Anda di halaman 1dari 2

 

“Kadang hidup tidak sesuai realita, jalankan saja yang terbaik. Jangan dipikirkan terus menerus
hidup ini.” Kadang kata-kata ini selalu terbenak di pikiranku. Hari yang sangat berat untuk
melangkah.  Jalan yang begitu panjang membuatku tersadar untuk melanjutkan perjalananku sampai
sekolah. Mereka biasa memanggilku dengan nama Ersyad. Mungkin saat ini kalian bisa memanggil
aku dengan nama tersebut, sebelum aku kembali ke pangkuan Allah Subhanahu Wa’taala.
“zzz….zzz…zzz…” ponsel ku bergetar kencang pada pagi yang sejuk ini. “Halo” Jawabku pada ponsel
di sakuku. “Syad, kamu dimana?” Jawab seseorang dengan suara lembutnya pada ponselku. “Ini lagi
dijalan Sa.” Jawabku dengan perasaan bingung. “Lebih baik kamu bergegas, bel masuk segera
berbunyi.” Jawab dia. “Ampun, maaf ya Sa, Aku segera bergegas.” Jawabku dengan panik. “Baik, aku
tunggu ya. Sampai jumpa.” Jawabnya. Setelah menutup telepon yang membuatku panik ini, Aku
langsung lari dengan pikiranku yang kosong ini. Mungkin saat ini kakiku berasa ingin terpisah oleh
bagian tubuhku. “Aku harus bagaimana ini, beberapa menit lagi bel sekolah berbunyi” panikku
dalam hati. Sepintas penglihatanku, aku melihat seorang wanita berparuh baya yang ingin
menyebrang zebra cross. Aku hentikan langkahku sejenak dan berpikir untuk membantunya atau
tidak. Aku hampiri nenek tersebut dan membantunya menyebran. Setengah jalan wanita berparuh
baya ini ku bantu jalan. Tidak ada angin yang lewat, tiba-tiba ada motor dari sisiku yang hampir
menyerempetku dan nenek. Aku tidak ingin berkata apa-apa karena keadaannya sedang terburu ini.
Setelah sampai di sisi zebra cross satunya, aku berkata “ Hati-hati ya nek di jalan, saya duluan.”.
“Terima kasih ya nak, kamu memang orang baik. Semoga kelak kamu menjadi orang sukses.” Jawab
nenek dengan antusias. “Aamiin, terima kasih nek.” Jawabku. AKu tinggalkan nenek yang terdiam di
jalan tersebut dengan terburu-buru. Sesampai di gerbang sekolah, gerbang tersebut masih terbuka.
Padahal benda yang menyangkut di tanganku ini menunjukkan pukul 7 lewat 11 menit. Aku jalan
menuju lorong kelasku yang hampir diujung bangunan kelas. Ketika itu aku tidak sengaja berpapasan
dengan guru Bahasa Indonesiaku. “Assalamua’laikum bu” Sapaku dengan halus dan menyalimi
guruku itu. “Waalaikumsalam nak.” jawab guruku dan membalas salamanku. Kutinggalkan guruku
dan Aku langsung bergegas menuju kelasku. Suasana disekitarku juga aneh. Padahal waktu sudah
menunjukkan waktu masuk. Aku masuk ke kelasku dengan rasa cemas karena pelajaran sudah
dimulai. Ketika aku membuka pintu kelas, kelas belum dimulai. Padahal waktu sudah menunjukkan
pukul 7 lewat dan masih banyak yang belum hadir. “Kamu kenapa syad?” Pecah semua
kebingunganku karena pertanyaan terebut. “Sekarang jam berapa ya Sa?” Tanyaku dengan
penasaran. “6 lewat 22. Memangnya ada apa? bukannya di tangan kamu ada jam?” Jawabnya
dengan bingung. Dalam pikiranku berarti aku lupa untuk menyetel ulang waktuku. “Oh tidak apa-
apa, tadi kenapa menelepon?” Tanyaku dengan tangan kananku meletakkan tas yang berada
dibahuku. “Ini Syad, kamu dipanggil Bu Fira di ruang wakil.” Sambil menyodorkan minuman
kepadaku. “Oh, buat aku?” tanyaku. “Iyalah, banyak keringat itu. Pagi-pagi kok keringatan aja.”
Jawabnya dengan raut wajah yang sedikit ketawa. “Oh,haha. Makasih ya Clarissa.” 

Malam semakin larut. Aku memandang laptopku lekat-lekat yang sedari tadi memang sudah
kupandang. Beruasaha menetralisir rasa kantukku yang pelan-pelan membelai kelopak mata yang
memang sejak dari tadi pun ingin diistirahatkan. Malam ini rasanya sangat sulit untuk
mendapatkan tidur yang cukup. Ujian semester semakin dekat. Tugasku masih ada yang
menumpuk. Belum lagi masalah kegiatan organisasi yang membuat otakku semakin melilit
dibuatnya.

Jariku sedari tadi memang mengetik sesuatu. Tugas resensi buku. Momok bagiku yang bisa
dibilang sangat membenci tulisan. Sudah tiga jam. Tiga paragraf. Jujur aku tidak pandai dalam hal
tulis menulis. Tugas ini membuat otakku yang melilit lebih melilit lagi. Hingga jam menunjukkan
pukul 12 malam. Aku tidur. Tapi rupanya tidak bisa lagi. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal
di kepalaku.

Pagi menyongsong. Aku segera bangun dari mimpi singkatku untuk menunaikan shalat subuh.
Kembali setelah itu aktivitas pagi kulaksanakan. Seperti itu setiap paginya. Aku memang tipe
orang yang sangat menyukai pagi. Entah kenapa jika kulihat siluet jingga diam-diam muncul dari
arah timur sambil melewati dahan pepohonan, rasa-rasanya itulah waktu yang paling baik untuk
mencari inspirasi. Merilekskan otakku yang sejak tadi malam melilit karena urusan tugas ini itu.

“Nabil…!” suara mama memanggilku.


Aku beranjak dari beranda kamarku yang juga menjadi tempat favoritku selama ini. Segera turun
ke lantai bawah menuju sumber suara di mana mama memanggilku. Aku menuju dapur.
Kelihatannya mama sudah menyiapkan sarapan. Nasi goreng ikan tuna kesukaanku.

“Kapan ujian semestermu?” mama mengawali percakapan pagi itu. Aku yang masih mengenakan
pakaian tidur duduk di meja makan sambil mengisi gelas dengan air minum.
“Sebulan lagi ma” jawabku sambil menyendok nasi goreng yang super lezat itu.
“Tugasmu? Menumpuk lagi?” mama selalu begitu. Selalu menanyakan tugas. Mama tipe orang
yang perhatian dengan tugasku. Karena sejak aku masuk sekolah, bisa dibilang suatu kebanggaan
jika tugasku tidak menumpuk di akhir semester.
“Begitu deh ma. Habis mau gimana lagi” semangat sarapanku pagi ini hilang karena persoalan
tugas dan ujian semester.
“Mama kan selalu bilang. Kalau ada tugas selesaikan hari itu juga. Jangan ditunda-tunda. Begini
kan jadinya. Setiap semester numpuk terus, numpuk terus. Nggak bakal berubah kalau bukan
kamu yang mengubanya Nabil” iya ma, iya batinku
“Nggak terasa Nabil, nggak cukup setahun kamu sudah jadi mahasiswa. Sebulan lagi kamu akan
jadi siswa kelas dua belas. Kalau bukan kamu yang merubah sifat “tunda-tunda” ini, sampai kakek
nenek kamu begitu.”
“Susah ma. Tugasnya berat-berat. Terus tempat untuk kerja tugasnya nggak ada yang asik”
“Kalau persoalan berat, itu bukan alasan yang baik Nabil. Kuli bangunan saja yang tiap hari kerja
seberat itu, nggak pernah tuh mama dengar ngeluh berat kayak kamu. Lagian kalau kamu mau
cari tempat yang asyik untuk kerja tugas, kamu salah kalau kamu bilang tidak ada”

Batinku menebak-nebak. Apa tempat yang asyik untuk kerja tugas yang setiap hari bertambah
terus. Kalau tugasnya main bola, setiap hari pasti aku akan kerjakan. Tapi ini persoalannya lain.
Tugasnya bukan main bola. Tapi bermain dengan tulisan yang sejak SD sudah aku benci mati-
matian.

Hari ini memang hari libur. Setelah sarapan aku kembali ke kamarku untuk kembali memandang
matahari yang semakin naik. Dahan yang diterpa angin pagi diam-diam membuatku tersenyum.
Ada sesuatu yang sangat indah muncul pagi itu yang selama ini tidak terpikirkan olehku. Mama
benar. Tempat yang asyik itu memang ada dan setiap hari kukunjungi.

Kupandang dahan pohon yang diterpa sinar matahari itu. Sinarnya menembus celah-celah dahan
pepohonan membuat lukisan bayangan yang indah dan enak dipandang. Aku suka bagian ini. Tapi
kenapa tidak sejak awal terpikirkan olehku. Tempat yang asyik itu ada di beranda kamarku
sendiri. Dengan semangat aku segera membuka laptopku sambil memandang indahnya matahari
pagi yang semakin naik semakin membuat dahan-dahan yang diterpanya juga menjadi lebih indah
lagi.

Aku sadar. Sebenarnya bukan tentang tempatnya kita bisa tenang dalam mengerjakan sesuatu.
Tapi tentang suasana hati yang memang dengan ikhlas menerima amanah yang telah diberikan
kepada kita. Aku berjanji di tahun terakhir aku bersekolah saat ini, akan kubuat sebuah prestasi
baru dalam hidupku. Berproses dengan baik maka hasil yang akan kudapatkan akan baik juga.
Mengerjakan sesuatu dengan hati yang ikhlas dan penuh keyakinan. Seperti ikhlasnya dahan
diterpa sinar matahari yang membuatnya indah dipandang sampai kapanpun.

Kalian mungkin bertanya-tanya, lalu apa maksud dahan yang rindang itu? Dahan yang rindang itu
adalah perumpamaan suasana hati yang tenang dalam menghadapi sesuatu.

Anda mungkin juga menyukai