Anda di halaman 1dari 23

Nama

: Abi Nugraha

Nim

: 422983

Prodi

: Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia

Matkul

: Sastra Kontemporer

Semester : V
1. Cerpen Hujan karya Sutardji Calzoum Bachri
HUJAN
***
Hujan menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di
atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak
lelap di kamar.
Alhamdulillah hujan, bilang Ayesha sambil turun dari ranjang dan
melangkah ke ruang depan. Ayesha memang senang pada hujan. Jika hujan datang,
ia serasa kedatangan teman yang akrab. Tapi, Ayesha tak membukakan pintu bagi
sahabatnya itu. Ia hanya menyibakkan gorden di ruang depan dan dari kaca jendela
diamatinya hujan di halaman. Ia juga tak mengucapkan selamat datang. Buat apa,
hujan selalu selamat. Kalau kata-kata semacam itu diucapkan bakal berlebihan, pikir
Ayesha.
Bermula karena merajuk pada matahari, ia beranjak senang pada hujan. Itu
ketika masih usia sekitar lima tahunan, ketika ikut-ikutan ibunya memindahkan anak
tanaman suplir ke halaman yang lantas remuk redam dibantai panas siang.
Kini, sudah lama ia tak benci matahari, tapi tetap saja ia lebih senang pada
hujan. Dari hari ke hari, dari hujan ke hujan ia selalu semakin senang pada hujan. Di
kelas, jika hujan datang ia selalu menatap ke luar. Guru mula-mula kesal, tapi
akhirnya dibiarkan. Bagaimana pun, ia anak yang pintar. Ayesha selalu masuk dalam
rangking terbaik di kelasnya.
Tidak sekedar senang pada hujan, kemudian ia pun bertanya-tanya sendiri
tentang hujan. Bukan cuma butir-butir air yang mengucur di langit. Bukan hanya
butir-butir runcing di ubun-ubun ketika orang lewat di jalan. Pastilah ada sesuatu

yang lain dari hujan, begitu pikir Ayesha. Lantas, setiap hujan datang ia selalu
menyapa, apakah hujan. Hujan menjawab dengan hujan. Dengan gemericik air,
dengan gemertap di atap, dengan butir-butir dingin dan segar yang bersambungan
sampai langit.
***
Kini, dalam jenjang usia enam belas, bagian-bagian tubuhnya elok
membesar, bersama hati dan pikiran yang ikut berkembang. Dari hujan ke hujan,
hujan semakin membukakan diri selapis-selapis padanya. Dan ia mulai semakin
paham hujan. Lewat kaca jendela, ditatapnya hujan yang sedang membukakan
makna. Butir-butir air lebat bersama angin menyibakkan dedaunan di halaman, dan
pada dedaunan itu hujan menjadi dedaunan hujan. Deras hujan meniti-niti pagar dan
pada pagar itu ia menjadi pagar hujan.
Lihatlah, hujan meloncat-loncat dari ranting ke ranting dan menjadi ranting
hujan. Hujan pun berkisar dan mengusap-usap mawar, dan pada mawar itu menjadi
mawar hujan. Lantas, pada buah jambu hujan menggelembung dan menjadi buah
hujan.
Ayesha ingin memetik buah hujan tanpa menanggalkan jambu. Ia ingin
meraih mawar hujan tanpa mengganggu mawar halaman. Ia ingin meniti dahan dan
menyibak-nyibak ranting hujan tanpa mematahkan ranting dan membebani dahan
itu. Ia ingin berjingkat pada pagar hujan tanpa menginjak besi pagar. Ia ingin, tapi ia
tak mau membuka pintu melangkah ke luar dan masuk ke dalam hujan.
Buat apa? Bercakap-cakap dengan hujan, memetik hujan, bukanlah harus
berhujan-hujan. Engkau memetik makna ucapan orang, tidaklah harus masuk ke
mulut orang atau memetik lidahnya, bilang Ayesha.
***
Dan ia pun kini paham, hujan di luar mengajak bangkit hujan yang di dalam
dirinya. Nyanyi hujan di atap, lambaian hujan pada dedaunan, dan kaki-kaki hujan
di halaman terus memanggil-manggil. Jangan engkau bilang bunyi hujan. Hujan
bukan sekedar gertap di kaleng Khong Guan, misalnya. Bagi Ayesha, hujan adalah
ucapan yang mendedah sastra, nyanyi, musik, atau tari. Lihatlah, hujan menyibaknyibakkan tarian pada dedaunan dan melentun anggun pada dahan dan batang.

Terpagut pada tari hujan, Ayesha mulai bersijingkat ke tengah ruangan dan
segera melangkahkan tarian. Bagai angsa mengarungi telaga, ia pun asyik
melayarkan tari. Ah, tidak tepat benar seperti angsa. Angsa tak pernah basah dengan
tarian, sedangkan Ayesha melulu basah dengan tarian. Namun, jika engkau cicip
tengkuk atau sikunya, kau takkan merasakan asin keringat di sana. Arena yang basah
itu hujan.
Ia telah menjadi hujan sekarang. Ia menderas dari pojok ke pojok ruangan
menarikan hujan. Bila piroutte ia putarkan, hujanlah yang memutarkan. Sesaat ia
tegak tenang, membuat batang hujan dari lekuk tubuhnya dan membiarkan rintikrintik tari merajut-rajut rambut hujan di tengkuknya. Lantas, jari-jemari kakinya
meniti-niti tari sambil membiarkan tempias tari di lantai. Maka, lantai ruangan ikut
basah dengan tarian. Lihatlah, ia menekukkan lutut dan tangan anggun tarinya
memetik kuncup hujan yang perlahan-lahan berkembang menjadi mawar hujan ke
seluruh badan. Lalu, datanglah kupu-kupu hujan dari negeri yang jauh menangkup
telinganya, membuahinya dengan rintik-rintik musik dari negeri kekal yang dekat
sekaligus jauh.
Kini, Ayesha telah memiliki buah dan mawar hujan. Sekarang ia telah
sampai pada kematangan hujan. Jika tarinya membelai mawar hujan, hujanlah yang
membelaikannya. Bila ia memetik musik hujan, hujanlah yang memetikkan.
***
Dalam puncak hujan tarinya itu, tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Ayesha
tersentak, dan putuslah tarian. Ibunya pulang dari super market terperangah sesaat
melihat lantai basah dan Ayesha yang tertegun bagaikan patung yang masih
menangkap sisa hujan.
Ibu memandang langit-langit. Kering, tak ada basah di sana. Ia pun
tersenyum, lantas ia letakkan plastik belanjaan di sofa dan pergi mengambil handuk
di kamar.
Rupanya engkau mengembara lagi, Ayesha, ujarnya sambil mengelap
tubuh anaknya yang masih terpancang diam dan menyimpan hujan. Dan gumpalan
jari-jemari katun handuk itu perlahan-lahan mengembalikan Ayesha pada dunia yang
kering kerontang.
***

Unsur intrinsik dalam cerpen Hujan


1. Plot

2. Setting
Pada cerpen Hujan tersebut, rumah dijadikan sebagai latar tempat
cerita, pada saat turun hujan. Latar sosial dalam cerpen ini adalah
kesederhanaan. Ini terlihat pada kutipan di bawah ini.
Ibunya pulang dari super market terperangah sesaat melihat lantai
basah. Supermarket disini menunjukkan keluarga ayesha adalah
keluarga yang sederhana. Tidak kekurangan atau sangat berkecukupan.
3. Tokoh
Pada cerpen Hujan tersebut, tokoh utama bukanlah pengarangnya
sendiri. Dibawah ini akan di bahas beberapa tokoh yang melukiskan penokohan
setiap tokoh.
o Ayesha adalah seorang anak yang pintar. Ini dapat kita lihat pada
kutipan berikut.
Di kelas, jika hujan datang ia selalu menatap keluar. Guru mulamula kesal. Tapi akhirnya dibiarkan. Bagaimanapun ia anak yang
pintar.
4. Konflik
Peristiwa dalam cerpen Hujan ini mengisahkan seorang anak gadis
yang begitu menyukai hujan. Jika kita telaaah lebih dalam kita akan
menemukan latar belakang mengapa gadis tersebut begitu menyukai hujan.
Bermula karena kebenciannya pada matahari. Seperti pada kutipan dibawah ini.
Bermula karena merajuk kepada matahari, ia beranjak senang pada
hujan. Itu ketika usia limatahunan, ketika ikut-ikutan ibunya
memindahkan anak tanaman suplir ke halaman yang lantas remuk
redam dibantai panas siang.

Persoalan-persoalan social, budaya, dan kemasyarakatan dalam cerpen Hujan

Analisis semiotika dalam cerpen Hujan


Judul cerpen Hujan karya Sutardji Calzoum Bachri ini telah
mengisyaratkan sebuah personifikasi sifat-sifat manusia, yaitu pengungkapan
hujan yang direfleksikan sebagai mahluk hidup khususnya manusia. Sutarji
melukiskan hujan sebagai sahabat atau teman akrab. hujan sebagai laki-laki yang
dapat memanggil-manggil. hujan yang mampu mendedahkan sastra, musik,
nyanyi, atau tari. Hujan yang menyibak-nyibakkan tarian dan melentun anggun
pada dahan, dan batang. Hal ini jelas merupakan bagian dari mahluk hidup
khususnya manusia.
Cerpen hujan karya Sutardji Calzoum Bachri ini dibuka dengan hujan
yang menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap,
dan membangunkan ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak di
kamar. Jika kita kaji lagi kata-kata yang digunakan Sutarji untuk melukiskan hujan
begitu menyamai kelakuan manusia sebagai mahluk hidup.

2. Cerpen Kartu Pos dari Surga karya Agus Noor


KARTU POS DARI SURGA
***

Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat


menghambur. Hati-hati! teriak sopir. Tapi gadis kecil itu malah mempercepat
larinya. Seperti capung ia melintas halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu.
Pasti kartu pos dari Mama telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayangbayangkan: bergambar apakah kartu pos Mama kali ini? Hingga Bu Guru
menegurnya karena terus-terusan melamun.
Beningnya tertegun, mendapati kotak itu kosong. Ia melongok, barangkali
kartu pos itu terselip di dalamnya. Tapi memang tak ada. Apa Mama begitu sibuk
hingga lupa mengirim kartu pos? Mungkin Bi Sari sudah mengambilnya! Beningnya
pun segera berlari berteriak, Biiikkk, Bibiiikkk. Ia nyaris kepleset dan
menabrak pintu. Bik Sari yang sedang mengepel sampai kaget melihat Beningnya
terengah-engah begitu.
Ada apa, Non?
Kartu posnya udah diambil Bibik, ya?
Tongkat pel yang dipegangnya nyaris terlepas, dan Bik Sari merasa mulutnya
langsung kaku. Ia harus menjawab apa? Bik Sari bisa melihat mata kecil yang
bening itu seketika meredup, seakan sudah menebak, karna ia terus diam saja.
Sungguh, ia selalu tak tahan melihat mata yang kecewa itu.
Marwan hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi. Sekarang,
setiap pulang, Beningnya selalu nanya kartu pos suara pembantunya terdengar
serba salah. Saya ndak tahu mesti jawab apa Memang, tak gampang
menjelaskan semuanya pada anak itu. Ia masih belum genap enam tahun. Marwan
sendiri selalu berusaha menghindari jawaban langsung bila anaknya bertanya, Kok
kartu pos Mama belum datang ya, Pa?
Mungkin Pak Posnya lagi sakit. Jadi belum sempet ngater kemari
Lalu ia mengelus lembut anaknya. Ia tak menyangka, betapa soal kartu pos
ini akan membuatnya mesti mengarang-ngarang jawaban.
Pekerjaan Ren membuatnya sering bepergian. Kadang bisa sebulan tak
pulang. Dari kota-kota yang disinggahi, ia selalu mengirimkan kartu pos buat

Beningnya. Marwan kadang meledek istrinya, Hari gini masih pake kartu pos?
Karna Ren sebenarnya bisa telepon atau kirim SMS. Meski baru play group,
Beningnya sudah pegang hape. Sekolahnya memang mengharuskan setiap murid
punya hand phone agar bisa dicek sewaktu-waktu, terutama saat bubaran sekolah,
untuk berjaga-jaga kalau ada penculikan.
Kau memang tak pernah merasakan bagaimana bahagianya dapat kartu
pos
Marwan tak lagi menggoda bila Ren sudah menjawab seperti itu. Sepanjang
hidupnya, Marwan tak pernah menerima kartu pos. Bahkan, rasanya, ia pun jarang
dapat surat pos yang membuatnya bahagia. Saat SMP, banyak temannya yang punya
sahabat pena, yang dikenal lewat rubrik majalah. Mereka akan berteriak senang bila
menerima surat balasan atau kartu pos, dan memamerkannya dengan membacanya
keras-keras. Karena iri, Marwan pernah diam-diam menulis surat untuk dirinya
sendiri, lantas mengeposkannya. Ia pun berusaha tampak gembira ketika surat yang
dikirimkannya sendiri itu ia terima.
Ren sejak kanak sering menerima kiriman kartu pos dari Ayahnya yang
pelaut. Setiap kali menerima kartu pos darinya, aku selalu merasa Ayahku muncul
dari negeri-negeri yang jauh. Negeri yang gambarnya ada dalam kartu pos itu
ujar Ren. Marwan ingat, bagaimana Ren bercerita, dengan suara penuh kenangan,
Aku selalu mengeluarkan semua kartu pos itu, setiap Ayah pulang. Ren kecil
duduk di pangkuan, sementara Ayahnya berkisah keindahan kota-kota pada kartu
pos yang mereka pandangi. Itulah saat-saat menyenangkan dan membanggakan
punya Ayah pelaut. Ren merawat kartu pos itu seperti merawat kenangan.
Mungkin aku memang jadul. Aku hanya ingin Beningnya punya kebahagiaan yang
aku rasakan
Tak ingin berbantahan, Marwan diam. Meski tetap saja ia merasa aneh, dan
yang lucu: pernah suatu kali Ren sudah pulang, tetapi kartu pos yang dikirimkannya
dari kota yang disinggahi baru sampai tiga hari kemudian!
***

Ketukan di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya


berdiri sayu menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak kayu

yang dulu juga dipakai Ren menyimpan kartu pos dari Ayahnya. Marwan melirik
jam dinding kamarnya. Pukul 11.20.
Enggak bisa tidur, ya? Mo tidur di kamar Papa?
Marwan menggandeng anaknya masuk.
Besok Papa bisa anter Beningnya enggak? tiba-tiba anaknya bertanya.
Nganter ke mana? Pizza Hut?
Beningnya menggeleng.
Ke mana?
Ke rumah Pak Pos
Marwan merasakan sesuatu mendesir di dadanya.
Kalu emang Pak Posnya sakit biar besok Beningnya aja yang ke rumahnya,
ngambil kartu pos dari Mama.
Marwan hanya diam, bahkan ketika anaknya mulai mengeluarkan setumpuk
kartu pos dari kotak itu. Ia mencoba menarik perhatian Beningnya dengan memutar
DVD Pokoyo, kartun kesukaannya. Tapi Beningnya terus sibuk memandangi
gambar-gambar kartu pos itu. Sudut kota tua. Siluet menara dengan burung-burung
melintas langit jernih. Sepeda yang berjajar di tepian kanal. Pagoda kuning
keemasan. Deretan kafe payung warna sepia. Dermaga dengan deretan yacht
tertambat. Air mancur dan patung bocah bersayap. Gambar pada dinding goa. Bukit
karang yang menjulang. Semua itu menjadi tampak lebih indah dalam kartu pos.
Rasanya, ia kini mulai dapat memahami, kenapa seorang pengarang bisa begitu
terobsesi pada senja dan ingin memotongnya menjadi kartu pos buat pacarnya.
Andai ada Ren, pasti akan dikisahkannya gambar-gambar di kartu pos itu
hingga Beningnya tertidur. Ah, bagaimanakah ia mesti menjelaskan semuanya pada
bocah itu?
Bilang saja Mamanya pergi kata Ita, teman sekantor, saat Marwan
makan siang bersama. Marwan masih ngantuk karena baru tidur menjelang jam lima
pagi, setelah Beningnya pulas,
Bagaimana kalau ia malah terus bertanya, kapan pulangnya?
Ya sudah, kamu jelaskan saja pelan-pelan yang sebenarnya.
Itulah. Ia selalu merasa bingung, dari mana mesti memulainya? Marwan
menatap Ita, yang tampak memberi isyarat agar ia melihat ke sebelah. Beberapa

rekan sekantornya terlihat tengah memandang mejanya dengan mata penuh gosip.
Pasti mereka menduga ia dan Ita.
Atau kamu bisa saja tulis kartu pos buat dia. Seolah-olah itu dari Ren.
Marwan tersenyum. Merasa lucu karena ingat kisah masa lalunya.
***

Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya


meloncat turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati, tetapi
bocah itu telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan tersenyum. Ia
sengaja tak masuk kantor untuk melihat Beningnya gembira ketika mendapati kartu
pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari jendela ia bisa melihat anaknya
memandangi kartu pos itu, seperti tercekat, kemudian berlarian tergesa masuk
rumah.
Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.
Wah, udah datang ya kartu posnya?
Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
Ini bukan kartu pos dari Mama! Jari mungilnya menunjuk kartu pos itu.
Ini bukan tulisan Mama
Marwan tak berani menatap mata anaknya, ketika Beningnya terisak dan
berlari ke kamarnya. Bahkan membohongi anaknya saja ia tak bisa! Barangkali
memang harus berterus terang. Tapi bagaimanakah menjelaskan kematian pada anak
seusianya? Rasanya akan lebih mudah bila jenazah Ren terbaring di rumah. Ia bisa
membiarkan Beningnya melihat Mamanya terakhir kali. Membiarkannya ikut ke
pemakaman. Mungkin ia akan terus-terusan menangis karena merasakan kehilangan.
Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari tangisnya ketimbang
harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan mayatnya tak pernah
ditemukan.
***

Ketukan gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas


lewat, sekilas ia melihat jam kamarnya.
Ada apa? Marwan mendapati Bik Sari yang pucat.
Beningnya

Bergegas Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar


anaknya. Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu.
Cahaya yang terang keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang cekikikan riang,
seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari
dinding. Bau wangi yang ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi
lantai. Rasanya ia hendak terserap amblas ke dalam kamar.
Beningnya! Beningnya! Marwan segera menggedor pintu kamar yang
entah kenapa begitu sulit ia buka. Ia melihat ada asap lembut, serupa kabut, keluar
dari lubang kunci. Bau sangit membuatnya tersedak. Lebih keras dari bau amoniak.
Ia menduga terjadi kebakaran dan makin panik membayangkan api mulai melahap
kasur.
Beningnya! Beningnya! Bik Sari ikut berteriak memanggil.
Buka Beningnya! Cepat buka!
Entahlah berapa lama ia menggedor, ketika akhirnya cahaya keperakan itu
seketika lenyap dan pintu terbuka. Beningnya berdiri sambil memegangi selimut.
Segera Marwan menyambar mendekapnya. Ia melongok ke dalam kamar, tak ada
api, semua rapi. Hanya kartu pos-kartu pos yang berserakan.
Tadi Mama datang, pelan Beningnya bicara. Kata Mama tukang posnya
emang sakit, jadi Mama mesti nganter kartu posnya sendiri.
Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa
kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain
kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar.
***

Singapura-Yogyakarta, 2008

Unsur intrinsik dalam cerpen Kartu Pos dari Surga

1. Tokoh
Ada beberapa tokoh yang mendukung cerpen Kartu Pos dari Surga.
Tokoh-tokoh tersebut adalah :
Beningnya
Merupakan tokoh utama dalam cerpen ini. Ia selalu menanti kartu pos dari
mamanya. Tokoh ini masih play group dan ia sangat menyukai kartun
Pokoyo. Sifat dari tokoh ini pada cerpen yaitu baik, mempunyai keyakinan
atas kepercayaannya, cerdas. Hal tersebut terbukti ketika Beningnya
mendapatkan kartu pos, ia mengetahui bahwa kartu pos itu bukan tulisan
mamanya.
Marwan
Merupakan tokoh yang berperan sebagai Ayah dari Beningnya. Tokoh ini
tidak ingin anaknya mengetahui keadaan Ibunya yang sebenarnya. Ia juga
tidak ingin anaknya terus bersedih. Pada cerpen, tokoh ini merasa kesulitan
untuk memberitahu kepada anaknya mengenai keadaan Ibunya yang
sebenarnya. Tokoh ini juga selalu berusaha untuk menghindari menjawab
langsung pertanyaan dari Beningnya. Hanya cara yang digunakan tokoh ini
dalam menutupi kenyataan kurang baik yaitu dengan memberikan
kebohongan pada anaknya yang masih kecil.
Ren
Merupakan tokoh yang berperan sebagai Ibu Beningnya. Tokoh ini ingin agar
anaknya merasakan kebahagiaan yang sama seperti yang dirasakannya ketika
ia mendapat kartu pos dari ayahnya. Pekerjaan tokoh ini, membuatnya sering
berpergian jauh dan lama. Tokoh ini memiliki kegemaran mengirimkan kartu
pos dari daerah yang disinggahinya.
Sari
Merupakan salah satu tokoh pembantu yang berperan sebagai pembantu
rumah Beningnya. Ia memiliki sifat yang baik hati dan tidak menginginkan
anak majikannya bersedih.

Ita

Merupakan tokoh pembantu yang berperan sebagai teman kantor Marwan.


Tokoh ini memberikan saran kepada Marwan mengenai cara menyampaikan
tentang keadaan ibunya kepada sang anak.
2. Setting/Latar tempat dalam cerpen tersebut adalah:
Latar cerpen Kartu Pos dari Surga, baik latar tempat dan latar waktu,
sangat cocok dan mendukung tema. Latar tempat pada cerpen ini
menggambarkan suatu keadaan normal yang sudah biasa di kunjungi oleh
kalangan masyarakat yaitu sekolah dan rumah. Latar yang termasuk biasa ini
cukup mendukung kejadian dalam cerpen. Misalnya disaat Ibunya menampakan
diri. Latar yang digunakan yaitu kamar Beningnya. Latar yang seperti ini yang
menyempurnakan cerita. Karena para pembaca mengetahui bahwa kamar
adalah tempat anak untuk bermain. Sehingga penulis memunculkan kamar
sebagai latar untuk kemunculan ibunya tersebut. Latar yang pas dan tidak
berlebihan ini membuat latar dalam cerpen ini menjadi sangat cocok.
3. Plot dalam cerpen tersebut adalah:
Alur dalam cerpen Kartu Pos dari Surga memakai alur sorot balik, ini
dapat dilihat dari data berikut ini.
Mobil jemputan sekolah belum lagi berhenti, Beningnya langsung meloncat
menghambur. Hati-hati! teriak sopir.
Tapi gadis kecil itu malah mempercepat larinya. Seperti capung ia melintas
halaman. Ia ingin segera membuka kotak pos itu. Pasti kartu pos dari Mama
telah tiba. Di kelas, tadi, ia sudah sibuk membayang-bayangkan: bergambar
apakah kartu pos Mama kali ini? Hingga Bu Guru menegurnya karena terusterusan melamun.
Marwan hanya diam ketika Bik Sari cerita kejadian siang tadi. Sekarang,
setiap pulang, Beningnya selalu nanya kartu pos suara pembantunya
terdengar serba salah. Saya ndak tahu mesti jawab apa Memang, tak
gampang menjelaskan semuanya pada anak itu. Ia masih belum genap enam
tahun. Marwan sendiri selalu berusaha menghindari jawaban langsung bila
anaknya bertanya, Kok kartu pos Mama belum datang ya, Pa?
Ketukan di pintu membuat Marwan bangkit dan ia mendapati Beningnya
berdiri sayu menenteng kotak kayu. Itu kotak kayu pemberian Ren. Kotak

kayu yang dulu juga dipakai Ren menyimpan kartu pos dari Ayahnya.
Marwan melirik jam dinding kamarnya. Pukul 11.20.
Mobil jemputan belum lagi berhenti ketika Marwan melihat Beningnya
meloncat turun. Marwan mendengar teriakan sopir yang menyuruh hati-hati,
tetapi bocah itu telah melesat menuju kotak pos di pagar rumah. Marwan
tersenyum. Ia sengaja tak masuk kantor untuk melihat Beningnya gembira
ketika mendapati kartu pos itu. Kartu pos yang diam-diam ia kirim. Dari
jendela ia bisa melihat anaknya memandangi kartu pos itu, seperti tercekat,
kemudian berlarian tergesa masuk rumah.
Marwan menyambut gembira ketika Beningnya menyodorkan kartu pos itu.
Wah, udah datang ya kartu posnya?
Marwan melihat mata Beningnya berkaca-kaca.
Ketukan gugup di pintu membuat Marwan bergegas bangun. Dua belas
lewat, sekilas ia melihat jam kamarnya.
Bergegas Marwan mengikuti Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar
anaknya. Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya
lampu. Cahaya yang terang keperakan. Dan ia mendengar Beningnya yang
cekikikan riang, seperti tengah bercakap-cakap dengan seseorang. Hawa
dingin bagai merembes dari dinding. Bau wangi yang ganjil mengambang.
Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya ia hendak terserap
amblas ke dalam kamar.
Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa
kartu pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu.
Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai bekas terbakar.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa alur yang dipakai adalah alur
sorot balik, karena dalam cerpen di atas bercerita dari Beningnya yang pulang
sekolah, kemudian mengadu pada ayahnya dan pada malam harinya Beningnya
pun membangunkan ayahnya di kamarnya. Pada bagian kedua peristiwa
tersebut terulang hampir kembali dengan konteks yang hampir sama tetapi
endingnya Beningnya bertemu debgan ibunya yang selalu mengirimkan kartu
pos padanya. Ironisnya Beningnya belum mengetahui tenteng kematian ibunya.
4. Konflik
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang anak kecil bernama Beningnya
yang hidupnya penuh dengan penantian. Dia menanti kabar dari ibunya yang

selalu memberinya kartu pos. Beningnya setiap hari bermuram durja karena
kartu pos dari ibunya tak kunjung ada, sampai-sampai ayahnya harus
membohonginya

untuk

mengembalikan

semangat

anaknya

dengan

mengirimkan kartu pos untuk anaknya. Namun Beningnya tahu bahwa kartu
pos itu bukan dari ibunya karena tulisan yang tertera pada kartu pos itu bukan
tulisan ibunya. Beningnya sampai pernah meminta untuk ke rumah pak pos
untuk mengambil kartu pos dari ibunya itu, sebab ayahnya pernah mengatakan
mungkin pak posnya sedang sakit, jadi tidak bisa mengantarkan kartu pos dari
ibunya. Hingga suatu malam Beningnya ditemui oleh roh ibunya yang telah
meninggal, dan ibunya memberikan kartu pos untuk Beningnya. Kini ayah dan
pengasuhnya tidak usah bingung untuk menjelaskan kepada Beningnya lagi
tentang keadaan ibunya.

Persoalan-persoalan sosial, budaya, dan kemasyarakatan dalam cerpen Kartu


Pos dari Surga

Analisis semiotika dalam cerpen Kartu Pos dari Surga


1.

Dari segi judulnya Kartu pos dari surga ini memiliki simbol suatu kabar
dari alam lain lewat sebuah kartu pos dengan tanda-tandanya, yaitu kartu pos
itu terbuat dari kain kafan dan pinggirannya coklat terbakar agar terlihat
seperti motif.

2.

Beningnya, nama anak ini menandakan bahwa sang anak masih kecil dan tak
berdosa, bening tanpa noda sedikitpun.

3.

Seperi capung melintas halaman, menandakan beningnya berlari tanpa


melihat sekeliling apa ada penghalang atau tidak.

4.

Mulutnya langsung kaku, mengartikan bibirnya tidak dapat mengeluarkan


sepatah kata pun.

5.

Sahabat pena, adalah pertemanan yang terjali hanya lewat sebuah tulisan yang
saling dikirim antar satu dengan yang lainnya. Bisa dikatakan pula sebagai
teman yang maya, karena sosoknya tidak lagsung berjumpa.

6.

Mata beningnya berkaca-kaca, maksud dari kalimat ini adalah mata


beningnya mengeluarkan air mata. Berkaca-kaca sama artinya dengan
menangis.

7.

Ada cahaya terang keluar dari celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya
yang terang keperakan. Cahaya disini bukan cahaya biasa namun memberikan
tanda bahwa cahaya ini pengantar suatu pesan. Pengarang ingin memberikan
tanda bahwa ada sesuatu keganjilan yang terjadi seperti yang sudah biasa
terjadi jika ada cahaya yang temaram dan bukan cahaya lampu itu
menandakan bahwa sesuatu yang gaib datang.

8.

Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Ini juga pertanda yang sama
dengan yang sebelumnya.situasi atau keadaan seperti ini menandakan sedang
ada keganjilan yang berhubungan denga alam gaib. Kebiasaan-kebiasaan
yang terjadi yang bersangkut paut dengan alam gaib.

9.

Bau wangi yang ganjil mengambang Dan cahaya itu makin menggenangi
lantai. Disini diceritakan seperti ini untuk menguatkan persepsi awal tentang
hadirnya keganjilan.

10. Ada asap lembut, serupa kabut, keluar dari lubang kunci. Bau sengit membuat
tersedak. Lebih keras dari bau amoniak. Disini pengararang lebih
mempertegas lagi keadaan dan menguatkan makna dari symbol yang telah
ada untuk agar pembaca semakin mengerti apa maksud dari cerpen ini.
11. Hanya kartu pos-kartu pos yang berserakan. Menandakan seseorang telah
datang dan membuat keadaan seperti itu.
12. Tadi mama datang. Kalimat ini memberikan jawaban dari tanda sebelumnya
tentang kartu pos yang berserakan. Pengarang memberi tanda lalu
memberikan jawaban atas tanda itu. Fungsi kalimat ini member penguatan
atas kalimat sebelumnya
13. Sepotong kain serupa kartu pos. Kain kafan yang tepiannya kecoklatan bagai
bekas terbakar. Disini pengarang kembali pada awal atau judulnya. Pengarang
memberi tanda untuk mengartikan maksud dari judul dan kalimat terakhirnya

berkaitan dan memiliki arti yang sama namun berbeda fungsi. Pada kalimat di
akhir memperkuat persepsi atas judul dengan cerita-cerita pada bagianklimak
cerita dengan menggunkan tanda-tanda tadi yang telah disampaikan.

3. Cerpen Kemarau karya Andrea Hirata


KEMARAU

Barangkali karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar
sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena
gerah. Barangkali karena musim kemarau telanjur berkepanjangan, kampung kami
menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai September.
Tak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada
hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah
di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir pantai, lebih menyanyikan
maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah
sedang bagusyang amat jarang bagus.
Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelanjaan
untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam besar di tengah
kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak
di angka lima. Jarum panjangnya mengembuskan napas yang terakhir di pelukan
angka dua belas. Jarum detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke
mana. Melihat jam itu sejak kecil aku punya firasat, bahwa jika nanti dunia kiamat,
kejadiannya akan tepat pukul lima.
Penarik perhatian lainnya adalah dua buah patung, juga di tengah kota.
Patung pertama berupa seekor buaya yang sedang melilit sebilah parang. Besar,
tingginya mungkin enam meter. Sejak kecil pula aku telah berusaha mencerna
makna filosofis patung itu, tetapi selalu gagal. Aku hanya bisa menduga-duga, buaya
adalah perlambang lelaki hidung belang, maka, semua lelaki pembuat parang
patutlah dicurigai.
Patung satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang
kemerdekaan tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing. Mereka
mengacungkan tinju dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga sejak kecil aku
bertanya-tanya, mengapa pematung membuat kepala patung-patung itu secara
anatomis sangat besar? Baru belakangan kutahu jawabannya, yaitu di depan patung
itu kini dipasang papan reklame dan di situ para politisi sering berbusa-busa
membanggakan program-program mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu
seperti ingin menonjok mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman,
patung itu memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45, dan
papan reklame itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi, adakalanya bak

wangsit, dan adakalanya bak segitiga Bermuda, yang menyimpan misteri politik
republik ini.
Namun, tak pernah kami risaukan semua itu sebab kami punya sebuah
museum, dan museum kami adalah museum yang paling hebat di dunia ini. Tak ada
yang bisa menandinginya sebab ia museum sekaligus kebun binatang.
Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika
dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan assalamualaikum demi
menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulu balang antah berantah.
Uang kecil yang diselipkan ke dalam kotak di samping tombak-tombak itu dapat
menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak
sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap telunjuknya agar tidak kualat.
Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan berkeliaran.
Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi orang-orang yang
ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa kambing. Ada pula
unta gaek yang menderita sakit batuk kering stadium 4. Setiap kali dia batuk,
nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya memandang ke satu
jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada
orangutan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan menafsui bebekbebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada
singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya
sangat benci pada hidupnya sendiri. Mereka muak melihat orang-orang udik yang
menonton mereka di dalam kandang. Konon, mereka dihibahkan ke kampung kami
karena telah afkir dari sebuah kebun binatang di Jawa, di mana mereka dianggap
tidak sexy lagi. Namun, seperti segala sesuatu yang selalu kami terima apa adanya,
seperti segala sesuatu yang tak pernah berubah di kampung kami, makhluk-makhluk
hidup segan mati tak mau itu selalu punya tempat di dalam kebun binatang kami, di
dalam hati kami. Hewan-hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor
saja dari jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumurumur. Sungguh mengerikan hidup ini kadang-kadang.
Mau ke mana kau, Bujang? sapa penjual tebu yang berteduh di bawah
patung pejuang 45 itu. Malas aku menjawabnya. Karena ia selalu menanyakan hal
yang sama padaku, setiap kali aku melintas di situ, dan karena aku terpana menatap

propaganda yang dikoarkan para politisi di papan reklame itu, megah bertalu-talu
tentang perubahan-perubahan yang akan mereka buat. Tanpa mereka sadari, mata
nanar mereka yang penuh optimisme tengah menatap jam besar yang telah rusak
selama 46 tahun itu. Tanpa mereka sadari, para pejuang 45 mengacungkan tinjunya
pada mereka.
Mau ke pinggir sungai, jawabku dalam hati. Jika kemarau makin
menggelegak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal
keruk yang termangu-mangu di sana. Kapal itu hanya tinggal segunung besi
rongsokan. Mesin besar nan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu.
Ketika meskapai Timah masih berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung
kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini,
satu-satunya yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti
fosil dinosaurus.
Kapal keruk pernah menjadi pendendang irama hidup kami, bagian penting
dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama
24 jam. Tak kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal
keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta
itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.
Jika melihatku terbangun, ayah kembali untuk mengusap rambutku dan
tersenyum. Dari dalam rumah kudengar ayah mengucapkan salam pada kawankawan kerjanya yang telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya
itu adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerincing besi saling
beradu, kemudian truk menggerung meninggalkan rumah.
Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu.
Karena aku ingin melihat ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa,
yang ada test pen di sakunya, yang berbau sangat lelaki. Ayah melangkah tangkas
sambil menyandangransel berisi tang, ragum, dan sekeluarga kunci Inggris. Kuncikunci baja putih itu jika dibariskan akan membentuk satu segitiga yang sangat hebat.
Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci yang paling besar,
dan tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya. Aku senang melihat ayah
melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci

Inggris anak-beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hatiku. Lalu aku tidur lagi,
sambil tersenyum.
Sepuluh tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan kapal
keruk itu. Jam besar di tengah kota tepat menunjukkan pukul 5 saat kutinggalkan
kampungku dulu. Musim kemarau waktu itu. Sekarang, ketika aku kembali pulang,
jam besar itu masih saja menunjukkan waktu pukul 5, dan musim masih kemarau.
Mau ke mana kau, Bujang? sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat
patung pejuang 45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya pertanyaan lain?
Malas aku menjawabnya. Lagi pula aku tengah terpana menatap propaganda para
politisi di papan reklame itu. Silih berganti mereka telah merajai papan itu. Periode
demi periode mereka telah berkuasa. Silih berganti mereka telah berkoar soal
perubahan-perubahan yang akan mereka buat, namun jam besar yang berada tepat di
depan hidung mereka telah rusak selama 56 tahun, tetap rusak selama 56 tahun, dan
para pejuang 45, tetap mengacungkan tinjunya pada mereka.
Mau ke pinggir sungai jawabku dalam hati. Aku melenggang pergi. Tapi
sungguh merana. Sampai di sana, yang kutemui hanya semilir angin dan riak-riak
halus gelombang. Bangkai kapal keruk itu lenyap, macam telah disulap seorang
illusionist. Aku kembali. Pada penjual tebu aku bertanya
Pak Cik, ke mana perginya kapal keruk itu?
Sudah dipotong-potong menjadi besi kiloan, jawabnya acuh tak acuh
sambil mengunyah tebunya yang tak laku. Aku terenyak. Sirna sudah kenangan
manis itu, lenyap sudah kebanggaan masa kecil itu, hapus sudah kebudayaan itu. Di
kampung kami, arkeologi industri telah dilanda tsunami. Saat itu, rasanya ingin aku
memanjat patung itu dan bergabung dengan para pejuang 45. Namun itu tak
kulakukan, karena aku telah terlambat untuk pulang, sudah sore. Kulihat jam besar
itu, sudah pukul 5.
Musim masih kemarau saat aku kembali ke Jakarta dan hidup berlangsung
seperti biasa. Suatu malam aku terjaga. Pukul dua pagi waktu itu. Lalu seakan
kudengar suara klakson mobil truk, dan menguar suara orang-orang mengucapkan
salam. Kemudian kudengar gemerincing besi saling beradu. Kulihat ke luar jendela,
seorang lelaki berkelebat dengan seragam mekaniknya yang hebat, lalu truk

menggerung, pelan-pelan meninggalkan rumah. Aku termangu. Kerinduan pada


ayah menjadi tak tertanggungkan. (*)

Vancouver, Mei 2010

Unsur intrinsik
1. Tokoh dalam cerpen ini adalah :
Aku : peka terhadap lingkungan social
Barangkali karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar
sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet
karena gerah. Barangkali karena musim kemarau telanjur berkepanjangan,
kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai
September
Pedagang Tebu : sangat Sabar dan ramah
Mau ke mana kau, Bujang? sapa penjual tebu waktu aku melintas dekat
patung pajuang 45. Sepuluh tahun telah lewat, apa dia tak punya pertanyaan
lain? Malas aku menjawabnya
Ayah : Pekerja keras
Tak kan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi, truk pengangkut buruh kapal
keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di
pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari ibu.
2. Setting/Latar dalam cerpen tersebut adalah :
Tempat : Sebuah kampung melayu diluar pulau Jawa
Konon, mereka dihibahkan ke kampung kami karena telah afkir dari
sebuah kebun binatang di Jawa
Waktu :
Masa sepuluh tahun yang lalu ( musim kemarau, masa kecil si tokoh Aku)
Sering aku minta dibangunkan jika ayah berangkat kerja pukul dua pagi
itu
Masa setelah sepuluh tahun (musim kemarau, masa dewasa si tokoh aku)
Sepuluh tahun telah hangus sejak terakhir aku melamun di rongsokan
kapal keruk itu

3. Plot dalam cerpen tersebut adalah :

4. Konflik dalam cerpen ini adalah :


Gagasan kemunduran atau kemadekan suatu bangsa :
Patung satunya lagi juga besar dan tinggi, adalah patung para pejuang
kemerdekaan tahun 45. Lengkap dengan senapan dan bambu runcing.
Mereka mengacungkan tinju dengan geram, siap menyikat Belanda. Juga
sejak kecil aku bertanya-tanya, mengapa pematung membuat kepalan
patung-patung itu secara anatomis sangat besar? Baru belakangan kutahu
jawabannya, yaitu di depan patung itu kini dipasang papan reklame dan di
situ para politisi sering berbusa-busa membanggakan program-program
mereka. Maka tampaklah kini para pejuang 45 itu seperti ingin menonjok
mereka. Jika ingin tahu definisi dari visi seorang seniman, patung itu
memberi contoh yang sangat pas. Jam besar, patung pejuang 45, dan papan
reklame itu adakalanya bagiku tampak bak panggung parodi, adakalanya
bak wangsit, dan adakalanya bak segitiga Bermuda, yang menyimpan misteri
politik republik ini.
Penggalan salah satu bagian cerita dari cerpen kemarau diatas jika ditinjau
makna secara konvensi sastra yaitu:
Bagaimana para pejuang terdahulu berjuang dengan gigih mempertaruhkan
jiwa dan raga dengan hanya memakai bambu runcing melawan para penjajah
Belanda, tapi kini seolah perjuangan mereka tidak ada yang meneruskan tapi
malah ditutupi oleh keburukan para anggota DPR yang terus menerus
menjajikan perubahan tanpa bukti. Hingga yang terjadi adalah kemarau
(kemalangan) berkepanjangan yang terjadi di daerah terpencil.
Gagasan tentang Budaya yang salah :
Baiklah, mari bicara soal museum. Di sana ada sebuah ruangan yang jika
dimasuki harus membuka sandal dan mengucapkan assalamualaikum demi
menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulu balang antah
berantah. Uang kecil yang diselipkan ke dalam kotak di samping tombaktombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh.

Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus mengisap


telunjuknya agar tidak kualat.
Tradisi masyarakat kita yang memang ketika masa nenek moyang dulu
menganut Animisme dan Dinamisme, menyebabkan pembodohan yang
berkepanjangan bahkan ketika sudah dating ajaran agama yang notabenenya
mengajarkan kebaikan dan memberikan pencerahan . masyarakat kita malah
mengakulturasi kedua budaya tersebut hingga menimbulkan budaya baru
yang sangat khas namun sangat menyimpang jiga dibenturkan pada nilainilai religiutas agama.

Persoalan-persoalan sosial, budaya, dan kemasyarakatan

Analisis semiotika

Anda mungkin juga menyukai