Anda di halaman 1dari 7

Aku Pulang

Cerpen Karangan: Randi Gunawan


Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Kehidupan
Lolos moderasi pada: 30 August 2017
Entah di mana aku saat ini. Aku memutuskan untuk berhenti sejenak
dari perjalananku yang entah ke mana, duduk bersandar pada
sebuah ruko yang sudah tutup. Ternyata, kalau diperhatikan, langit
sore ini sungguh memesona. Selama ini aku tidak menyadari kalau
langit sore itu indah begini.
Adzan mulai berkumandang saat mataku hampir saja terpejam.
Lamat-lamat kuperhatikan suara yang keluar dari masjid di seberang
sana. Suara yang jarang sekali aku dengar, lebih tepatnya tidak
kuperhatikan. Banyak orang berlalu lalang mengenakan pakaian
muslim, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Mereka
beramai-ramai menuju masjid itu. Entah mengapa, masjid itu tiba-
tiba saja terlihat anggun bagiku.
Sudah lama sekali aku tidak sholat, mungkin terakhir kali saat aku SD.
Ketika memasuki masa SMP, aku bertemu dengan teman-teman
yang sangat bersahabat, solid. Menyenangkan sekali, saat-saat
ternakal yang aku punya. Membuat kegaduhan di sekolah, mengerjai
guru dan anak-anak ‘cupu’ – begitulah cara kami memanggil mereka
yang berbeda dari kami. Bolos sekolah dan tawuran hampir kami
lakukan setiap hari. Tidak mengerjakan pr dan merok*k bukanlah
kenakalan yang berarti bagi kami.
Sepulang sekolah kami selalu nongkrong sampai kadang-kadang
tengah malam aku baru pulang. Jangan ditanya apa yang kami
lakukan. ‘Minum’, pacaran, j*di. Jika ada yang tidak senang atau
menantang kami tentu saja kami siap untuk berkelahi.
Persahabatan kami tidak berhenti sampai masa SMP. Pada saat
pendaftaran SMA, kami semua memilih sekolah yang sama agar
tetap bisa terus bersama.
Dan kenakalan kami pun berkembang. Kami mulai mencuri, apapun
akan kami curi jika ada kesempatan. Aku mulai mengenal benda
haram itu. Benda yang membawaku ke alam fantasi tak berujung.
Duniaku semakin menyenangkan.
Entah apa yang telah menimpa mereka. Budi, Andi dan juga Rian
memutuskan untuk berhenti dan memilih dunia baru, dan jika ada
yang pergi tentu selalu ada yang datang menjadi penggantinya.
Entah kenapa itu selalu menjadi teori tak terbantahkan bagiku.
Aku baru menyadarinya saat ini. Keputusan mereka saat itu adalah
sebuah keputusan yang sangat tepat. Karena kami lupa caranya
untuk berhenti hingga dunia melemparkan kami kepada sebuah
penyesalan.
Beberapa sahabatku ditangkap polisi saat menggunakan benda
haram itu, beruntungnya aku tidak bersama mereka saat itu. Namun
hal lain justru menimpaku. Sebuah kejadian dengan kekasihku
membuatku dan dia berhenti sekolah, memulai kehidupan baru
sebagai sepasang suami-istri. Tentu saja cacian tak terelakkan, baik
itu dari pihak keluargaku, keluarganya, atau orang-orang yang
bahkan tidak kami kenal. Hanya sahabat-sahabatku yang selalu
mendukung dan menyemangatiku.
Segalanya mulai berubah. Walaupun aku masih dengan duniaku,
namun aku telah dipatok oleh kewajiban sebagai seorang suami,
ditambah akan segera mempunyai anak. Aku mulai mencari
pekerjaan. Tapi siapa yang mau menerima seseorang yang bahkan
tidak mempunyai ijazah SMA sebagai karyawannya?
Masalah perekonomian keluarga ini membuatku dan istriku sering
bertengkar. Tak jarang dia mencaciku sebagai suami tak berguna.
Suatu hari, aku dan istriku bertengkar hebat, sangat hebat. Anak
kami akan segera lahir dan kami tidak mempunyai dana yang cukup
untuk melahirkannya. Istriku tidak mau meminjam lagi pada
orangtua kami.
Dan akhirnya, dia pergi meninggalkanku. Kami tidak bercerai, tapi dia
pergi begitu saja dengan membawa anakku yang bahkan aku belum
melihat wajahnya. Kucoba untuk membujuknya kembali di rumah
orangtuanya. Tapi yang terjadi, aku justru berkelahi dengan
mertuaku.
“Tidak berguna!” begitu katanya.
Ya! Aku memang tidak berguna! Pecundang! Aku tidak bisa
menafkahi istriku sendiri. Tidak ada yang menganggapku, bahkan
orangtuaku pun sudah tidak menerimaku lagi di rumah mereka. Tapi,
apakah aku tidak boleh terus berusaha? Aku tidak bermalas-malasan.
Aku sudah berusaha sekuat tenaga, sungguh. Menjadi kuli bangunan,
tukang ojek, kurir, semua usaha sudah kulakukan untuk membiayai
kehidupan keluarga kami.
Aku terpuruk. Kontrakanku kini hanya diisi oleh para sahabatku yang
setiap hari berpesta. Keadaannya mirip seperti sarang binatang.
Tapi, aku tidak menemukan kebahagiaanku lagi saat melakukannya.
Semuanya terasa membosankan.
Aku tidak bekerja lagi. Untuk apa aku bekerja jika tiada lagi yang
berarti bagiku? Dengan alasan solidaritas dan untuk membeli benda
haram itu, aku pun melakukan pekerjaan mereka. Mencuri. Namun,
naasnya, pada aksi pertamaku, kami kepergok oleh warga. Para
sahabatku berhasil lari. Aku gagal.
Warga mencoba untuk membakarku atas apa yang telah aku
perbuat. Sebenarnya aku telah ikhlas, aku pun sudah tidak
mempunyai semangat hidup lagi. Tapi polisi datang dan
menyelamatkanku, mengadiliku sebagaimana hukum yang ada di
negeri ini.
“Ya, Allah…”
Kuhabiskan masa hukumanku untuk merenung, memikirkan tentang
apa yang telah aku lakukan selama hidup di dunia ini. Mengingatnya,
aku merasa geli dengan diriku sendiri.
Kali ini aku ingin mengikuti jejak Budi, Andi dan juga Rian. Berhenti.
“Sudah cukup…”
Tapi, aku harus ke mana? Melakukan apa?
“Jadi begitu…”
Deg! Buru-buru aku menoleh ke arah suara… dan kudapati seorang
kakek sedang duduk di sebelahku. Sejak kapan dia ada di sini? Aku
tidak merasakan kehadirannya sedari tadi.
Sama seperti yang lainnya, kakek ini mengenakan pakaian muslim.
Namun bedanya, seluruh pakaian maupun pernak-pernik yang ada di
tubuhnya berwarna putih, bahkan rambut dan jenggotnya yang
panjang juga berwarna putih.
“Siapa Anda?”
Kakek itu tersenyum. “Kamu muslim?”
Aku menangguk samar, sebenarnya aku tidak yakin apakah aku
masih bisa disebut muslim atau tidak. Aku sudah jauh sekali dari
Allah.
Kakek itu tersenyum lagi, entah kenapa dia selalu tersenyum, tapi
belum juga menjawab pertanyaanku. Siapa dia?
“Bagaimana kalau kita shalat dulu, baru lanjut ngobrol-ngobrolnya.
Maghrib sudah mau habis.”
Aku terdiam mendengar ajakannya dan hanya bisa menunduk malu.
Malu pada diriku sendiri. Apakah Allah masih mau menerima
ibadahku. “Aku kotor…”
“Kalau begitu mandi saja di masjid. Nanti, aku akan menyediakan
pakaian yang bersih untukmu.”
Aku menghela nafas panjang. “Bukan itu, bukan kotor itu yang
kumaksud…”
“Lalu?”
Aku bingung bagaimana harus menjelaskannya. Aku memilih diam.
“Kalau begitu, mari.” Kakek itu berdiri dan mengulurkan tangannya
padaku. Aku hanya diam dan menatapnya. Lalu, entah dorongan dari
mana, aku menerima uluran tangannya.
Orang-orang hendak pulang ketika kami memasuki masjid dan
betapa kagetnya aku ketika mereka semua memanggil kakek ini
dengan sebutan Kyai. Langsung saja aku melepaskan genggamannya
saat tiba di depan pintu kamar mandi.
“Siapa anda sebenarnya? Apa anda bisa membaca pikiran saya?” Aku
menatapnya tajam, aku harus tahu dengan siapa aku saat ini.
Seperti biasa, kakek ini tersenyum sebelum berucap. “Namaku
Sofyan. Dan aku tidak bisa membaca pikiranmu.”
“Kenapa tadi tiba-tiba anda ada di sebelahku, lalu apa maksud anda
dengan ‘Jadi begitu’ tadi?”
Kali ini dia tertawa. “Aku hendak menuju masjid saat aku melihatmu
duduk di depan ruko tadi. Matamu kosong menerawang langit,
siapapun tahu kalau kamu sedang dilanda keresahan. Sesekali kamu
berbicara sendiri, walaupun pelan aku dapat mendengarnya,
pendengaranku masih baik. Sisanya tinggal mengandalkan intuisiku.”
Aku terdiam untuk yang kesekian kalinya. Masuk akal, tapi apakah
benar aku berbicara sendiri?
“Tenang saja, aku ini benar-benar manusia kok.” Dia berkata seperti
itu seolah mengerti apa yang kupikirkan. Kali ini aku yang tersenyum
mendengar kata-katanya.
“Sebaiknya kita bergegas shalat maghrib. Lekaslah mandi.”
“Maaf, Pak Kyai Sofyan, aku rasa aku tidak bisa.”
“Percayalah padaku, kau akan segera menemukan jawabannya.” Pak
Kyai Sofyan memegang erat kedua bahuku dan menatapku dengan
tajam, berusaha meyakinkanku.
Dan dia berhasil. Aku bergegas mandi, mengganti pakaian dan
menuju ruangan sholat.
Akan tetapi… perasaan apa ini? Aku tidak mengerti, seketika saja saat
langkah pertamaku masuk, hatiku menjadi tenang. Damai sekali.
Lagi-lagi seolah mengerti apa yang kurasakan, Pak Kyai itu tersenyum
menatapku. Kemudian dia membimbingku, membetulkan posisiku
lalu kami mulai sholat.
“Allahu Akbar.”
Deg! Sama seperti tadi, aku merasakan ketenangan, namun kali ini
lebih besar. Pak Kyai Sofyan mulai membaca surat Al-Fatihah dan
entah mengapa air mataku menetes. Aku tidak bersedih, justru
sebaliknya, hatiku terasa sangat hangat. Semakin lama tangisku
semakin menjadi-jadi tanpa bisa kutahan, hatiku terasa semakin
hangat. Aku tidak sanggup menahannya. Kutumpahkan semua air
mataku. Aku menangis sejadi-jadinya.
Aku merasakannya. Cinta Allah.
Rakaat demi rakaat terlewati dan tangisku tidak juga berhenti sampai
rakaat terakhir dan mengucapkan salam.
Pak Kyai Sofyan segera membalikkan tubuhnya dan tersenyum
menatapku. Inikah jawabannya? Segera aku bersujud kembali pada
Allah. Meledakkan tangisku kembali.
“Aku pulang. Ya, Allah. Aku pulang.”
Selepas keluar dari penjara, aku bingung harus ke mana. Keluargaku
maupun keluarga istriku tidak ada yang mau menerimaku kembali.
Istriku sudah menikah lagi dan anakku telah tumbuh menjadi gadis
lucu tanpa mengetahui bahwa aku adalah ayah kandungnya. Aku pun
tidak tahu keberadaan sahabat-sahabatku. Aku hilang. Hampa. Aku
tidak mempunyai siapa-siapa lagi.
Selama ini aku tersesat, hilang arah dan hilang harapan. Namun kini
aku mempunyai tempat untuk pulang.
Cerpen Karangan: Randi Gunawan
Facebook: facebook.com/sendy.pekey

Anda mungkin juga menyukai