Jam di dinding berdetak setiap detiknya, membuat suasana semakin tegang.
Di bawahnya terdapat berbagai penghargaan sekolah yang tertata rapi. Aku duduk sendiri, menunggu seseorang di ruangan tersebut. Aku menahan rasa gelisah dan takut. Pintu berdecit terbuka, seseorang masuk membawa sebuah map. Orang tersebut duduk di kursi berhadapan dengan aku. Hanya sebuah meja yang memisahkan kami berdua. Aku hanya berpasrah dengan keadaan. Apakah rahasia aku selama ini akan terbongkar? Sebagai jawaban, orang di depan aku membuka map yang dibawanya. Terdapat sebuah surat berkop pemerintahan kota. "Ini ada surat pengumuman dari pemerintah kota, dalam sebulan kedepan akan ada lomba olimpiade sains. Karena siswa Dennis ini nilainya luar biasa, jadi bapak menyarankan Dennis untuk ikut lomba olimpiade ini. Bisa kan Dennis?". Ucapan Kepala Sekolah membuat aku diam terkejut. Sebuah kejutan yang benar tak terduga. Kukira rahasiku terbongkar. Terlamun sejenak, aku menjawab ragu "Bisa Pak." "Baiklah, mohon dipersiapkan dengan matang ya Dennis." Aku berdiri dari kursi, pergi meninggalkan ruangan tersebut tanpa sepatah katapun. Resah dan gelisah menyelimuti seluruh tubuh. Walaupun nilaiku terbilang luar biasa, aku tetap merasa khawatir. Terdapat suatu rahasia besar yang aku sembunyikan dari semua orang. Bahkan orang terdekatku pun tak mengetahuinya. Semua nilai yang saya dapatkan bukan berdasarkan usaha yang benar-benar saya lakukan. Aku selalu menggunakan cara yang licik dan curang. Pepatah mengatakan 'orang pintar kalah oleh orang curang'. Mungkin. Sepanjang jalan menuju kelas, kepalaku dipenuhi akan skenario yang tak mengenakan. Bingung. Langkah apa yang harus aku ambil kali ini. Sesaat di rumah sepulang sekolah. Setelah mempertimbangkan antara aku memberitahukan fakta atau aku harus menjaga citra siswa baikku. Aku memutuskan untuk mengambil langkah perubahan. Aku bertekad untuk memperjuangkannya. Tidak. Aku juga harus menjaga citraku. Aku tidak boleh dicap sebagai siswa buruk. Tidak sekalipun. Mulai malam itu, aku belajar. Mencoba memahami semua materi yang bisa aku pahami. Malam ke pagi, pagi ke malam aku terus mencoba belajar. Apakah aku memahami materinya? Tentu saja tidak. Memahami materi-materi yang menyulitkan itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Aku terduduk di Taman Sekolah. Tak banyak orang di sini. Pohon rindang menjadi payung keteduhan. Sebuah tempat di sudut sekolah yang cocok untuk tenggelam dalam pikiran. Keteguhan hatiku sedang di uji coba. Aku mempertimbangkan kembali langkah yang aku ambil. Aku merasa goyah. "Bagaimana perkembangannya Dennis?" tanya Kepala Sekolah dari belakang. Sontak membuatku kaget. "Sudah lumayan Pak. Tinggal beberapa materi lagi," ucapku dengan bibir yang terasa berat. "Bagus. Lanjutkan. Sekolah kita harus merebut kembali juara lomba ini." Ucapan Kepala Sekolah membuatku tenggelam dalam lamunan kembali. Bahkan Kepala Sekolah pun sudah mempercayakan semuanya kepada aku. Penyesalan ini tak ada artinya. Semua tanggung jawab ini dikarenakan ketidak beranianku. Tidak berani untuk bersikap jujur. Mau tak mau aku harus bertanggung jawab atas semua ini. Semangat dan keteguhan kembali menyelimuti diriku. Aku harus berusaha. Ini bukan sebatas menjaga citra baik sebagai siswa teladan. Ini semua tentang tanggung jawab. Tanggung jawab atas perilaku-perilaku aku sebelumnya. Semangatku kembali menggebu. Kini, aku duduk di perpustakaan dengan setumpuk buku materi-materi, aku memahami materi dengan sekuat tenaga. Hawa perpustakan tersebut seakan memberiku sebuah aura semangat. Sepi yang menenangkan. Orang-orang terlihat heran saat aku berlalu-lalang, terus kembali ke perpustakaan. Selalu membaca setumpuk buku sudah cukup untuk membuat semua siswa lain merasa keherenan. Di manapun aku mencoba memanfaatkan waktuku semaksimal mungkin. Se-efisien mungkin. Ketika di kelas, aku pun tak malu untuk bertanya pada temanku. Semua karena tekad. "Ra, nomor ini cara nyelesainnya gimana yah?' "Oh ini, caranya tuh gini," Rara tak segan untuk menjelaskan kepadaku. Aku menyimak dengan sangat teliti. "Oh ternyata gitu, terima kasih Ra," ucapku. "Iya sama-sama. Tapi tumben nanya, biasanya bisa sendiri. Akhir-akhir ini juga keknya kamu lebih rajin belajar," Rara menatapku bingung. Aku tak tahu harus menjawab apa. "Ini, lagi persiapan untuk lomba. Kebetulan aja ga bisa nyelesain soal yang ini. Jadi nanya hehe," balasku dengan senyuman canggung. Hanya itu kata-kata yang terlintas di kepalaku. Aku tak tahu lagi harus mengatakan apalagi. Tak mungkin aku menceritakan semuanya. Rara hanya mengangguk pelan. Aku pun pergi. Mencoba memahami materi tak sesusah itu ternyata. Hanya diperlukan niat dan tekad yang teguh. Hari-hari berikutnya tetap sama. Tidak ada yang menjadi rintangan untuk belajar. Hanya saja terkadang aku merasa begitu lelah. Dua minggu berlalu. Semangatku tetap sama, tak berkurang sedikitpun. Juga tak bertambah sedikitpun. Hanya saja aku mulai tak malu untuk bertanya kepada guru. Bertanya tentang beberapa materi. Bahkan ketika jam istirahat pun. "Permisi Bu," ucapku sembari mengetuk pintu ruang guru. Beberapa guru menatapku sejenak, lalu kembali kepada pekerjaan masing-masing. "Saya mencari Bu Elly." "Sini nak. Ibu di sini," panggil Bu Elly seraya melambaikan tangan. Aku berjalan mendekati meja Bu Elly. Sesampai di tempat, Bu Elly bertanya "Kenapa nak?" "Ini Bu. Ada soal yang Dennis belum paham. Kalau boleh mau minta penjelasan dari Ibu?" ucapku mantap. Bu Elly menjelaskan dengan teliti dan detail. Mataku memperhatikan gerakan tangan Bu Elly sekaligus mendengarkan apa yang diucapkan Bu Elly. Semuanya dijelaskan secara singkat, padat, dan jelas. "Dennis ini, udah tinggi, badan tegap gagah, rajin pula," ucap seorang guru di ruangan tersebut ketika aku beranjak keluar. "Iya. Pasti idaman banyak siswi-siswi di sekolah," sahut salah satu guru. Aku hanya tersenyum malu. Walaupun saya sebelumnya bersikap licik dan curang, tapi saya tidak pernah untuk bermalas-malasan. Paham tak paham saya tetap mencatat. Tak pernah absen. Tak pernah terlambat mengumpulkan tugas. Tak heran kalau orang-orang mengatakan aku rajin. Walaupun semuanya tak sesuai apa yang dilakukan di belakang layar. Tanggung jawab ini terasa semakin berat. Hari demi hari. Tubuhku terasa lelah. Di sekolah, di rumah, atau di mana saja. Aku merasa lelah. Sebuah kehebatan bagi orang-orang jujur dan pintar yang bisa bertanggung jawab atas beban yang berat ini. Mereka hebat. Aku terbaring di atas kasur. Merentangkan badan setelah kelelahan semua ini. Jendela kubiarkan terbuka, membiarkan angin malam berhembus masuk. Kesejukan malam membuatku tenggelam dalam lamunan kembali. Aku menatap langit-langit kamar. Apakah setelah aku memikul tanggung jawab ini semua akan terasa baik-baik saja? Apakah semua ini akan berjalan sesuai yang ku kira? Apakah aku bisa menjalani ini untuk seterusnya? Malam itu menyiskanku dengan semua pikiranku. Bayang-bayang setelah semua ini terlintas sekilas di kepalaku. Semua perjuangan ini harus pantas dengan hasil yang kuperjuangkan. Hanya tersisa hitungan hari perlombaan akan segera dilaksanakan. Tak terasa sebulan yang begitu berat. Tentu saja berat untuk aku pribadi. Karena sebelumnya aku belum pernah sekeras ini berjuang untuk sesuatu. Terlebih berhubungan dengan sekolah. Hari perlombaan tiba. Aku terduduk di kursi di antara ratusan orang. Ruangan tersebut terasa sesak. Rasa gugup kembali menyelimutiku. Takut hasil atas perjuangan ini tak sesuai dengan yang diharapkan. Ruangan itu penuh. Semua orang terdengar bising, terlihat sibuk. Hari ini mereka akan menunjukan performa yang terbaik. Termasuk aku. Semua orang terlihat yakin dengan dirinya sendiri. Yakin akan kemampuan. Aku meneliti wajah tiap-tiap peserta. Guratan wajah akan kepercayaan diri benar terasa. Semua orang terdiam saat pembawa acara membuka acara. Menatap fokus kepadanya. Perlombaan segera dimulai. Satu-perastu peserta memulai gilirannya. Terasa semakin dekat. Tiba saatnya giliranku. Baiklah, saatnya aku mencoba fokus. Tidak boleh ada celah sedikitpun bagi peserta lomba lain. Aku menjawab setiap pertanyaan, setiap rintangan menuju kemenangan dengan mantap. Satu, dua, tiga. Banyak yang terjadi dalam hitungan menit. Satu-persatu peserta berguguran dari perlombaan. Langkah-demi langkah aku menaiki tangga kemenangan. Terasa sedikit lagi. Aku harus mengeluarkan semua apa yang telah aku lakukan selama sebulan terakhir. Harus. Di babak final. Aku berusaha mengendalikan diri. Rasa gugup terus meluap keluar lebih banyak. Terasa seluruh badan menjadi dingin. Sebuah penentuan. Bel berbunyi keras. Menandakan perlombaan selesai. Aku duduk diam membisu. Terkejut. Membuatku diam. Semua orang bersorak-sorak. Aku masih tak percaya. Aku menang. Aku? Menang? Perjuangan ini tidak sia-sia bukan? Aku terdiam. Banyak yang hal di kepalaku. Terlintas semuanya dalam sekejap. Saat itu menjadi momentum penting dalam hidupku. Tak akan pernah terlupa. Perjuangan selama ini. Semua tanggung jawab. Hari-hari yang berat dan melelahkan. Semuanya tak menghianati. Hasilnya benar-benar luar biasa. Terdapat sebuah kebanggaan dan kepuasan tersendiri. Apa yang diperjuangkan dengan sepenuh hati. Dengan niat dan tekad membara. Kepuasan yang tak bisa diutarakan. Terasa begitu asing. Aku menyadari bahwa apa yang didapatkan dengan cara yang curang berbeda dengan apa yang didapatkan dengan penuh perjuangan. Berbeda. Sangat berbeda. Oleh karena itu, aku bertekad untuk seterusnya. Aku tidak akan pernah berbuat curang lagi. Aku bertekad untuk melakukan semuanya dengan perjuangan. Inilah satu langkah perubahan dalam hidupku.