementara kakakku dan adikku --yang juga lulusan sarjana-- masih nganggur di
rumah, menjadi beban keluarga.
SESAMPAI di rumah, malam sudah larut. Aku kemudian meminta adikku untuk
menemani ibu berjaga di rumah sakit. Tak lagi kuasa untuk menahan kantuk, aku
tertidur setelah sempat mengobrol sebentar dengan kakakku. Tetapi, sebelum rasa
kantuk menerjang mataku, aku sempat berpesan untuk membangunku tatkala subuh
bergema.
Tapi, betapa terkejutnya aku ketika kakakku menggoyang-goyang tubuhku di pagi yang
buta itu. Aku tergerap, dan bertanya, "Apa sudah subuh?" Aku merasa mataku masih
belum cukup terpejam, dan belum juga kudengar adzan berkumandang.
"Subuh bagaimana? Ayah sudah tiada!"
Deg! Hatiku ciut. Langit-langit gelap. Aku melangkah ke kamar mandi. Membasuh
muka. Lalu, ke ruang tamu, menyambut kedatangan jenazah ayah.
Tak selang lama, jenazah ayah tiba. Keluargaku sudah berkumpul, membopong
jenazah ayah masuk ke dalam rumah. Sekilas, aku lihat kakak sepupuku, Ahsanudin
duduk di teras. Aku tahu ia baru tiba dari rumah sakit, tentunya setelah melunasi
biaya perawatan ayah. Aku melangkah, menyalaminya.
"Untung kau cepat tiba! Jadi, keluarga tak perlu repot-repot menunggumu untuk
pemakaman nanti," ucapnya prihatin seraya menggapit tanganku.
"Aku selalu memikirkan ayah, mas! Apalagi sejak kerja dan belum bisa membantu
keluarga."
Hatiku sungguh pedih, ketika itu. Rupanya, dia tahu apa yang ada di dalam pikiranku.
Aku sungguh menyesal belum membalas jasa ayahku, baru bisa mengirimi uang dua
ratus ribu, yang sama sekali tak ada artinya bagi ayah.
Tidak ada angin, tak ada hujan, kakak sepupuku bangkit. "Dengan kata lain, kau tidak
akan pernah dapat membalas jasa ayahmu meski dengan apa pun."
Aku termangu. Di cakrawala, kulihat subuh belum merekah. Dan aku menunggu
khitmad ayah dikuburkan di siang itu.
GENAP seminggu setelah pemakaman, aku membersihkan kamar ayah. Ibu
menyuruhku agar beliau tak terbayang mendiang ayah. Tetapi, ketika aku membuka
almari, tempat ayah menyimpan uang, aku tersentak karena menemukan dua lembar

uang seratus ribuan, tergeletak penuh dengan debu. Aku berteriak kencang,
memanggil-manggil ibu.
Sekitar setengah menit kemudian, di ambang pintu, ibu membuatku tersentak kaget,
"Kamu pasti menanyakan tentang uang itu?"
"Kenapa uang itu masih utuh dan belum disentuh ayah, Bu?"
"Ayahmu tak mau menggunakan uang itu untuk membeli obat meski dia sedang sakit
di ujung usianya. Aku harap kamu tidak kecewa menemukan uang itu masih utuh!"
Aku termangu, lalu duduk lemas di tepian ranjang. Aku sungguh tak tahu, kenapa
ayah masih menganggapku seperti orang lain. Apa aku ini bukan anaknya?
Kota Wisata, 2006

Anda mungkin juga menyukai