Anda di halaman 1dari 13

Hingga Tiba Saatnya

Karya Diah Rita Nurholifah, XI MIPA 5

Namaku Reina Salsabilla. Akrab dipanggil Rei. Saat ini, aku duduk dibangku Sekolah
Menengah Atas kelas 10 di salah satu sekolah favorit di Kabupaten Banyuwangi. Karena
jarak rumah dan sekolah yang sangat jauh, akhirnya aku memutuskan untuk kos di dekat
sekolah. Setelah kubereskan semua kebutuhanku, aku bergegas menuju ruang makan untuk
makan siang. Sambil menyantap makan siang aku membayangkan kamar kos yang akan
kutempati nantinya. Tanpa kusadari seseorang menepuk pundakku dan memanggil namaku.

“Reina, kamu ikut ekskul apa nak?”


“Entahlah, bu. Mungkin hadrah sesuai untukku.”
“Hadrah? Sejak kapan kamu menyukai hadrah?”
“Entahlah, ini sudah menjadi keputusanku.”
“Baiklah.”

“Ibu, Reina berangkat. Assalamualaikum.”


“Waalaikumsalam, hati-hati di jalan nak.”
“Iya, bu.”

Kulangkahkan kakiku menuju motor kesayanganku. Sebenarnya, berat rasanya aku


meninggalkan rumah ini. Untuk masa depan, akan kulakukan apapun yang terjadi. Sekarang,
aku akan menjalani hidup sendiri, dengan pengalaman baru yang akan menghiasi hidupku
selama tiga tahun kedepan. Ya, sekarang aku adalah seorang siswi SMA. Sudah seharusnya
aku hidup mandiri. Aku pasti akan merindukan ibu, ayah, adek, nenek dan juga teman-
temanku. Terutama Dinda, sahabatku. Karena hanya dia yang selalu ada untukku dalam
keadaan apapun.

Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 5.30, kuketuk pintu kos dengan ucapan
salam, Assalamualaikum. Dan tak beberapa lama kemudian seorang ibu keluar dari dalam
pintu tersebut.
“Waalaikumsalam. Kamu yang kemarin kesini kan? Mari silahkan masuk.”
“Iya, bu.”
“Coba ibu lihat dulu kamar mana yang masih kosong. Kemarin, juga ada anak baru
masuk sini. Oh, ini dia kamar nomor 7.”
“Iya, bu. Boleh saya langsung ke sana?”
“Iya, ini kuncinya. Begini nak, peraturan di sini hampir sama seperti kos lainnya.
Seperti bangun pukul 4, sholat berjama’ah dan mengaji. Setelah itu, kegiatan sekolah dan
pulang jangan terlalu sore. Oh iya, kalau mau keluar harus izin sama ibu dan kalau lama,
jangan sampai lebih dari jam 9 malam. Paham kan nak?” penjelasan panjang dari ibu kos.
“Iya, bu saya paham.” kataku sambil mengangguk tanda paham.
“Ya sudah, semoga betah tinggal di sini ya, nak”

Aku mengangguk dan membalas dengan senyuman. Ternyata ibu kos disini ramah,
kataku dalam hati sambil berjalan menyusuri lorong. Semua pintu kamar telah hampir dibuka.
Kulirik cepat dari sudut pintu yang terbuka. Kegiatan yang sama, mereka kebanyakan adalah
siswi SMA. Walau tak semuanya dari sekolah yang sama.

Di pintu itu tertera nomor 7, akhirnya sampai juga pada tujuan. Kubuka pintu segera
dengan bacaan bismillah dan salam. Sunyi, tenang dan rapi. Kamar ini cukup terawat dan
cocok sekali untukku. Aku segera menata baju di rak baju kecil di sudut ruangan dan juga
menata buku-buku di tempat belajar kecil yang ada disebelah rak baju. Setelah itu aku bersiap
untuk ganti baju.

Tokk-tokk, bunyi pintu mengagetkanku. Segera ku pakai jilbab dan membuka


pintunya. Seorang perempuan berjilbab, cantik, dan bertubuh langsing berdiri di depanku.

“Iya, ada apa ya?”


“Sarapan sudah siap. Ibu memanggilmu karena lupa memberitahu kalau setiap pagi
kami rutin dan harus sarapan. Dan untuk makanan selanjutnya bisa diambil di dapur berupa
nasi kotak. Oh iya, aku Ana. Kelas XII, kita satu almamater ya. Emm, yaudah buruan gih.
Udah ditungguin sama yang lainnya juga.”
“Iya kak” jawabku sambil mengangguk dan tersenyum.

Aku mengambil tas dan mengunci pintu. Sepanjang lorong menuju ke ruang makan,
kami bercengkrama. Paling tidak, aku sudah mengenal satu dari puluhan orang yang tinggal
disini. Ruangan itu cukup besar, ketika kudapati semua orang telah berada di meja makan.
Semua sibuk dengan piring masing-masing. Walau ada beberapa yang masih sempat untuk
berdandan, bermain gadget, membaca, dan bersenda gurau.

“Hai, kamu anak baru ya?”


“Iya. Kenalin, aku Reina, kamu?”
“Aku Linda. Kamu kelas apa? Seragam kita sama lho.”
“X IPA-5”
“Wow, IPA! Aku X IPS-1.”
“Oh iya, ngomong-ngomong kamu ikut ekskul apa?”
“Aku ikut ekskul hadrah,” jawabku sambil melahap menu sarapan.
“Oh, kenapa enggak ikut voli saja? Soalnya aku anggota voli lo!”
“Rumahku jauh banget. Lagi pula aku enggak begitu mahir main bola voli.”
“Enggak apa-apa kok. Semua kan butuh proses juga.”
“Iya juga sih, tapi aku anaknya mageran, alias males gerak, gimana dong?”
“Hahaha... kamu ini, mager kok dipelihara sih!”
“Dihabisin dulu gih makanannya. Udah jam 6.12 nih!” kata kak Ana di sela-sela
obrolan kami.

Jam telah menunjukkan pukul 6.20, semua telah bersiap untuk berangkat. Kami
bertiga bergegas menuju sekolah. Kak Ana mengenakan earphone, mendengarkan musik
favoritnya. Linda dan aku bercengkrama tentang keluarga kami masing-masing. Sampai
akhirnya kami berpisah karena kelas kami berbeda. Di depan kelasku sudah datang beberapa
temanku. Ada yang asyik bermain gadget, membaca, tiduran dan mengobrol. Kuletakkan
tasku dibangku dan tiba-tiba. Braakk.. tangan seorang perempuan menghantam mejaku. Siapa
lagi kalau bukan Cindy, teman sebangkuku. Memang seperti itu, setiap kali aku datang. Tidak
bosan-bosan mengagetkanku.

“Reina, kaget gak?”


“Enggak.”
“Aduh, Reina cantik. Yang semangat dong. Apa kurang keras ya gebrak meja nya?”
“Enggak juga, tapi aku mau hemat tenaga.”
“Bukannya kamu selalu hemat tenaga ya?”
“Nanti kan masuk ekskul. Lagi pula ini hari ini pertama ekskul.”
“Oo gitu.”
“Kamu tau kan kalau rumahku jauh. Jadi enggak pernah masuk ekskul”
“Iya. Maaf deh, bercanda kok.”

Ttteeenggg… Lonceng sekolah berbunyi menandakan waktu KBM dimulai. Sungguh,


hari ini adalah hari baru untukku. Memulai kehidupan baru di masa-masa sekolah menengah.

Waktu pun cepat berlalu. Jam menunjukkan pukul 1.30, bel berbunyi dan KBM pun
berakhir. Kubereskan semua buku kumasukkan kedalam tas dan bergegas menuju masjid
sekolah untuk menunaikan kewajiban. Setelah itu, aku melirik ke serambi masjid. Ternyata
sudah banyak orang di sana. Mungkin ini anggota hadrah, ucapku dalam hati. Kudekati
mereka dan seorang perempuan mendekatiku.

“Anggota baru ya?”


“Iya.”
“Tepat sekali, sekarang ada pemilihan vokalis baru.”
“Benarkah? Tapi, aku belum tau bagaimana caranya?” jawabku lugu.
“Itu disana ada kak Sinta. Dia vokalis, sering juga mengikuti banyak lomba.”

Aku mengucapkan terima kasih atas penjelasannya. Setelah itu aku mendekati kak
Sinta dan menanyakan hal itu. Semua yang berminat menjadi vokalis harus menyanyi
bersama, kak Sinta mulai mendengarkan dan memilih calon vokalis. Alhamdulillah, tidak
disangka-sangka akhirnya aku terpilih.

Tak kusadari, sepasang mata melirik ke arahku. Dia melihatku dengan tatapan datar.
Sepertinya, dia heran denganku. Mungkin karena aku tak pernah masuk ekskul sebelumnya.
Hanya kuabaikan, tapi ternyata dia tetap memperhatikanku sampai waktu ekskul selesai.
Kami berdoa sebelum mengakhiri latihan dan semua bergegas pulang. Segera kupakai sepatu
dan melangkah pergi karena waktu telah menunjukkan pukul 4 sore. Aku berjalan pulang
sendiri karena kak Ana dan Linda pasti sudah pulang sedari tadi.

Saat di tengah perjalanan, tiba-tiba ada yang berhenti di sampingku. Dia bertubuh
tinggi dan memakai helm. Aku tak menghiraukannya, tapi dia tetap saja berusaha
menghentikan langkahku. Saat aku sudah mulai marah dan penasaran siapa di balik helm itu,
akhirnya dia membuka tutup helm. Aku terkejut, dia adalah laki-laki yang tadi. Yang aku
temui di masjid. Pemain rebana yang memperhatikanku. Dia terlihat lebih tinggi dari yang
aku kira sebelumnya.

“Kok sendiri?”, laki-laki yang tak aku kenal itu mulai berbicara.
“Iya,” jawabku singkat.
“Enggak baik cewek jalan sendirian. Lagi pula ini sudah hampir larut. Sini aku antar
pulang.”
“Enggak usah, terima kasih. Udah deket kok.”
“Udahlah. Ayo naik,” ajaknya.
“Terima kasih, tapi beneran udah deket banget kok. Di sana, sudah terlihat,” dia
melihat arah yang telah kutunjukkan.
“Kamu tinggal disana?”
“Iya. Ya udah aku pulang dulu. Assalamualaikum,” kataku sambil beranjak pergi.
“Waalaikumsalam. Tunggu!” lagi-lagi dia menghentikanku.
“Apa lagi?”
“Aku Rio, kelas XII IPS-2. Salam kenal dan semoga betah di ekskul hadrah ya,”
katanya sambil mengulurkan tangan ke arahku.
“Iya, aku Reina, kelas X IPA 5. Terima kasih,” kataku sambil tersenyum dan
membalas uluran tangannya.
“Ya sudah cepet pulang, gih!” lanjutnya. Aku tersenyum dan melangkah pergi. Dia
sepertinya tetap memperhatikanku dan saat aku melangkah memasuki pagar rumah, ia
menghidupkan mesin motor lalu pergi.

Malamnya, aku mengerjakan PR di kamar kak Ana. Setelah selesai mengerjakan PR,
aku mencoba menceritakan kejadian tadi pada kak Ana yang sedang mendengarkan musik.

“Kak,” kataku memulai perbincangan.


“Iya, ada apa dek?” jawabnya sambil mencopot earphone kanan dari telinganya.
“Reina boleh cerita nggak kak?”
“Boleh, cerita aja. Kalau mau cerita silahkan saja. Insyaallah, kakak bisa bantu.”
“Begini kak, tadi..” aku menceritakan semuanya.
“Gitu kak. Kakak kenal kak Rio?”
“Rio XII IPS-2?” sambil wajahnya terlihat mengingat-ingat.
“Anak hadrah itu ya?”
“Iya, kak.”
“Dari cerita kamu sih menurut aku, sudah pasti dia suka kamu, dek.”
“Apa? Enggak mungkin kak. Dia aja baru ketemu aku tadi.”
“Cinta kan enggak direncana. Cinta itu kan datangnya tiba-tiba. Hahaha...”
“Idih, kakak apaan sih,” jawab ku manyun.

Trttrtrrttrtrr. Diraihnya ponselku dari tangan oleh kak Ana.


“Waah.. Nomor tak dikenal nih. Siapa hayo? Jangan-jangan, Rio!” lanjut nya dengan
tawa yang lebih keras dari pada yang tadi.
“Kak Ana!”
“Siapa tau aja benar kan, coba deh aku balas ya?”
“Iya udah, silahkan,” jawabku dengan nada datar.
“Jangan marah dong adek cantikku,” bujuknya. Suasana yang tadinya hangat, menjadi
sedikit tegang.

Tak lama kemudian ponselku bergetar lagi.


“Dibalas dong Reina!” kak Ana membaca pesan lalu melirikku dengan tatapan
meledek, sedikit menjengkelkan memang.
“Tuh kan beneran Rio, ciah adekku Reina! Belum ada satu hari tinggal disini udah
dapet cowok saja. Kakak jadi iri nih. Hahaha..” segera aku meraih ponselku untuk
mengetahui kebenarannya. Mataku terbelalak kaget karena ternyata memang benar, kak Rio
yang mengihubungiku.
“Gimana, masih belum percaya juga sama kakak?”, kata kak Ana menggodaku.
“Udah kak, percaya kok. Tapi, dari mana ya kak Rio bisa dapat nomor aku? Atau
jangan-jangan dari absen hadrah tadi,” gumamku.
“Udahlah, sana ngobrol aja sama Rio. Hahaha..”
“Kak Ana!”
“Reina-Reina. Ya udah, kakak udah ngantuk. Kamu mau tidur disini atau di kamar
kamu sambil chatting sama Rio?” kata kak Ana yang terus meledekku.
“Idih, kakak appan sih! Umm, yaudah aku tidur di kamarku sendiri aja kak. Selamat
malam kakak bawel.”
“Hehe, iya. Makasih adek bawel juga. Yaudah cepetan gih dibalas, udah di tunggu tuh.
Jangan lama-lama.”
“Hehe, siap kakak bawel,” jawabku tersipu malu. Menutup pintu kamar kak Ana dan
menuju kamarku.
Aku merebahkan tubuhku ke kasur. Aku memperhatikan ponselku dengan serius, kemudian
membalas pesan itu.
“Iya, aku Reina. Rio siapa ya?” balasku. Hanya beberapa detik, pesanku dibalas.
“Lupa ya? Aku Rio yang tadi sore sempet ngobrol sama kamu.”
“Oh, kak Rio ya. Maaf ya kak, Reina nggak tau. Kakak dapet nomor aku dari mana
ya?”
“Dari absen ekskul hadrah tadi.”
“Oh, gitu.”
“Iya. Kok belum tidur?”
“Belum. Kakak sendiri juga belum.”
“Haha.. Aku nungguin kamu,” sontak aku terkejut, entah mengapa timbul perasaan
aneh di hati. Belum genap satu menit setelah pesan itu kubaca, datang satu pesan lagi.
“Emm, Rei. Kamu cepetan tidur gih. Udah malem, Sleepwell,” tutup kak Rio. Tak
kusadari, bibirku melengkung dengan manis. Tersenyum hingga kusadari pipiku terasa panas.
Aku meletakkan ponsel di meja, merangkul guling dan menatap ke arah jendela sembari
tersenyum hingga tak terasa semuanya menjadi gelap.

Setelah hari itu, kak Rio dan aku menjadi akrab. Bahkan terkadang, dia tersenyum dan
menyapaku saat di kantin dan mengajariku bagaimana bermain rebana saat ekskul. Kusadari,
hari-hariku terasa berbeda setelah hari itu atau bahkan menjadi lebih baik. Aku tak
menyangka, kak Rio bisa sangat akrab ini denganku. Sekarang, aku merasakan hal aneh.
Mungkinkah aku jatuh cinta padanya?

Buukkk.. Tangan seseorang menepuk pundakku. Dia telah membuyarkan lamunanku


dan aku menoleh, ternyata kak Ana.
“Aduh, kak Ana ngagetin Reina aja deh!” jawabku kesal.
“Lagian sih, dari tadi aku perhatiin cuma hp aja yang kamu lihat. Nunggu siapa sih?
Rio ya?” tanya kak Ana sambil melahap camilan yang ada di meja kamarku.
“Apaan sih kak,” jawabku malu.

Trrttrrtttrrrtt.. Dengan cepat tangan kak Ana merebut hp di tanganku.


“Waah.. dari Rio nih! Buka aja gih.”
“Kak Ana!” jawabku. Kak Ana hanya tertawa mendengar jawabanku. Ia mulai
membaca pesannya.
“Waah.. Rei, dia ngajak kamu keluar nih. Di kedai deket SMA, utara jalan,” katanya.
“Beneran kak?”
“Iya. Waduh, adekku. Hahaha,” lagi-lagi dia tertawa.
“Ya sudah cepet mandi gih, udah bau. Nanti Rio jadi nggak mau lho sama Reina.
Hahaha,” goda kak Ana.
“Kakak apaan sih!” jawabku tersipu malu. Aku segera menuju kamar mandi. Kak Ana
hanya tertawa kecil melihat tingkahku.

Kupakai baju kesayanganku, memakai tas kecil lalu berpamitan pada ibu kos.

“Jangan pulang sore-sore ya nak, awas kalau terlalu sore.”


“Hehe. Iya ibu pasti tepat waktu kok, assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, nak. Hati-hati ya!”
“Siap bu,” kataku dengan tersenyum.

Kulangkahkan kaki menuju kedai yang dimaksud kak Rio. Entah mengapa, rasanya
hatiku tak karuan. Hanya dengan waktu 15 menit, aku sampai ke kedai kecil itu. Walau kecil,
namun tempat ini cocok untuk siapapun. Kubuka pintu kaca kedai itu dan mataku tertuju
pada meja nomor 4. Disana telah terdapat seorang laki-laki yang sangat kukenal. Aku
mendekatinya dan duduk di depannya.

“Eh, Reina. Mau pesan apa?”


“Ng, mau pesen nasi goreng aja kak.”
“Minumnya?”
“Terserah kakak aja” jawabku sambil tersenyum.
“Mbak, nasi goreng dua ya. Minumnya? Emm, es teh sama es jeruknya satu.”

Sambil menunggu pesanan itu, kami bersenda gurau menceritakan banyak hal. Aku
merasa nyaman berada di dekat kak Rio. Entahlah, aku tak tau apa yang membuatku seperti
itu. Tawa kami terhenti saat pesanan kami datang.

Hanya tersisa beberapa sendok lagi. Saat kak Rio memulai pembicaraan baru.
“Rei, boleh aku bicara sesuatu?” tanya kak Rio serius.
“Boleh kok, kakak bicara aja,” jawabku sambil melahap nasi goreng.
“Rei, jangan sampai kamu punya perasaan ke aku,” deg. Seketika mataku menatap
mata kak Rio yang penuh dengan keraguan. Aku menelan nasi dan menjawabnya.
“Maksud kakak?”
“Kamu tau kan? Sekarang aku sudah kelas tiga dan kamu masih kelas satu. Sebentar
lagi aku lulus. Aku nggak mau ngecewain kamu. Maksud aku, kita begini aja ya nggak usah
lebih dari ini,” lanjutnya. Aku menunduk, entah mengapa dadaku terasa sesak. Ingin rasanya
aku berlari keluar, namun tak mungkin kulakukan.

“Rei, kamu marah ya?”


“A.. Nggak kok,” jawabku dengan tersenyum walau senyum itu hambar rasanya.
“Tapi kok kelihatan murung?”
“Enggak kok, kak.”
“Ya udah, ayo pulang. Udah hampir maghrib nih.”
“Iya, kak. Aku tunggu di luar ya,” dia mengangguk dan tersenyum. Sedangkan aku
melangkahkan kaki keluar dari kedai.

Aku duduk di kursi, menunduk. Dadaku terasa sesak dan tak terasa air mataku pun
menetes.

“Reina!” panggil kak Rio. Aku segera menyusap air mata dan menoleh ke arahnya.
“Iya, kak?” kak Rio menatapku.
“Kamu nangis, Rei?”
“Enggak kok, kak. Ini tadi ada truk lewat. Jadi, mataku kelilipan debu.”
“Oh, gitu. Kamu beneran gak apa-apa kan?”
“Beneran enggak apa-apa kok kak.”
“Ya udah, aku antar ya?”
“Enggak usah kak.”
“Udahlah, enggak apa-apa. Ayo naik!” ajaknya. Aku naik ke motor kak Rio walau
sebenarnya aku tak menginginkannya.

Di jalan kami saling terdiam. Aku masih tak menyangka jika kak Rio akan
mengatakan itu. Namun harus bagaimana lagi, itu sudah menjadi keputusannya.

“Aku pulang dulu, ya. Makasih udah mau datang.”


“Iya, kak. Hati-hati,” kak Rio mengendarai motor dan kemudian pergi.
Aku berlari memasuki kamar kak Ana. Kak Ana yang melihatku menangis langsung
memelukku.

“Rei, kenapa kamu nangis?” tanya kak Ana.


“Kak Rio, kak. Kak Rio,” kataku sambil menangis di pelukkan kak Ana.
“Rio kenapa? Coba cerita ke kakak.”
“Kak Rio tadi bilang, jangan sampai aku punya perasaan sama dia. Padahal sekarang,
aku berharap kalau dia bisa temenin aku menikmati masa-masa sekolah ini. Tapi apa kak?
Dia bilang kalau dia udah kelas tiga dan dia takut ngecewain aku. Aku nyaman sama kak Rio
kak. Aku beneran sayang,” kataku disela-sela tangisku.
“Udah, jangan nangis. Tapi emang bener apa yang dikatakan Rio. Dia udah gede.
Pasti dia takut kalau seumpama dia pacaran sama kamu, terus dia kuliah di luar kota ketemu
cewek yang menurut dia lebih dari kamu. Trus dia lebih milih cewek itu, nanti kamu yang
terluka. Udah, jangan sedih. Ayo sholat dulu dan berdoa sama Allah jika memang Rio jodoh
kamu, semoga kamu di hari esok dipertemukan lagi dengan Rio,” nasihat kak Ana. Aku
hanya mengangguk dan tersenyum. Begitu pun kak Ana.

Kami bergegas sholat berjamaah. Kusebut namanya saat berdo’a setelah sholat
maghrib dan juga isya’. Entah mengapa, setelah itu hatiku merasa tenang dan damai.
Walaupun luka itu masih ada, namun seperti datang kekuatan dalam diriku. Aku menuju
kamar kak Ana untuk mengobrol dan berencana untuk menginap. Kuketuk pintu kamar kak
Ana.

“Kak!”
“Waa, hahaha. Kaget nggak?”
“Enggak. Kakak udah biasa ngagetin aku.”
“Aduh, masih badmood ternyata adekku ini. Hihi, ayo masuk!”

Di tempat ini, kami bercanda sangat lama. Entahlah, kami bercanda tiada ujungnya.
Tetap saja ada cerita.

“Rei, jangan tidur dulu. Aku mau nunjukin sesuatu untukmu dan Linda juga.”
“Iya kak. Hooaam,” jawab kami dengan mata sayup karena mengantuk. Waktu telah
menunjukkan pukul 11.58.
“Sebentar lagi,” kata kak Sandra sambil membuka tirai jendela.
Duar, Duar, Duar. Aku dan Fitri membuka mata, sungguh indah tahun baru kali ini.
Melihat banyaknya kembang api menghiasi langit mata. Kututup mata dan berdoa kepada
illahi. Ya Allah, mudahkanlah kami dalam menuntut ilmu, ampuni dosa kami serta orangtua
kami dan kak Rio. Orang yang kusayangi, jika dia jodohku maka dekatkanlah, pertemukan
kami lagi ya Allah. Dan jika bukan, jauhkanlah ya Allah. Kubuka mata dan mengusap kedua
tangan ke wajah. Kunikmati bunyi kembang api malam itu. Kami bertiga bersenda gurau
bersama, hingga akhirnya kami terlelap.

Angin taman begitu membuatku nyaman. Kututup mata sambil mendengarkan alunan
musik dari handphone. Aku mendengar suara langkah kaki mendekat dan semakin mendekat.
Aku tak menghiraukannya, namun terdengar suara memanggilku dan kubuka mata.

“Reina.”
“Iya, siapa ya? Silahkan duduk,” jawabku sambil mematikan musik.
“Lupa ya?” kuperhatikan dia dan tak kusangka.
“Kak Rio? Maaf kak, Rei lupa, udah lama enggak ketemu juga. Bagaimana kabar
kakak?”
“Kabar kakak baik, Rei.”
“Waaa... kelihatannya, kakak udah sukses sekarang. Kakak kerja apa?”
“Aku sekarang jadi manager di sebuah perusahaan, Rei. Alhamdulillah banget. Terus
kamu sekarang kuliah semester berapa?”
“Semester 2 kak. Enggak nyangka bakal ketemu kakak lagi. Rei kira, kak Rio udah
lupa sama Reina.”
“Ya enggaklah. Emm Rei, aku boleh ngomong sesuatu apa enggak?”
“Boleh kok, kak”. Entah mengapa, aku merasa flashback dengan hal ini. Dadaku
sesak saat mengingat kejadian saat di kedai itu, 4 tahun lalu.

“Rei, sebelumnya aku minta maaf udah nyakitin perasaan kamu dulu. Tapi,
sebenarnya aku sayang sama kamu Rei. Aku enggak tega kalau aku nanti bisa nyakitin kamu.
Dan sekarang, kita udah sama-sama dewasa. Jadi…” tiba-tiba kak Rio memegang kedua
tanganku. Sontak aku kaget dan semua orang yang ada di dekat kami berteriak.
“Kamu mau enggak menjadi orang yang menemaniku menjalani kehidupan ini?
Menjadi orang yang sangat berarti bagi hidupku? Aku enggak bakal ngecewain kamu, Reina.
Enggak dan enggak bakal. Itu janji aku, Rei.”
“Terima-terima-terima,” teriak orang-orang di sekitar kami. Tak terasa, air mataku
mulai menetes dan aku menjawab tawarannya.
“Maaf kak, Reina enggak bisa.”
“Yaaahhhh,” teriak salah satu penonton. Wajah kak Rio yang semula tersenyum jadi
murung.
“Maaf kak, Reina enggak bisa. Rei enggak bisa nolak kakak!” lanjutku dengan
tertawa.
“Beneran, Rei?” tanya kak Rio antusias. Aku tersenyum dan mengangguk. Kak Rio
langsung berdiri. Dengan refleks, aku memeluk kak Rio dengan menangis. Semua orang yang
ada disitu bertepuk tangan dan perlahan satu persatu meninggalkan kami berdua.
“Terima kasih, Reina,” bisik kak Rio.
“Aku juga, makasih buat kakak yang masih ingat dan masih mau nemuin Rei,”
jawabku sambil menangis saat kak Rio mempererat pelukannya.
“Udah-udah. Masa Reina nangis?” kata kak Rio sambil mengusap pipiku.
“Ya udah, ada penjual ice cream disana. Beli yuk!” sambungnya sambil memegang
tanganku. Aku hanya bisa tersenyum dan melangkah bersama kak Rio.

Betapa bahagianya, sosok pria yang selama ini kutunggu akhirnya datang ke hidupku.
Terima kasih kak Rio. Terima kasih telah datang kepadaku lagi.

Banyuwangi, 4-6 November 2019


Diah Rita Nurholifah, lahir di
Banyuwangi 4 Juni 2002. Anak pertama
dari dua bersaudara itu lahir dari pasangan
Sunarno dan Halimah. Dengan saudara
kandung laki-laki yang bernama Moh.
Haikal Akbar. Menetap di Wonosobo,
Srono. Akrab dipanggil Rita oleh keluarga
dan teman-temannya. Rita lahir dari
keluarga sederhana, Ayahnya seorang Wiraswasta sedangkan Ibunya seorang ibu rumah
tangga. Kini ia tengah melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 2 GENTENG yang
bermetamorfosis dengan kepolisian, SMA Negeri 2 TARUNA BHAYANGKARA
GENTENG JAWA TIMUR. Sekarang ini ia duduk di kelas 11 jurusan MIPA. Setelah lulus
nanti, ia berencana melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Ia juga aktif pada ekstrakulikuler
PASKIBRA di sekolahnya. Karena itu, pada bulan agustus 2019 kemarin ia terpilih menjadi
salah satu anggota PASKIBRA tingkat kecamatan.

Wanita yang suka menonton film ini, mulai menekuni kegiatan menulis sejak
menginjak jenjang SD kelas 5, yaitu mengikuti lomba cipta puisi dan membuat cerpen di
sekolahnya dan meraih juara harapan 1. Setelah itu ia tidak menekuni bidang menulis lagi
karena menurut pendapatnya itu bukan passionnya, dan akhirnya ia berhenti menulis sewaktu
menginjak jenjang SMP. Saat menginjak jenjang SMA mulai mengikuti lomba puisi lagi
dengan karyanya yaitu “Sepenggal Kerinduan” dan membuat sebuah cerpen yang berjudul
“Hingga Tiba Saatnya”. Harapannya adalah untuk bisa membangkitkan semangatnya lagi
dalam bidang menulis seperti dulu lagi.

Anda mungkin juga menyukai