Namaku Reina Salsabilla. Akrab dipanggil Rei. Saat ini, aku duduk dibangku Sekolah
Menengah Atas kelas 10 di salah satu sekolah favorit di Kabupaten Banyuwangi. Karena
jarak rumah dan sekolah yang sangat jauh, akhirnya aku memutuskan untuk kos di dekat
sekolah. Setelah kubereskan semua kebutuhanku, aku bergegas menuju ruang makan untuk
makan siang. Sambil menyantap makan siang aku membayangkan kamar kos yang akan
kutempati nantinya. Tanpa kusadari seseorang menepuk pundakku dan memanggil namaku.
Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 5.30, kuketuk pintu kos dengan ucapan
salam, Assalamualaikum. Dan tak beberapa lama kemudian seorang ibu keluar dari dalam
pintu tersebut.
“Waalaikumsalam. Kamu yang kemarin kesini kan? Mari silahkan masuk.”
“Iya, bu.”
“Coba ibu lihat dulu kamar mana yang masih kosong. Kemarin, juga ada anak baru
masuk sini. Oh, ini dia kamar nomor 7.”
“Iya, bu. Boleh saya langsung ke sana?”
“Iya, ini kuncinya. Begini nak, peraturan di sini hampir sama seperti kos lainnya.
Seperti bangun pukul 4, sholat berjama’ah dan mengaji. Setelah itu, kegiatan sekolah dan
pulang jangan terlalu sore. Oh iya, kalau mau keluar harus izin sama ibu dan kalau lama,
jangan sampai lebih dari jam 9 malam. Paham kan nak?” penjelasan panjang dari ibu kos.
“Iya, bu saya paham.” kataku sambil mengangguk tanda paham.
“Ya sudah, semoga betah tinggal di sini ya, nak”
Aku mengangguk dan membalas dengan senyuman. Ternyata ibu kos disini ramah,
kataku dalam hati sambil berjalan menyusuri lorong. Semua pintu kamar telah hampir dibuka.
Kulirik cepat dari sudut pintu yang terbuka. Kegiatan yang sama, mereka kebanyakan adalah
siswi SMA. Walau tak semuanya dari sekolah yang sama.
Di pintu itu tertera nomor 7, akhirnya sampai juga pada tujuan. Kubuka pintu segera
dengan bacaan bismillah dan salam. Sunyi, tenang dan rapi. Kamar ini cukup terawat dan
cocok sekali untukku. Aku segera menata baju di rak baju kecil di sudut ruangan dan juga
menata buku-buku di tempat belajar kecil yang ada disebelah rak baju. Setelah itu aku bersiap
untuk ganti baju.
Aku mengambil tas dan mengunci pintu. Sepanjang lorong menuju ke ruang makan,
kami bercengkrama. Paling tidak, aku sudah mengenal satu dari puluhan orang yang tinggal
disini. Ruangan itu cukup besar, ketika kudapati semua orang telah berada di meja makan.
Semua sibuk dengan piring masing-masing. Walau ada beberapa yang masih sempat untuk
berdandan, bermain gadget, membaca, dan bersenda gurau.
Jam telah menunjukkan pukul 6.20, semua telah bersiap untuk berangkat. Kami
bertiga bergegas menuju sekolah. Kak Ana mengenakan earphone, mendengarkan musik
favoritnya. Linda dan aku bercengkrama tentang keluarga kami masing-masing. Sampai
akhirnya kami berpisah karena kelas kami berbeda. Di depan kelasku sudah datang beberapa
temanku. Ada yang asyik bermain gadget, membaca, tiduran dan mengobrol. Kuletakkan
tasku dibangku dan tiba-tiba. Braakk.. tangan seorang perempuan menghantam mejaku. Siapa
lagi kalau bukan Cindy, teman sebangkuku. Memang seperti itu, setiap kali aku datang. Tidak
bosan-bosan mengagetkanku.
Waktu pun cepat berlalu. Jam menunjukkan pukul 1.30, bel berbunyi dan KBM pun
berakhir. Kubereskan semua buku kumasukkan kedalam tas dan bergegas menuju masjid
sekolah untuk menunaikan kewajiban. Setelah itu, aku melirik ke serambi masjid. Ternyata
sudah banyak orang di sana. Mungkin ini anggota hadrah, ucapku dalam hati. Kudekati
mereka dan seorang perempuan mendekatiku.
Aku mengucapkan terima kasih atas penjelasannya. Setelah itu aku mendekati kak
Sinta dan menanyakan hal itu. Semua yang berminat menjadi vokalis harus menyanyi
bersama, kak Sinta mulai mendengarkan dan memilih calon vokalis. Alhamdulillah, tidak
disangka-sangka akhirnya aku terpilih.
Tak kusadari, sepasang mata melirik ke arahku. Dia melihatku dengan tatapan datar.
Sepertinya, dia heran denganku. Mungkin karena aku tak pernah masuk ekskul sebelumnya.
Hanya kuabaikan, tapi ternyata dia tetap memperhatikanku sampai waktu ekskul selesai.
Kami berdoa sebelum mengakhiri latihan dan semua bergegas pulang. Segera kupakai sepatu
dan melangkah pergi karena waktu telah menunjukkan pukul 4 sore. Aku berjalan pulang
sendiri karena kak Ana dan Linda pasti sudah pulang sedari tadi.
Saat di tengah perjalanan, tiba-tiba ada yang berhenti di sampingku. Dia bertubuh
tinggi dan memakai helm. Aku tak menghiraukannya, tapi dia tetap saja berusaha
menghentikan langkahku. Saat aku sudah mulai marah dan penasaran siapa di balik helm itu,
akhirnya dia membuka tutup helm. Aku terkejut, dia adalah laki-laki yang tadi. Yang aku
temui di masjid. Pemain rebana yang memperhatikanku. Dia terlihat lebih tinggi dari yang
aku kira sebelumnya.
“Kok sendiri?”, laki-laki yang tak aku kenal itu mulai berbicara.
“Iya,” jawabku singkat.
“Enggak baik cewek jalan sendirian. Lagi pula ini sudah hampir larut. Sini aku antar
pulang.”
“Enggak usah, terima kasih. Udah deket kok.”
“Udahlah. Ayo naik,” ajaknya.
“Terima kasih, tapi beneran udah deket banget kok. Di sana, sudah terlihat,” dia
melihat arah yang telah kutunjukkan.
“Kamu tinggal disana?”
“Iya. Ya udah aku pulang dulu. Assalamualaikum,” kataku sambil beranjak pergi.
“Waalaikumsalam. Tunggu!” lagi-lagi dia menghentikanku.
“Apa lagi?”
“Aku Rio, kelas XII IPS-2. Salam kenal dan semoga betah di ekskul hadrah ya,”
katanya sambil mengulurkan tangan ke arahku.
“Iya, aku Reina, kelas X IPA 5. Terima kasih,” kataku sambil tersenyum dan
membalas uluran tangannya.
“Ya sudah cepet pulang, gih!” lanjutnya. Aku tersenyum dan melangkah pergi. Dia
sepertinya tetap memperhatikanku dan saat aku melangkah memasuki pagar rumah, ia
menghidupkan mesin motor lalu pergi.
Malamnya, aku mengerjakan PR di kamar kak Ana. Setelah selesai mengerjakan PR,
aku mencoba menceritakan kejadian tadi pada kak Ana yang sedang mendengarkan musik.
Setelah hari itu, kak Rio dan aku menjadi akrab. Bahkan terkadang, dia tersenyum dan
menyapaku saat di kantin dan mengajariku bagaimana bermain rebana saat ekskul. Kusadari,
hari-hariku terasa berbeda setelah hari itu atau bahkan menjadi lebih baik. Aku tak
menyangka, kak Rio bisa sangat akrab ini denganku. Sekarang, aku merasakan hal aneh.
Mungkinkah aku jatuh cinta padanya?
Kupakai baju kesayanganku, memakai tas kecil lalu berpamitan pada ibu kos.
Kulangkahkan kaki menuju kedai yang dimaksud kak Rio. Entah mengapa, rasanya
hatiku tak karuan. Hanya dengan waktu 15 menit, aku sampai ke kedai kecil itu. Walau kecil,
namun tempat ini cocok untuk siapapun. Kubuka pintu kaca kedai itu dan mataku tertuju
pada meja nomor 4. Disana telah terdapat seorang laki-laki yang sangat kukenal. Aku
mendekatinya dan duduk di depannya.
Sambil menunggu pesanan itu, kami bersenda gurau menceritakan banyak hal. Aku
merasa nyaman berada di dekat kak Rio. Entahlah, aku tak tau apa yang membuatku seperti
itu. Tawa kami terhenti saat pesanan kami datang.
Hanya tersisa beberapa sendok lagi. Saat kak Rio memulai pembicaraan baru.
“Rei, boleh aku bicara sesuatu?” tanya kak Rio serius.
“Boleh kok, kakak bicara aja,” jawabku sambil melahap nasi goreng.
“Rei, jangan sampai kamu punya perasaan ke aku,” deg. Seketika mataku menatap
mata kak Rio yang penuh dengan keraguan. Aku menelan nasi dan menjawabnya.
“Maksud kakak?”
“Kamu tau kan? Sekarang aku sudah kelas tiga dan kamu masih kelas satu. Sebentar
lagi aku lulus. Aku nggak mau ngecewain kamu. Maksud aku, kita begini aja ya nggak usah
lebih dari ini,” lanjutnya. Aku menunduk, entah mengapa dadaku terasa sesak. Ingin rasanya
aku berlari keluar, namun tak mungkin kulakukan.
Aku duduk di kursi, menunduk. Dadaku terasa sesak dan tak terasa air mataku pun
menetes.
“Reina!” panggil kak Rio. Aku segera menyusap air mata dan menoleh ke arahnya.
“Iya, kak?” kak Rio menatapku.
“Kamu nangis, Rei?”
“Enggak kok, kak. Ini tadi ada truk lewat. Jadi, mataku kelilipan debu.”
“Oh, gitu. Kamu beneran gak apa-apa kan?”
“Beneran enggak apa-apa kok kak.”
“Ya udah, aku antar ya?”
“Enggak usah kak.”
“Udahlah, enggak apa-apa. Ayo naik!” ajaknya. Aku naik ke motor kak Rio walau
sebenarnya aku tak menginginkannya.
Di jalan kami saling terdiam. Aku masih tak menyangka jika kak Rio akan
mengatakan itu. Namun harus bagaimana lagi, itu sudah menjadi keputusannya.
Kami bergegas sholat berjamaah. Kusebut namanya saat berdo’a setelah sholat
maghrib dan juga isya’. Entah mengapa, setelah itu hatiku merasa tenang dan damai.
Walaupun luka itu masih ada, namun seperti datang kekuatan dalam diriku. Aku menuju
kamar kak Ana untuk mengobrol dan berencana untuk menginap. Kuketuk pintu kamar kak
Ana.
“Kak!”
“Waa, hahaha. Kaget nggak?”
“Enggak. Kakak udah biasa ngagetin aku.”
“Aduh, masih badmood ternyata adekku ini. Hihi, ayo masuk!”
Di tempat ini, kami bercanda sangat lama. Entahlah, kami bercanda tiada ujungnya.
Tetap saja ada cerita.
“Rei, jangan tidur dulu. Aku mau nunjukin sesuatu untukmu dan Linda juga.”
“Iya kak. Hooaam,” jawab kami dengan mata sayup karena mengantuk. Waktu telah
menunjukkan pukul 11.58.
“Sebentar lagi,” kata kak Sandra sambil membuka tirai jendela.
Duar, Duar, Duar. Aku dan Fitri membuka mata, sungguh indah tahun baru kali ini.
Melihat banyaknya kembang api menghiasi langit mata. Kututup mata dan berdoa kepada
illahi. Ya Allah, mudahkanlah kami dalam menuntut ilmu, ampuni dosa kami serta orangtua
kami dan kak Rio. Orang yang kusayangi, jika dia jodohku maka dekatkanlah, pertemukan
kami lagi ya Allah. Dan jika bukan, jauhkanlah ya Allah. Kubuka mata dan mengusap kedua
tangan ke wajah. Kunikmati bunyi kembang api malam itu. Kami bertiga bersenda gurau
bersama, hingga akhirnya kami terlelap.
Angin taman begitu membuatku nyaman. Kututup mata sambil mendengarkan alunan
musik dari handphone. Aku mendengar suara langkah kaki mendekat dan semakin mendekat.
Aku tak menghiraukannya, namun terdengar suara memanggilku dan kubuka mata.
“Reina.”
“Iya, siapa ya? Silahkan duduk,” jawabku sambil mematikan musik.
“Lupa ya?” kuperhatikan dia dan tak kusangka.
“Kak Rio? Maaf kak, Rei lupa, udah lama enggak ketemu juga. Bagaimana kabar
kakak?”
“Kabar kakak baik, Rei.”
“Waaa... kelihatannya, kakak udah sukses sekarang. Kakak kerja apa?”
“Aku sekarang jadi manager di sebuah perusahaan, Rei. Alhamdulillah banget. Terus
kamu sekarang kuliah semester berapa?”
“Semester 2 kak. Enggak nyangka bakal ketemu kakak lagi. Rei kira, kak Rio udah
lupa sama Reina.”
“Ya enggaklah. Emm Rei, aku boleh ngomong sesuatu apa enggak?”
“Boleh kok, kak”. Entah mengapa, aku merasa flashback dengan hal ini. Dadaku
sesak saat mengingat kejadian saat di kedai itu, 4 tahun lalu.
“Rei, sebelumnya aku minta maaf udah nyakitin perasaan kamu dulu. Tapi,
sebenarnya aku sayang sama kamu Rei. Aku enggak tega kalau aku nanti bisa nyakitin kamu.
Dan sekarang, kita udah sama-sama dewasa. Jadi…” tiba-tiba kak Rio memegang kedua
tanganku. Sontak aku kaget dan semua orang yang ada di dekat kami berteriak.
“Kamu mau enggak menjadi orang yang menemaniku menjalani kehidupan ini?
Menjadi orang yang sangat berarti bagi hidupku? Aku enggak bakal ngecewain kamu, Reina.
Enggak dan enggak bakal. Itu janji aku, Rei.”
“Terima-terima-terima,” teriak orang-orang di sekitar kami. Tak terasa, air mataku
mulai menetes dan aku menjawab tawarannya.
“Maaf kak, Reina enggak bisa.”
“Yaaahhhh,” teriak salah satu penonton. Wajah kak Rio yang semula tersenyum jadi
murung.
“Maaf kak, Reina enggak bisa. Rei enggak bisa nolak kakak!” lanjutku dengan
tertawa.
“Beneran, Rei?” tanya kak Rio antusias. Aku tersenyum dan mengangguk. Kak Rio
langsung berdiri. Dengan refleks, aku memeluk kak Rio dengan menangis. Semua orang yang
ada disitu bertepuk tangan dan perlahan satu persatu meninggalkan kami berdua.
“Terima kasih, Reina,” bisik kak Rio.
“Aku juga, makasih buat kakak yang masih ingat dan masih mau nemuin Rei,”
jawabku sambil menangis saat kak Rio mempererat pelukannya.
“Udah-udah. Masa Reina nangis?” kata kak Rio sambil mengusap pipiku.
“Ya udah, ada penjual ice cream disana. Beli yuk!” sambungnya sambil memegang
tanganku. Aku hanya bisa tersenyum dan melangkah bersama kak Rio.
Betapa bahagianya, sosok pria yang selama ini kutunggu akhirnya datang ke hidupku.
Terima kasih kak Rio. Terima kasih telah datang kepadaku lagi.
Wanita yang suka menonton film ini, mulai menekuni kegiatan menulis sejak
menginjak jenjang SD kelas 5, yaitu mengikuti lomba cipta puisi dan membuat cerpen di
sekolahnya dan meraih juara harapan 1. Setelah itu ia tidak menekuni bidang menulis lagi
karena menurut pendapatnya itu bukan passionnya, dan akhirnya ia berhenti menulis sewaktu
menginjak jenjang SMP. Saat menginjak jenjang SMA mulai mengikuti lomba puisi lagi
dengan karyanya yaitu “Sepenggal Kerinduan” dan membuat sebuah cerpen yang berjudul
“Hingga Tiba Saatnya”. Harapannya adalah untuk bisa membangkitkan semangatnya lagi
dalam bidang menulis seperti dulu lagi.