Anda di halaman 1dari 5

Persahabatan

Aku Riza 15 tahun aku ada di bumi ini, aku berteman dengan matahari dan angin,
matahari yang memberiku cahaya dalam petangku, dan angin selalu memberiku
kesejukan dalam penatnya jiwaku.
Alam yang selalu bersahabat denganku..
Gunung aku dapat mendakinya dengan kekuranganku, Laut aku dapat merasakan
kerasnya ombak yang kau benturkan dalam kecilnya kakiku
Hati dan pikiranku selalu terbayang menemukan cahaya dalam kegelapan
Hati dan pikiranku selalu terbayang antara cinta dan persahabatan,
Egoku terlalu tinggi hingga aku tak memikirkan tentang cinta, Egoku terlalu tinggi hingga
aku lupa akan arti sebuah persahabatan.

Alan, ya dia mungkin seseorang yang tak kuanggap penting dalam hidupku,
hingga persepsiku tentangnya begitu tak kupirkan.
Aku lebih cinta pada kesendirianku… entah cinta macam apakah itu?

Di depan rumahku, Kulangkahkan kakiku, dan embun pagi menyambutku, aku


berjalan dengan kakiku, kaki yang tak sempurna, terkadang orang mentertawakanku
dengan kekuranganku itu, apa peduliku tentang semua itu, karena sudah ada angin yang
memberiku kesejukan dalam penatnya jiwaku.

“Riza tunggu aku” siapa itu? suara di belakangku! tak asing aku mendengar
suaranya
“oh, ternyata kau” saut ku, Alan muncul di belakangku.
“Kau mau kemana za?” tanya alan kepadaku
“Apa pedulimu? hingga kamu ingin tau ke mana aku akan pergi” aku enggan
menjawabnya
“jangan gitu lah za kita kan teman”
“teman?”
“iya teman”
“Lan aku ingin sendiri aku ingin bertemu sahbatku, jadi kamu gak usah ikutin aku deh”
jawabku kepadanya
“What sahabat? Riza-riza selama ini yang kau itu selalu sendiri dengan ranselmu” apa kau
bilang bertemu sahabatmu? hahah ngiGo lu za
Hem!! senyumku untuk alan
“Ya kemana-mana selama ini aku sendiri, apa masalahmu, sahabatku ada langit, angin,
gunung, laut mereka selalu ada dalam hidupku, aku juga bahagia dengan ransel dan
tongkat penyangga kakiku ini”

“hahah za-za apa mereka selalu kau ajak bicara? Dan mereka bisu hingga kau
cerita tak ada yang menjawabmu?” Alan tersenyum untukku
Aku enggan mendengarkannya aku melangkah maju dengan kedua kakiku dan satu
tongkat yang kupunya. Aku tak pernah berfikir dia yang selalu ada sebagai temanku tapi
bukan sahabatku.

“Riza tunggu?”
“Apalagi lan?”
“Aku ikut!”
“Memang kamu tau aku mau ke mana?”
“Nggak aku gak tau, emang kamu mau ke mana Za?”
“Melihat awan dan dekat dengan langit, hingga aku bisa merasakan dingin udara yang
menyentuhku”
“hahah memang ada?”
“Ada, jika kau ingin tau ikut lah denganku”
“oke dah aku ikut, aku seperti ini aja deh gak usah ganti baju lagi lah”
“terserah kamu”

Aku dan Alan menuju sepeda motor bututku dengan tongkat penyangga kakiku
yang tak sempurna, inilah aku, aku cinta pada kekuranganku, karena ku tau dia yang
memiliki kekurangan pasti memiliki kekuatan hati yang lebih besar dari mereka yang
memiliki kelebihan.
1 jam perjalanan dari kotaku ya kota jember, menuju kota tetangga yang memiliki
puncak yang indah,
“Riza kau hebat ya, selama ini kau nyetir motor sendiri dengan membawa ransel dan
keadanmu seperti ini”
“Lan Aku tak hebat, apakah kamu tau apa yang membuatku terlalu nyaman dengan
kesendirianku?”
“Apa emang za?”
“Lihatlah sebelah kanan dan kirimu!”
“Apa za Cuma ada awan, langit biru dan hamparan penghijauan”
“Ya betul itu yang membuatku seperti ini, aku cinta mereka, tanpa kau sadari mereka
yang selalu ada dalam keseharianmu bukan?, aku juga bersyukur pada yang kuasa
karena dia telah ciptakan mereka, yang selalu ada untuk bumi ini”
“Tapi lan kau tertalu asyik sendiri hingga kau sering mengabaikan orang lain, kau selalu
lupa, jika kau kemana-mana lihatlah ayahmu dia selalu bingung mencarimu’
“ayah bingung?” hmm… biarlah
Aku hanya ingin melepas jenuhku dalam angin, karena angin setiap waktu
menghembuskan udara untuk dunia.

“Kriiing-Kriing”
“Riza-riza teleponmu berdering”
“Siapa lan? tolong lihatin siapa yang telepon”
“Ayahmu za”
“Ayah?? Biarlah”
“Angakat lah Za, barang kali penting kan?”
“sejak kapan penting”

1 jam perjalanan telah kulewati bersama alan, ya di sini kutemukan kebahagiaan, aku
bahagia melihat sahabat-sahabatku.
“Lan lihat sahabatku mulai menyambutmu”
“iya za bagus sekali, tapi aku kepikiran ayahmu barang kali ada apa-apa di rumah, kan
kita gak tau dirumah dia juga sendiri, tadi kau berangkat juga gak pamit kan?”
“Lan puncak b29, 2.900 meter diatas permukaan laut ada di depan mata aku ingin
melihat awan dan dekat dengan langit” kenapa kau masih bahas itu beberapa kilo meter
lagi kita sampai”
“Lan kau jangan egois gitu lah, ayahmu juga penting kan”
“jangan bahas dia! turun dah kau tak usah ikut ke puncak”
“aku lebih baik turun za daripada melihat awan dan langit dengan orang yang tak
mengerti apa arti keindahan”

Emosiku mulai muncul, kuhentikan motorku dan kuturunkan dia di pinggir jalan
biarlah aku tak peduli entah dengan siapa dia pulang nanti.
“Tak usah kau ajari aku lan” aku lebih mengerti semua itu” kuhidupkan motorku dan
kutinggalkan dia di pinngir jalan menuju puncak.
“Kau akan mengerti za setelah kau tiba di puncak, setelah kau melihat awan dan dekat
dengan langit karena kau tak pernah mengerti arti keindahan, kau egois, kau tak pernah
memandang orang lain ada, kau hanya mementingkan dirimu sendiri” Suara alan
menjerit kepadaku tapi aku hanya menolehnya aku tak mempedulikannya.
Alan: “Dia sungguh egois, tak pernah menghargai orang lain, di hanya mempedulikan
tujuannya sendiri, tapi dia akan menyadarinya nanti setelah ia tiba di puncak”.

Aku sungguh senang puncak di depan mataku, aku turun dari motorku aku
menuju puncak aku berjalan ke sana.
“Ini yang kuinginkan melihat awan dan dekat dengan langit, sahabatku menyambutku,
aku sungguh senang menghampirinya”
Kusendiri di atas puncak itu aku senang,
Tapi setelah kusadari, dan aku terdiam…
Saat awan mendekat kepadaku, tapi kenapa dia sangat jauh, dan aku dekat dengan
langit tapi mengapa dia sangat jauh, aku bisa melihat gunung dan aku kecil disitu
“Mengapa ada yang kurang dariku, hati kecilku berkata lain, mereka ada di dekatku tapi
mereka jauh, apa benar yang dikatakan Alan?”
“Aku sengguh egois, aku mementingkan diriku sendiri, hingga Ayahku sendiri kujahui
tanpa alasan yang jelas, temanku kutinggalkan sendiri di tepi jalan, Ah apa aku ini?”
Kuberlari kuhidupkan motorku…
“Alan ya ku harus menyusulnya”.

“Alannnn…”
“kenapa kau kembali? apa kau sudah sadar, apa kau sudah mengerti?”
“Maaf”
“kenapa kau ucap maaf padaku, maafkan dirimu sendiri dan ubalah pola pikirmu itu, ok
tak masalah kau bermain dengan alam, tapi kau juga harus mengerti kau tak selamanya
hidup sendiri, kau masih butuh orang lain, apalagi ayahmu”
“ya aku sadar aku salah lan”
“sekarang telepon ayahmu”

Ku telepon ayahku dan aku sadar selama ini aku mengabaikannya.


“Hallo”
“Hallo, le kamu di mana le? gak pamit ke ayah, ayah kuwatir nang kowe le
“Ayah maafkan Riza”
Aku tak kuasa mendengarkan suara ayahku, dan kututup ponselku

“Riza lihat awan di sana mereka dekat dengan langit, awan juga dekat dengan gunung,
kau ingat awan juga bisa menjadi hujan dan bisa menyirami bumi, karena awan tak selalu
jadi putih dan awan tak hanya satu”
“Alan aku sadar,”
Aku tau dan mengerti dan aku belajar dari semua ini, aku belajar dari alam, tak
selamanya Pohon berdiri tegak dan kokoh, ada titik dimana dia butuh air untuk tumbuh
hijau, dan juga ada titik dimana pohon akan rapuh dan jatuh terkikis oleh angin.

Tamat

Anda mungkin juga menyukai