Anda di halaman 1dari 4

Syawwal Senduku

Cuaca hari ini jumat, 25 Mei 2020 sangat tidak bersahabat, panas terik matahari
sangat menyengat. Bertepatan hari ini dengan tanggal 16 ramadhan 1442 H. Dan hari ini,
waktunya liburan perpulangan pesantren menjelang hari raya idul fiitri. Hari demi hari ku
lalui hingga tak tarasa kurang beberapa hari saja menuju hari raya idul fitri Malam. pun
berganti dari hari ke hari. Suara takbir sudah terdengar di mana-mana, menandakan bahwa
telah tiba hari kemenangan bagi umat islam. Sang surya telah terbit drai ufuk timur
menanadakan telah berganti hari, dari malam menjadi pagi. Menyambut suka cita bulan baru
dengan suasan haru dan bahagia. Berbondong-bondong umat muslim untuk melaksnakan
shalat idul fitri. Seperti biasanya, di hari raya di tahun sebelum-sebelumnya aku dan
kelurgaku bersiap-siap untuk shalat id. Lantunan takbir shalat id dimasjid terdengar begitu
syahdu, membuat hati ini bergetar, terkadang tak terasa mata ini meneteskan air mata. Jam
06.05 adalah waktu yang sebelumnya di tentukan untuk dimulainya shalat id. Sejumlah umat
muslim berkumpul dalam satu pelataraan hanya untuk bersama-sama menunaikan ibadah
kepada sang khalik. Rangkaian acara shalat id tak terasa sudah terlewati satu-persatu. Ramai
jalan dan senyuman terlihat dimana-mana. Berbagai jajanan cantik nan unik tersusun rapih di
ruang tamu setiap rumah. Terlihat orang-orang berlomba-lomba untuk mepercantik diri,
menggunakan pakian terbaik mereka. Bukan ingin menyombongkan diri namun kami niatkan
untuk menyambut hari kemenagan. Seperti biasanya, kami saling bermaaf-maafan dengan
orang tua di keluraga kami.Disinilah air mata tidak bisa dibendung, mengingat begitu banyak
kesalahan dan kekuranganku, hingga sebesar ini aku merasa belum bis amembanggakan
kedua orang tua ku. Mereka tidak pernah menuntut anak-anaknya untuk menjadi sperti ini
dan itu. Mereka bilang “ nilai itu tidak penting, yang terpenting adalah kemanfaatan ilmu dan
barokahanya, dan berusahalah untuk menjadi kemanfaatan bagi orang lain”.
Kebahagian terpancar dimana-mana. Namun aku merasa, raya kali ini bapakku
terlihat berbeda. Yang biasanya beliu selalu semangat untuk mendatangi rumah-rumah
kerabat, tapi kali ini beliu ingin dirumah saja. Dan anehnya beliau tidur terus dikamar. Setiap
ada tamu atau kerabat barulah beliau keluar. Tapi ada pula beberapa yang tidak ditemui.
Melihat hal seperti ini tentunya aku dan ibu ku kesal, kenapa…?, ya karena aku dan ibu
berpikir sia-sia hari raya jika tidak berjalan untuk saling bermaaf-maafan. Tapi karena aku
dan ibu sangat menghormati bapak maka dari itu kami biarkan saja. Semakin sore dan
menjumpai malam semakin ramai pula suasana di hari raya pertama ini. Akan tetapi bapak
masih saja ber-istirahat di kamar, keluar kamar jika waktunya shalat dan makan. Awalnya
baik-baik saja, semakin malam sikap bapak semakin aneh. Merasa kedinginan dan minta di
selimuti terus dan terus,entah berapa lapis selimut yang menutupi badannya. Ternyata bapak
sekarang sedang demam. Semakin malam panasnya semakin tinggi, dan selama itu pula ibu
setia berada di samping bapak. Dari mulai mengompres, memijat, dan membacakan doa-doa
untuk kesembuhan bapak. Sebagai anak terbesar, aku selalu berada di samping ibu,
membantu jika sewaktu-waktu ibu membutuhkannya. Kecemasan ku semakin tinggi, melihat
panas bapak yang tak kunjung turun, semakin malam malah semakin panas bahkan bapak
juga mengigau karena saking panasnya. Malam berganti pagi, masih dengan keadaan yang
sama panas bapak tak kunjung turun. Tapi alhamdulillahnya beliu sudah bisa tidur, dan
kelihatannya tidurnya cukup pulas walaupun suhu tubuhnya masih tetap tinggi. Selama itu
pula ibu selalu berada di samping bapak. Disini aku bisa melihat kesetiaan ibu dan khidmad
ibu terhadap bapak begitu besar.
Berbagai usaha dan doa ku panjatkan untuk kesembuhan bapak. Berhari-hari masih
dengan keadaan yang sama. Satu per satu dokter didatangi mengharap Allah SWT memberi
jalan dari dokter-dokter itu. Lima hari sudah bapak dengan kondisi yang sama. Banyak
kerabat yang datang untuk bermaaf-maagan sekaligus melihat kondisi bapak. Melihat kondisi
bapak yang cukup parah, nenekku memutuskan untuk bermalam dirumahku. Hati orang tua
mana yang tenang melihat kondisi anaknya seperti ini. Tepat di hari kelima ini dan di jam
00.00 bapak semakin panas akhirnya ibu memutuskan untuk membawa bapak ke puskesmas
terdekat. Awalnya aku pingin ikut denngan membawa sepeeda sendiri, tapi dicegah ibu.
Katanya “dirumah saja sama nenek dan adik, nanti jika ada apa-apa ibu telvon”. Aku menurut
saja apa kata ibu, kuantar ibu dan bapak sampai teras bersama nenek hingga kami tungggu
ibu dan bapak berangkat. Sesudahnya ibu dan bapak berangkat aku dan nenek masuk kembali
ke dalam rumah. Didalam rumah pun aku dan nenek tidak tidur, hanya adik ku saja karena
memang masih kecil. Aku dan nenek sama-sama diam dan larut dalam dzikir dan doa kami
masing-masing. Tanpa sengaja air mata ku mengalir dengan sendirinya, cemas dan bingung
harus bagaimana aku ini. Menit berganti jam sudah menunjukkan 01.00 hati ku semakin
cemas memkirkan keadaan bapak di sana. Neneku sudah di tempat shalat sejak tadi,
melakukan shalat sunnah, dzikir dan doa untuk kesembuahan bapak.
Suara motor ibu terdengar, cepat-cepat aku keluar menemui ibu. Ternyata bersama
bapak, akau pikir mungkin malam ini bapak akan diarawat dipuskesmas. Tapi nyatanya
hanya dikasih obat jalan. Seegeralah ku bantu ibu untuk memapah bapak masuk ke rumah.
Mengantar beliau untuk kembali istirahat didalam kamar. selesai ibu mengunci kembali pintu
rumah ibu segera menghampiri bapak dan aku dikamar. Ibu bilang tidak apa-apa kondisiya
baik. Awalnya ibu ingin bapak dirawat saja di puskesmas beberapa hari kedepan, tapi malam
ini dokternya tidak ada dan beberapa alat disana juga rusak. Setelah bilang seperti itu ibu
hanya diam disaming bapak, dan menyuruhku untuk bersitirahat saja bersama adik dan
nenek. Dan aku bilang, bahwasanya aku disini saja menjaga bapak bersama ibu. Kemudian
ibu ku merangkulku dan berkata “bapak baik-baik saja, Allah pasti mendengar doa kita
semua”. Mendengar ibu bicara seperti itu aku menangis di pelukan ibu. Semalaman ibu tidak
tidur dan masih setia di samping bapak, dengan mengkompres bapak dan masih tetap
memutar tasbih dzikirnya. Suara ayam jago dan spieker masjid sudah terdengar, tandanya
fajar sudah tiba waktunya. Jam 07.00 ibu kembali lagi ke puskesmas untuk melihat dokternya
sudah datang atau belum. Ternyata dokternya sudah datang dan ibu segera kembali utuk
menjemput bapak. Sama seperti sebelumnya ibu hanya menyruhku untuk dirumah saja.
Walaupun aku di rumah aku tidak tinggal diam saja, kusibukkan diriku denga bersih-bersih
rumah. Setelah itu segeralah ku ambil air wudhu dan melaksanakan shalat dhuha. Ku
mantapakan hati ini pada sang pencipta,meminta dan memohon untuk kesembuhan bapak.
Bercucuran sudah air mata ini, tak mampu lagi ku bendung. Mengingat lemah dan sedikit
hilanganya kesadaran bapak, membuat ku semakin tergugu pilu diatasa sajadah. Di sela-sela
ku berdoa, dan larut didalamnya.
Tiba-tiba ada mas sepupuku teriak-teriak memannggilku. Segeralah kusudahi doa ku
dan kutemui mas sepupuku itu. Ternyata dia minta aku untuk menyiapkan baju-baju ibu dan
bapak. Ku tanya buat apa “bapak akan dirujuk ke rumah sakit besar dikota, jadi siapkan
keperluan yang akan dibawa nanti” kata masku. Sungguh sangat kaget tentunya mendengar
hal itu, tanpa pikir panjang segera ku siapkan yang dibutuhkan ibu dan bapak dirumah sakit
nanti. Disela-sela aku beres-beres keperluan ibu dan bapak bersama nenek. Tiba-tiba ada
mobil berhenti didepan rumahku. Ternyata itu ibu dan bapak karena tidak menggunakan
mobil ambulans puskemas. Segera aku, nenek, dan adik keluar ruamah, kami hampiri ibu dan
bapak secara bergantian. Tiba saatnya aku untuk bersalaman dengan ibu dan bapak. Air mata
ini seakin tidak terkontrol melihat kondisi bapak yang sedikit tidak sadarkan diri. Tidak
mengenali ku dan berbicara tak menentu. Sungguh hati ini hancur dan rapuh. Ingin ku ikut
mengantar, tapi lagi-lagi di cegah ibu, bude-bude, dan tetangga-tetangga. Hanya pasrah
melihat ibu,bapak, dan bude yang menemani ibu dirumah sakit nanti, menjauh dari rumah.
Semakin tak terbendung air mata ini, ku berlari masuk kedalam rumah. Dan menangis
tergugu didalam kamar. Masih dalam suasana lebaran. Masih ada kerabat jauh yang datang
untuk bersilaturrahmi dengan nenek. Karena memang nenek merupakan orang tua yang
masih ada, jadi banyak ponakan-ponakan dan kerabat yang mendatangi.
Disela-sela aku dan nenek menjamu kerabat-kerabat, tiba-tiba datang sepupu
perempuanku. Dan memebri kode untuk mengikuti nya ke luar sebentar. Segeralah ku susul
mbak sepupuku keluar rumah sebentar. Bagai disambar petir di malam yang cerah, mbak
sepupuku bilang “ dek doakan bapak ya, yang sabar, bapak sekarang berada di ICU ”
mendengar hal itu, sudah tidak bisa dicegah lagi. Namun aku harus kuat, dan tidak boleh
terlihat lemah didepan nenek dan adikku. Mengingat nenek sering keluar masuk rumah sakit,
untuk mencegah hal yang tidak-tidak aku harus menyembunyikan dari nenek. Menedengar
hal itu bude-budeku yang lain datang kerumah dan bersaaman dengan pulangnya kerabat
nenek tadi. Budeku datang berusaha untuk menguatkan aku. Walupun tidak secara terang-
terangan karena di dekat kami ada nenek. Di sela-sela bahasan ringan kami tiba-tiba mbak
sepupuku menerima telvon. Dan ternyata dari ibu, menjauhlah mbak ku drai kami dan
memberi kode supaya aku mengikutinya dengan hati-hati. Supaya nenek tidak curiga. Setelah
berhasil mendekati mbakku, giliran aku bicra denga ibu. Ternyata bukan ibu sendiri yang
berbicara, namun budeku yang mengunakan nomor ibu. Kata bude “ nduk doakan bapakmu,
bapakmu sekarang berada di ICU tidak sadarkan diri dan koma, dokter bilang kalau
kondisinya kritis”. Diam membisu tanpa kata, dan menangis tanpa suara. Ya benar, kala
diriku menedengar kabar mengejutkan itu. Berusaha untuk baik-baik saja, padahal rapuh dan
hancur didalam. Syawal ku yang buruk dan tak pernah ku bayangkan akan keadaan seperti
ini. Berusaha menjaga dan kuat untuk orang-orang terkasih ku.
BIODATA

Silviyatul Karimah
UIN SATU Tulungagung
Sosiologi Agama
Instagram: silllllvya_11

Anda mungkin juga menyukai