Anda di halaman 1dari 8

PANDEMI

Di suatu pagi pada hari minggu, Aku terbangun dari mimpiku yang cukup indah. Udara
pagi ini cukup segar, matahari bersinar dengan terang, dan para burung menyapa dengan siulan
merdu mereka. Seperti biasa selepas terbangun dari tidur, Aku selalu merapikan kamarku dan
membantu Ibu menyiapkan makanan untuk pagi ini. Oh ya, besok adalah hari pertama puasa.
Aku sangat menanti-nanti datangnya hari esok.

Selepas merapikan kamarku, Akupun bergegas menuju ke dapur untuk membantu Ibu.
Sesampainya di dapur, di sana sudah terdapat Ibu yang sedang memasak makanan untuk kami
semua. “Pagi Bu!” sapaku. “Wah, anak Ibu sudah bangun rupanya. Ayo sini tolong Ibu membuat
nasi goreng,” perintah Ibu. “Baik bu!” jawabku dengan semangatnya. Di saat Aku dan Ibu
sedang menyiapkan makanan untuk sarapan, Ayah dan Adik laki-lakiku duduk santai sambil
menyaksikan berita di televisi pagi itu.

“Wah, nampaknya virus Covid-19 semakin merebak luas dikalangan masyarakat


Indonesia. Adik jadi takut untuk keluar, Yah,” titah Adik. “Wah, Adik nggak usah takut gitu
dong. Dengan adanya virus seperti ini bukan berati kita harus takut dan terlena, apalagi sampai-
sampai takut untuk berinteraksi dengan masyarakat di sekitar. Lagipula, pemerintah kan telah
menerapkan New Normal. Jadi, kita hanya perlu mematuhi protokol kesehatan dan selalu
menjaga kesehatan diri kita, Dek!” jelas Ayah. “Bener tuh, Yah. Kalau harus terus-terusan di
rumah kan bosan. Dengan adanya New Normal ini, kita jadi bisa kembali sekolah dan ketemu
teman-teman, deh!” kataku dengan penuh semangat. “Eitss, ketemu teman-teman boleh, Kak.
Tapi ingat, protokol kesehatan harus tetap dilaksanakan ya, Kak!” nasihat Ibu. “Hehe, siap, Bu,”
jawabku. “Nah, makanan udah siap, nih!” “Wah akhirnya. Adik udah laper banget, nih” kata
Adik. Kami pun kompak tertawa mendengar penuturan Adik.
Selepas makan, Akupun lanjut mencuci piring dan membersihkan rumah. Tak lupa,
Akupun menyiapkan pakaian sekelohku dan Adikku untuk besok. Yah, begitulah nasib anak
perempuan di hari minggu. Setelah semua pekerjaan di rumah telah ku kerjakan, Akupun
bergegas untuk mandi. Setelah mandi, Akupun menyiapkan buku-buku untuk besok dan
mengerjakan beberapa pekerjaan rumah yang di berikan oleh guruku.

Tidak terasa, adzan dzuhur telah berkumandang. Akupun bergegas melaksanakan sholat
dzuhur. Setelah sholat dzuhur, Akupun berbaring di tempat tidurku sambil memainkan
handphone. Saat sedang memainkan handphone, Aku merasa ngantuk dan kemudian tertidur.

“Kak, ayo bangun, sudah sore!” pintah Ibu sambil sesekali menggerakan badanku. “Hmm
iya, Bu. Bentar lagi deh,” jawabku dengan malas-malasan. “Astaga, Kakak! Inikan udah hampir
jam 5 sore. Kakak belum sholat lagi!” teriak Ibu. “Astaga, Ibu kenapa nggak bangunin Kakak
dari tadi, sih. Kan jadi telat sholatnya.” Jawabku sambil terburu-buru masuk ke kamar mandi.
“Lah, kok jadi Ibu? Kamunya tuh yang kebo banget, dari tadi dibangunin nggak bangun-
bangun,” jawab Ibu ketus. “Hehe, iyadeh maaf ya Ibuku yang cantik!” godaku. “Ih, kamu ini.
Udah buruan sholatnya.” Jawab Ibu. “Siap, Bos!” kataku.

Selepas sholat ashar dan mandi, Akupun keluar kamar dan menuju ruang tengah. Di sana
sudah terdapat Ayah, Ibu, dan Adikku yang sedang menonton acara televisi. “Wah, anak gadis
Ayah rapi-rapi mau kemana ini?” goda Ayah. “Ah, Ayah bisa aja deh! Aku mau pergi beli buku,
Yah. Boleh kan?” kataku dengan nada memohon pada Ayah. “Boleh dong. Tapi harus sama
Ayah, ya!” kata Ayah. “Hehe, iyadeh. Adik mau ikut nggak?” tanyaku pada Adik. “Nggak ah!
Aku mau jagain Ibu di rumah,” kata Adik sambil memeluk Ibu. “Hahaha, kamu bisa aja, Dek,”
kata Ibu sembari membalas pelukan Adik. “Yaudah deh, Aku sama Ayah aja. Yuk, yah!” ajakku.
“Eits, maskernya jangan lupa dong, Kak!. Kita itu harus selalu patuhi protokol kesehatan!”
pintah Ayah. “Hehe, maaf, Yah. Kakak lupa,” jawabku cengengesan.
Sesampainya di tempat tujuan, Akupun masuk ke dalam toko buku sedangakan Ayah
hanya menunggu di mobil. Akupun, segera mencari buku yang inginku beli dan segera
membawanya ke kasir. Penerapan protokol kesehatan di toko ini tidak terlalu ketat, masih ada
beberapa pelangan yang tidak memakai masker.

Saat aku sedang mengantri untuk membayar buku, tiba-tiba saja ada seorang lelaki yang
seumuran denganku menerobos antrian dan menabrakku cukup keras. “Ih, apaan, sih! Sakit tau!”
terangku sambil sedikit berteriak. “Wah, selow dong, Mbak. Namanya juga nggak sengaja,”
jawabnya sewot. “Udah tau salah, bukannya minta maaf malah nyolot!” kataku tidak terima.
“Yaudah deh, saya minta maaf. Soalnya saya lagi buru-buru banget, nih!” katanya. “Ya, nggak
bisa gitu dong, budayakan ngantri! Udah gitu nggak pakai masker lagi!” kataku. “Lah, kok
pembicaraannya jadi kemana-mana ini.” “Lah, memang bener kok kamu nggak pakai masker!”
jelasku. “Ya, nggak apa-apa kali. Orang saya juga cuman bentaran doang, kok,” katanya tidak
merasa bersalah. “Tetep aja, dong! Dampaknya itu bukan cuman ke kamu doang! Orang-orang di
sekitar kamu juga bakalan kena dampaknya!” jelasku. “Aduh, maaf banget, Mbak. Ini kesalahan
saya sebagai pemilik toko yang tidak terlalu memperketat penerapan protokol kesehatan disini,
Mbak!” jelas kasir toko tersebut. “Wah, saya juga minta maaf, Mbak. Saya tidak bermaksud
menyinggung perasaan, Mbak!” jawabku merasa bersalah. “Nggak apa-apa, Mbak. Nah, ini
masker untuk Masnya! Lain kali, jangan lupa maskernya, ya!” kata kasir itu. “Masalahnya udah
selesaikan? Udah boleh bayar nggak, nih?” kata lelaki itu. Tidak sabaran sekali, titahku dalam
hati.

“Ayah!! Tadi Kakak ketemu orang nyebelin banget, deh!” kataku dengan wajah sebal.
“Kamu ini, Kak! Buka pintu bukannya bawa salam malah ngomel-ngomel nggak jelas,” nasihat
Ayah. “Ih, lagian tadi ada orang nyebelin banget, Yah!” kataku. “Siapa sih yang berani bikin
anak gadis Ayah ini kesal? Coba kasih tau ayah,” goda Ayah. “Ah, Ayah mah bisa aja!” kataku
malu-malu. “Nah, gitu dong, Kak. Kalau selalau senyum ginikan cantik! Lagian besok udah
mulai puasa, loh! Kita harus senantiasa sabar, Kak,” Nasihat Ayah. “Iyadeh, iya,” kataku.
Kamipun bergegas pulang, karena langit mulai gelap.
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.18, sudah waktunya sholat isya. Hari ini, hari
pertama dimulainya sholat tarawih. Seperti biasa, Aku dan keluargaku selalu melaksanakan
sholat tarawih di masjid dekat rumahku. “Ayo, buruan, kak! Ntar nggak dapat tempat, loh!”
teriak Ibu. “Iya, bentar, bu!” teriakku sambil bergegas turun dari kamar. “Lama banget sih, Kak.
Cuman pergi sholat doang,” kata Adikku. “Bocah diem aja, deh,” kataku sembari mengacak-acak
rambutnya. ‘Udah-udah, ayo kita berangkat!” pintah Ayah. “Ayo!” jawabku dan Adik kompak.

Sesampainya di masjid, Aku bertemu dengan temanku sewaktu kecil, yaitu Nadya. “Eh,
Nadya! Udah lama, kita nggak ketemu!” sapaku. “Ih, iyanih! Kamu sudah jarang keluar, sih!”
kata Nadya. “Kerjaannya main handphone mulu, Nad,” goda Ibu sambil berbisik ke Nadya. “Ih,
ibu! Aku bisa dengar tau!” kataku. “Udah-udah, yuk masuk, ntar nggak kedapatan tempat, loh!”
pintah Ibu.

Setelah selesai melaksanakan sholat tarawih, kami pun kembali ke rumah. Sesampainya
di rumah, kamipun duduk bersantai di ruang tengah sembari menonoton televisi. “Tarawih tahun
ini sepi, ya! Tidak seperti tahun-tahun yang lalu,” kata Adik. “Bener, tuh! Teman-teman Kakak
yang lain juga nggak kelihatan,” ucapku. “Yah, begitulah keadaan di tengah pandemi ini. Masih
banyak orang-orang yang takut untuk keluar rumah dan bertemu orang banyak,” jelas Ayah.
“Padahal, kita saat tarawih juga sudah mematuhi protokol kesehatan, kok! Pakai masker, udah.
Jaga jarak, juga sudah,” jelasku. “Tetap aja, Kak. Masih banyak orang-orang yang terlena dan
takut karena adanya virus Covid-19 ini,” jelas Ibu. “Udah-udah, ayo kembali ke kamarnya
masing-masing! Besok harus bangun sahur loh!” pintah Ayah. “Yah, baru aja kartun kesukaanku
mau mulai,” kata Adik sedih. “Udah, Dek. Besok kan masih bisa nonton. Jangan lupa siapkan
peralatan sekolahnya untuk besok!” pintah Ibu.

Sesampainya di kamar, Akupun merapikan buku-buku yang ku gunakan untuk


mengerjakan tugas dan merapikan tempat tidurku. Tak lupa pula Aku menyalakan alarm agar
bisa terbangun pada saat sahur nanti. Akupun menganti pakaianku dan bergegas untuk tidur.
Alarm pada dini hari ini cukup mengusik telingaku. Akupun terbangun dan turun ke
dapur. Di sana sudah terdapat Ibu yang sedang menyiapkan makanan untuk sahur. “Pagi, Bu,”
sapaku sambil masih terus menguap. “Pagi, anak Ibu yang cantik! Dicuci dulu mukanya, Kak.
Biar nggak terus-terusan nguap,” pintah Ibu. “Hehe, iyadeh,” jawabku sambil berjalan menuju
kamar mandi. “Kak, kalau udah cuci mukanya, tolong bangunkan Ayah dan Adik!” pintah Ibu
sambil berteriak. “Iya, Bu,” jawabku. Akupun bergegas membangunkan Ayah dan Adikku.
Setelah itu, Akupun kembali membantu Ibukku menyiapkan makanan.

Setelah makan sahur, Akupun kembali ke kamarku. Sembari menunggu adzan subuh,
Akupun memainkan handponeku. Tidak lama kemudian, adzan subuh berkumandang. Akupun
bergegas melaksanakan sholat subuh. Setelah melaksanakan kewajibanku sebagai umat islam,
Akupun berbaring di atas tempat tidur. Pada saat itu Aku merasa sangat ngantuk. Akupun
memutuskan untuk tidur sebentar. Lagipula, sekolah di mulai pukul 08.00. Tidak lupa, Aku
menyetel alarm pada pukul 06.30 agar tidak telat saat bangun nanti. Akupun kembali berjelajah
di alam mimpi.

Lagi-lagi bunyi alarm menggangu mimpi indahku. Akupun terbangun dari mimpiku pagi
itu dan segera bergegas untuk sekolah. Setelah semuanya sudah selesai, Akupun turun ke bawah
dan di sana sudah terdapat Ayah dan Adikku yang sedang menungguku. “Lama, ya? Hehe,”
tanyaku cengengesan. “Ih, buruan, Kak! Aku udah telat, nih!” pintah Adikku. “Iya iya, sabar
dong,” jawabku sembari memakai sepatuku.

Sesampainya di sekolah, Akupun berjalan dengan semangat menuju kelasku. Kelasku


terletak cukup jauh dari gerbang sekolah. Sesampainya di kelas, baru terdapat lima orang siswa
yang hadir. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 07.45. Oh ya, jumlah kelasku terdapat 36
siswa. Karena adanya pandemi ini, kelas kami di bagi menjadi dua kelas. Jadi, tiap kelas terdapat
18 siswa. Dan waktu belajarpun sangat terbatas, hanya sampai jam 12.20. Banyak sekali
hambatan di saat pandemi Covid-19 ini.

Perlahan-lahan kelaspun mulai banyak terisi siswa-siswi, ada yang telat dan sebagainya.
Tidak sedikit pula siswa-siswi yang ijin sakit, bahkan adapula yang keluar kota. Tak lama,
guruku yang mengajar pada jam pertama masuk. Kamipun melaksanakan pelajaran dengan
hikmat.
Waktu istirahat pun tiba. Karena sekarang sedang dalam bulan ramadhan, semua kantin
di sekolahku tutup. Kamipun mengisi waktu istirahat dengan berbagai macam kegiatan. Ada
yang bercerita, memainkan game online di HP, dan bahkan ada yang tertidur. Aku dan teman-
temanku memutuskan untuk menghabiskan waktu istirahat dengan bercerita.

“Kok, sedikit sih yang datang ke sekolah. Nggak seru banget!” titah Dara. “Lo datang
belajar atau datang cari teman, Dar?” goda Kayla. “Ih, bukan gitu! Lo mah nggak ngerti!” tegas
Dara. “Udah-udah, kenapa jadi berantem gini sih?!” lerai Shinta. “Cuman becanda doang kali,
Dar. Gue ngerti maksud lo,” jelas Kayla. “Bener juga sih kata Dara. Semenjak virus Covid-19 ini
menyebar, banyak sekali kegiatan-kegiatan yang terhambat. Seharusnya, dengan diberlakukan
kembalinya sekolah kita harus lebih semangat, bukannya malah pada nggak datang kaya gini,”
jelasku. “Bener tuh! Giliran disuruh belajar dari rumah, pada minta sekolah. Pas udah disuruh
sekolah pada sakit semua. Aneh banget, deh!” kata Dara. “Kita nggak boleh su’udzon gitu, Dar.
Bisa aja mereka beneran sakit, kan?” nasihat Nayla. “Ya, bener juga, sih. Tapi nggak masuk akal
kan sakitnya barengan?” sangah Dara. “Nah, bener. Apalagi yang ijin keluar kota. Di saat
pandemi kayak gini, bukannya diam di rumah malah jalan-jalan,” tambah Kayla. “Eh udah-udah,
bisa ajakan mereka keluar kota karena emang ada urusan yang penting banget. Nggak boleh
su’udzon gitu, nggak baik tau!” nasihat Shinta.

Bel masuk pun berbunyi, kamipun bergegas kembali ke tempat duduk masing-masing
dan menyiapakan buku untuk pelajaran selanjutnya. Beberapa saat kemudian, guru pun masuk
dan kami kembali melanjutkan pelajaran hari ini.

Tidak terasa, waktu pulang pun tiba. “Eh, lo pulang sama siapa, Shin?” tanyaku pada
Shinta. “Sendiri, nih. Mau bareng nggak?” tawar Shinta padaku. “Boleh deh. Kalau nunggu
Ayah takutnya lama,” jelasku. “Yaudah, ayuk! Lo sama siapa, Nay?” tanya Shinta. “Gue ada
pembinaan dulu, nih. Kalian duluan aja, deh!” jawab Nayla. “Okedeh, kita duluan ya, Nay!” kata
Shinta sambil melambaikan tangannya kepada Nayla. “Lo berdua bareng, kan?” tanyaku pada
Dara dan Kayla memastikan. “Iyadong,” jawab keduanya kompak. “Yuadah, yuk kita ke depan,”
pintah Shinta. Kamipun bersama-sama menuju parkiran yang terdapat di depan sekolah.
“Eh, Shin. Lo ngerasa nggak sih kalo lagi puasa tuh rasanya lebih panas banget,” tanyaku
pada Shinta. “Gue malah ngerasa tiap hari panas,” jawab Shinta. “Ih bukan! Kalo lagi puasa,
panasnya nambah 3 kali lipat!” tegasku. “Itu mah lo nya aja yang lebay!” jawab Shinta. “Ah, lo
mah nyebelin!” jawabku kesal. “Udah deh, diem. Gue turunin disini, mau lo!” ancam Shinta.
Akupun terdiam sembari menggerakan tanganku ke mulut seolah-olah mengunci mulutku.

Sesampainya di rumah, Akupun memasuki rumahku. “Assalamu’alaikum, Bu,” salamku.


“Wa’alaikumsalam, eh anak Ibu udah pulang. Pulang sama siapa, Kak?” tanya Ibu. “Sama
Shinta, Bu. Mau nunggu Ayah takutnya lama, mana panas banget lagi!” jelasku pada Ibu. “Ih
Kakak, nggak boleh ngeluh gitu! Seharusnya kalau lagi puasa gini, kita harus banyak bersyukur
kepada Allah, bersabar, dan bertawakal kepada-Nya. Bukannya malah ngeluh kayak gitu, Kak!”
nasihat Ibu. “Hehe, iyadeh maaf, Bu,” jawabku. “Jangan diulangi lagi ya, Kak. Eh, Kakak udah
kabarin belum ke Ayah kalau pulangnya bareng Shinta,” tanya Ibu. “Eh, iya lupa. Untung Ibu
ingatin,” jawabku cengengesan. “Kakak-kakak,” kata Ibu sambil menggeleng-gelengkan kepala
melihat kelakuan anaknya.

Selepas berbincang dengan Ibu, Akupun naik ke kamarku dan segera melaksanakan
sholat dzuhur. Setelah melaksanakan sholat dzuhur, Akupun mengerjakan tugas-tugas yang telah
diberikan oleh guruku di sekolah tadi. Saat sedang mengerjakan tugas-tugas tersebut, Aku
merasa sangat ngantuk sampai-sampai Akupun tertidur di meja belajarku.

“Kak, bangun! Di panggil Ibu, Kak! Ayo, Kak bangun!” ucap Adikku sambil
mengoyangkan badanku agar terbangun. “I-ih apaan, sih dek. Kakak masih ngantuk, lima menit
lagi, deh,” jawabku dengan mata yang masih terus tertutup. “Ih, Kakak! Bentar lagi mau buka
tau! Kalau sekali lagi Kakak nggak mau bangun, Aku aduin ke Ayah!” ancamnya. “E-eh iyadeh,
iya,” kataku sambil berjalan menuju ke bawah.

Di bawah, sudah terdapat Ibu yang sedang memasak dan Ayah yang sedang duduk di
meja makan sambil memainkan HP-nya. “Akhirnya bangun juga, Kak. Kalau lagi puasa gini,
tidur emang ibadah, Kak. Ya, tapi ada batasannya juga. Jangan maunya tidur mulu, ibadahnya
kapan, dong?” tanya Ibu. “Hehe, iya, Bu. Habisnya, tadi Aku ngantuk banget!” jelasku. “Udah-
udah, ayo kita bersiap-siap untuk buka,” pintah Ayah. “Baik, Yah!” jawabku dan Adikku
serempak.
TUGAS CERPEN
PANDEMI

Disusun Oleh:

Nama : Ifthita Aulya

Kelas : X MIA Unggulan 1

TAHUN AJARAN 2020/2021

Anda mungkin juga menyukai