Anda di halaman 1dari 4

Bom Bunuh Diri Sekeluarga yang Mengguncang Surabaya

Pada pagi itu, aku sedang dilanda perasaan yang sangat jengkel. Dikarenakan
semalam aku bertengkar dengan ibuku. Bukan hal yang besar sampai harus bertengkar,
namun aku merasa pendapatku benar dan aku tidak terima ketika ibuku memberikan saran
yang lain atas pendapatku itu. Dengan rasa jengkel yang masih tersimpan di hatiku, aku pun
mengurung diri di dalam kamar.

Ketika aku sedang asyik menonton drama kesukaanku di laptop, aku mendengar suara
ketukan pintu kamar dan suara ibuku yang memanggil namaku. Sebenarnya aku enggan
membukakan pintu kama, tetapi akhirnya aku bukalah pintu kamar itu. Terlihatlah sosok ibu
yang memakai pakaian rapi layaknya orang ingin pergi. “Nak... ibu sama ayah ada urusan
pekerjaan mendadak di luar kota, kamu sendiri di rumah tidak apa-apa kan?”, tanya Ibu.
“Yah pergi saja Bu, aku bisa kok di rumah sendiri, lagipula aku sudah dewasa kan”, ujarku
dengan sedikit ketus. “Baik kalau begitu kamu jaga diri baik-baik ya, Ibu akan kirimkan uang
untuk kamu beli makan dan jangan lupa besok ke gereja yah”, pesan ibu. Aku hanya
mengangguk sebagai jawabannya.

Setelah mengantar sampai depan rumah, ibu dan ayah segera pergi meninggalkan aku
sendiri. Aku merasa lapar karena belum makan sama sekali dari tadi pagi, ku putuskan untuk
memesean online makanan. Sehabis makan aku hanya bersantai-santai di kamar sambil
menonton drama kesukaanku dan makan camilan.

Keesokan paginya, di hari Minggu pagi yang cerah. Aku bersiap-siap untuk pergi ke
gereja. Terasa sedikit berbeda memang ketika pergi ke gereja tanpa bersama orang tuaku.
Tapi aku tetap pergi ke gereja untuk beribadah karena itu adalah pesan ibu. Aku berangkat
naik ojek online menuju gereja.

Sesampainya di gereja, banyak orang berlalu-lalang keluar dan masuk ke dalam


gereja. Mereka baru saja menyelesaikan ibadah pagi hari ini. Kebetulan minggu ini aku
mengambil ibadah di jam yang tidak terlalu pagi, mencegah terjadinya keterlambatan, sangat
tidak mungkin aku terlambat ketika ingin pergi menemui Tuhan. Sekarang aku tengah di
parkiran, membayar ongkos untuk ojek online yang aku pesan tadi. Namun, saat tengah
membayar, aku melihat dua orang pria yang menggunakan motor sambil berboncengan,
mengenakan setelan pakaian hitam, terlihat mencurigakan. Mereka berada sedikit jauh
dariku, menjalankan motornya dengan kecepatan yang tidak wajar, dan menabrakkan diri
mereka secara sengaja ke arah mobil yang di depannya. Tepat saat itu, aku melihat sebuah
ledakan yang cukup besar dari arah dua pria tadi dan terdengar suara ledakan yang jelas
mengejutkan para jemaat yang sedang berlalu lalang. Aku yang saat itu berada lumayan jauh
dari tempat kejadian, terkena ledakan dari bom tersebut. Semua orang berlarian dengan panik
sambil berteriak minta tolong.

Dalam keadaan luka-luka di sekujur tubuhku, aku berlari secepat mungkin menuju
gerbang gereja. Keadaan menjadi sangat heboh, tangisan anak-anak, teriakan minta tolong,
bahkan aku bisa mendengar suara isakkan orang-orang yang terluka parah akibat terkena
ledakan tersebut. Tubuhku gemetar hebat saat sampai di gerbang gereja, melihat
pemandangan yang begitu memilukan. Dari tempat parkiran yang menjadi tempat pemboman
masih banyak jemaat yang berlarian dengan tujuan menyelamatkan diri mereka dan
keluarganya.

Tubuhku lemas, kepalaku sangat pusing, luka-luka ditubuhku seketika mulai terasa
perih. Aku berusaha untuk tetap sadar, lalu aku berusaha untuk duduk ketepian. Mataku
mulai berkunang-kunang, pandanganku semakin buram. “Dik, Ya Tuhan kamu luka-luka,
aduh pak tolong disini ada yang terluka!” teriak ibu yang menghampiri ku. Aku tidak
sanggup untuk merespon ibu itu, aku merasa sangat lemas. Sampai akhirnya aku tidak
sadarkan diri.

Saat terbangun dari pingsan, aku sudah berada di ruangan putih yang pastinya rumah
sakit. Kepalaku sudah tidak terasa pusing lagi, hanya saja rasa nyeri di tubuhku masih terasa.
Aku berusaha bangun dari posisi tidur, saat aku melihat sekelilingku, aku terkaget. Ruangan
ini diisi dengan banyaknya orang yang luka-luka. Bahkan ada anak kecil yang kulihat
memiliki luka yang cukup parah. Sekarang aku ingat, kami adalah korban dari pengeboman
yang terjadi di gereja.

Seorang perawat menghampiriku, “Sudah merasa baikan, kak? jangan panik dan takut
yah kak, saya akan memeriksa keadaan kakak ya.” ucap perawat itu dengan ramah. “Saya
mau bertemu orang tua saya.” ujarku. “Kita sudah menghubungi kedua orang tua kakak,
jangan khawatir ya kak.” ujar perawat itu menenangkanku.

Aku menunggu orang tuaku dengan perasaan gelisah sambil tetap berbaring di kasur.
Jujur sekarang aku sangat takut, aku berfikir kenapa kejadian ini menimpaku. Aku terus-
menerus menangis karena rasa takut yang masih ada di diriku. Tiba-tiba terdengar suara
orang tuaku, ibuku langsung memeluk diriku. Aku menangis tersedu-sedu di pundak ibuku,
ayahku pun ikut memeluk diriku, lalu berkata, “Puji Tuhan kamu tidak luka parah, nak. Ayah
dan ibumu sangat takut dan khawatir sekali saat mendapat telepon dari pihak rumah sakit.”
ujar ayahku. Aku hanya bisa menangis.

Tiga hari setelah itu, aku diperbolehkan pulang. Semenjak hari itu aku hanya diam.
Saat di mobil, ayahku berkata, “Nak, ayah tahu kejadian ini berat bagimu, tapi kamu harus
tetap kuat ya. Tuhan sangat baik masih memberikanmu keselamatan.” Aku membalas
perkataan ayahku, “Ya ayah, aku memang sudah bisa menerima kejadian ini. Tetapi aku
masih tidak habis pikir dengan pelaku. Apakah mereka tidak memikirkan orang lain yang
menjadi korban? Kenapa mereka tega berbuat seperti itu? Aku tidak mau memaafkan
perbuatan keji mereka itu” Ayahku tersenyum lalu menjawab, “Kita tidak pernah tahu
pemikiran manusia, apa yang mereka lakukan memanglah salah. Tidak ada agama manapun
yang mengajarkan tindak kriminal bahkan sampai membunuh orang. Yang kita perlu lakukan
adalah memaafkan mereka yang bersalah, berat memang. Tapi dengan memaafkan mereka
hati kita pun menjadi lebih tenang dan damai.” Mendengar ucapan ayahku itu aku merasa
pendapatku salah, ya sudah seharusnya aku memaafkan mereka, meski berat tetapi aku
hanyalah manusia biasa yang sama-sama berdosa. Aku tidak berhak menghakimi mereka.
“Maaf Ayah, betul kata Ayah sudah seharusnya aku memaafkan mereka. Aku malah terlalu
terlarut dalam kemarahan, seharusnya aku lebih baik bersyukur kepada Tuhan karna sudah
menyelamatkanku dari kejadian itu.” ucapku penuh sesal. “Bagus, kamu mengerti apa yang
Ayah sampaikan.” ucap Ayahku. Lalu aku memandang ke luar jendela mobil, sambil berdoa
kepada Tuhan untuk bersyukur dan berterima kasih atas perlindungannya kepadaku.

Nama: Maria Melany Malik(20)

Kelas: XII IPA 1

Anda mungkin juga menyukai