Anda di halaman 1dari 3

Aryana

Cerpen Karangan: I Komang Ary Sukma Putra


Aryana memandangi langit senja ini. Terasa kelam dan redup, meski sebenarnya ini hari yang cerah. Hati yang risau
membuatnya begitu. Ia duduk sendiri bersandarkan rumput-rumput kering. “Kapan hidupku tak lara lagi?” ucapnya
dalam hati sambil melamun. Tak terasa sang surya sudah terbangun. Ternyata Aryana tertidur dalam lamunannya.
Saatnya untuk kembali bekerja. Mencetak batu bata seratus perhari adalah target yang harus dicapai. Bukan untuk
sekolah melainkan untuk makan sehari-hari.
“Bu… ini ada sedikit uang dari mencetak batu bata tadi” “Terimakasih yan…akan ibu belikan beras, maafkan ibu harus
membuatmu berkerja seperti ini”
“Tidak apa-apa bu, tinggal bersama ibu, aku sudah merasa bersyukur”
Iya..Aryana dari kecil ditinggal orangtuanya. Bukan karena meninggal dunia, melainkan dampak dari budaya
kehidupan jaman Siti Nurbaya. Ketika Aryana dilahirkan tidak ada yang mau mengurusnya. Ayahnya pergi menikah lagi
ke sebuah desa nun jauh. Sama halnya dengan ibunya yang menikah dengan seorang berkasta yang sesuai aturan tak
boleh membawanya ikut. Bahkan dari yang tak tau apa-apa Aryana sudah lepas dari
hangatnya kasih saying orangtua. Sungguh malang. Tetapi beruntung, adik ibunya mau merawat Aryana kecil. Ibu
angkat Aryana bukanlah orang yang berada, selain Aryana, ia juga harus merawat keempat anak kandungnya. Tanpa
pilih kasih. Aryana tetap dianggap sebagai anaknya sendiri. Masa kecil Aryana jauh dari kata menyenangkan. Kerasnya
hidup menempa ia menjadi pribadi yang serba bisa. Bukan karena bakat, melainkan mau tak mau ia harus dapat
melakukan segalanya. Merawat adik, memasak, menganyam bambu, semua harus dapat ia lakukan demi hutang budi
ke ibu angkatnya. Dibalik itu semua, tersimpan dalam hati Aryana untuk sekolah. Mimpi besar Aryana adalah menjadi
pendidik. Tugas mulia sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
“Iii…buu bolehkah aku sekolah?” pinta Aryana dengan lirih.
“Maafkan ibu yan, ibu ingin sekali menyekolahkanmu, tapi ibu belum punya uang”
“Iya ibu tidak apa-apa”
Aryana benar-benar tau keadaan hidupnya. Ia tidak mau terlalu memaksakan kehendaknya untuk sekolah. Ia terus
bekerja keras setiap hari, bekerja apapun dia akan lakukan asalkan baik dan mendapatkan uang. Jika lebih, uangnya
akan dia tabung dicelengan bambu miliknya. Berkat ketekunan, Aryana akhirnya dapat bersekolah. Dari tahun ke
tahun banyak pekerjaan telah ia lakukan, mulai dari kernet bus sampai kuli
bangunan. Semua ia lakukan demi mimpi besarnya. Memang, waktu berjalan sangat cepat. Aryana sudah hampir
menyelesaikan sekolahnya, sedikit lagi ia akan menjejaki bangku kuliah, jika dihitung-hitung ia tinggal mengumpulkan
sedikit lagi uang untuk biaya awal kuliahnya.
Pendaftaran tinggal tiga hari lagi, ketika Aryana ingin menghitung uangnya, tiba-tiba celengan bambunya hilang. Ia
mencari di bawah kasur, di belakang lemari, ia mencarinya kemana-mana tapi tidak menemukannya. Saat itu ia panik
setengah mati.
“Ibu, apakah ibu mengambil celengan bambuku?” Tanya Aryana kepada ibunya
“Tidak yan, ibu tidak pernah melihat apalagi mengambil celengan bambumu”
Aryana terus mencari celengannya. Ketika sampai di dapur dia terkejut melihat adik terkecilnya sedang memasak air
menggunakan bambu.
“Dik, kamu sedang apa?” Tanya Aryana kepada adiknya
“Sedang memasak air kak” jawab adik terkecilnya
“Di mana kamu mendapatkan bambu itu?”
“Dari sana” menunjuk tempat Aryana menyimpan celengannya. Aryana diam. Dadanya serasa ditusuk. Perasaan perih
bercampur dengan pikiran kacau. Sekarang, semua uangnya sudah menjadi abu.
“Sia-sia yang kulakukan selama ini” bisik hati Aryana.
Aryana tidak bisa menyalahkan adiknya karena dia belum tau apa-apa. Tak terasa butiran air bening membasahi
pipinya, tak bisa menahan perih di hati.
“Yan, kenapa kamu menangis?”
“Uangku bu… uangku untuk kuliah telah hangus terbakar”
“Kenapa bisa terbakar?” Tanya ibunya dengan sedikit terkejut
“Dibakar adik bu…” “Sudahlah yan… jangan bersedih lagi! Jangan juga marahi adikmu! Kamu bisa memakai uang
simpanan ibu dulu” “Tapi bu, uang itu kan dipakai untuk keperluan sehari-hari?”
“Tidak apa-apa, rasa sakitmu lebih besar dari ibu. Ibu yakin mimpimu adalah penolong keluarga ini kelak”
Tangis Aryana hilang setelah mendengarkan perkataan ibunya. Masih ada harapan untuk ia meraih mimpi.
Hari demi hari telah berlalu. Sekarang Aryana ingin melihat pengumuman penerimaan mahasiswa yang tertempel di
sudut dinding kampus. Ia mencari namanya urut tetapi tidak berhasil ia temukan.
“Aku tidak lulus” ucapnya dalam hati tak percaya. Semua kemelut dirasakan Aryana. Perjuangannya seakan sia-sia.
Aryana pulang. Kepalanya terus menatap ke bawah, seakan tanpa arah. Kakinya terus berjalan, serasa tanpa pijakan.
“Kenapa jadi begini. Dosakah aku?, bisik hati Aryana.
Tuhan seperti tidak memiliki keadilan. Cobaan bertubi-tubi ditinpa Aryana, habis semua air mata karena meratapi
nasibnya. Hari itu Aryana tetap melanjutkan pekerjaan. Ia mendapatkan pekerjaan dari Pak Made, saudagar kaya di
desanya. Aryana diminta menanam singkong, ketika menanam benih singkong ke dalam tanah, Aryana merasa
seakan-akan mimpinya terkubur juga.
“Kenapa kamu Yan?” Tanya PakMade melihat wajah Aryana lesu.
“Tidak ada apa-apa Pak” berpura-pura tidak ada masalah.
“Tidak usahlah kamu berbohong, Bapak sudah dengar cerita dari ibumu”
Aryana tidak bisa bicara apapun, malu karena sudah berbohong kepada Pak Made. “Sudahlah Yan, Apapun yang
terjadi hari ini, bersabarlah! Tidak ada orang yang bisa langsung bahagia, tanpa diuji kesabarannya dalam kesedihan.
Bapak akan membantumu, besok mendaftarlah lagi!”
“Bernahkah itu Pak?” Aryana tak percaya
“Iya, Bapak sudah melihat ketekunanmu selama ini, kamu pantas mendapatkannya” Senyum bahagia dirasakannya
Aryana. Senyum paling indah yang memaksa diri keluar melalui linangan air mata. Mimpi yang tadi terkubur tumbuh
menjadi harapan baru bagi dirinya.
Menanti Bintang Bersinar

Cerpen Karangan: Yacinta Artha Prasanti

“Doni, sudah waktunya belajarr!!!” teriak ibu dari luar kamar Doni. Doni tetap sibuk memandang
dan memainkan gamesnya di depan komputer. “Dasar anak ini!” ibu mulai jengkel. Doni namanya,
anak yang pemalas, tidak pernah belajar dan selalu mengulur waktu. Hari harinya selalu diisi
dengan bermain game dan pergi ke warnet. Sepulang sekolah, selalu saja telat pulang, karena
mampir ke warnet sampai sore hari. Lalu, ia tidur dan bermain game lagi sampai larut malam.
Ayah dan ibunya sudah sangat letih menasehati anaknya itu.

UN sudah mulai dekat. Doni sangat santai sekali. “Doni, UN sudah mau dekat. Belajarlah Nak,
jangan bermain game terus” kata ibu Doni. “UN kan gampang bu, cuma baca 5 menit aja udah
selesai. Gampang kok, tenang aja” Doni masih sibuk dengan COC nya. “Terserah kamu lah Doni,
ayah dan ibu sudah letih menasehatimu!!!” bentak ayah Doni. Doni pun berlari ke arah kamarnya
dan membanting pintu. Bukannya mengoreksi diri sendiri, malah melanjutkan COC nya itu.

“Duh, susah amat ni soal!”gumam Doni sambil memperhatikan soal matematikanya itu. “Ngasal
aja deh!”. Selama UN, Doni selalu menjawab ngasal. Saat penerimaan rapot, Doni sangat sedih
karena NEM nya hanya 10,35. “Itulah akibatnya” ibunya kecewa. Doni hanya bisa menyesal dan
menangis.

“Kalau di Swasta, bayarnya sangat mahal, pak. Tak mungkin kita dapat membiayainya. Kita harus
menyekolahkan Doni ke SMP Negeri” ucap ibu Doni suatu malam. “Mari kita survey dahulu” jawab
ayah Doni. Sudah 9 kali, Doni gagal diterima di SMP Negeri. Akhirnya, Doni disekolahkan di SMP
yang tidak terfavorit dan tidak berkualitas. Penyesalan tetap penyesalan. Berusahalah mumpung
masih ada waktu.

Anda mungkin juga menyukai