Anda di halaman 1dari 5

Pemuja Kopi

Semilir angin tubuh berhembus menerpa diri. Memekik tubuh yang baru saja dibasuh air suci.
Ditambah terpaan kipas angin masjid membuat, tubuh ini bergidik sendiri. Lantunan surat al-
mulk terdengar sayup-sayup di telingaku. Syukur kini aku masih sadar apa yang sedang dibaca
pada jamaah. Namun rasanya kipas angin yang tepat disampingku, bertambah besar anginnya.
Membuatku hanyut terbawa mimpi. Kini tidak kudengar lagi suara apapun. Mataku tertutup
sempurna. Tubuhku diam membeku. Dan mulutku diam membisu.

Namun tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang. Membuat organ-organ


tubuhku spontan sadar akan tugasnya. Mata melotot, telinga melebar, dan tubuh berposisi siap
siaga. Aku tidak tahu mengapa mulutku langsung mengikuti alunan surat al-mulk yang sedang
dibaca pada jamaah. "Apa kamu tidur Shofa? ", ucap seseorang yang menepukku tadi. Otaku
langsung mencerna nada suara seseorang tersebut. Seperti tidak asing di telingaku. Nadanya
mirip seperti orang yang membangunkanku tadi pagi. Aku berhenti bertanya-tanya pada diriku
sendiri. Aku arahkan kepalaku ke belakang untuk melihat seseorang tersebut. Terkejut itu
respon awalku. Lantas menggeleng itu respon keduaku. Wajah wali asramaku terpampang jelas
di hadapanku. Menyunggingkan senyum manis, tapi bisa dibilang senyum itu sedikit mengejek.
"Selamat pagi Shofa", tuturnya sembari mengelus kepalaku. Terlihat respon teman-teman
sekitarku. Tertawa sembari menunjuk-nunjukku, seakan aku seorang terdakwa. Sedangkan
responku masih dalam kondisi terkejut dengan ekspresi datar. " Stttt...sudah, sudah ayo
lanjutkan", perintah wali asramaku kepada teman-temanku. Dan tentunya kepadaku yang
sebenarnya belum sepenuhnya sadar.

Pembacaan surat al-mulk selesai, ini menjadi latar belakang mulainya kegiatan berikutnya.
Aku dan teman-temanku duduk berjejer untuk mengikuti kajian tilawatil qur'an. Berhadapan
langsung dengan kyai kami. Semuanya membuka Al-qur'annya masing-masing. Tapi tidak
denganku. Aku sibuk dengan tubuhku. Mataku yang berat ini, kuusahakan untuk membuka.
Telingaku yang sudah tidak menerima respon lagi, kubujuk untuk menerimanya lagi. Tubuhku
yang kehilangan keseimbangan, kuusahakan untuk tetap kokoh pada posisi. Alhamdulillah
usahaku membuahkan hasil. Mataku akhirnya mau membuka. Telingaku akhirnya mau bekerja
sama dengan menerima respon. Tubuhku kembali kokoh. Aku langsung membuka al-qur'anku
mencari surat yang menjadi pembahasan kajian kali ini. Ah tidak! aku baru teringat, aku tidak
tahu suratnya. Kuputuskan untuk bertanya kepada teman sebelahku. Namun tidak sempat
bertanya temanku sudah menjawab. "Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh". Tidak,
tidak. Ini bukan hanya teman sebelahku saja, tapi seluruh temanku. Ada apa ini aku bahkan
belum bertanya, tapi mereka sudah menjawabnya dengan serentak. Perasaanku menjadi tidak
enak. Sekujur tubuhku dingin. Pikiranku menjadi liar. "Bagaimana tidurmu? kajiannya sudah
selesai loh", ucap teman sebelahku dengan ekspresi mengejek. Lagi-lagi aku tertidur saat
kegiatan berlangsung. Rasa kesal memenuhi pikiranku. Kecewa pada diriku yang tidak punya
keahlian mengendalikan kantuk. Usaha yang aku lakukan seakan tak ada gunanya. Padahal niat
hati benar-benar ingin mengikuti kegiatan. Putus asa itu rasa yang paling mendominasi hatiku
saat ini. Seperti sudah ditakdirkan untuk menjadi tukang ngantuk. Tidak, tidak. Bukan hanya itu,
lebih tepatnya tukang tidur. Jika begini terus gelarku akan bertambah. Tukang ngantuk, tukang
tidur, dan tukang apalagi ya?

Berakhirnya kajian tilawatil qur'an menjadi awal kegiatanku di sekolah formal. Sekolah yang
memiliki waktu delapan jam pelajaran. Belum lagi pelajaran matematika dengan durasi dia jam,
namun terasa 4 jam. Sekolah bukan hal yang menyenangkan bagiku. Apalagi seperti
matematika. Kita dituntut untuk memperbudak otak dengan sistem kerja rodi. Dan aku harus
berusaha dua kali lipat untuk menahan kantuk ini. Bukan hal yang mudah bagiku. Karena
seringkali usahaku gagal untuk menahan kantuk. Jika terus menerus begini, aku akan tertinggal
memahami pelajaran. Aku harus cari cara. Harus. Tapi bagaimana caranya? "Shofa
banguuuunnn", teriak seseorang tepat di telingaku. Spontan mataku terbuka. Menegakkan
posisi duduk. Kuusap wajahku, berusaha menyadarkan diri. "Hey, ini sudah jam istirahat. Ayo ke
kantin", ajak temanku sembari menggandeng tanganku. Aku terkejut dengan gerakan spontan
temanku itu. Namun aku pasrah mengikutinya. Kami berjalan bergandengan menuju kantin.
Dan kami melewati geng-geng adik kelas. Dan entah mengapa, membuat temanku berjalan
dengan berlaga kakak kelas songong. Namun lebih terlihat seperti orang teler. Aku jujur.
Sedangkan aku sendiri berjalan sempoyongan. Aku berusaha mengimbangi langkah kaki
temanku. Satu langkahnya ibarat melewati dua ubin. Ini membuatku semakin terlihat
menggelikan, sepertinya sih. Muka bangun tidur, jalan sempoyongan, dan langkah kaki yang
abnormal. Ahhhh! sangat terlihat tidak berwibawa.

Sebentar lagi kami sampai kantin dan kami masih bergandengan tangan. Bahkan ini lebih erat.
Akhirnya kamipun sampai kantin. "Kamu mau beli apa? ", tanya temanku sembari mengakhiri
perbandingan kami. "Sesuatu yang tidak bikin kantuk! ", ucapku lantang penuh keyakinan.
Berharap temanku punya rekomendasi. "Kopi, mungkin", jawab temanku santai. Tepat, aku
memang tidak salah bertanys. Langsungku dapat jawaban dari temanku untuk mengatasi
masalah besarku ini. "Ayo beli kopi", ajakku. Temanku menggeleng. "Itu hanya untuk tukang
ngantuk, aku mau beli papeda saja", jawab temanku dengan ekspresi mengejek. Aku sabar.
Menahan emosiku. Dan tetap tenang. Akhirnya kami berpisah. Aku memilih kopi, dan temanku
membeli papeda. "Bu, kopi seduh berapa harganya?", tanyaku sembari merogoh kantong rok.
"Empat ribu saja, dek", jawab penjual kopi. S-a-j-a. Kata yang begitu mudah diucapkan.
Membuat nyaliku ciut untuk mengeluarkan uang. oke, aku hanya membawa uang tiga ribu. Aku
mengelus-ngelus kantong. Menenangkan uangku yang sedang protes karena tidak dikeluarkan.
Pupuslah harapan. Jika saja harganya dikurangi seribu sudah aku beli kopi itu. Aku merenung
meratapi nasib. Jika aku tidak bisa mendapatkan kopi, pasti aku akan tertidur lagi disela
kegiatan. "Shof, ayo kembali ke kelas Sebentar lagi masuk", ucap temanku sembari menepuk
bundaku. Aku hanya mengangguk berjalan perlahan meninggalkan kantin. Meninggalkan segala
harapan yang sudah pupus. "Eh bentar-bentar. Boleh aku pinjam uang? Aku ngutang di kantin
13 nih", ucap temanku dengan wajah memelas. Sepertinya memang inilah takdir. Takdir untuk
tidak menggunakan uangku sendiri. Aku ambil uangku. Kutarik tangan temanku. Dan ku
serahkan seluruh jiwa raga yang ada pada uangku. Tidak lupa senyum penuh kesabaran terlukis
dibibirku.

Sampainya di kelas aku melihat sebuah benda bersinar. Bersinar terang. Seterang harapan
bunda. Ya, itu yang aku cari selama ini. Itulah harapanku. Kopi! "Hay, ini kopi bungkus punya
siapa? ", tanyaku pada seisi kelas. "punya Giza, dia jualan", jawab salah satu temanku.
"punyaku", Saut Giza. Spontan tanganku mengeluarkan jari-jarinya. Berusaha menggapai kopi
yang berada di atas meja salah satu siswa. "Etttss...sentuh, bayar Rp2.000", cegat Giza
kepadaku. Hatiku berbinar-binar. Rasanya seperti menemukan sebuah harta karun. Harta karun
milik Qorun yang telah tertimbun berabad-abad. "Cuman dua ribu?", tanyaku meyakinkan. Giza
hanya menjawab dengan anggukan. Segera aku rogoh sakuku. Menuntun uangku keluar dari
kandangnya. Ah tidak! uangku habis dipinjam. Segera ku berpikir keras untuk mencari
solusinya. " Mmmm...bagaimana jika aku hutang dulu? ", tanyaku ragu. Giza mengangguk
dengan penuh keyakinan. Ternyata Giza sangat mempercayaiku. Tanpa basa-basi dia langsung
mengangguk. Sepertinya memang auraku sangat berkharisma. "Terima kasih Giza", ucapku
lantang sembari tersungkur. Layaknya Patung Malin Kundang. Terharu atas pemberian Kopi ini.
Bukan pemberian sih, tapi hutang dulu. Rencananya kopi ini akan ku minum malam nanti.
Sebagai teman begadangku. Mengerjakan PR sekolah satu persatu tanpa rasa kantuk. Ini benar-
benar impianku selama ini.

Setelah salat Isya, segera ku buka lemariku. Mencari seperangkat alat makan. Dan kebetulan
aku hanya punya satu sendok dan satu cangkir. Tidak lupa ku ambil harta karunku. kubuka tas
ranselku. Perlahan tapi pasti. Kupegang kopi yang belum terbayar. Ku ratapi sebelum
menghabisinya. Ku buka bungkus kopi yang belum lunas. Dan ku tuangkan ke dalam cangkir
dengan penuh cinta. Tidak lupa ku tuangkan air panas yang mengebul. Asapnya tercium harum.
ku aduk seirama dengan hati. Perlahan-lahan ku aduk. Jangan sampai ada setetes kopi yang
keluar dari gelas. Kupikir ini masih terlalu panas, jadi kutunggu hingga menghangat. ku
menunggu sambil merebahkan badan di kasur sembari membayangkan nikmatnya kopi yang
belum lunas itu. Ku minum kopi itu. Ku cium harumnya aromanya. Dan kurasakan sensasi
ampas kopi. sungguh nikmat. Ini membuat badanku segar lagi. "Shofa banguuunn! ", ucap
seseorang tepat di telingaku. lagi-lagi aku tertidur. Segera aku cari kopiku. Terlihat di samping
kasurku, secangkir berisikan kopi. Tapi sepertinya sudah tidak hangat lagi. Kemungkinan tiga
puluh menit yang lalu, atau bahkan lebih. "Kenapa aku ngantukan sekali? bahkan belum sempat
ku minum kopi ini, aku sudah tertidur", ucapku kesal. Temanku yang membangunkanku segera
mendekatiku. Memasang muka prihatin penuh kepedulian. "Ngantukan itu bisa dari mindset
kita sendiri loh. Kalau kamu yakin untuk tidak mengantuk, dan kamu benar-benar mau untuk
tidak tidur, pasti itu akan terjadi. Jadi, semua tergantung pada dirimu. Mau bangkit untuk
berubah, atau tetap pada posisi nyaman", ucap temanku. Kata-kata temanku menghujam
dilubuk hati. Membangkitkan keyakinanku untuk berubah. Meninggalkan kebiasaanku. Dan
bersiap untuk melakukan perubahan. Kopi yang sebelumnya ku puja-puja, sekarang hanya ku
pandang sebagai minuman biasa. Minuman yang berwarna coklat, dengan rasa kopi. Karena
memang kopi. Sekarang ku telah menemukan solusi sebenarnya. Dan solusinya ada pada diriku
sendiri. "Terima kasih teman. Kau menjawab masalah besar ku ini", ucapku sembari memasang
muka terharu.

Akhirnya aku pun tersadar akan akar dari masalah besarku ini. Yang sebenarnya berada di
diriku sendiri. Selama ini aku berada di zona nyamanku. Selalu mengatakan 'aku si tukang tidur'.
Dan perkataan itu membuatku benar-benar di status tukang tidur. Kini aku sudah ubah
pemikiranku. Aku yakin bahwa aku bisa menahan kantukku. Bahkan tanpa bantuan kopi
sekalipun.

Anda mungkin juga menyukai