Anda di halaman 1dari 4

CERPEN : AIR MATA MENTARI

Mentari menangis di pagi yang indah itu, kala kepodang kuning hinggap di pucuk sawit
muda sambil menyisir sayap yang bermahkotakan angkasa. Keharuman serbuk sari
kembang melur, memikat sekumpulan kupu-kupu ringan dalam kehidupan yang elok
penuh warna-warni untuk menikmati sarinya. Tak luput dari itu, seratus embun pagi
enggan untuk pergi sebelum mempersembahkan kesejukannya kepada pucuk dedaunan,
karena ingin bercanda sejenak dengan surya yang baru selangkah jauhnya dengan bumi.
Alam berusaha menitipkan ciuman dari wajahnya yang ayu kepadamu, Mentari! Di
beranda rumahmu kenapa engkau menangis?
Gadis kecil itu sekarang mulai tumbuh dewasa, dengan rambut lurus bagai disisir angin
berkibaran memberi daya tarik tersendiri, kulit langsat-manis ditambah dengan
keindahan paras yang memiliki kemiripan dengan mutiara dari Arab, laksana lukisan
Sang Pencipta yang Maha Indah. Tubuhnya tumbuh berubah menjadi bidadari yang
sedang mekar, ia gadisku yang kini menginjak usia tujuh belasan.
Engkau seharusnya tidak bersedih karena kesedihan itu tidak cocok untuk menghiasi
senyuman dengan lesung pipit dan bibir tipismu Mentari. Aku mengadu pada bumi
yang berselimut kabut di tepian Kabupaten Pontianak.
Aku menunggu ceritamu di 19 Januari 1999 itu sahabat, engkaulah yang dengan sabar
mendengarkan cerita ibuku kala keputus asaan menderanya dengan dasyat. Yach..hanya
engkau! Sampaikan itu kepadaku! Mentariku menjawab dalam linangan air mata.
Sayang, ketahuilah olehmu cerita itu begitu pahit untuk kau dengar. Jangan kau rusak
kelembutan pagi ini dengan cerita pilu. Sebab sejarah itu nanti akan merong-rong akal
dan pikiranmu sampai ke dasar samudera kesadaran, laksana rayap memakan sepertiga
meranti tua itu, kekasih. Jangan! Lanjutku meminta perhatiannya.
Aku selalu tak sanggup untuk mengenang peristiwa itu, dan rasa ketidak sanggupanku
semakin bertambah hingga membuat tubuh ini semakin terpuruk dalam lingkaran
kenestapaan yang panjang. Tragedi itu tergurat jelas dalam setiap detail ingatanku dan
ratusan ingatan saudara-saudaraku yang dalam hidupnya terus dikelilingi oleh
pertanyaan-pertanyaan yang belum tuntas. Aku semakin meringkuk di sini. Di relokasi
korban tragedi berdarah Kampung Mekar Sari. Ia adalah saksi perekam nyanyian jerit
hati yang menyayat, melebihi suara lolong serigala dalam dunia malam hutan belantara
Khatulistiwa.
Di pagi ini, aku harus bercerita mengenai itu, tetapi sanggupkah aku?
Seperti biasa, setiap minggu pagi di beranda rumah yang berukuran tidak lebih dari
12x20 meter persegi, Mentari menungguku.
Rumah itu sungguh kecil. Aku tak pernah menganggapnya rumah tapi tempat
pembuangan sampah. Tak ada apa-apa di sana. Tak ada ruang tamu, tak ada sova,
apalagi sederet lukisan indah penghias dinding. Hanya sebuah kamar dan seonggok
perkakas alat dapur yang sedikit berkarat. Tak ada sumur dan wc, di sana mereka
menjalani hidup dan terus berusaha menggapai impian yang terkadang gelap. Dengan
sebatang pohan nangka muda yang belum berbuah di halaman dan tiga batang bunga
kertas ditambah serumpun bunga melur, mencoba menghias dan memberikan
keharuman sekitar. Aku melihatnya bukan sebagai keindahan melainkan sebuah
keterpaksaan.

Mentari selalu menunggu ceritaku, persis seperti ribuan manusia-manusia kota


menunggu koran dengan kehangatan secangkir kopi di saat yang sama. Persahabatan
kami terjalin mesra dalam ikatan kemanusiaan.
Sudah seratus delapan puluh empat pagi kami lalui sejak perkenalan itu. Engkau selalu
mendengar cerita indah dan ketenteraman Surga Firdaus. Kali ini engkau menagihku.
Dan aku pun menyanggupi.
Mentari, engkau terlahir bukan di sini, melainkan di sebuah desa yang jaraknya jauh
tersekat oleh hamparan pulau. Di Rambeyan engkau lahir. Aku memulai bercerita, dan
ia pun membetulkan posisi duduknya hingga kami saling berhadapan. Sementara
puluhan petani itu mulai melangkahkan kakinya menuju pematang, untuk mengolah
tanah gambut menjadi butiran-butiran nasi yang mengisi perut biar tidak tergerut.
Sungguh perjuangan yang berat.
Aku mendengar kisah ini dari ibumu kala engkau masih merah, dengan darah yang
belum tuntas benar dan air susu yang baru keluar tiga sampai empat tetes. Demi
keselamatan dirinya dan kamu dari kekejaman perang; engkau dibawa mengungsi walau
usiamu baru tiga hari. Suaraku tersekat dalam himpitan dada yang perih, sejenak aku
berhenti dan menarik nafas panjang untuk melenyapkan rasa itu.
Di tempat itu lah segala sesuatunya bermula. Malam itu sehari sebelum umat Islam
merayakan kemenangan di Idul Fitri, tatkala ribuan insan beriman tinggal selangkah lagi
menuju kemenangan, dalam perjuangannya mematahkan bujuk rayu setan melalui
segentong pundi-pundi kenikmatan duniawi, sejarah perang Sambas tertoreh.
The clash of civilitation! benturan peradaban kulanjutkan cerita ini, berat dan penuh
tekanan.
Malam itu, di dusun Setia Dharma Desa Parit Setia, terdengar teriakan minta tolong dari
seorang warga yang melihat sekelebat orang masuk ke dalam rumahnya. Teriakan itu
membangunkan para peronda untuk mendatangi asal suara itu dan melakukan
pengepungan. Adalah Hasan, pemuda dari Desa Rambeyan tertangkap, dan oleh warga
ia diamankan selanjutnya akan diserahkan kepada polisi pada keesokan harinya.
Namun apa yang terjadi malam itu sungguh berlainan dengan issu yang beredar di
Rambeyan, bahwa Hasan telah disiksa oleh warga Parit Setia.
Adzan sholat Ashar berkumandang memanggil umat untuk bersujud menyerahkan jiwa
dan raga ke Ilahi Robbi, laksana badai tiba-tiba menerjang dua ratus lebih tubuh yang
dirasuki amarah, menghantam dan membabat mereka. Celurit dan golok berayun
merobohkan tubuh-tubuh yang berusaha menghadang. Tiga nyawa melayang dari ubunubun warga Parit Setia di Ashar itu.
Firman-Nya menguap. Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran. Sungguh lafi khusrin yang kutangkap, kerugian dan kehampaan terus
menyelimuti perjalanan sejarah itu.
Api mulai terpercikkan. Ilalang kering terbakar merambat ke segala penjuru kehidupan
yang di bawa angin. Menghembuskan panas. Memancarkan kilatan-kilatan lidah Dajjal.
Kemudian menjelma menjadi burung nazar.
Tragedi Parit Setia, memicu segalanya.
Di sore itu, Minggu 21 Februari 1999 di Tebas, Rodi mengamuk. Setelah Bujang Lebik
kernet bus meminta ongkos pembayaran atas dipakainya jasa transportasi, bukan

bayaran yang diterima, namun celurit yang berkelebat membabat tangan dan kaki kanan
Bujang. Laksana angin kisah itu menyebar ke seluruh Sambas. Bujang Lebik di issukan
dibunuh oleh Rodi. Warga marah. Sungguh orang-orang etnis itu tidak bisa menghargai
budaya orang lain, kemana pun mereka pergi celurit selalu ada di balik pinggang. Opini
masyarakat mulai menyeruak. Bagai bara dalam sekam yang tersiram minyak,
masyarakat yang masih marah dalam tragedi Parit Setia makin memuncak, menerobos
mengoyakkan kesadaran dan membuangkan rasa kemanusiaan.
Senin 22 Februari di tengah malam, hanya ada satu bintang muncul karena musnah
tersapu badai yang membawa dendam. Tiga ratus orang mengepung Rodi dalam wajah
yang bertopengkan kebengisan. Adalah senapan lantak yang menyambut hingga pelipis
ini tersayat dan justru dari sinilah dendam kesumat mulai membara dalam panas yang
menghanguskan.
Kenapa engkau bernama Rodi? Haruskah karena kamu tragedi ini tertorehkan?
Semuanya terjadi dengan cepat.
Perang berkecamuk di pesisir pantai. Di Tebas, Pemangkat, Jawai, Sambas, Selakau
sang nazar terus mengepakkan sayap mengikuti bau anyir darah, berputar di angkasa
merah sambil mencakar batu-batu. Bau itu terus merambat masuk wilayah Samalantan
dan Monterado. Kemarahan berkecamuk di Desa Jirak, Merabu, Kampung Jawai, dan
seluruh jagat di bumi Borneo.
Sang Nazar memakan bangkai di Semparuk, Kelambu, Penjajab dan Tebas. Sejuta galon
darah tersiramkan di tanah, cacing dan lalat menggeliat dan menari diantara setumpuk
otak yang terburai melebihi gundukan pasir di tepian laut lepas. Ber mil-mil jauhnya,
sungai-sungai menghanyutkan kepala yang disimpan di balik belukar dan pohon
tumbang, lalu membusuk memberikan aroma kengerian kepada angin dengan harapan
tercium oleh wanginya kesturi. Engkau mati di negeri yang berjarak ribuan kilo meter
dari bangsa asalmu, Madura!
Sejenak aku berhenti menerawang dan tenggelam dalam ngilu.
Selang sehari berikutnya, perang bergerak dan mengibarkan benderanya di tanah
Pemangkat. Puting beliung belum reda dan terus menyapu kesadaran dengan hembusan
angin yang bergemuruh melebihi ledak, melengking melebihi jeritan, meraung melebihi
badai, dan terkapar melebihi maut. Api membakar tiga puluh tiga rumah dan
menerjangkan berpuluh nyawa di siang itu. Pedang, klewang, senapan lantak, kapak,
belati, panah semuanya membabat dengan mata terpejam sambil tidak menghiraukan
ayat-ayat. Semua terus mengibarkan panji-panji putih. Entah sampai kapan? Aku
mengadu pada Mentari.
Mentari menggigil, ia menggeserkan tubuhnya sejengkal dari ku. Ditatap sekumpulan
kumbang sawah terbang dengan meninggalkan suara berdengung menyelinap di kedua
telinga kami. Rambutnya yang lurus bagai disisir angin tiba-tiba berubah menjadi belati
yang menusuk jantungku. Kepodang kuning yang tadi hinggap di sawit muda, kini
menjelma menjadi rajawali dengan cakar yang siap mencabik kulit-kulitku. Dengan
gagap aku merayu Mentari.
Hukum tak mampu menghukum kesadaran yang mulai lepas Mentari, dan segalanya
tak terhindarkan. Empat hari perang itu terjadi. Namun di empat kehidupan ingatan itu
tak akan hilang. Air mata menetes terbawa oleh tetesan darah saudara-saudaraku seiman yang mulai kering, maka tabahkanlah hatimu. Jangan salahkan agama. Ini semua
hanya kekhilafan dan keangkuhan manusia. Mentari mendekapku dalam rengkuhan

yang gamang, sambil menyeka keperihan yang mengendon dalam jiwa, ia pun
berdendang Satu-satu, daun berguguran, jatuh ke bumi, dimakan usia, tak terdengar
tangis, tak terdengar tawa, redalah reda Aku teringat akan lagumu kawan.
Di beranda rumahmu aku pun menangis. Aku teringat akan ibumu Mentari.
Nurjati! Baru kemarin engkau melahirkan. Dokter dan bidan belum menyuruhmu untuk
pulang, sementara selang oksigen masih menempel di kedua rongga pernafasanmu.
Tubuhmu rapuh, melebihi kerapuhan ranting kering. Darah persalinanmu belum tuntas,
sementara air susumu baru tiga sampai empat tetes memberi kehidupan pada anakmu.
Kini mengapa engkau meringkuk di Mekar Sari?
Perang membawaku ke sini Along Nurjati menjelaskan kepada ku di suatu hari tepat
enam tahun yang lalu. Rumahku terbakar. Entah berapa puluh nyawa melayang. Lelaki,
perempuan, orang tua bahkan sebagian anak-anak pun tidak luput dari amukan. Mereka
mati sebelum sempat bertanya Engkau siapa? Ada apa ini? Apa salahku? Kenapa?
Suamiku pun begitu. Aku hanya membawa dia, si bayi mungil yang kuajak berlari di
titian kematian walau baru kemarin ia hidup, karena aku tak mau ia mati kembali. Aku
akan melawan ketakutan, mengumpulkan tenaga pada tulang-tulangku yang pucat pasi
untuk berani berlari walau rahimku terbakar. Aku ingin Mentari senyum di pagi esok.
Di tempat pengungsian ini, aku dan sekian puluh ribu saudara Maduraku meminta
perlindungan, di GOR Pangsuma perjuangan kami belum usai untuk melawan kematian.
Bukan senjata, namun kelaparan, gizi buruk, sanitasi dan sejuta penyakit berusaha
merenggut nyawa kami, hanya Mentari yang memberiku kekuatan. Nurjati menangis
mengenang itu.
Tapi itu masa lalu Along, kini aku dan mereka sudah menang melawan penderitaan.
Kami bangun hidup ini dengan kaki-kaki kami sendiri, tanpa putus asa. Dan yang
penting bagiku adalah Mentari tetap tersenyum di tiap pagi. Ku ucapkan kalimat itu
dengan suara lantang sampai tiga kali, dan ia pun bangkit.
Mentari berjalan empat langkah mendekati pohon nangka muda itu, ia keluarkan secarik
kertas lantas menulis sebuah puisi dengan polpen yang tak bertutup di antara cabang
pohon yang rendah. Dan sekian menit berikutnya sebuah puisi tertulis. Sedikit dan
sederhana, namun memberi arti. Ia tempel puisinya di batang dengan kekuatan di antara
keindahan paras yang memiliki kemiripan dengan mutiara dari Arab. Aku membaca.
Ibuku terjungkal hidupnya di sini. Di kampung ini. Yang berderet seratus duapuluh
rumah tanpa kepastian. Kecuali ilalang liar dan hutan keras untuk di olah sebagai ladang
di tanah gambut khatulistiwa. Di mana mataharinya mampu membakar batu-batu
menjadi sekubik abu yang membumbungkan berlaksa-laksa kabut asap. Bangkitkan aku
anak-anakmu ibu. Dengan cinta bukan peperangan
Masihkah engkau berduka Mentari?Tidak!.....

Anda mungkin juga menyukai